Minggu, 09 April 2017

Ekosistem kawasan karst tak tergantikan

00:40 WIB - Minggu, 09 April 2017

Ditulis oleh: Islahuddin | Rahadian P. Paramita


Keterangan Gambar : Goa Jomblang yang terletak di perbukitan karst pesisir selatan Gombong, Jawa Tengah hingga kawasan karst Pegunungan Sewu Kabupaten Pacitan, Jawa Timur © Shutterstock / Michail Vorobyev

Banyak alasan karst harus dilestarikan. Daya dukung lingkungan harus diperhatikan demi keberlanjutan pencapaian keadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Karst adalah bagian dari ekosistem. Tangki raksasa penyimpan air bawah tanah. Tempat tinggalnya berbagai jenis flora dan fauna langka. Kawasan mineral tak terbarukan. Wilayah kunci untuk mengetahui sistem hidrologi kawasan.
Karst juga menjadi tempat mempelajari masa lalu, karena manusia prasejarah begitu intens dengan karst dengan meninggalkan bukti-bukti kehidupan dalam bentuk gambar dalam tembok-tembok goa, gerabah dan keramik kuno, candi, dan bangunan lain.

Begitu pentingnya kawasan karst, pada 1997, World Commision Protected Area (WCPA)--komisi yang bernaung di bawah International Union for Conservation of Nature (IUCN)--mendorong perlindungan ekosistem karst di seluruh dunia dengan acuan:

Karst sebagai habitat flora dan fauna langka; Karst sebagai kawasan mineral langka (tidak terbarukan) dan memiliki bentang alam yang unik; Karst sebagai bagian penting kawasan prasejarah dan sejarah kebudayaan.

Karst juga kawasan penting untuk penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan; Karst sebagai wilayah religi dan spiritual; Karst sebagai wilayah perkebunan dan industri khusus; Karst sebagai kawasan kunci untuk mempelajari hidrologi kawasan; dan Karst sebagai tempat rekreasi dan wisata.

Dalam paparan riset A.B. Rodhial Falah, Fredy Chandra, dan Petrasa Wacana, Karst Jawa Sebagai Ruang Hidup dan Ancamannya, disebutkan bahwa luas kawasan karst di Indonesia mencapai 154.000 km2 (15,4 juta hektare) dengan distribusi merata di seluruh wilayah nusantara, dari Pulau Sumatera hingga Papua.

Dari sejumlah kawasan itu, sebagian besar selama ini telah menyediakan sejumlah mata air bagi kehidupan masyarakat sekitar. Bahkan satu kawasan karst, bisa memberikan 30 mata air. Eksploitasi kawasan karst tanpa kendali, berpotensi merusak ekosistem makhluk hidup di kawasan itu.

Dalam banyak literatur, karst diartikan sebagai bentang alam khas dengan bentuk hamparan/bukit batuan gamping yang dicirikan oleh drainase permukaan yang langka. Pada bagian atas yang sebagian besar telah mengalami pelapukan (solum) terdapat tanah yang tipis dan hanya setempat-setempat.

Di kawasan kars juga bisa ditemukan cekungan-cekungan tertutup (doline), serta keberadaan sistem drainase bawah permukaan yang lebih dominan dibandingkan dengan sistem aliran permukaannya.

Menurut Dr. Cahyo Rahmadi, Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), istilah karst mengadopsi bahasa Yugoslavia/Slovenia, yakni "krst/krast": terdiri dari batuan dan oak yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat Kota Trieste.

Istilah itu diperkirakan pertama kali digunakan pada 1774 oleh para pembuat peta di Austria untuk menandai wilayah kawasan yang didominasi oleh hamparan batu gamping. Selanjutnya istilah karst dipakai untuk penyebutan kawasan berbatuan gamping di seluruh dunia yang memiliki spesifikasi dan keunikan yang relatif sama.

Proses karsifikasi atau proses pelarutan, adalah proses korosi batuan secara kimia oleh air pada batuan gamping, gipsum, batu garam atau batuan lain yang mudah larut. Unsur ini bertanggung jawab terhadap terbentuknya fenomena karst baik di permukaan maupun bawah permukaan bumi.

Cahyo yang juga Ketua Indonesian Speleological Society menjelaskan, air hujan dan karbondioksida akan melarutkan batu gamping sehingga di permukaan terbentuk aneka jenis bukit dan lembah. Di bawah permukaan pun berkembang sistem pergoaan dan sungai bawah tanah.

"Proses karsifikasi ini berlangsung selama jutaan tahun sehingga menghasilkan bentangan alam kawasan karst dalam berbagai bentuk," kata Cahyo kepada Beritagar.id saat ditemui seusai acara pembahasan karst Indonesia di Hotel Santika, Slipi, Jakarta, Minggu (26/3/2017).

Pola air dan penjernihan air di kawasan kars, menurut Cahyo, memiliki sistem hidrologi yang rumit sekaligus khas, "Melibatkan banyak unsur dalam karst itu sendiri."




Kawasan karst yang menopang kehidupan

Kawasan karst, bukan melulu soal bukit gamping dan sungai di bawahnya, namun merupakan sebuah ekosistem yang kompleks. Beragam makhluk hidup tergantung dari keberadaannya, tidak terkecuali manusia.

Cahyo yang meneliti biologi goa dan konservasi karst, serta taksonomi amblypygi, menemukan belasan jenis spesies baru dan memberinya nama. Tahun ini, Cahyo berencana merilis nama spesies baru dari temuan penelitiannya untuk jenis laba-laba goa.

Menurutnya, kawasan karst memiliki keberagaman flora dan fauna yang merupakan unsur penting dalam kehidupan. Dari hasil penelitian LIPI setidaknya terdapat 100 spesies di kawasan goa. Dalam kurun 16 tahun terakhir telah ditemukan sedikitnya 30 spesies baru yang langka dan mempunyai tingkat endemisitas sangat tinggi.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kawasan karst di lapisan permukaan bumi ditandai dengan terbentuknya bukit-bukit, lembah-lembah terjal, atau cekungan. Cekungan-cekungan atau lembah ini dapat menampung air hujan dan berfungsi sebagai telaga.

Sungai di kawasan karst banyak yang terputus alirannya--tidak punya muara dan bertemu laut--karena "hilang" dan masuk ke bawah tanah. Aliran air yang "menghilang" dari permukaan ini, adalah indikasi keberadaan sistem perairan bawah tanah.

Saat musim hujan, air hujan akan lebih banyak masuk ke dalam rongga-rongga atau celah yang langsung menuju ke sungai bawah tanah. Sedangkan lapisan di bawah tanah mengalami pelarutan yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan, lorong sungai bawah tanah, dikenal dengan goa atau sistem pergoaan.

Goa yang cukup besar, memungkinkan manusia untuk masuk ke dalamnya. 
Namun tidak semua goa dapat dimasuki dengan mudah. Keberadaan goa tersebut, mencerminkan kompleksitas sistem perairan bawah tanah.

Kehadiran kelelawar sebagai pemangsa serangga, berperan penting untuk mengendalikan populasi serangga yang berpotensi menimbulkan wabah penyakit

Kompleksitas kawasan karst membuatnya jadi habitat berbagai satwa--secara langsung atau tidak--berperan penting bagi manusia. Sarang burung walet di kawasan karst dapat dimanfaatkan. Kelelawar yang hidup di goa-goa karst merupakan pengendali alamiah hama pertanian maupun penyerbukan berbagai jenis tanaman.

Dari sekian banyak fungsi karst bagi kehidupan, Cahyo lebih intens pada penelitian goa dan spesies serta fungsinya dalam sistem kehidupan. Salah satu fokus kajiannya adalah kelelawar. Goa merupakan habitat kelelawar.
Kehadiran kelelawar sebagai pemangsa serangga, berperan penting untuk mengendalikan populasi serangga yang berpotensi menimbulkan wabah penyakit. Misalnya penyebaran penyakit malaria dan arthropods penyebar penyakit ternak.

Dia menuturkan, penelitian ahli kelelawar LIPI, Sigit Wiantoro, menyatakan, tujuh dari sembilan famili kelelawar hidup bergantung pada ekosistem goa.
Di Jawa terdapat 14 spesies kelelawar, dan 85 persen di antaranya merupakan kelelawar pemakan serangga. Sisanya pemakan buah dan nektar.

Bila dikonversi, satu ekor kelelawar pemakan serangga mampu memakan tujuh gram serangga. Adapun satu koloni bisa mencapai 20 ton serangga per malam.

"Rata-rata berat kelelawar itu empat gram dan bisa bisa memakan 3/4 serangga dari berat tubuhnya. Bisa dibayangkan berapa jumlah serangga yang dimakan kelelawar bila diasumsikan berat serangga sekitar 0.0003 gram," ujar Cahyo.

Dalam penelitiannya, Cahyo menemukan jutaan kelelawar di Goa Ngerong, Tuban, Jawa Timur. Perannya penting bagi lingkungan, seperti mengendalikan populasi hama, dan membantu penyerbukan tumbuhan seperti bakau (mangrove) dan buah-buahan.

Selain itu, menurut Cahyo, kelelawar pemakan buah tidak kalah penting dalam membantu proses regenerasi hutan. Cahyo mengutip hasil penelitian Vermaullen & Whitten pada 1999, bahwa tumbuhan beringin 94-100 persen bijinya disebarkan oleh kelelawar, sedangkan sisanya oleh burung dan monyet.

Secara tidak langsung, keberadaan hutan bakau sebagai pencegah abrasi juga butuh peran kelelawar pemakan madu yang membantu proses penyerbukan. Kawasan karst--selain penampung air--memiliki peran lingkungan yang lebih besar bagi spesies lain.

Eksokars yang membentuk atol di Kepulauan Wayag, Rajaampat, Provinsi Papua Barat. Di daerah ini banyak terdapat hasil karstifikasi pada batugamping
© Ethan Daniels /Shutterstock


Daya dukung alam kerap diremehkan

Banyak alasan kenapa karst harus dilestarikan. Namun fungsi ekonomi alam, tak jarang menggempur perhatian terhadap hal kecil. Misalnya tentang persoalan air, yang merupakan kebutuhan hidup utama, dianggap enteng karena mengandalkan solusi lain.

Ini berlaku di pegunungan Kendeng Utara yang membentang dari Kabupaten Kudus, Jawa Tengah hingga Kabupaten Tuban Jawa Timur. Kawasan ini merupakan kawasan karst dengan kekayaan sumber mata air dan goa-goa. Saat ini, sedang berhadapan dengan isu pembangunan pabrik semen.

Salah satunya milik perusahaan plat merah, PT Semen Indonesia (PTSI). Belakangan, kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di kawasan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, Rembang, Jawa Tengah, menyatakan tidak ditemukan aliran air sungai bawah tanah di kawasan itu.

Penelitian dilakukan pada 15-24 Februari 2017, dan telah diklarifikasi kembali pada 8 dan 9 Maret 2017. Hasilnya lalu dikirimkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, per 24 Maret 2017. Kajian ini menjadi bahan untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang menentukan nasib pabrik semen PTSI di Rembang.

Pasalnya, bila di bawah kawasan itu ditemukan jaringan sungai bawah tanah, dipastikan hasil KLHS merekomendasikan tidak boleh ada aktivitas pertambangan di atasnya. Kawasan tersebut mesti dilindungi. Namun kajian ESDM menyatakan lain, meski hingga tulisan ini diterbitkan hasil resmi KLHS belum dirilis.

Sementara hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk izin pabrik semen di karst Rembang menyebut adanya lima jenis kelelawar endemik, 22 jenis burung--empat di antaranya dilindungi--serta satu spesies mamalia endemik.



Bila eksploitasi terhadap kawasan karst yang juga membentang di tiga daerah itu memengaruhi kuantitas dan kualitas air dari alam, maka dampaknya tak hanya mengganggu ekosistem lingkungan, juga perekonomian warga.
Di Kabupaten Rembang, Pati dan Blora, sumber air bersih untuk berbagai keperluan rumah tangga masih mengandalkan sumber-sumber alam. Khususnya di Blora, sekitar 60 persen rumah tangga mengandalkan air dari sumur bor pompa dan sumur terlindung. Ironisnya, di Pati maupun Rembang harus mengandalkan air isi ulang.

Konsumsi air minum dari air kemasan bermerek dan isi ulang pada rumah tangga di tiga kabupaten tersebut, masing-masing mencapai 46,48 persen di Rembang; 37,61 persen di Pati; dan 30,96 persen di Blora.

Bila dinilai dengan rupiah, rumah tangga di Kabupaten Rembang rata-rata mengeluarkan Rp140 ribu per bulan untuk air minum dari air kemasan bermerek dan air isi ulang. Sedangkan di Kabupaten Pati mencapai Rp127 ribu per bulan. Di Kabupaten Blora, konsumsinya paling tinggi, mencapai 170 ribu per bulan.

Angka pengeluaran ini akan bertambah, bila daya dukung alam untuk menyediakan air menurun. Sedangkan air leding meteran yang biasanya disediakan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), layanannya belum diakses banyak warga. Selama 37 tahun PDAM Rembang berdiri, hingga kini hanya diakses 2,67 persen rumah tangga.

Belum lagi menghitung nilai ekonomi air bagi pertanian, peternakan, atau perkebunan di kawasan tersebut.

Berkaca dari kasus Tuban, Jawa Timur, pada 2014, sebesar 40 persen dari total PAD (Pendapatan Asli Daerah) Tuban yang mencapai Rp 260 miliar, disumbang oleh pabrik semen PT Semen Indonesia. Lalu pada 2016, perusahaan menyumbang PAD Rp100 miliar berupa pajak galian, pajak penerangan jalan umum, PBB, retribusi air bawah tanah, dari total PAD Kabupaten Tuban sebesar Rp300 miliar.

Bupati Tuban, H. Fathul Huda, mengakui angka kemiskinan masih berkisar 16-17 persen, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai angka 6 persen. Adapun angka kemiskinan nasional sekitar 11 persen, sedangkan pertumbuhan ekonominya sekitar 5 persen. Pertumbuhan ekonomi Tuban memang lebih baik dari rata-rata nasional, namun kemiskinannya masih lebih buruk.




Mengundang murka alam

Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, perlu dikendalikan agar semua pihak yang ingin mengambil keuntungan, mempertimbangkan kelestariannya. Daya dukung alam harus bisa dipertahankan, di tengah populasi manusia yang terus bertambah.

Bila mengabaikan hal itu, Garrett Hardin (1968) pernah meramalkan apa yang dia sebut "The Tragedy of Commons". Tragedi yang terjadi karena tidak ada keseimbangan hak-hak dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.

Sumber daya yang dimiliki bersama (common resurces), perlu pembatasan dalam pemanfaatannya. Tidak satu pihakpun yang boleh mengeksploitasinya secara semena-mena, atau serakah dengan menguasai sumber daya tersebut. 
Karena itu perlu institusi yang mengaturnya, agar bisa dinikmati bersama-sama.

Tragedi terjadi saat tak ada aturan--atau aturan yang ada tidak mengendalikan keserakahan pihak tertentu--dalam pemanfaatan sumber daya alam. Akhirnya, eksploitasi terjadi tanpa memperhitungkan keterbatasan daya dukung alam terhadap kehidupan, baik manusia maupun flora dan fauna dalam ekosistem.

Air tanah, adalah salah satu contoh kasus dalam tragedi ini. Tak ada satu pihakpun yang boleh mengklaim air sebagai miliknya, namun warga boleh memanfaatkannya seusai aturan dari negara. Bila ada pihak yang serakah, akan ada sebagian warga yang tak kebagian air karena cadangannya menipis, atau terkena instrusi air laut.

Kearifan untuk menghindar dari murka alam raya, sebenarnya bisa ditemukan dalam pesan petani pemrotes pendirian pabrik semen di Rembang. Bagian samping kotak 25 x 25 cm persegi yang digunakan mencor kaki mereka dengan semen, tertulis kalimat yang ditulis menggunakan huruf aksara Jawa kuno.

Tulisan tersebut berbunyi "Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili." Bila diterjemahkan secara bebas, artinya "Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi disakiti, ibu bumi akan mengadili." Syair pendek berjudul 
"Ibu Bumi" itu, kerap dinyanyikan para pemrotes sepanjang aksi menyemen kaki.

Masyarakat lokal jangan sampai menanggung konsekuensi dari eksploitasi sumber daya alam di sekitarnya, sementara saat mengambil keputusan mereka terpinggirkan. Kondisi seperti ini, tidak hanya menimbulkan masalah lingkungan, namun berpotensi memicu keresahan sosial, ekonomi, dan politik.

Paradigma pembangunan berkelanjutan, tak bisa ditawar dalam eksploitasi alam untuk pembangunan. Pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Daya dukung alam harus diperhatikan demi pencapaian keadilan sosial, berkelanjutan secara ekonomi, maupun untuk lingkungan.

Sumber: Beritagar.Id 

0 komentar:

Posting Komentar