Catatan: Eko Arifianto
Caption: Jaringan
Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK)
Semarang,
Memorandum - Kecewa atas penyampaian Ketua Pansus Revisi Raperda RTRW Jateng
Abdul Azis, pada Kamis (11/10) warga dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan
Kendeng (JM-PPK) membuat siaran pers pada Jum’at (12/10).
“Kami selaku warga merasa kecewa dan tidak puas atas apa yang disampaikan Ketua Pansus, di mana banyak hal yang terasa mencederai hati warga, terutama masih diakomodirnya pertambangan di wilayah Pegunungan Kendeng Utara dalam revisi RTRW Jateng. Padahal, selama ini konflik dan kerusakan lingkungan yang terjadi adalah karena diakomodirnya pertambangan wilayah Kendeng Utara dalam Perda RTRW Jateng,” kata Gunretno, Koordinator JM-PPK.
Dalam audiensi
yang dimulai sekitar pukul 14.00 WIB tersebut, warga menanyakan dan
menyampaikan banyak hal, yang pada intinya adalah keberlanjutan Pegunungan
Kendeng apakah akan terus dijadikan lokasi tambang atau tidak. Namun, dari
pernyataan Ketua Pansus, tambang di Pegunungan Kendeng Utara itu hanyalah
penyebutan lokasi-lokasi yang memiliki potensi tambang, namun tidak
menyampaikan luasannya berapa dan di desa-kecamatan mana saja.
“Iya, yang cukup memprihatinkan adalah saat Ketua Pansus juga menyatakan bahwa sebenarnya Cekungan Air Tanah itu boleh ditambang. Selain itu, Ketua Pansus justru mempersilakan agar Kepmen ESDM yang menciutkan kawasan lindung di Pati untuk digugat saja, karena hal itu bukan menjadi urusannya. Ketua Pansus juga menyatakan bahwa KLHS RTRW Jateng lah yang dijadikan pijakan, sementara KLHS Kendeng yang merupakan bikinan dari KLHK dan KSP atas intruksi Presiden yang berasal dari permintaan warga Kendeng sebagai wujud demokrasi lingkungan tidak digunakan,” ujar Gunretno.
Menurut LBH
Semarang, Raperda RTRW ini merupakan kemunduran bagi penataan ruang di Jawa
Tengah dan kemunduran bagi demokrasi. Selain kenyataan dalam audiensi, hal ini
bisa terlihat dalam perubahan tujuan penataan ruang Jateng yang sebelumnya
untuk kelestarian berubah menjadi daya saing. Tujuan daya saing ini lebih
akhirnya mengutamakan kawasan industri dan pertambangan dengan
mengalihfungsikan lahan-lahan pertanian produktif menjadi kawasan pertambangan
dan industri. Ada 259.762 ha lahan produktif dirubah menjadi kawasan tambang.
“Padahal Jawa Tengah sedang mengalami defisit air sebesar 2 milyar m3. Bahkan BPBD Jateng menyatakan pada tahun 2018 ini saja, telah dilakukan dropping air sebanyak 6.429 tangki untuk mengantisipasi kekeringan di 181 Kecamatan di Jawa Tengah. Penataan ruang yang seharusnya merehabilitasi kawasan-kawasan yang mengalami kekeringan akibat penambangan, justru dalam Raperda perubahan ini malah menambah kawasan tambang hampir 100 persen. Sehingga Raperda perubahan RTRW ini mengancam krisis air di Jawa Tengah,” terang Ivan Wagner selaku Pengabdi Bantuan Hukum .
Lanjutnya, pada
akhirnya nanti, revisi Perda RTRW hanya menjadi ajang pemutihan kawasan
penambangan yang dilakukan di atas kawasan lindung. Salah satunya ialah
penambangan PT. SI di Rembang yang dilakukan di atas Kawasan Lindung CAT
Watuputih. Kepres Nomor 26 Tahun 2011 tentang Penetapan Cekungan Air Tanah, PP
RTRW Nasional, Perda RTRW Jateng Tahun 2010 dan Perda RTRW Rembang Tahun 2011
sudah menetapkan kawasan CAT Watuputih sebagai kawasan yang berfungsi lindung.
Apalagi, diperkuat dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016 yang
membatalkan izin lingkungan PT. SI di Rembang dan menyatakan CAT Watuputih
sebagai kawasan lindung..
“Belum genap 100 hari kepemimpinan Ganjar Pranowo-Taj Yasin, melalui Raperda Revisi RTRW Jateng ini mereka justru telah ingkar dengan janji-janji kampanyenya yang akan mengutamakan rakyat kecil sebagai subjek pembangunan. Ternyata, implementasi kebijakannya lebih mengutamakan sektor industri dan pertambangan yang mengancam warga sendiri, lebih parah lagi kebijakan yang dirumuskan dalam revisi RTRW Jateng itu tidak melibatkan warga dalam perumusannya. Ketika warga berkeberatan, justru aspirasi warga tidak diakomodir. Tetap saja, kepentingan industri dan tambang yang diutamakan,” terang Ivan selaku Divisi Sumber Daya Alam LBH Semarang.
Dalam kajian
JM-PPK, Raperda RTRW ini juga seperti tengah melakukan pembangkangan terhadap
rekomendasi KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I dan II. Dalam rekomendasi KLHS
Tahap I ini merekomendasikan agar menjadikan Cekungan Air Tabah (CAT) Watuputih
sebagai Kawasan Lindung yang tidak boleh dilakukan penambangan. Sedangkan KLHS
II merekomendasikan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk merehabilitasi
kawasan-kawasan di pegunungan Kendeng yang rusak akibat penambangan. KLHS Tahap
II bahkan mendiktekan perubahan pasal yg ada dalam Perda Nomor 6 Tahun 2010,
tetapi dalam Raperda perubahan RTRW ini, rekomendasi KLHS tersebut tidak
dihiraukan.
“Hal ini merupakan langkah yang cukup berani namun tak ubahnya pembangkangan. Hal ini mengingat KLHS Tahap I dan II Pegunungan Kendeng adalah perintah langsung Presiden Joko Widodo kepada KSP (Kantor Staf Presiden) dan KLHK (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan) untuk melakukan Kajian Lingkungan Hidup Strategis Pegunungan Kendeng akibat penolakan warga pegunungan Kendeng terhadap kondisi konflik dan kerusakan lingkungan di wilayah tersebut,” jelas Ivan.
Baginya,
pengesahan Raperda RTRW ini terkesan buru-buru, karena Raperda RTRW yang ada
akan menjadi rujukan penyusunan RPJMD. Sedangkan RPJMD menjadi rujukan bagi
pemerintah Provinsi Jawa Tengah dalam menyusun APBD Jawa Tengah tahun 2019.
Kebijakan RTRW tidaklah suatu kebijakan yang sederhana, tetapi kebijakan yang
sangat penting bagi suatu wilayah karena ia akan menentukan struktur sosial,
ekonomi, budaya, ekologi dan politik bagi masyarakat.
“Pembahasan yang
sangat penting dan krusial ini justru dilakukan secara tergesa-gesa tanpa
melibatkan masyarakat Jawa Tengah dan bahkan dibicarakan oleh para ahli untuk
memberi masukan-masukan yang sangat penting bagi hajat hidup masyarakat Jawa
Tengah khususnya dan Kepulauan Jawa pada umumnya. Oleh karena itu, bagi seluruh
masyarakat Jawa Tengah harus terlibat secara langsung dalam mengawal proses
penyusunan Raperda RTRW ini sebagai langkah pencegahan.
“Jangan sampai kebijakan ini disahkan tanpa pengawalan yang ketat dari masyarakat Jawa Tengah, karena apabila tidak dikawal sejak awal, ke depannya nanti akan berdampak semakin besar dan luasnya konflik sosial, agraria, perburuhan dan lingkungan di Jawa Tengah,” tandasnya.
Terpisah, ketika
dihubungi Memorandum, Abdul Aziz selaku Ketua Pansus Revisi Raperda RTRW Jateng
menyampaikan, bahwa sebetulnya Pansus telah menjalankan rekomendasi KLHS Tahap
1 dan 2.
“Tidak begitu, Mas, justru Pansus telah dengan kongkrit memenuhi tuntutan dari rekomendasi KLHS Tahap 1 dan 2. Ini dibuktikan dengan munculnya pasal 61 huruf a, bahwa kawasan bentang alam karst (KBAK) Sukolilo seluas 7.180 ha (meliputi Kecamatan Sukolilo, Tambakromo dan Kayen) masuk sebagai kawasan lindung geologi yang tidak boleh atau haram hukumnya ditambang oleh siapapun,” kata Abdul Azis, Jum’at (12/10) siang.
Aziz menyampaikan
bahwa tidak hanya di Pegunungan Kendeng saja, bahkan se-Jawa Tengah luasan KBAK
nya sebesar 40.448 ha. Juga terkait Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih Rembang,
karena fungsinya sebagai kawasan imbuhan air, dalam Perda ini telah dimasukkan
sebagai kawasan lindung geologi yang keberadaannya harus bebas dari ekploitasi
tambang yang merusak fungsinya sebagai kawasan imbuhan air (Pasal 63 ayat 1
huruf q).
“Bahkan, di zona ini, kegiatan pertanian sekalipun jika berpotensi mengganggu fungsi imbuhan air harus dilarang,” tegas pria yang juga menjabat Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini.
“Tapi kalau KLHS 1 dan 2 dipahami harus menghilangkan semua wilayah tambang yang ada di Rembang dan Pati yang ada di Perda RTRW Provinsi itu saya kira nggak bisa, Mas. Kan tambang jenisnya macam-macam,” pungkasnya. (eko)
0 komentar:
Posting Komentar