Okt 18, 2017 | Oleh: Maritsa Zuchrufa*
Pegunungan Karst merupakan pegunungan yang memiliki beragam kekayaan alam. Selain memiliki bentang alam eksotis, flora dan fauna langka. Karst yang merupakan batuan kapur berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air, kaya bahan tambang, serta kaya akan peninggalan sejarah (Fardhani, Kompas, 30 Juni 2015). Jika karst dikelola dengan salah, hal itu dapat mengakibatkan kekeringan, konflik sosial budaya, dan kehilangan biodivitas unik yang belum diteliti (ICH, Kompas, 15 Desember 2015). Jika terus dibiarkan, dampaknya yang cukup serius dalam pertambangan karst akan terjadi, terutama bagi petani yang mengandalkan pengairan melalui sungai-sungai yang mengalir dari pegunungan karst. Oleh karena itu, pertambangan pada pegunungan karst berpotensi merusak kekayaan alam yang ada sehingga tidak jarang terjadi berbagai penolakan dari masyarakat sekitar tambang.
Lebih jauh, pertambangan merupakan permasalahan yang erat kaitannya dengan isu pencemaran lingkungan atau perusakan alam. Tidak jarang kasus pertambangan juga memicu konflik dengan warga di sekitar area tambang. Ini disebabkan warga sekitar tambang terancam terkena dampak negatif dari proses pertambangan tersebut. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tambang juga dapat membawa dampak positif bagi warga di sekitar area pertambangan, seperti penyerapan tenaga kerja, pengembangan masyarakat, dan sebagainya . Namun, tidak jarang terdapat masyarakat yang mendukung operasi tambang karena merasa diuntungkan dengan adanya operasi tambang tersebut.
Di pulau Jawa banyak terjadi aktivitas pertambangan karst di pegunungan kapur, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Munculnya berbagai aksi penolakan adanya pertambangan gunung karst di berbagai daerah, salah satunya pada kasus penambangan karst di pegunungan Kendeng oleh PT Semen Indonesia. Sebagian masyarakat sekitar tambang yang tergabung dalam kelompok adat Sedulur Sikep atau lebih dikenal dengan Masyarakat Samin, merasa operasi tambang di Pegunungan Kendeng akan merugikan masyarakat setempat (AIK & GSA, Kompas, 28 April 2015). Pertambangan di pegunungan Kendeng dirasa akan merugikan masyarakat sekitar terutama petani yang mengandalkan pengairan sawah melalui sungai yang berasal dari pegunungan kendeng. Masalah ini diungkapkan dalam wawancara Harian Nasional Kompas kepada salah satu warga Rembang yang turut menggugat dan menyatakan akan terus menolak rencana penambangan semen di wilayahnya, baik PT Semen Indonesia maupun pabrik semen lain, atau penambangan batu gamping yang beroperasi karena dianggap akan merugikan masyarakat sekitar terutama para petani dan peternak (AIK & GSA, Kompas, 28 April 2015).
Bertolak dari permasalahan di atas, terdapat warga yang mendukung operasi tambang di pegunungan Kendeng karena dianggap lebih menguntungkan bagi masyarakat sekitar. Berdasarkan wawancara kompas pada salah satu warga yang mendukung operasi tambang di pegunungan Kendeng menjelaskan bahwa masyarakat sekitar sebagian besar mendukung operasi tambang tersebut, sedangkan masyarakat yang menolak hanya sebagian mengatasnamakan warga sekitar pabrik semen (Nurdin, Kompas.com, 13 Desember 2016).
Terlepas dari permasalahan mengenai warga yang mendukung dan menolak operasi tambang di pegunungan Kendeng, dampak ekologis pertambangan karst telah diungkapkan salah satu Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Yayuk Rahayuningsih, peneliti kelompok hewan pada ekosistem karst dalam wawancara Kompas (Mulyadi, Kompas.com, 29 Agustus 2012). Yayuk menegaskan bahwa terjadi hubungan yang saling mempengeruhi antara ekosistem karst dengan ekosistem di lingkungan sekitar. Lebih jauh, Yayuk menjelaskan mengenai hewan-hewan yang hidup di pegunungan karst seperti kelelawar dan burung walet merupakan hewan pemakan serangga yang menjadi pengendali hama pertanian (Mulyadi, Kompas.com, 29 Agustus 2012). Terganggunya proses pertanian dapat mengganggu aktivitas ekonomi para petani. Dengan demikian pertambangan karst dapat menimbulkan masalah sosial baru bagi para petani di sekitar area tambang.
Dampak negatif dari adanya pertambangan juga dirasakan oleh warga Desa Karangkembang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Masyarakat setempat mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat debu hasil pertambangan Gunung Pegat di Desa Gajah, Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro. Secara geografis, Desa Karangkembang memang terletak di samping jalan raya yang dilewati truk pengangkut batu kapur hasil tambang sehingga debu-debu yang beterbangan dari truk-truk tersebut langsung dirasakan oleh warga setempat. Akibatnya, rumah-rumah warga di sekitar jalan raya menjadi kotor dan warga banyak yang mengalami ISPA. Tidak hanya itu, beberapa warga juga mengalami batuk-batuk dan sakit mata, terutama anak-anak (Ardiyanto, Lamongantimes.com, 10 Oktober 2015).
Adanya dampak negatif yang dirasakan warga Desa Karangkembang dari pertambangan Gunung Pegat memicu munculnya konflik antara warga setempat dengan pihak perusahaan tambang. Hal ini menyebabkan warga melakukan aksi demonstrasi menuntut ganti rugi atas dampak pertambangan yang dirasakan warga setempat. Sebaliknya, dampak negatif dari pertambangan Gunung Pegat tidak secara langsung dirasakan oleh warga Desa Gajah Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro. Secara tata ruang wilayah desa Gajah berada sekitar 100 meter dari jalan raya sehingga warga setempat tidak merasakan dampak dari adanya debu-debu batuan kapur hasil pertambangan yang dimuat oleh truk-truk pengangkut hasil tambang yang berlalu lalang. Selain itu Desa Gajah juga mendapat kompensasi atas adanya pertambangan di Daerah Mereka, sehingga pertambangan merupakan hal yang menguntungkan bagi warga setempat. Kondisi ini memicu terjadinya konflik antara warga Desa Karangkembang dengan warga Desa Gajah. Terjadi perdebatan antara pendemo dengan salah satu warga Desa Gajah yang meminta pendemo melakukan aksi di daerahnya sendiri karena menolak desanya dijadikan ajang demo (Surya, 11 Oktober 2015).
Lebih jauh, lubang bekas galian tambang berpotensi menimbulkan bencana. Hal ini dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pertengahan Mei 2017 diberitakan enam santri Pondok Pesantren (PP) Mambaus Sholihin Kecamatan Manyar, meninggal karena tenggelam di kubangan bekas galian tambang PT Semen Gresik yang sebelumnya juga merenggut dua korban jiwa. Hal ini diperjelas dengan adanya peta rawan longsor yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur (Abdalla, NUOnline, 15 Juni 2017). Hal ini menunjukkan permasalahan yang cukup serius mengenai dampak pertambangan karst. Tidak hanya berdampak secara sosial ekonomi masyarakat sekitar tambang, tetapi juga resiko bencana yang dapat terjadi setiap saat.
Berbagai kasus pertambangan di atas dapat menunjukkan banyaknya permasalahan yang timbul akibat pertambangan karst, baik masalah sosial terkait konflik antara pendukung dan penolak tambang, hingga risiko terhadap bencana. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah mengenai aturan pengelolaan pegunungan karst. Pemerintah perlu selektif dalam menilai pegunungan karst yang dapat dimanfaatkan untuk pertambangan dan tidak. Di samping itu, perlu adanya pengawasan dari pemerintah maupun masyarakat sekitar tambang agar pelaksanaan pertambangan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sehingga mengurangi risiko atau dampak negatif yang akan ditimbulkan. (Editor: Ranny Rastati)
Referensi
Abdalla, Achmad Faiz MN. “Persoalan Bekas Tambang Kapur di Gresik”, NUOnline, 15 Juni 2017, http://www.nu.or.id/post/read/78888/persoalan-bekas-tambang-kapur-di-gresik (diakses 29 Agustus 2017)
AIK, & GSA. “Pabrik Semen: Walhi dan Warga Ajukan Banding”, Kompas, 28 April 2015, p. 14.
Ardiyanto. “Akibat Debu Penambangan Batu Kapur, Warga Terserang ISPA”, Lamongantimes.com, 10 Oktober 2015, http://www.lamongantimes.com/baca/127544/20151010/190826/akibat-debu-penambangan-batu-kapur-warga-terserang-ispa/ (diakses 16 Agustus 2017)
Fardhani, Aziz. “Pecinta Alam: Peduli Karst, Peduli Lingkungan sosial”, Kompas, 30 Juni 2015, p. 35.
ICH. “Karst: Jangan Ulangi Kesalahan di Gambut”, Kompas, 15 Desember 2015, p. 14.
Mulyadi, Agus. “Aktivitas Tambang Pada Karst Menyusutkan Keanekaragaman Hayati”, Kompas.com, 29 Agustus 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/08/29/22553220/Aktivitas.Tambang.Pada.Karst.Menyusutkan.Keanekaragaman.Hayati (diakses 28 Agustus 2017)
Nurdin, Nazar. “Dinilai Bermanfaat, Warga Sekitar Dukung Pabrik Semen Rembang”, Kompas. 13 Desember 2016, http://regional.kompas.com/read/2016/12/13/17133451/dinilai.bermanfaat.warga.sekitar.dukung.pabrik.semen.rembang(diakses 29 Agustus 2017)
Surya. “Puluhan Pendemo Bersitegang dengan Warga Baureno”, Surya, 11 Oktober 2015, http://surabaya.tribunnews.com/2015/10/11/puluhan-pendemo-bersitegang-dengan-warga-baureno (diakses 16 Agustus 2017)
______________________________________________
Maritsa Zuchrufa, Mahasiswa Sosiologi, Universitas Brawijaya Malang. Penulis telah menyelesaikan program magang di PMB LIPI periode 17 Juli-8 September 2017 di bawah bimbingan Wahyudi Akmaliah, M.Si. Tulisan ini adalah bagian dari skripsi penulis yang telah dipresentasikan di seminar intern PMB LIPI pada 23 Agustus 2017Sumber: LIPI
0 komentar:
Posting Komentar