Senin, 12 Oktober 2015

Tradisi Cowongan Gunung Selok

Situs "pundhen" Sumur Windu di Gunung Selok [Foto: MKGS]

I

Kemarau merentangkan umur musimnya lebih panjang dari yang biasa diperhitungkan khalayak. Ia telah melampaui hari-hari, melebihi apa yang dipedomani pranoto-mongso dalam almanak tradisional agraris. 

Spektrum agraria dewasa ini tengah dipenuhi oleh kabar buruk eksploitasi sumber daya alam; ancaman terhadap ruang hidup merajalela dimana-mana. Banyak sumber air hilang mengering, rimba yang terbakar mengasapi gerah ruang langit.  

Di tengah situasi demikian tragis, penguasa bermain-main dengan segala kebijakan yang ruwet buat dipahami nalar rakyat, kecuali hanya oleh meluasnya reaksi bernada marah serta kekecewaan masyarakat. Penguasa bukan hanya telah lupa segala amanah yang harus tinggi-tinggi dijunjungnya. Tetapi mereka juga lupa bahwa di atas kekuasaannya itu ada hukum alam dan kekuasaan Tuhan.

Para pelopor tradisi "cowongan" menaiki Gunung Selok menuju situs pundhen Sumur Windu di Karangbenda [Foto: MKGS]

Menunggu karma, seperti menantikan hujan yang tak kunjung basahi bumi di tengah anomali. Mungkin ini memang siklus anomali cuaca biasa, namun kemarau tak juga usai, meski telah melewati puncak musim bediding di bulan lalu. Realitas ini membukakan mata hati beberapa pemuka di sebuah desa memupuskan tafakur keprihatinan panjangnya.


Desa itu bernama Karangbenda. Diantara ngarai dan pesisir desa ini terdapat perbukitan yang banyak ditumbuhi pohon Nyamplung dan Mahoni; membentuk hutan diatas hamparan tanah merah dengan bebatuan karst putih kelabu. Hutan desa itu pun kini meranggas dipanggang kemarau.    

0 komentar:

Posting Komentar