Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]
Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya
Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.
Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]
TEMPO.CO, Jakarta - Kondisi industri semen tanah air tengah
menghadapi tantangan. Pasalnya, pertumbuhan produksi semen tidak diimbangi oleh
kenaikan jumlah konsumsi dalam negeri maupun luar negeri. Ketua Umum Asosiasi
Semen Indonesia Widodo Santoso mengatakan terjadi kelebihan pasokan atau over supply
sebesar 30 juta ton pada tahun ini.
Hal tersebut membuat kompetisi industri menjadi sangat
tajam yang berimbas pada anjloknya harga semen. “Ini berat untuk para produsen
semen apalagi para investor baru yang modal pembangunannya
sebagian dari pinjaman bank,” ujar Widodo, Jumat 26 Oktober 2018.
Menurut Widodo, satu-satunya jalan untuk mengurangi
kerugian adalah dengan mengekspor sebagian hasil produksi. Namun, persaingan
semakin berat lantaran over supply yang cukup besar juga terjadi pada negara
tetangga, seperti Vietnam dan Thailand. Adapun target ekspor tahun ini sebesar
5 juta ton dinilai belum bisa membantu mengurangi over supply.
“Salah satu jalan untuk industri semen adalah stop
pembangunan pabrik baru semen sampai ada keseimbangan antara
kapasitas terpasang dan konsumsi semen dalam negeri,” kata Widodo.
Saat ini, kata dia, kapasitas produksi dalam negeri
mencapai 107 juta ton. Adapun konsumsi dalam negeri diperkirakan mencapai 69
juta ton dan luar negeri 5 juta ton per tahun. Widodo menuturkan apabila
pemerintah masih saja membuka izin baru, maka kinerja produsen semen akan
semakin terpuruk dan berimbas pada buruknya iklim investasi di Indonesia.
Sudah jelas oversupply yang sangat besar kok masih
dibuka terus izin investasi produk tersebut. Nanti bisa banyak yang
tutup pabrik semen dan impact lainnyanya pemecatan karyawan bisa,” kata
Widodo.
Adapun jumlah konsumsi semen dalam negeri mengalami
kenaikan sebesar 4 persen atau naik 2,5 juta ton. Angka tersebut dinilai cukup
baik untuk negara di Asia Tenggara dengan permintaan domestik yang naik pada
kisaran 2-6 persen. Kenaikan konsumsi ditopang oleh pembangunan
infrastruktur yang cukup baik. Namun, kata dia, kebutuhannya untuk
infrastruktur hanya sekitar 25 sampai 30 persen saja dari komsumsi nasional.
Salah satu perusahaan semen, PT Holcim Indonesia Tbk,
menargetkan menargetkan pertumbuhan penjualan di atas 6 persen hingga akhir
tahun ini. Presiden Direktur Holcim Gary Schutz menuturkan tengah
menjalankan program efisiensi dengan mengoptimalkan saluran distribusi,
produksi dan pemanfaatan bahan bakar alternatif. Hal tersebut tercermin dari
peningkatan Earning Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization
(EBITDA) tahun ini.
“Holcim sangat menghargai rencana-rencana Pemerintah.
Kami juga berharap pemerintah dapat membantu dalam bentuk kebijakan atau
memberikan stimulan untuk penyerapan hasil produksi semen dengan lebih baik,”
ujar Gary.
Pemerintah mendorong industri semen tanah air untuk
melakukan efisiensi pabrik melalui operasionalisasi kapasitas produksi terhadap
permintaan yang terukur untuk mengatasi kelebihan pasokan produksi tahun ini.
Pasalnya, pemerintah tidak bisa memenuhi permintaan industri eksisting untuk
menghentikan perizinan pembuatan pabrik semen baru di dalam negeri.
“Pemerintah ditengah gencar-gencarnya menarik investasi
baru akan kontraproduktif bila mengambil kebijakan moratorium untuk investasi
pabrik semen baru,” ujar Direktur Industri Bahan Galian Non Logam (IBGNL)
Kementerian Perindustrian Adi Rochmanto Pandiangan kepada Tempo,
kemarin.
Adi menuturkan kelebihan pasokan atau over supply yang
terjadi saat ini merupakan akibat tren permintaan semen yang
meningkat pada 5-6 tahun lalu. Pada saat itu pertumbuhan sektor properti maupun
konstruksi sangat menjanjikan. Menurut Adi, ekspansi atau peningkatan kapasitas
produksi dalam dunia bisnis adalah hal yang wajar. Apalagi, hal tersebut
sejalan dengan langkah perbaikan ekonomi Indonesia.
Pemerintah berharap peningkatan utilitas melalui
permintaan pasar dari berbagai proyek infrastruktur, serta properti pemerintah
dan swasta bisa mendorong ekspansi pasar ekspor. Untuk menunjang pertumbuhan
indutri, Adi menuturkan kementerian perindustrian akan melakukan insiatif untuk
memfasilitasi kepastian harga maupun pasokan batubara.
“Hal tersebut memakan 30 persen dari biaya produksi,”
ujar Adi.
Ribuan warga Kebumen penolak pabrik semen berdemonstrasi menolak pabrik semen dan penambangan pegunungan karst. (Foto: Liputan6.com/Perpag Kebumen/Muhamad Ridlo)
Kebumen - Matahari mulai meninggi ketika puluhan truk pengangkut demonstran penolak pabrik semen mulai menurunkan ribuan penumpangnya di area alun-alun Kebumen, Jawa Tengah.
Mereka adalah warga desa-desa yang diperkirakan langsung terdampak jika pabrik semen Gombong benar-benar mengekploitasi pegunungan karst Gombong selatan. Kamis, 25 Oktober 2018, sebanyak 1.500-an demonstran memadati jalan menuju kantor DPRD Kebumen.
Puluhan spanduk, banner dan poster sederhana yang terbuat dari kertas karton rata-rata berisi penolakan rencana pendirian pabrik semen yang dinilai mengancam Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong Selatan.
Layaknya petani, sebagian demonstran menggunakan caping. Caping adalah simbol kehidupan mereka. Dengan caping, mereka hendak menyampaikan bahwa ribuan warga Kebumen bakal terancam jika pegunungan karst itu dieksploitasi pabrik semen.
Ribuan warga ini mendampingi pertemuan atau audiensi antara Persatuan Rakyat Penyelamat Pegunungan Karst Gombong Selatan (Perpag) dengan Pemkab Kebumen, DPRD Kebumen, dan perwakilan PT Semen Gombong.
Mereka terutama berasal dari enam desa wilayah yang kemungkinan paling terdampak pabrik semen. Di antaranya, Desa Muktisari, Nogoraji, Banyumudal, Regadana, Karangsari, Sikayu dan Desa Buayan.
"Warga ini dari ring satu di sekitar pabrik semen dan pegunungan karst. Pabrik semen itu nanti berdiri di tengah desa,” kata Lapiyo, Wakil Ketua Persatuan Rakyat Penyelamat Pegunungan Karst Gombong Selatan (Perpag), Kamis (25/10/2018).
Warga menganggap, Pemkab Kebumen tak responsif terhadap suara warga yang menolak rencana pembangunan semen. Pemkab juga dianggap tutup mata terhadap riwayat Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Pabrik Semen Gombong yang ditolak Komisi Amdal, 2016 lalu.
Yang aneh, menurut Lapiyo, usai Amdal ditolak, pada 2017 lalu justru muncul Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Semen Gombong. Bahkan, ada rencana mengubah rencana tata ruang wilayah RTRW dari yang semula
"Saya melihat, Pemkab Kebumen setengah-setengah ini. Tidak legowo," ungkap Lapiyo.
Ribuan warga ini pun tetap bertahan saat perwakilan warga beraudiensi di dalam gedung DPRD Kebumen. Mereka tetap mengawal tim perwakilan kendati audiensi berjalan alot dan baru berakhir Kamis petang, sekitar pukul 17.00 WIB.
Warga menuntut agar pemerintah mencabut IUP batu gamping PT Semen Gombong lantaran dinilai bakal menjadi jalan proses pendirian pabrik semen Gombong. Munculnya IUP batu gamping telah meresahkan warga.
Perpag juga meminta Pemerintah Kebumen mengevaluasi keutuhan kawasan karst lindung Gombong Selatan, serta mengembalikan luasan kawasan karst lindung yang hilang.
Selain itu, warga menolak rencana revisi Peraturan Daerah (Perda) yang akan menetapkan pegunungan karst Gombong Selatan sebagai kawasan pertambangan.
Lapiyo mengemukakan, semula luas KBAK adalah 48,94 kilometer persegi, namun belakangan melalui Permen Nomor 17 dan Kepmen ESDM Nomor 3043, luasannya berkurang hanya menjadi 40,94 kilometer persegi.
Itu berarti, KBAK akan berkurang 8 kilometer persegi. Anehnya, ujar Lapiyo, wilayah yang dihilangkan itu adalah kawasan yang berada dalam IUP eksplorasi batu gamping.
"Jadi ini sudah seperti direncanakan," dia mengungkapkan.
Janji Pemkab Kebumen
Mediasi antara Perpag atau warga penolak pabrik semen Gombong dengan Pemkab dan PT Semen Gombong di DPRD Kebumen. (Foto: Liputan6.com/Perpag Kebumen/Muhamad Ridlo)
Lapiyo menerangkan, penolakan warga terhadap perubahan RT RW itu pun bukan tanpa alasan. Perubahan status KBAK menjadi kawasan pertambangan bisa dipastikan bakal membuka kesempatan pabrik semen untuk mengeksplorasi pegunungan karst ini.
Dampaknya, di dalam perut pegunungan karst itu banyak gua dan sungai bawah tanah yang mengairi ribuan hektar sawah dan ari bersihnya digunakan oleh puluhan ribu orang. Mata air dipastikan mati jika gunung kapur ini dieksploitasi.
"Kami pernah mengalirkan air yang diberi warna. Keluarnya di kawasan IUP itu," dia menambahkan.
Padahal, ribuan warga menggantungkan hidupnya dari pegunungan yang berfungsi sebagai spon raksasa yang menyimpan dan mengirimkan air ke puluhan desa di 10 kecamatan wilayah Kebumen kala musim kemarau. Di antaranya, Kuwarasan, Puring, Petanahan, Adimluyo, Gombong, dan ima kecamatan lainnya.
Bahkan, Pemda Kebumen pun sebenarnya memiliki kepentingan di pegunungan karst ini. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) memanfaatkan sumber air dari pegunungan kapur di selatan Kebumen ini.
"Masa Pemda sendiri tidak tahu? Mereka kan juga punya PDAM di situ," dia menjelaskan.
Lapiyo mengemukakan, pertemuan yang digelar itu belum menghasilkan kata sepakat. Hanya saja, secara prinsip warga dan Pemkab, PT Semen Gombong dan DPRD Kebumen bersepakat untuk mengkaji ulang hal-hal yang meresahkan dan ditolak warga.
Pekan depan rencananya warga akan kembali bertemu dengan Pemkab, DPRD Kebumen, dan PT Semen Gombong. Bedanya, pertemuan nanti akan difasilitasi oleh Pemkab Kebumen.
Pertemuan itu diharapkan juga dihadiri langsung oleh Plt Bupati Kebumen, berbeda dari pertemuan di DPRD yang hanya diwakilkan. Dalam pertemuan itu, rencananya Perpag bakal menyodorkan bukti bahwa Pegunungan Karst Gombong Selatan tak layak ditambang.
Kebumen, Dalam aksi PERPAG pada Kamis 25 oktober 2018,
warga belum mendapatkan titik terang yang cukup berarti bagi keselamatan dan
kelestarian Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong Selatan.
Ketidak-jelasan pemerintah daerah dalam menyelesaikan
permasalahan luasan KBAK yang telah hilang untuk area pertambangan semen
berdampak pada tata ruang wilayah yang akan di revisi pada tahun 2019, dimana
sebagian kawasan lindung KBAK tersebut akan diperuntukkan sebagai kawasan
tambang. Rekayasa Pengrusakan Alam tersistematis ini telah berlangsung sejak
2012 lalu, di tahun itu pula direktur PT Semen Gombong mengatakan telah
mengantongi IUP tepat pada tahun terbitnya Peraturan Mentri ESDM No. 17, dimana
hasil peraturan mentri tersebut membuahkan dicabutnya 3 Keputusan Mentri ESDM
tentang perlindungan kawasan karst di Gunung Sewu, Sukolilo, dan Gombong.
Seiring dengan terbitnya Permen tersebut pemda Bupati
Kebumen pada tahun 2013 mengajukan pengusulan perubahan Kawasan Karst Lindung
(KBAK) Gombong pun akhirnya hilang seluas 8,05Km2 melalui Kepmen ESDM No. 3873
Tahun 2014, yang pada sejatinya kawasan tersebut adalah sumber mata air yang
telah menghidupi warga di kacamatan Buayan, Ayah, dan Rowokele, dimana
mayoritas kawasan yang telah hilang tersebut adalah area yang telah diambil
alih oleh PT Semen Gombong dari warga setempat dengan ala orde baru sejak tahun
1994.
Kini warga tengah resah akan ancaman bencana banjir dan
kekeringan setelah adanya perpanjangan IUP Eksplorasi, di mana IUP yang
sebelumnya hangus setelah proses AMDAL Pt Semen Gombong ditahun 2016 dinyatakan
gagal dikarenakan ketidak lengkapan data ilmiah tentang peta hidrologi yang
mendukung layaknya operasi penambangan Pt Semen Gombong serta adanya penolakan
dari warga PERPAG pada sidang AMDAL.
Baru baru ini warga PERPAG bersama tim peneliti
karstologi berhasil menemukan fakta terbaru, bahwa ternyata aliran
sungai-sungai bawah tanah di pegunungan karst Gombong terbukti melintasi area
IUP yang akan direncanakan oleh Pt Semen Gombong untuk operasi penambangan,
bahkan sungai-sungai itu pula melintasi di bawah pemukiman penduduk. Tidak
seperti yang pernah diisukan sebelumnya oleh beberapa oknum yang pro
pertambangan bahwa aliran sungai di kawasan karst berputar diluar melingkari
area IUP Pt Semen Gombong ternyata adalah upaya manipulasi fakta. Namun dari
pengusuan pemda yang cacat hukum di tahun 2013 tersebut.
Pada aksi 25 Oktober tersebut selain warga menuntut agar
dicabutnya perpanjangan IUP Pt Semen Gombong serta menolak rencana revisi Perda
RTRW yang akan menjadikan 8,05Km2 untuk wilayah pertambangan, warga pula
menuntut kepada Bupati Kebumen untuk diusulkan kembali kepada Kementrian ESDM
sebagai kawasan lindung ekosistem karst, namun hingga kini tidak ada upaya sedikitpun
dari Pemeritah Kabupaten Kebumen untuk mengembalikan kembali kawasan lindung
KBAK yang telah hilang tersebut, bahkan terkesan melindungi kepentingan
korporasi yang akan merusak kelestarian KBAK Gombong.
Setelah proses mediasi yang sengit dan alot hingga jam 4 Sore, aksi 25 Oktober
tersebut dihasilkan suatu kesepakatan yakni:
Pemda akan melakukan pembentukan tim untuk penyelidikan
Kawasan Karst sesuai perundang-undangan yang berlaku guna pengusulan kembali
KBAK Gombong selambat-lambatnya 8 November 2018.
DPRD akan memastikan dinas Pemda Kab. Kebumen sebagai
mana point 1 (satu) di atas dan membantu berkomunikasi dengan Bupati dalam
memastikan peninjauan kembali KBAK.
Pada dasarnya hasil capaian warga pada aksi 25 Oktober
2018 lalu akan sia sia karena sangat rawannya penyelewengan dari kesepakatan
diatas, Sudah menjadi tugas kita semua sebagai manusia yang masih ingin tetap
melestarikan bumi tempat bermain, dan berlindung anak-cucu ini sirna secara
turun-temurun hingga tidak ada lagi peradaban manusia di atas bumi kita
tercinta ini, untuk tetap mengawal dan mengawasinya.
Gombong, 26 Oktober 2018
Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG)
KORANBERNAS.ID—Ratusan warga dari beberapa desa di
Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen, Kamis (25/10/2018) mendatangi kantor DPRD
Kabupaten Kebumen.
Warga yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Penyelamat
Karst (Perpak) menyatakan menolak penambangan kawasan karst di daerahnya.
Penolakan itu, lantaran mereka khawatir dampak dari
penambangan bisa merusak sumber air yang berada di kawasan itu.
Sebelum diterima di Ruang Rapat Paripurna DPRD Kebumen,
mereka menggelar unjuk rasa di Jalan Pahlawan atau ruas jalan di depan Kantor
DPRD Kabupaten Kebumen.
Pesan yang mereka sampaikan, dengan orasi, poster dan
spanduk, masih soal penolakan rencana penambangan oleh PT Semen Gombong,
investor Pabrik Semen Gombong dan akibat penambangan di kawasan karst.
Di hadapan Ketua DPRD Kebumen H Cipto Waluyo dan Anggota
Komisi B DPRD Kebumen, Ketua Perpak, Lamiyo mengatakan, warga di Desa Sikayu
dan Nogoraji Kecamatan Buayan, tidak anti dengan investasi.
Namun, setiap investasi harus memperhatikan kelestarian
lingkungan.
Kawasan karst terdapat sumber air mencukupi kebutuhan
penduduk. Sumber air tersebut, selama ini dipakai untuk mencukupi sektor
pertanian, air minum, serta keperluan lainnya.
Sumber air dengan debit air melimpah di musim penghujan
dan di musim kemarau air masih cukup. Maka warga merasa sangat beralasan untuk
merasa khawatir apabila sumber air ini sampai rusak akibat penambangan.
Kepala Badan Penelitian dan Perencanaan Pembangunan
Daerah Kebumen Djunaedi Faturahman menyatakan mendukung warga. Jika warga
menolak investasi dengan alasan pelestarian lingkungan atau pembangunan
berkelanjutan.
Berdasarkan Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal)
untuk pembangunan Pabrik Semen Gombong, ada bagian kesimpulan Amdal yang
menyebutkan, kawasan itu tidak layak lingkungan untuk penambangan bahan baku
pabrik semen.
Karena itu, tidak ada alasan, di daerah yang disebutkan
dalam Amdal digunakan untuk area penambangan bahan baku pabrik semen.
“Tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba tiba ada berita.
Ada IUP baru untuk pabrik Semen Gombong. Kami hanya menanam singkong,” kata
Direktur PT Semen Gombong M Sunaryadi, di hadapan warga.
Manajemen PT Semen Gombong sangat senang bisa bertemu
dengan warga yang difasilitasi DPRD Kabupaten Kebumen.
Hingga sekarang tidak ada Izin Usaha Pertambangan (IUP)
baru untuk PT Semen Gombong. PT Semen Gombong pernah memiliki IUP untuk
penambangan lempung dan gamping. Namun IUP lempung sudah kadaluwarsa. Sedangkan
IUP gamping masih berlaku sampai 2019.
Pengajuan IUP baru, melalui mekanisme baku, diantaranya
konsultasi publik. Karena hal ini tidak pernah terjadi, tidak ada IUP baru. PT
Semen Gombong baru mengajukan permohonan izin eksplorasi/penelitian.
Warga tetap menolak rencana penambangan, meskipun M
Sunaryadi menunjukan kondisi lingkungan, di kawasan penambangan PT Semen
Indonesia, sebelum dan setelah penambangan berakhir.
Dalam foto dan video yang ditunjukkan kepada warga,
lokasi penambangan sebelumnya kawasan karst tandus, setelah tidak ditambang
direhabilitasi menjadi kawasan hijau, penampungan air dan perikanan, sehingga
menjadi kawasan produktif.
Konsep pengelolaan semacam itu direncansakan PT Semen
Gombong.
“Ora yo ora,” ujar seorang ibu yang duduk di
sebelah koranbernas.id.
Cipto Waluyo berharap, agar semua pihak, khususnya PT
Semen Gombong dan pemerintah, terbuka dengan informasi rencana investasi PT
Semen Gombong.
Keterbukaan informasi diperlukan, agar tidak menimbulkan
kerasahan di kalangan warga yang kemungkinan terdampak.(SM)
KEBUMEN KRJOGJA.com - Rencana PT Semen Gombong untuk
merealisasikan pendirian pabrik semen di Desa Nogoraji Kecamatan Buayan Kebumen
dengan cara melanjutkan proses Amdal (analisa mengenai dampak lingkungan)
pabrik semen tersebut, diprotes warga 4 desa Kecamatan Buayan (Nogoraji,
Sikayu, Banyumudal dan Karangsari) yang tergabung dalam PERPAG (Persatuan
Rakyat Penyelamat Kawasan Karst Gombong Selatan).
Sebagai bentuk protes, ratusan warga 4 desa tersebut
Kamis (25/10/2018), berdemo di depan DPRD Kebumen. Mereka menuntut
dibatalkannya pendirian pabrik semen di KBAK (kawasan bentang alam karst)
Gombong Selatan guna menyelamatkan KBAK dari kerusakan lingkungan.
40 warga peserta demo dipimpin Koordinator PERPAG,
Lapiyo, kemudian beraudiensi dengan Pimpinan DPRD Kebumen dan Pemerintah
Kabupaten (Pemkab) Kebumen yang diwakili oleh Kepala Dinas PMPPSP
(Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Satu Pintu) dan Kepala Dinas Perkimlh
(Perumahan Kawasan Pemukiman dan LingkunganHidup) Kebumen, di Ruang Rapat DPRD
Kebumen.
"Kami memprotes dilanjutkannya proses pendirian
pabrik semen di KBAK Gombong Selatan. Selain berdampak merusak
lingkungan, pendirian pabrik juga merampas hak warga untuk mengandalkan
hidup sebagai petani di kawasan itu," ujar Lapiyo dalam audiensi di
DPRD Kebumen. (Dwi)
Kamis, 25 Oktober 2018 15:06:00 WIB | oleh : lukman-hakim
Direktur PT Semen Gombong Muhammad Adi Sunaryadi (kiri)
Kebumen--Direktur PT Semen Gombong Muhammad Adi Sunaryadi
menegaskan selama ini tidak pernah melakukan penambangan. Ia pun mengaku heran
masyarakat yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong
(Perpag) mengira adanya perpanjangan izin IUP yang diajukan oleh pihak PT.
"AMDAL saja tidak diloloskan secara otomatis tidak
bisa melakukan penambangan," ungkapnya saat audiensi dengan Perpag yang
difasilitasi DPRD Kebumen, Kamis (25/10/2018).
Dijelaskannya, pihaknya selama ini hanya melakukan usaha
bercocok tanam di daerah Desa Nogoraji Kecamatan Buayan. Adapun izin usaha
pertambangan yang dimilikinya ada dua yakni tambang lempung dan gamping. IUP
lempung telah habis sedangkan IUP gamping masih ada hingga tahun 2019.
"Kami tidak pernah melakukan perpanjangan IUP PT
Semen Gombong," tegasnya.
Kepala Badan Penelitian, Perencanaan dan Pengembangan
Daerah (BP3D) Kebumen Djoenaidi Fatchurohman mengungkapkan, Pemkab selama ini
dalam menentukan kebijakan selalu memperhatikan kepentingan masyarakat. AMDAL
yang tidak disetujui pemerintah menjadi tanda bahwa penambangan oleh PT Semen
Gombong tidak dapat dilakukan.
Seperti diberitakan sebelumnya, ratusan masyarakat yang
tergabung dalam Perpag mendatangi gedung DPRD Kebumen untuk menolak izin
perpanjangan izin tambang PT Semen Gombong.
Masyarakat datang dengan membawa berbagai atribut seperti
spanduk, poster dan bendera. DPRD Kebumen menerima perwakilan untuk mediasi
dengan PT Semen Gombong di ruang paripurna.
PROFIL KBAK: Profil Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong selatan yang tengah menghadapi ancaman kerusakan ekologi jika dijadikan areal tambang industri semen. Warga menolak dengan membangun organisasi Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag). Foto: [Dok.Perpag]
Pertemuan informal warga Persatuan Rakyat Penyelamat
Karst Gombong selatan (Perpag) digelar berbarengan di beberapa dukuh (21/10)
malam itu. Bukan hanya di Desa Sikayu, pertemuan informal persiapan dan
sosialisasi aksi massa Perpag juga digelar di desa lainnya; Nagaraji,
Banyumudal, Redisari, Ragadadi (Meto) dan sekitarnya. Desa Sikayu sendiri terdiri dari 6
pedukuhan: Semende, Kewunen, Kopek, Jeblosan, Karangkamal dan Karangreja;
masing-masing menggelar pertemuan di tempat berbeda.
Sekitar 100 warga pedukuhan Kewunen juga menggelar rapat
informal membahas persiapan aksi penolakan perpanjangan IUP (Ijin Usaha
Pertambangan) di rumah keluarga Riso; salah satu warga dukuh Kewunen. Kadus Tukul
Waluyo nampak hadir di tengah warga. Beberapa ibu-ibu dan perwakilan organisasi
perempuan Muslimat dan Fatayat NU juga hadir meski di teras rumah seberangnya.
Sebagaimana diketahui warga Perpag, IUP pt Semen Gombong
telah mendapat persetujuan perpanjangan sejak September 2018 lalu, seiring
dengan momentum revisi Perda RTRW Jawa Tengah 2009-2029; dan dinilai memberi
peluang luas bagi daerah yang diproyeksikan sebagai “lumbung tambang”. Dalam kaitan
mana, Perpag sangat menentangnya.
Perpag Meluruskan
Kampanye Hitam
RAPAT WARGA: Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag)
menggelar rapat warga dusun (21/10) hingga tingkat kampung dan lintas desa-desa
yang berada di kawasan karst Gombong selatan [Foto: Dok.Perpag]
Tak semua pengurus inti organisasi Perpag hadir di
perteman ini, karena masing-masing bertugas di pedukuhan yang berbeda. Wakil
Ketua Perpag Lapiyo yang hadir di pertemuan dusun Kewunen berkali mengingatkan
sehubungan dengan gencarnya issue yang mendeskreditkan dirinya maupun
organisasi Perpag.
“Saya tegaskan disini, bahwa yang kami perjuangkan itu
bukan soal kembalinya tanah yang telah dibeli pihak investor (pt Semen Gombong_Red)”, tegas
Lapiyo.Dia menambahkan soal
pengembalian yang dimaksud adalah pengembalian kawasan bentang alam karst
(KBAK) yang sejak awalnya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung atau eco-karst.
Siapa pun harus mengerti bahwa di kawasan lindung ini tak
boleh ada kegiatan yang berpotensi merusak ekologi.
“Dan juga tak bisa direkayasa (dimanipulasi_Red) untuk kepentingan industri tambang”, tambahnya. Dia
mensinyalir munculnya issue pengembalian tanah yang menyebar di masyarakat,
sebagai upaya membuat bias persoalan dan berpotensi memecah-belah masyarakat.
Bertemu Investor
dan Bappeda
WATER-TRACING: Para pemuda Perpag membantu penelitian ilmiah yang dilakukan kalangan akademik melakukan penelusuran gua (Caving)
dan uji aliran sungai bawah tanah di Gua Pucung (23/09) dengan metode “water-tracing”
untuk memastikan posisi sumber-sumber air dan aliran sungai bawah tanah yang menghidupi penduduk di kawasan
karst Gombong selatan [Foto: Riyan/Dok.Perpag]
Paska dibatalkannya analisis dampak lingkungan (Amdal) pt
Semen Gombong dalam uji Amdal dua tahun lalu, yang juga didemo oleh massa
Perpag di Semarang; masyarakat di sekitar kawasan karst Gombong selatan kembali
dengan tenang. Namun ketenangan ini tak berlangsung lama, ketika diketahui
bahwa Ijin Usaha Pertambangan (IUP) pt Semen Gombong ternyata telah
diperpanjang sejak dua bulan lalu.
“Belajar dari pengalaman yang terjadi di Kendeng utara,
kita tak mau mengalami kejadian dimana tahu-tahu industri semen telah diijinkan
operasionalnya”, papar Nanang Tri di rapat teknis warga yang digelar (22/10) di
Desa Sikayu.
Keresahan warga di sekitar kawasan karst Gombong selatan
malam itu dibahas panjang lebar. Intinya mempertanyakan seputar perpanjangan
IUP yang diberikan itu maksudnya bagaimana. Padahal semua telah mengetahui
bahwa masyarakat menolak operasionalisasi tambang di kawasan karst yang
berkaitan langsung dengan kepentingan dan hajat hidup orang banyak.
“Dan pembatalan Amdal itu telah final membuktikan bahwa
di wilayah ini tidak layak untuk industri semen”, pungkas Nanang. []
Indonesia punya stok jutaan ton konsep dan filosofi untuk menghargai alam raya. Konstitusi negara ini menjamin bahwa "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat."
Selain prinsip hukum profan tadi, kita juga sangat akrab dengan sacred konsep dalam aras agama. Di Islam ada dalil "Rahmatan Lil 'Alamin" sebagai sebuah rahmat bagi semesta alam yg mengayomi semua manusia tanpa sekat apapun. Di Hindu Bali ada bait sanskrit "Tri Hita Karana" sebuah filosofi harmoni alam, manusia dan tuhan yg konon disadur dari Bhagavad Gita yg sumber utamanya Weda.
Sudah begitu surplus dan meluap-luap dalam konsep melindungi dan memanfaatkan sumber daya alam dgn sebaik-baiknya, tapi Indonesia bukannya semakin hijau alamnya malah semakin kacau, bak bubur kacau hijau.
Ada yang salah? Tentu! Tapi di Indonesia, soal besarnya adalah Sumber Daya Alam bukan persoalan benar atau salah. Tapi ini soal menang dan kalah. Persis seperti pemilu pilpres dan legislatif. Karena biaya terbesar untuk menang dan kalah dalam kontestasi politik praktis itu memang bersumber dari sumber daya alam itu sendiri.
Pasangan capres no 01 dan 02 dikelilingi oleh taipan-taipan yg bergelimang uang dari tambang. Para jenderal purnawirawan berbagi konsesi wilayah tambang dan jasa keamanan sebagai tukang pukul pengusaha kelapa sawit dan industri hasil hutan. PLTU-PLTU raksasa dibangun gencar dan besar-besaran tanpa permisi dan komunikasi dengan rakyat sekitar.
Perizinan dalam sektor sumber daya alam adalah sorga bagi para koruptor pemerintah dan wakil rakyat di daerah. Berita-berita penggusuran rakyat miskin, pelanggaran HAM, pencemaran lingkungan, korupsi berjamaah, sudah sangat biasa kita dengar. Seperti makan nasi. Dimakan jadi tai.
Di NKRI ini, konsep dan filosofi yang profan maupun sacred tentang menghargai sumber daya alam menjadi semacam stempel karcis bagi pertunjukan turis. Ia menjadi slogan kenangan di brosur-brosur pariwisata. Ia hanya tinggal jadi iklan. Ia berhenti pada soundbite. Tagline kampanye. Persis seperti gimmick propaganda politikus dan pemodal besar dari output temu-mewah rentenir di Bali itu: "Tri Hita Karana Sustainable Development" yang tak punya makna apa-apa.
Para elit menjejali rakyat dengan imajinasi dan fantasi Amerika. Sementara ada contoh baik dari negara tetangga yg lebih dekat tak dilirik karena bisa membahayakan zona nyaman elit-elit politik tukang palak.
Bhutan negara yg dipenuhi hutan. Ia adalah negara dengan negatif karbon.
Indonesia negara yg dipenuhi hutang. Ia adalah negara dengan positif kasbon.
Bhutan punya pemimpin yg bisa merawat hutan sehat yg diselimuti pemandangan hijau. Indonesia, pemimpinnya lihat hutan, matanya langsung hijau.
“MANUSIA bisa hidup tanpa emas, tapi tak bisa hidup tanpa air”, demikian bunyi protes aktivis lingkungan di Banyuwangi atas eksploitasi hutan Gunung Tumpang Pitu oleh PT. BSI milik pengusaha Sandiaga Uno. Gunung yang diturunkan statusnya dari hutan lindung menjadi hutan produksi oleh bupati Banyuwangi Azwar Anas pada tahun 2013 tersebut, kini terancam kerusakan total bahkan musnah oleh aktivitas pertambangan emas di sana.
Apa yang terjadi pada Gunung Tumpang Pitu merupakan salah satu gambaran kecil saja dari besarnya perusakan lingkungan di Indonesia oleh korporasi, baik di sektor perkebunan maupun tambang. Sehingga mudah ditebak, wilayah dimana ada sumber daya mineral bisa dipastikan sudah diduduki korporasi. Eksploitasi SDA oleh perusahaan-perusahaan tambang tidak hanya mengakibatkan kerusakan lingkungan, tapi juga sangat merugikan negara dan sebagian besar rakyat yang hanya mendapatkan dampak kerusakan yang ditimbulkannya. Di Samarinda, Kalimantan Timur, contohnya, tambang batubara tidak hanya merusak lingkungan tapi juga membunuh puluhan anak-anak kecil yang tenggelam di bekas galian tambang yang dibiarkan menganga.
Jika ditinjau dari sejarah tahapan kapitalisme, meluasnya perusakan lingkungan dan meningkatnya konsentrasi kepemilikan penguasaan sumber daya pada korporasi-korporasi besar, merupakan bagian dari proses globalisasi dengan liberalisasi ekonomi sebagai ciri utamanya. Mengenai hal ini, apa yang dikatakan Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, pada akhirnya terbukti benar bahwa “kebutuhan akan pasar yang senantiasa meluas untuk barang-barang hasilnya menghalau borjuasi ke seluruh muka bumi. Ia harus bersarang di mana-mana, berusaha di mana-mana, mengadakan hubungan di mana-mana”.
Kedaulatan negara, sebagaimana seringkali dibicarakan, di hadapan institusi ekonomi global seperti WTO, World bank dan IMF menjadi semu dan tak berarti apa-apa. Karena ketiga lembaga dunia tersebut, di balik jargon kebebasan yang dipromosikannya, sebenarnya hendak mengatakan bebas untuk menjarah di seluruh belahan dunia. Mengenai hal ini, Marx dan Engels dalam Manifesto Komunis, lagi-lagi mengatakan, “di dalam hubungan-hubungan borjuis sekarang ini yang dimaksud dengan kemerdekaan ialah perdagangan bebas, pembelian dan penjualan bebas”. Dengan ini, demokrasi yang mula-mula dipahami sebagai: “dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat”, kini telah bergeser menjadi: “dari korporasi, oleh korporasi, untuk korporasi”. Tepat disinilah, peran seorang pemimpin negara Dunia Ketiga seperti Indonesia, sebenarnya tak lebih hanya sebagai salesman yang menjajakan potensi SDA yang melimpah sebagai bahan mentah industri dan tenaga kerja murah pada korporasi. Noorena Hertz dalam bukunya, The Silence Take-over: Global Capitalism and The Death of Democracy,[1] menunjukkan bahwa saat ini semua pelayanan publik yang seharusnya menjadi tugas negara telah terkooptasi oleh korporasi. Jadi, bisa dikatakan, pada hakikatnya negara telah sirna ditelan korporasi.
Ironis sekali, negeri yang seringkali dengan bangga disebut sebagai “Tanah Air” ini, ternyata sekitar 175 juta hektar teritorialnya (tanah dan laut) dalam bentuk HPH hutan, HGU perkebunan, dan KK pertambangan dan migas. Kalau ditotal, sekitar 175 juta hektar atau sekitar 93 persen luas daratan Indonesia telah dikuasai oleh korporasi. Sebanyak 85 persen kekayaan migas, 75 persen kekayaan batubara, dan 50 persen lebih kekayaan perkebunan dan hutan tak ada satu jengkal pun yang dikuasai republik ini. Sementara air tawarnya dikuasai sekitar 246 perusahaan air minum dalam kemasan (AMDK), yang 65 persen dipasok oleh perusahaan semacam Aqua Danone dan Ades Coca Cola. Dengan kondisi ini tidak menutup kemungkinan di masa yang akan datang, Indonesia akan mengalami krisis air. Bukan tidak mungkin, kelak air akan jauh lebih berharga ketimbang emas.
Sejak dibukanya kontrak karya pada tahun 1967, negeri ini telah menjadi surga bagi korporasi tambang dengan makin lebarnya jalan yang diberikan pemerintah melalui kebijakan pintu terbukanya. Seolah-olah mereka disambut dengan spanduk besar: “Welcome to heaven…”.
Berdasar laporan yang pernah dilansir Salamudin Daeng dari Institute for Global Justice (IGJ), di masa Raffles (1811) pemilik modal swasta hanya boleh menguasai lahan maksimal 45 tahun; di masa Hindia Belanda (1870) hanya boleh menguasai lahan maksimal selama 75 tahun; dan anehnya di masa Susilo Bambang Yudhoyono (UU 25/2007), pemilik modal justru diperbolehkan menguasai lahan selama 95 tahun. Sementara perusakan dan perampokan hutan di Indonesia diperkirakan telah mencapai 2 juta hingga 2,4 juta hektar pertahun, yang artinya pada tiap 1 menit hutan Indonesia hilang seluas 6x lapangan sepak bola dan dalam 1 tahun seluas 3x wilayah DKI Jakarta. Dan dalam 50 tahun terakhir, Indonesia telah kehilangan sekitar 64 juta hektar hutan atau 40 persen dari luas hutan sebelumnya. Artinya 3,8 juta hektar hutan rusak dalam setiap tahun, yang mengakibatkan turut musnahnya habitat alaminya.
Terhadap situasi seperti ini, sebagai kaum beragama, kita perlu bertanya: dimana sebenarnya peran agama dalam perjuangan penyelamatan ruang hidup oleh ancaman greedy kapitalisme global? Kita yakin bahwa semua agama pada dirinya merupakan jalan pembebasan, karena faktanya secara historis tak ada satupun agama yang lahir dari dalam istana. Semua agama lahir di tengah-tengah rakyat dan menjadi suara kaum tertindas melawan tirani dan ketidakadilan.[2] Namun, kenapa sekarang, di hadapan perusakan besar-besaran alam, agama justru surut ke belakang? Kenapa agama hilang dari panggung sejarah perjuangan?
***
Sebelum menganalisis lebih lanjut aspek-aspek yang memungkinkan surutnya peran agama dalam berbagai perjuangan penyelamatan alam dari eksploitasi besar-besaran korporasi, kiranya penting kita lihat terlebih dahulu sekilas, pandangan Islam terhadap alam dan peran manusia di bumi.
Secara teologis, Islam menempatkan manusia sebagai khalifah (wakil) Allah di muka bumi yang sekaligus menerima amanat untuk menjaga dan mengelola bumi, sebagaimana dengan terang ditunjukkan dalam Al Qur’an surat Al-Baqarah, 2:30, dan QS. al-Ahzab, 33:72. Sayangnya, manusia, khususnya umat Islam, seringkali berbuat sebaliknya. Allah sendiri mengatakan bahwa manusialah yang sesungguhnya membuat kerusakan di bumi, sebagaimana dalam QS. Ar-Ruum:41, “Zhahara al-fasad fi al-barri wa al-bahr bima kasabat aidinnas…” (Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia), yang oleh Ibnu Abbas dimaknai sebagai perbuatan merusak di lautan yang mengakibatkan rusaknya habitat ikan-ikan di laut.[3] Sementara dalam QS. Al-A’raaf:56, “Wala tufsidu fi al-ard ba’da islahiha” (Dan janganlah kalian membuat kerusakan di atas muka bumi setelah Allah memperbaikinya). Oleh Al-Qurthubi, ayat ini ditafsirkan sebagai larangan Allah pada umat manusia untuk berbuat kerusakan di atas bumi, baik sedikit maupun banyak.[4]
Maka semua kerusakan di bumi merupakan ulah manusia-manusia yang serakah dan tidak menyukuri nikmat Allah dengan merawat bumi sebaik-baiknya. Al-Qur’an menunjukkan beberapa penyebab kerusakan lingkungan (fasad al-bi’ah) diantaranya: Merusak (Al-A’raf, 7: 56 dan 74), (Al-Baqarah, 2: 60); Curang (Hud, 11: 85), (Al-Syura, 42: 181-183); Mengurangi/mengubah. (Al-Nisa’, 4: 118-119); Dorongan hawa nafsu (Muhammad, 47: 22) (Al-An’am, 6:123) (Al-Isra’,17: 16); Tidak seimbang dan berlebihan (Al-Isra’, 17: 25-26) (Al-An’am, 6:141) (al-A’raf; 7:31) (Al-Rahman, 55: 7-9) (al-Furqan, 25:67).
Betapa tingginya penghormatan Islam terhadap kehidupan dan kelestarian sampai ada hadis yang berbunyi begini: ‘Siapa yang membunuh seekor burung dengan sia-sia (tanpa maksud tertentu), burung tersebut akan mengadukan kepada Allah di hari kiamat, seraya berkata: “Wahai Tuhan, si fulan telah membunuhku dengan sia-sia dan aku dibunuh tidak dengan tujuan yang bermanfaat.”[5] Dalam hadis lain yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah bersabda: “Jika tiba hari kiamat dan seseorang dari engkau sedang membawa bibit kurma, hendaklah ia (segera) menanamnya.”[6]
Mengenai tata kelola SDA, seorang ulama besar, al-alim allamah Wahbah Al-Zuhaily berpendapat bahwa sumber mineral haruslah dikelola oleh negara untuk kepentingan rakyat dan tidak boleh dimonopoli oleh orang perorang atau dikuasai pihak swasta.[7] Senada dengan apa yang dikatakan oleh Al-Zuhaily, di kalangan madzab Hambali dan Maliki memandang semua ciptaan Allah, berupa tambang, bebatuan, air, rerumputan (pada masa itu air dan padang rumput sangatlah vital untuk pakan ternak) haruslah dimiliki oleh negara.[8]Sedemikian, dalam Islam, jangankan merusak, memakai apa yang dari alam secara berlebihan saja dilarang. Bahkan para Ulama sepakat melarang menggunakan air secara berlebihan walaupun persediaan air dalam kondisi melimpah.[9] Sedemikian, dari sini kita bisa melihat bahwa dalam Islam, alat produksi yang menyangkut hajat hidup orang banyak haruslah dikuasai oleh negara dan dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemaslahatan rakyat.
Dalam tradisi pesantren juga terdapat kaedah-kedah yang secara jelas menolak perusakan. Diantaranya:
Kaidah: لا ضرار ولا ضرار(Tidak boleh melakukan kemudharatan terhadap diri sendiri dan orang lain)
Kaidah: الضرر يزال بقدر الإمكان(Kemudharatan harus dihilangkan semampunya)
Kaidah: الضرر لا يزال بضرر مثله(Kemudharatan tidak bisa dihilangkan dengan sesuatu yang mendatangkan mudharat yang sama)
Kaidah: يتحمل الضرر الأدنى لدفع الضرر الأعلى(Boleh melakukan mudharat yang lebih ringan untuk mengatasi mudharat yang lebih besar)
Kaedah: يتحمل الضرر الخاص لدفع الضرر العام(Melakukan mudharat yang khusus demi mencegah mudharat umum)
Kaidah: إذا تعارض مفسدتان روعي أعظمهما ضررا بارتكاب أخفهما(Apabila terjadi pertentangan dua hal yang membahayakan, maka boleh melakukan yang lebih ringan bahayanya)
Kaidah: درء المفاسد مقدم على جلب المصالح(Menolak kerusakan lebih diutamakan dari mengharapkan kemaslahatan)
Bagaimana dengan sikap organisasi-organisasi Islam? Di atas kertas, sebenarnya tidak sedikit putusan hukum dari organisasi Islam yang mengecam perusakan lingkungan. Di NU misalnya. Dalam putusan Muktamar Nahdlatul Ulama Ke-29 tanggal 4 1994/1 Rajab 1415 H di Cipasung, Tasikmalaya, menetapkan mencemarkan lingkungan, baik udara, air maupun tanah, apabila menimbulkan dlarar, maka hukumnya haram dan termasuk perbuatan kriminal (jinayat). Demikian juga dalam putusan Bathsul Masail NU pada muktamar 33 di Jombang, telah menetapkan bahwa neoliberalisme hukumnya haram. Namun, sayangnya, putusan-putusan hukum semacam itu belum terbukti efektif karena sifatnya sekadar himbauan moral dan tidak mengikat. Sehingga, perusakan tetap berlanjut dan bahkan tidak sedikit agamawan sendiri terlibat di dalamnya.
***
Sungguh negeri ini seperti telah dikutuk dengan berbagai kontradiksi, anomali dan ironi. Di tengah bisingnya suara promosi dan gegap gempitanya propaganda menjadikan Islam Nusantara sebagai model Islam dunia yang hendak menyelamatkan seluruh jagat raya, anehnya para kiai justru lupa untuk menyelamatkan perusakan Alam oleh korporasi perkebunan dan tambang yang tak hanya mengakibatkan krisis ekologi akut, tapi juga menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran kemanusiaan di mana-mana.
Mereka yang gemar mengatakan Islam “menyelamatkan”, justru tutup mata tutup telinga terhadap berbagai kerusakan lingkungan maupun sosial, seperti ketimpangan ekonomi yang ditimbulkan oleh persekongkolan jahat kapitalisme global dan pejabat publik. Malah, sepertinya, sekarang telah merebak agamawan munafik karena sikap pragmatis dan oportunisnya dalam berpolitik. Diam-diam mereka menjadi bagian dari perusakan lingkungan ini untuk memperkaya diri sendiri. Padahal, sebagaimana kita tahu, ekspolitasi SDA secara besar-besaran di tangan kuasa segelintir borjuasi berakibat fatal bagi keberlanjutan hidup bersama. Tidak hanya manusia tapi juga seluruh jagat raya. Maka dengan ini Allah menghimbau kita:
“Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikan kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanaman-tanamannya dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan” (QS. Al-Baqarah 204-205).
Sebagai kaum beragama, tentu kita patut marah dan kecewa dengan kondisi ini. Karena nyaris tak ada satupun statemen resmi dari kelompok agama untuk mengutuk bencana ekologis yang terjadi di hampir tiap jengkal wilayah negeri ini. Bahkan sulit kita temukan seorang agamawan yang berada di barisan depan para pejuang lingkungan melawan berbagai penghancuran dan penguasaan atas SDA di tangan sedikit pemodal.
Dengan demikian, kita menjadi tahu bahwa kebisuan agamawan, khususnya kiai, terhadap berbagai kerusakan dan penghancuran yang terus berjalan, bukanlah dilatari oleh semangat teologis melainkan sikap politik pragmatis dan oportunisnya yang bersembunyi di balik prinsip “moderasi”. Tentu juga dibimbing oleh iman enjoyment dan kalkulasi untung rugi kapitalistik. Bahkan banyak yang sembrono menerima dana-dana yang tidak jelas sumbernya atau dana korporasi perusak lingkungan dan terang-terangan mengatakan dana-dana bantuan siluman tersebut sebagai rizki “min khaitsu la yahtasib”, yang berarti rizki yang tak disangka-sangka datangnya yang diberikan oleh Allah bagi orang yang bertakawa.
Selain sikap pragmatis dan oportunis dalam berpolitik, kepercayaannya pada teori trickle down effect yang berasumsi bahwa eksploitasi Alam oleh korporasi di suatu wilayah akan memberi berkah kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya, juga turut mematikan spirit pembebasan Islam. Kondisi semacam inilah yang membikin pihak korporasi dan pejabat publik—yang hakikatnya pelayan korporasi—dengan mudah membungkam tokoh-tokoh masyarakat, khususnya tokoh agama atau para kiai. Biasanya melalui dana-dana CSR (corporate social responsibility) yang dikucurkan oleh pihak korporasi ke berbagai tokoh, agar mereka berkenan mendukung eksploitasi Alam dengan dalih pembangunan dan pemberdayaan masyarakat. Sampai ada yang dengan enteng dan tanpa malu berseloroh: “Belum beroperasi saja korporasi sudah membawa berkah, bagaiamana kalau sudah beroperasi?”.
Entah sepakat atau tidak. Ketika Marx menganalisis kolonialisme Inggris di India dalam artikelnya ‘Future Result of British and in Europe’ yang pertama kali terbit di New York Daily Tribune, No. 3840, 8 Agustus 1853, sebenarnya telah mengingatkan kita bahwa semua pembangunan kapitalisme di Dunia Ketiga tak lain hanya untuk menumpuk kapital borjuasi, bukan untuk menyejahterakan rakyat.[10] Melalui industri modern berbasis kereta api yang dibangun Inggris di India, memang tak bisa dipungkiri telah menjadi pelopor industri modern di India. Dengan dibangunnya rel kereta api telah memicu cabang-cabang industri lainnya dan secara tidak langsung melenyapkan pembagian kerja yang bersifat turun temurun yang merupakan fondasi dari sistem kasta di India yang selama berabad-abad telah menjadi penghambat kemajuan dan memacetkan jalannya peradaban.
Namun, bagi Marx, pembangunan rel-rel kereta api oleh kaum millocracy Inggris di India bukanlah bertujuan untuk menyejahterakan rakyat India, melainkan semata-mata agar mereka bisa mengangkut kapas dan bahan-bahan mentah lainnya dengan biaya serendah mungkin demi kepentingan industri-industri manufaktur mereka. Demikian juga sebenarnya yang terjadi dengan eksploitasi Sumber daya alam di Indonesia. Semua eksploitasi Alam di Indonesia terbukti tidak memberi manfaat pada rakyat Indonesia. Bahkan, gencarnya pembangunan infrastruktur, seperti pembangunan jalan di sepanjang pesisir selatan Jawa, bisa dibaca sebagai jalan untuk memuluskan jalannya eksploitasi ini.
Karena semua persoalan hidup telah diperhitungkan oleh kalkulasi untung rugi, saya khawatir, jangan-jangan kita (kaum beragama), yang konon katanya hamba Allah, sekarang telah bermetamorfosis menjadi hamba korporasi. Naudzubillah mindzalik.***
Jombang, 21 Agustus 2016
————-
[1] Lih. Noorena Hertz, The Silence Take-over: Global Capitalism and The Death of Democracy, London: William Heinemann, 2001.
[2] Roy Murtadho, Haji Misbach Sebagai Mukadimah, Makalah yang disampaikan dalam diskusi di MAP Fisipol UGM dengan tema “Agama dan Teologi Pembebasan” pada 7 Juni 2016.
[3] Al-Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, juz IV, hlm. 40.
[10] Marx dengan jeli dan cerdas membongkar imperialisme Inggris di India yang sekilas tampak manusiawi, yang sebenarnya hanya untuk menumpuk kapital para petualang borjuasi Inggris. Lebih lanjut lihat. David Renton (ed), Marx on Globalisation, London: Lawrence & Wishart, 2001, hlm. 90.