Pengantar: Roberto Hutabarat
NKRI Harga Climate Fasis!
Indonesia punya stok jutaan ton konsep dan filosofi untuk menghargai alam raya. Konstitusi negara ini menjamin bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Selain prinsip hukum profan tadi, kita juga sangat akrab dengan sacred konsep dalam aras agama. Di Islam ada dalil "Rahmatan Lil 'Alamin" sebagai sebuah rahmat bagi semesta alam yg mengayomi semua manusia tanpa sekat apapun. Di Hindu Bali ada bait sanskrit "Tri Hita Karana" sebuah filosofi harmoni alam, manusia dan tuhan yg konon disadur dari Bhagavad Gita yg sumber utamanya Weda.
Sudah begitu surplus dan meluap-luap dalam konsep melindungi dan memanfaatkan sumber daya alam dgn sebaik-baiknya, tapi Indonesia bukannya semakin hijau alamnya malah semakin kacau, bak bubur kacau hijau.
Ada yang salah? Tentu! Tapi di Indonesia, soal besarnya adalah Sumber Daya Alam bukan persoalan benar atau salah. Tapi ini soal menang dan kalah. Persis seperti pemilu pilpres dan legislatif. Karena biaya terbesar untuk menang dan kalah dalam kontestasi politik praktis itu memang bersumber dari sumber daya alam itu sendiri.
Pasangan capres no 01 dan 02 dikelilingi oleh taipan-taipan yg bergelimang uang dari tambang. Para jenderal purnawirawan berbagi konsesi wilayah tambang dan jasa keamanan sebagai tukang pukul pengusaha kelapa sawit dan industri hasil hutan. PLTU-PLTU raksasa dibangun gencar dan besar-besaran tanpa permisi dan komunikasi dengan rakyat sekitar.
Perizinan dalam sektor sumber daya alam adalah sorga bagi para koruptor pemerintah dan wakil rakyat di daerah. Berita-berita penggusuran rakyat miskin, pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan, korupsi berjamaah, sudah sangat biasa kita dengar. Seperti makan nasi. Dimakan jadi tai.
Di NKRI ini, konsep dan filosofi yang profan maupun sacred tentang menghargai sumber daya alam menjadi semacam stempel karcis bagi pertunjukan turis. Ia menjadi slogan kenangan di brosur-brosur pariwisata. Ia hanya tinggal jadi iklan. Ia berhenti pada soundbite. Tagline kampanye. Persis seperti gimmick propaganda politikus dan pemodal besar dari output temu-mewah rentenir di Bali itu: "Tri Hita Karana Sustainable Development" yang tak punya makna apa-apa.
Para elit menjejali rakyat dengan imajinasi dan fantasi Amerika. Sementara ada contoh baik dari negara tetangga yg lebih dekat tak dilirik karena bisa membahayakan zona nyaman elit-elit politik tukang palak.
Bhutan negara yg dipenuhi hutan. Ia adalah negara dengan negatif karbon.
Indonesia negara yg dipenuhi hutang. Ia adalah negara dengan positif kasbon.
Bhutan punya pemimpin yg bisa merawat hutan sehat yg diselimuti pemandangan hijau. Indonesia, pemimpinnya lihat hutan, matanya langsung hijau.
*dasar fasis hijau
Source:
Roberto HutabaratPotret Negara Terhijau Sedunia
Ahmad Masaul Khoiri
Thimphu - Segar banget bila traveler plesir ke negara ini. Sebab, 70 persen kawasannya adalah hutan dan negatif gas karbon. Negara apakah itu?
Foto: Inilah negara Bhutan. Negara kecil ini dapat mengajarkan kepada dunia bagaimana mengelola zat karbon (BBC Travel)
Sumber: Detik.Com
0 komentar:
Posting Komentar