October 25, 2017 | Tommy Apriando, Pati
Ratusan kendi cokelat dari tanah liat berjejer di dinding kayu pada sebuah rumah limasan. Kayu jati tua mendominasi bangunan itu. Kendi-kendi berisi air dari sumber mata air di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah.
Sebuah bangunan rumah terbuat dari batuan bata di bawahnya dan kayu Jati tua di bagian atas. Mereka menyebutnya Omah Kendeng atau Rumah Kendeng. Foto-foto sejarah perjuangan masyarakat Kendeng menjaga sumber air dari ancaman pabrik semen, ikut terpajang di dinding. Ada pula seperangkat alat musik kulintang dan berbagai produk hasil pertanian, tersusun rapi di dalamnya.
Hari itu, Selasa (3/10/17), terik mentari menyengat kulit. Aplikasi smartphone menunjukkan angka 34 derajat celcius. Puluhan akademisi lintas ilmu dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, serta beberapa kampus lain, bersama puluhan warga yang tergabung di Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) berkumpul di tengah Omah Kendeng.
“Bersama warga, para akademisi kuliah lapangan. Meninjau lokasi yang terancam pertambangan pabrik semen di Pegunungan Kendeng di Pati dan Rembang,” kata Herlambang P. Wiratraman, pakar hukum tata negara dan hak asasi manusia dari Universitas Airlangga Surabaya.
Pukul 11.00 siang, para akademisi dan warga memulai perjalanan menuju salah satu sumber air yang digunakan puluhan ribu warga untuk pertanian, ternak dan kebutuhan harian. Perjalanan membutuhkan waktu 15 menit dari Omah Kendeng.
Ketika tiba di lokasi, Eko Teguh Paripurno dari UPN Veteran Yogyakarta, menjelaskan soal batu gamping dan hidrologi di kawasan karst.
“Sungai bawah tanah ini mengalirkan air untuk warga, lahan pertanian dan ternak. Hilangnya karst makan berpotensi menghilangkan sumber air di Goa Wareh ini,” katanya.
Bambang Sutikno, warga Wukirsari, Tambakrono, mewakili JMPPK mengatakan, goa itu, ada puluhan pipa plastik menyedot air, mengalir ke rumah-rumah penduduk di kawasan lebih tinggi dari aliran sungai.
Kala kemarau, air tak pernah habis. Wisata goa itu telah memberikan pendapatan bagi masyarakat sekitar dari membuka warung, jasa parkir, dan sumber air terus terjaga.
“Sejauh ini goa dan sumber air selamat dari ancaman kerusakan pertambangan pabrik semen. Ancaman tambang batu kapur saat ini ada di Kayen dan Tambakromo, Pati,” kata Bambang.
Dari Goa Wareh, mereka bergerak ke Goa Pari dan sumber air Kali Gede di Kayen. Tiba di mulut goa, warga bersama puluhan akademisi ingin membuktikan ada sungai bawah tanah. Lokasi goa ada di kawasan izin pertambangan PT. Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT. Indocement Tbk.
Dengan tangga, para akademisi masuk ke dalam goa sekitar 10 meter, untuk ke sungai bawah tanah. Herlambang, melihat langsung deras air mengalir di Goa Pari. Dia bahkan berjalan sembari membungkuk menyusuri sungai.
Para akademisi dan warga Kendeng ke Goa Wareh. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Berdasarkan penelitian UPN Veteran Yogyakarta dan beberapa speleolog membuktikan, ada aliran sungai bawah tanah Goa Pari mengalir hingga sumber air Kali Gede, berjarak sekitar 100 meter. Jika sumber air Kali Kede hilang, ribuan hektar lahan pertanian kesulitan air.
Aliran sungai bawah tanah maupun mata air itu senyatanya dalam IUP PT. SMS, hanyalah satu dari sekian banyak fakta lapangan yang tak terakomodir dalam Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral 2014. Ia juga tak terakomodir dalam dokumen Amdal SMS.
Herlambang bilang, terjadi cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, dan ketidakbenaran maupun pemalsuan data, dokumen dan informasi hingga bertentangan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ada sungai bawah tanah di Goa Pari yang mengalir ke Kali Gede. Di dokumen Amdal Goa Pari dan sungai bawah tanah tidak disebutkan,” katanya.
Bambang menambahkan, kronologi perusahaan semen masuk mulai 2006, yaitu PT. Semen Gresik (Persero) Tbk di Sukolilo, namun berhasil digagalkan lewat penolakan konsisten warga baik jalur PTUN maupun non litigasi. Semen Gresik mundur pada 2013.
Pada 2014, SMS masuk ke Pati dan menyasar Kayen dan Tambakromo. Warga semangat menyelamatkan Pegunungan Kendeng. Proses litigasi berjalan, pada 6 Maret 2017, Mahkamah Agung memutus kasasi. Warga tengah mempersiapkan Peninjauan Kembali.
“Kami tak akan kendur memperjuangan sumber air dan Gunung Kendeng,” kata Bambang.
Proses kasasi warga dikalahkan, pertimbangan putusan Mahkamah Agung Nomor 4 K/TUN/2017 menyatakan, lokasi tambang pabrik semen SMS di luar Kawasan Bentang Alam Kars (KBAK) Sukolilo. Obyek sengketa tak bertentangan tata ruang wilayah nasional, tata ruang Jawa Tengah dan Pati hingga sudah sesuai peraturan.
Andri G Wibisana, Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Indonesia ikut ke lapangan. Dia mengatakan, pertimbangan putusan kasasi yaitu izin berdasarkan asumsi atau kajian sesat, dan manipulatif.
Sebenarnya, meskipun benar di luar KBAK, ada aturan RTRW nasional pemerintah memastikan tak ada kegiatan mengakibatkan kerusakan di kawasan lindung. Secara substantif, putusan MA keliru, karena basis kajian penuh kebohongan.
“Seharusnya pijakan berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, dan gubernur wajib patuh dan mengikuti KLHS, sesuai Pasal 15 PP Nomor 46/2016 tentang KLHS,” katanya.
Data JMPPK, KBAK Sukolilo khusus Pati pada 2005 ditetapkan seluas 118,02 kilometer persegi, menyusut pada Kepmen ESDM tahun 2014 menjadi hanya 71,80 kilometer persegi. Ada penyusutan KBAK yang tidak diketahui alasan seluas 46,22 kilometer.
“Penyusutan itu kemudian jadi lokasi pabrik dan penambangan PT. SMS.”
Penyusutan itu bertentangan dengan klasifikasi KBAK sebagaimana Permen ESDM No. 17/2012 karena sebenarnya lokasi yang menyusut sesuai fakta terkategori KBAK ditandai banyak mata air, ponor, gua bahkan sungai bawah tanah. Hal ini, sama sekali tidak dipertimbangkan putusan kasasi padahal hal itu sangat mempengaruhi.
Mongabay mengkonfirmasi perusahaan dengan menghubungi Budiono Hendranata, Direktur Utama SMS, namun belum direspon. Surat elektronik ke perusahaan juga belum berbalas. (Bersambung)
0 komentar:
Posting Komentar