SURO BULUS: Narasi Kejahatan Korporasi Tambang dalam keaktoran Suro Bulus (Haji Amin) sukses membongkar ilusi kemakmuran di dalam selubung investasi. Tinggal apakah pemerintah tahu malu pada orientasi kemakelaran proyek yang mengancam ekologi. Sementara masyarakat desa yang diasumsikan tak pandai, namun mengerti memahami [Foto: Yatno PW]
Tak berbeda dengan kebanyakan warga kampung lain di
seputar kawasan karst Gombong selatan, Ki Srawin adalah juga seorang petani. Tetapi
apa yang telah dilakukan bersama kelompok seninya adalah sebuah proses pemenuhan
syarat-syarat literasi tradisional yang mendasar. Mendasar dalam arti tumbuh
dan berangkat dari persoalan-persoalan faktual. Pada gilirannya membangun ide-ide
dan kesadaran artivisual dalam entitas juga sejarah kampungnya.
Menumbuhkan berkesenian di tengah komunitas dan
lingkungannya, bagi Ki Srawin, tak sekedar menggeluti proses kreatif untuk bagaimana
menampilkan visualisasi yang lebih dari sekedar diterima masyarakat apresian. Tak
melulu membikin sajian yang menghibur, tetapi sekaligus menyangkut pula aspek
transformasi kesadaran meluas. Yang terakhir ini acap terabaikan oleh kelompok
seni tradisi lantaran berasumsi ihwal “selera pasar” kekinian yang konon cuma
mengutamakan hiburan semata.
“Bagi kami, jagad pentas itu harus mendidik”, ucap Ki
Srawin.
Tak berlebihan jika berpijak dari filosofi demikian
ini maka entitas para pelaku seni itu adalah entitas kepeloporan masyarakat
sekitarnya.
Mitos
Kapitalistik “Suro Bulus” Lainnya
Ketua Perpag Samtilar pernah melansir pemikirannya
bahwa “Janji kemakmuran yang dipromosikan industri semen itu tak pasti”.
Sembari berwewarah, pensiunan guru desa ini melengkapi keyakinannya bahwa “Kerusakan
-ekologi- permanen yang bakal ditimbulkan tambang karst; itu malah jelas”. Abstraksi
seperti ini malah lebih masuk akal ketimbang kebohongan modern yang gencar
dibangun para “belantik” kapital. Termasuk dalam konteks ini, ilusi kemakmuran minim
dampak yang diwacanakan tim konsultan korporasi tambang.
Dalam permanaan Ki Srawin gambaran obyektif demikian
ditangkap oleh nalar sadarnya sebagai seniman kampung, dan menggerakkan
intuisinya buat menarasikan cerita berdasarkan pengalaman nyata. Tanpa kesan menghujat,
Ki Srawin menaruh paradoks kearifannya melalui keaktoran Haji Amin yang memang “nylekit”
dalam bertutur di panggung Perpag. Dan narasi Suro Bulus pun begitu hidup menggalang nalar ausiensnya;
mendapatkan tempat di hati penonton yang memadati dan nyata-nyata tak bisa
dibubarkan oleh turunnya hujan.
Narasi Suro
Bulus secara keseluruhan memang merupakan ilusi industri dengan janji kemakmuran yang lebih dari
sekedar ditawarkan, melainkan juga dikonstruksi menjadi skenario yang
dipamrihkan untuk membangun pemikiran sosial yang “ramah” terhadap kehadiran
pemodal. Dalam realitas sosial masyarakat Sikayu dan desa-desa lainnya, memang
terjadi perang wacana tambang semen dengan maksud menghancurkan nalar ekologis
yang resisten terhadap segala bentuk eksploitasi sumber daya.
Dan Suro Bulus mengarus-utamakan
wacana pentingnya investasi, meski dengan “resiko” jatuhnya bukit-bukit terumbu
kapur desa ke tangan kelas kaya. Realitas
ini memang nyata terjadi di kawasan pegunungan karst Gombong selatan, yang
mayoritas warganya petani tetapi terperangkap untuk melepas kuasa atas tanah ke tangan
korporasi. Ini dimungkinkan karena makin banyak Suro Bulus yang membiak di fase awal penetrasi kapital.
0 komentar:
Posting Komentar