Minggu, 10 Juli 2016

Kupatan Kendeng: "Menjaga Alam Merawat Tradisi"

Sejumlah warga tengah mempersiapkan perhelatan tradisi "kupatan", yang digelar tiap hari kelima lebaran [Foto: JMPPK]

[Pangkur]

Bathari Sri sumber boga
Beras banyu kang nyata anggenepi
Cumawis lesung lan alu
Nggo nutu pari tuwa
Ginawe beras bakal sega satuhu
Diinteri tanpa sisa
Pinilah kanti setiti

Beras kinosek ing tlaga
Kalimbang-limbang dimen dadi resik
Tanpa kecer kang den luru
Kaadang dadi sega
Rinasakke dadi wareg anak putu
Elinga yen sandang boga
Nguwati urip sayekti.
___________________

Warga Desa Tegaldowo, Timbrangan, Suntri di Kecamatan Gunem dan Desa Bitingan serta Tengger di Kecamatan Sale Kabupaten Rembang yang tergabung dalam Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng pada tanggal 9 dan 10 Juli 2016 kembali mengadakan Kupatan Kendeng.

Masyarakat Pantai Utara Jawa khususnya Rembang memiliki tradisi Lebaran Ketupat yang dirayakan sekitar seminggu hingga sepuluh hari setelah Hari Raya Idul Fitri. 
Ketupat berasal dari bahasa Jawa 'ngaku lepat' yang berarti mengakui kesalahan. Perayaan ketupat sesungguhnya adalah ekspresi pengakuan akan kesalahan sekaligus tekad memperbaiki diri di masa yang akan datang. 

Sejak tahun 2015 masyarakat Tegaldowo, Timbrangan, Suntri, Bitingan serta Tengger yang bakal terdampak oleh industri semen yang hadir di Rembang telah memberi nafas baru pada tradisi kupatan tersebut. Tidak hanya meminta maaf pada sesamanya, warga yang pada umumnya petani ini juga mengajak semua orang untuk meminta maaf kepada alam dan penciptanya karena telah abai dan membiarkan Kendeng Utara dirusak oleh industri semen. Dengan slogan Menjaga Alam Merawat Tradisi, Kupatan Kendeng adalah aksi budaya yang menegaskan tekad warga Kendeng Utara dalam menjaga keharmonisan alam sekaligus memperkuat solidaritas dan semangat untuk terus berjuang menolak keberadaan industri semen yang merusak lingkungan dan kehidupan.

Seperti diketahui, sejak tanggal 16 Juni 2014 warga telah mendirikan tenda di lokasi tapak pabrik semen dan berbagai aksi lain hingga melakukan aksi menyemen kaki mereka di depan istana untuk menolak hadirnya industri semen. Adalah PT Semen Indonesia yang berencana mendirikan pabrik seluas 57 hektar beserta penambangan batu kapur seluas 525 hektar demi target produksi sebanyak 3 juta ton per tahun. 

Ada sederet pelanggaran hukum yang telah dilakukan oleh PT Semen Indonesia di Rembang. Pertama adalah pelanggaran terhadap Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 2011 tentang penetapan Cekungan Air Tanah Indonesia, yang menyatakan bahwa batu gamping tersebut di tetapkan sebagai “Cekungan Air Tanah” (CAT) Watuputih. Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT. Semen Indonesia berada di kawasan CAT Watuputih.

Ke dua, PT Semen Indonesia juga melanggar Perda Rancangan Tata Ruang Wilayah (RTRW) Jateng No.6 Tahun 2010 pasal 63 yang menyatakan Watuputih sebagai “Kawasan Imbuhan Air”.

Selanjutnya adalah pelanggaran terhadap Perda Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Rembang No. 14 Tahun 2011 pasal 19 yang telah menetapkan kawasan tersebut sebagai “Kawasan Lindung Geologi”.

Pelanggaran berikutnya adalah terhadap Perda RTRW Kabupaten Rembang Nomor 14 Tahun 2011 pasal 27, yang menyatakan bahwa kawasan hutan di Desa Kadiwono, Kecamatan Bulu, Kabupaten Rembang tidak diperuntukan sebagai kawasan industri besar.

Amdal PT. Semen Indonesia yang menjadi dasar diterbitkannya ijin juga mengandung kekeliruan, ketidakbenaran bahkan pemalsuan data dan informasi. Data yang dicantumkan dalam AMDAL tidak sesuai dengan kondisi rill lapangan. Contoh tentang jumlah keberadaan gua, ponor, dan mata air yang tidak sesuai. Dalam AMDAL jumlah gua disebutkan ada 9 padahal di lapangan ada 64 gua, untuk mata air disebutkan ada 40 namun di lapangan tercatat ada 125 sumber mata air, kemudian dalam AMDAL tidak menyebutkan adanya ponor namun kenyataannya terdapat 28 titik ponor.

Jika PT Semen Indonesia dibiarkan beroperasi di Rembang dikhawatirkan berdampak pada hancurnya mata air, hancurnya gunung, habitat, ekosistem, serta polusi udara yang akan dihasilkan jika pabrik beroperasi. Data dari PDAM Rembang saja menunjukan bahwa sekitar 153.402 jiwa di Kabupaten Rembang sangat bergantung langsung pada Cekungan Air Tanah Watuputih yang mengalirkan ratusan mata air. Ratusan mata air ini juga dimanfaatkan oleh penduduk kabupaten Blora.

Penelitian terbaru yang dilakukan oleh UPN Yogjakarta bahkan menunjukkan bahwa di bawah Cekungan Air Tanah Watuputih tempat didirikannya pabrik semen terdapat danau bawah tanah yang sangat besar yang terancam keberadaannya oleh aktivitas tambang dan pabrik semen.

Warga telah menempuh jalur litigasi dengan mengajukan gugatan terhadap ijin pabrik semen di Rembang tersebut pada PTUN Semarang. Tapi gugatan warga tersebut ditolak hanya karena dianggap telah melampaui batas waktu, tanpa menyentuh materi gugatan yang menyoal pelanggaran peraturan serta manipulasi dan kebohongan dalam dokumen AMDAL yang menjadi dasar ijin pendirian pabrik PT Semen Indonesia di Rembang. Upaya banding yang kemudian dilakukan warga di PTTUN Surabaya sekali lagi ditolak dengan alasan yang sama. Kini warga mengajukan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung dengan novum dan bukti baru yang mengungkap manipulasi dan kebohongan yang dilakukan oleh PT Semen Indonesia. 

Dalam kaitan dengan perjuangan penolakan pabrik semen di Kedeng Utara, Kupatan Kendeng adalah aksi budaya untuk menjaga keharmonisan dengan alam sekaligus memperkuat solidaritas dan semangat pergerakan warga melalui tradisi. 

Perhelatan Kupatan Kendeng dimulai dengan prosesi Temon Banyu Beras pada 9 Juli 2016 sore hari. Temon Banyu Beras adalah ungkapan syukur akan karunia air dan panen yang diberikan Pegunungan Kendeng Utara kepada warga yang sebagian besar adalah petani. Dengan menari dan melantunkan tembang-tembang, ibu-ibu mengambil air dari Sumur Waru, sumur tertua di desa Tegaldowo yang airnya mengalir dari Pegunungan Kendeng untuk dipertemukan dengan beras yang dipanen dari pegunungan yang sama. Setelah didoakan, air dan beras diantar ke Tenda Perjuangan di Gunung Bokong untuk diolah menjadi ketupat. Pembuatan ketupat ini menjadi tanda dimulainya aktivitas yang sama di rumah-rumah penduduk untuk Kupatan Kendeng.

Antusiasme perempuan di kawasan Kendeng, bukan saja menjadi garda depan perjuangan melawan tambang semen, namun juga dalam menyokong nilai-nilai kearifan tradisional [Foto: JMPPK]

Keesokan harinya ribuan ketupat yang telah masak disusun membentuk gunungan yang dibawa ke lapangan di desa Tegaldowo untuk didoakan dan dibawa kirab keliling desa. Sebelum dimulai doa, serangkaian pertunjukan kesenian ditampilkan di panggung untuk menghibur ratusan warga yang berkumpul mengikuti acara. Panggung Kupatan Kendeng kali ini diisi oleh beberapa seniman dan musisi dari berbagai daerah, di antaranya Sisir Tanah, KePAL, Nyonyor Numpang Tenar dari Yogjakarta dan Bara dari Solo. Tak ketinggalan adalah penampil dari warga Kendeng sendiri, yakni Sholawatan oleh Gus Gufron dari desa nggarang Rembang, Kesenian lesung juga tetembangan dan geguritan oleh ibu-ibu Kendeng serta tampilan Dalang Tri Luwih dan Barongan oleh komunitas Bocah Angon Pati dan barongan gembong samijoyo dari blora. Semua kesenian yang ditampilkan berisi pesan untuk terus berjuang demi pelestarian lingkungan. Setelah serangkaian acara kesenian, gunungan ketupat diarak keliling desa dengan diiringi oleh atraksi Naga Kendeng dan Barongan. Ketupat dibagikan pada warga yang menonton sepanjang jalan.

Pada malam harinya dilakukan ritual Lamporan, sebuah tradisi tolak bala di desa-desa Jawa untuk mengusir wabah penyakit dan hama tanaman. Dengan obor di tangan, ratusan warga berjalan dalam formasi lingkaran sambil membacakan doa dan mantra demi punahnya bala yang kali ini datang dalam ujud industri semen yang mengancam kelestarian alam dan kehidupan di Kendeng Utara.
____________________________

JMPPK
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng

Contact Person:
JOKO PRIANTO
[+62 823‑1420‑3339]

0 komentar:

Posting Komentar