Jumat, 15 Juli 2016 | 12.00 wib
Oleh Muhammad Sholekan
Bagi setiap orang, ulang tahun mungkin menjadi momen refleksi. Doa
dipanjatkan untuk tahun depan, sembari berefleksi tentang tahun
sebelumnya. Mungkin itu gambaran umum bagi orang yang ulang tahun.
Berbeda mungkin dari ulang tahun seseorang yang dikenal sebagai figur
publik. Tentu ulang tahun dia akan mendapat reaksi yang mengundang
perhatian publik pula.
Selasa lalu, 21 Juni, kepala negara
sekaligus kepala pemerintahan republik ini, Jokowi Widodo (Jokowi),
genap berusia 55 tahun. Ulang tahun Jokowi tentu berbeda dari ulang
tahun orang-orang yang tinggal di desa atau bukan siapa-siapa.
Saya yakin, pada ulang tahun Jokowi, banyak rakyat Indonesia mengucapkan
selamat. Saya tidak akan memakai data statistik dari 254 juta jiwa
warga Indonesia siapa saja atau seberapa banyak yang mengucapkan selamat
ulang tahun kepada sang presiden. Entah melalui akun Twitter, Facebook,
atau media sosial lain. Atau, hanya mengucapkan dalam batin untuk
mendoakan sang presiden.
Itu wajar. Itu juga yang terjadi ketika ada
teman berulang tahun. Doa dan pengharapan lebih baik bagi orang yang
berulang tahun, apalagi bagi Jokowi yang memimpin negara dengan jumlah
penduduk terbesar keempat sedunia, tentu lazim saja.
Namun ini
bukan soal trending topic di media sosial soal ulang tahun Presiden,
bukan soal Presiden mendapat ucapan selamat ulang tahun terbanyak dari
warga, bukan juga soal pesta ulang tahun yang diadakan Istana bagi
Presiden. Ini soal beberapa warga yang datang dari Pegunungan Kendeng
Utara.
Ya, Selasa sore itu, di depan Istana Merdeka, Kartini
Kendeng dan beberapa warga Pati dan Rembang datang ke Jakarta untuk
“Nyelameti Pak Jokowi”. Itulah aksi yang tak biasa dilakukan warga
negara bagi sang pemimpin. Mereka datang di depan Istana untuk mendoakan
keselamatan sang presiden.
Namun bukan hanya itu misi Kartini
Kendeng beserta rombongan. Bagi saya, itu peringatan bagi pemimpin bahwa
ada perusakan dan pemiskinan serta soal keyakinan warga negara berdasar
kearifan lokal.
Dalam acara yang diselenggarakan sejak pukul
16.00 sampai selesai itu, mereka menyajikan tumpeng -- simbol
pengharapan keselamatan bagi sang presiden, hal yang biasa dilakukan
orang Jawa. Warga tidak hanya menujukan kepedulian kepada Presiden.
Mereka juga menunjukkan bertekad menolak pendirian pabrik semen yang
akan merusak Pegunungan Kendeng Utara. Itulah pegunungan yang membentang
dari Grobogan, Kudus, Pati, Blora, Rembang, sampai Tuban, yang
merupakan tandon air raksasa. Air dari pegunungan itulah yang menghidupi
warga.
Itu terungkap dalam undangan yang tersebar melalui media
sosial Facebook. Mereka menyatakan, “Bertepatan kalih tanggal lahire pak
Jokowi, dulur-dulur saking kendeng nganaake brokohan kanggo selamete
pak Jokowi ugi kagem lestarine pegunungan kendeng, uga kagem sanak
sedulur kabeh mugiya tansah tetep tatag, teteg, lan tutug anggone
ngukuhi ibu bumi ben tetep lestari uga diparingi bagas waras.”
Ya, bertepatan dengan tanggal lahir Jokowi, sanak-saudara dari Kendeng
mengadakan kenduri bagi keselamatan Jokowi, juga untuk kelestarian
Pegunungan Kendeng, dan bagi semua saudara. Semoga semua tetap sehat,
tabah, konsisten, sehingga tercapai keinginan menjaga bumi sebagai ibu
agar tetap lestari.
Warga dari Pegunungan Kendeng tidak hanya
mendoakan Jokowi yang berulang tahun. Mereka juga berdoa bagi
kelestarian pegunungan yang selama ini memberi penghidupan. Tidak hanya
penghidupan bagi mereka saat ini, tetapi juga untuk masa datang sampai
anak-cucu. Mereka juga berdoa untuk seluruh saudara setanah air. Selama
ini, adakah yang secara ikhlas datang mengunjungi sang pemimpin sembari
memanjatkan doa?
Itulah doa yang tak biasa dilakukan sekelompok
warga negara. Mereka melihat Jokowi sebagai pemimpin yang mempunyai
tanggung jawab besar atas negara dan warga negara di Republik Indonesia
ini.
Dulu, Selasa, 12 April, Sembilan Kartini Kendeng mengecor
kaki di depan Istana. Saat itu, Teten Masduki yang mewakili Istana
menemui dan berjanji akan menindaklanjuti aksi Kartini Kendeng yang
mengecor kaki dengan semen itu, sepulang Presiden dari Eropa. Alih-alih
menyelesaikan konflik di Kendeng, janji itu tak kunjung ditepati. Sudah
sejak aksi mengecor kaki itu hingga kini, warga Kendeng tidak kunjung
mendapat kepastian soal janji tersebut.
Istana seharusnya segera
mewujudkan janji untuk menyelesaikan konflik yang berlarut-larut sejak
2014 itu. Atau, Istana hanya memberikan janji seperti layaknya pada anak
kecil yang menangis diberi permen, lalu diam? Tentu tidak sesederhana
itu. Seharusnya Istana tidak segegabah itu dengan mudah memberikan
janji. Kepercayaan warga terhadap sang pemimpin adalah poin penting di
negara demokrasi ini.
Seharusnya di negara demokrasi, pemimpin
tunduk pada permintaan rakyat. Tunduk pada kendak rakyat. Bukan hanya
mengumbar janji manis saat atau sesudah terpilih dalam pemilihan umum.
Seharusnya Istana memikirkan nasib warga negara. Bukan hanya memikirkan
percepatan pembangunan infrastruktur dan ekonomi, jika itu tidak
menyentuh langsung kesejahteraan warga negara. Istana juga harus
memikirkan dampak rencana percepatan pembangunan infrastruktur dan
ekonomi. Apakah merusak lingkungan atau tidak? Apakah ada warga negara
yang jadi korban atau tidak? Pemimpin seharusnya tidak hanya memikirkan
perkara itu, tetapi juga mempraktikkan hal itu.
Dalam Islam
disebutkan, salah satu ciri orang munafik adalah ketika berjanji
berkhianat. Ketika Istana tidak segera mewujudkan janji, apakah warga
Kendeng harus menunggu jawaban yang entah kapan terwujud? Ketika Istana
tidak menepati janji, apakah saya atau warga Kendeng salah ketika
menyebut sang pemimpin adalah munafik? Naudzubillah.
*Tulisan ini saya buat, beberapa hari setelah aksi "Nyelameti Pak Jokowi" di depan Istana Merdeka.
0 komentar:
Posting Komentar