Oleh: Rizza Rezpect
Illustrasi: Tolak Tambang Semen [Rizza Rezpect]
Kerusakan alam di tanah Tuban sudah tidak bisa ditolerir lagi. Kebijakan pemerintah daerah pro-penghisap telah menyengsarakan banyak orang, entah disadari atau tidak, atau malah bahagia ketika ditindas. Di periode 2016 ini akan banyak sekali industri ekstraktif yang akan mengepung Tuban.
Ketimpangan pembangunan, pendidikan bahkan sarana dan prasarana mudah dijumpai. Terutama daerah terpencil dan daerah dekat kota. Hal ini didukung oleh kajian dari BPS tahun 2014, angka kemiskinan mencapai 20,19 % cukup tinggi di daerah Jawa Timur sendiri. Namun di tahun 2015 ini katanya Huda selaku bupati angka kemiskinan turun menjadi 17,6% turut disangsikan, apalagi angka tersebut termasuk tinggi, belum lagi pengangguran mencapai 3,6% (DISNAKERSOSTRANS) namun disinyalir lebih tinggi lagi. Hal ini membuktikan bahwa PAD tidak dirasakan langsung oleh masyarakat kecil Tuban.
Alih-alih mengentaskan kemiskinan dan menyejahterahkan rakyat, pemerintah derah membuka seluas-luasnya pintu investasi untuk menghancurkan alam Tuban. Mudahnya izin AMDAL yang dikeluarkan, serta tidak objektifnya penelitian AMDAL turut menjadi jalan penindasan untuk rakyat.
Fakta rakyat tidak pernah dilibatkan langsung dalam pembuatan AMDAL, hal ini bertentangang dengan UU AMDAL no 32 tahun 2009, bertolak belakang dengan UUD RI pasal 33 ayat 2. Jelas ini merupakan penyimpangan konstitusional jika mengacu pada dasar hukum di Republik ini. Namun anehnya tidak ada berani yang mengusiknya. Belum lagi Perusakan alam yang di dukung oleh para intelektual bajingan yang pro-penghisap. Intelektual bajingan itu tidak hanya menjadi penyusun namun juga menjadi agent of change yang bertugas menciptakan ilusi semu kesejahteraan sosial. Rakyat menjadi korban dan menikmati menjadi korban. Konsesi state welfare menjadikan rakyat diam dan dibutakan oleh kesejahteraan semu. Misalnya konsekuensi logis ketika ada industri baru, maka salah satu ” gospel ” atau menyebarkan dogma suci “kamu akan menjadi pegawai dan hidup mewah”.
Banjir tempo hari yang dihadapi oleh masyarakat Tuban, adalah akibat dari kerusakan alam sendiri. “masyarakat awam minta pemerintah turun tangan” tetapi hanya sebatas membangun tanggul yang hanya bersifat sementara, namun perusakan alam terus dilakukan. Amien Widodo dari Pusat Studi Kebumian, Bencana dan Perubahan Iklim ITS Surabaya (2015) mengatakan bencana hidrometeorologis disebabkan karena rusaknya hutan dan lingkungan, sehingga tidak ada cara lain mengatasinya selain memperbaiki hutan yang rusak. Penyebabnya jelas, hutan digunduli. Padahal adanya hutan, air hujan yang turun dapat diserap dan masuk ke tanah.
Hal ini dapat dikorelasikan dengan data dari warta Tempo pada 7 Januari 2016, “bahwa Total luas hutan KPH Tuban 28.602,5 ha. 19.412,4 ha berada di wilayah Kabupaten Tuban, dan sisanya ada di wilayah Kabupaten Lamongan dan Gresik. Dari total luasan area di wilayah Kabupaten Tuban tersebut, 6.774,49 ha sudah tidak lagi berfungsi sebagai hutan. 1.488 ha dimanfaatkan untuk tambang PT Semen Indonesia dan Semen Holcim, 79,9 ha tambang kapur warga, 200 ha untuk sudetan Bengawan Solo, sisanya dibukan sebagai lahan pertanian”.
Pabrik-pabrik semen raksasa selain melakukan perusakan karst juga melakukan perusakan hutan. Penelitian lain dari Edy Toyibi almarhum bahwa gugusan karst Tuban hampir habis. akan lenyap tak tersisa seiring berjalanya waktu, rezim telah berganti namun perusakan sektor vital air masyarakat terus terjadi, puncaknya di Tahun 2016 ini. Tuban merupakan bagaian dari MP3EI plant pemerintah untuk menunjang iklim investasi dan menyambut pasar ekonomi global, mala tak heran jika kebijakan pemerintah adalah kebijakan pro-penghisap.
Namun pentingnya keseimbangan alam begitu tidak disadari oleh masyarakat modern kabupaten Tuban, yang mengalami cultured shock alias mengalami goncangan budaya yang diciptakan oleh lingkungan sosial baik secara intra maupun ekstra. Kesejahteraan hidup semu yang diciptakan kaum penghisap telah membius dan mengubah budaya masyarakat setempat. Kearifan lokal telah perlahan hilang dan menyusut seiring berjalanya waktu. Budaya tidak lagi mendukung peran kesimbangan alam dengan manusia, namun budaya telah berganti menjadi pemisah hubungan mesra manusia dengan alam. Hancurnya alam raya Tuban tinggal menghitung hari demi hari, kekeringan, gagal panen, bencana sosial masyarakat tidak bisa terelakan, hingga saatnya tiba bom waktu itu akan jatuh lalu meledakkan semuanya.
Lantas apa hanya diam menunggu meledak? Atau bangkit berjuang bersama merebut apa yang harusnya menjadi hak kita bersama. Tuban harus bangkit dan melawan!!!
Atau cukup diam dan menerima penindasan dengan ikhlas.
https://www.facebook.com/riza.r.selamanya/posts/963157193739598?ref=notif¬if_t=like_tagged
0 komentar:
Posting Komentar