Sabtu, 13 Oktober
2013
Siaran Pers No:
258/SK-P/YLBHI/X/2018
Empat Pelapor
Khusus PBB, yaitu Pelapor Khusus untuk Lingkungan yang Aman, Bersih, Sehat dan
Berkelanjutan; Pelapor Khusus untuk Kebebasan Berpendapat dan Berekspresi;
Pelapor Khusus untuk Pengelolaan Limbah dan Zat Berbahaya; dan Pelapor Khusus
untuk Pembela HAM menyurati Pemerintah Indonesia pada tanggal 6 April 2018.
Surat tersebut baru dibuka untuk publik akhir September ini disaat Sesi Sidang
Dewan HAM PBB di Jenewa.
Surat ini berisi
pertayaan para Pelapor Khusus mengenai kriminalisasi aktivis lingkungan Budi
Pego yang melawan pembangunan tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi; dan
juga Aziz, Rusmin dan Mujiono, petani Surokonto Wetan, Kendal, Jawa Tengah,
yang dikenai pasal pengrusakan hutan. Mereka menyampaikan kekhawatiran bahwa
“penghukuman terhadap para pembela hak atas lingkungan ini akan berefek
menakuti atau mencegah populasi terdampak lainnya untuk menjalankan atau
memajukan hak-hak mereka atas lingkungan di Indonesia, termasuk dalam konteks
persetujuan dan pelaksanaan proyek dan investasi skala besar.”
Dalam surat ini,
para Pelapor Khusus PBB juga menyampaikan 5 poin pertanyaan terhadap Pemerintah
Indonesia dan memberikan waktu untuk memberikan tanggapan dan klarifikasi dalam
60 hari. Sayangnya Pemerintah tidak memberikan respon hingga surat ini
dipublikasi.
YLBHI, LBH
Semarang, LBH Surabaya mengapresiasi keempat Pelapor Khusus PBB yang sudah
menaruh perhatian pada kedua kasus ini dan berupaya untuk berdialog dengan
Pemerintah Indonesia. Kami berpendapat bahwa surat ini menunjukkan bahwa
kriminalisasi atas pejuang hak atas lingkungan merupakan pelanggaran HAM
berlapis karena para aktivis ini telah dilanggar haknya atas lingkungan yang
sehat, bersih dan berkelanjutan akibat pendirian tambang, serta pengambilalihan
lahan secara sewenang-wenang oleh Negara, diperparah dengan kriminalisasi yang
mereka alami sebagai pembela HAM.
Kami menyayangkan
sikap Pemerintah Indonesia yang tidak merespon surat ini. Hal ini semakin
mengafirmasi sikap pemerintah yang mementingkan kepentingan pengusaha dan
pembangunan dengan mengacuhkan dan melanggar HAM. Pengacuhan surat ini berarti
Pemerintah tidak mau berdialog dengan mekanisme HAM PBB yang salah satu
tugasnya adalah memberikan saran dan bantuan teknis kepada Pemerintah dalam
menjalankan kewajiban internasionalnya terkait hak asasi manusia. Semakin
memprihatinkan mengingat bahwa tahun 2018 merupakan peringatan ke-20 tahun
diadopsinya Deklarasi Pembela HAM oleh PBB dimana Indonesia sebagai anggota
turut berkewajiban secara moral untuk menaatinya.
Deklarasi Pembela
HAM dalam Pasal 12 ayat 2 juncto ayat 1 memuat bahwa Negara harus mengambil
semua langkah yang diperlukan untuk memastikan perlindungan oleh otoritas yang
kompeten bagi semua orang dari setiap kekerasan, ancaman, pembalasan, de
facto atau de jure diskriminasi yang merugikan, tekanan atau
tindakan sewenang-wenang lainnya sebagai konsekuensi dari haknya yang sah yang
disebutkan dalam Deklarasi ini, yaitu hak untuk berpartisipasi dalam aktivitas
damai untuk menentang pelanggaran hak asasi dan kebebasan mendasar. Maka setiap
pejuang hak atas lingkungan wajib dilindungi dalam aktivitasnya sebagai pembela
HAM dari kekerasan, diskriminasi, dan kriminalisasi.
Untuk itu YLBHI,
LBH Semarang, dan LBH Surabaya kembali menuntut agar Pemerintah selaku pemegang
kewajiban utama dalam menghormati, memenuhi dan melindungi hak asasi manusia
dapat melakukan langkah-langkah yang diperlukan untuk membebaskan para pejuang
hak atas lingkungan yang dikriminalisasi khususnya Budi Pego, Aziz, Rusmin dan
Mujiono.
Jakarta, 13 Oktober
2018
Narahubung:
Jane
Aileen, YLBHI – 08170192405
Zainal Arifin, LBH
Semarang - 085727149369
Wachid Habibullah,
LBH Surabaya - 087853952524
0 komentar:
Posting Komentar