Situs "pundhen" Sumur Windu di Gunung Selok [Foto: MKGS]
Kemarau merentangkan umur
musimnya lebih panjang dari yang biasa diperhitungkan khalayak. Ia telah melampaui
hari-hari, melebihi apa yang dipedomani pranoto-mongso
dalam almanak tradisional agraris.
Spektrum agraria dewasa ini tengah
dipenuhi oleh kabar buruk eksploitasi sumber daya alam; ancaman terhadap ruang
hidup merajalela dimana-mana. Banyak sumber air hilang mengering, rimba yang
terbakar mengasapi gerah ruang langit.
Di tengah situasi demikian
tragis, penguasa bermain-main dengan segala kebijakan yang ruwet buat dipahami
nalar rakyat, kecuali hanya oleh meluasnya reaksi bernada marah serta kekecewaan
masyarakat. Penguasa bukan hanya telah lupa segala amanah yang harus tinggi-tinggi
dijunjungnya. Tetapi mereka juga lupa bahwa di atas kekuasaannya itu ada hukum
alam dan kekuasaan Tuhan.
Para pelopor tradisi "cowongan" menaiki Gunung Selok menuju situs pundhen Sumur Windu di Karangbenda [Foto: MKGS]
Menunggu karma, seperti
menantikan hujan yang tak kunjung basahi bumi di tengah anomali. Mungkin ini
memang siklus anomali cuaca biasa, namun kemarau tak juga usai, meski telah
melewati puncak musim bediding di
bulan lalu. Realitas ini membukakan mata hati beberapa pemuka di sebuah desa
memupuskan tafakur keprihatinan panjangnya.
Desa itu bernama
Karangbenda. Diantara ngarai dan pesisir desa ini terdapat perbukitan yang
banyak ditumbuhi pohon Nyamplung dan Mahoni; membentuk hutan diatas hamparan
tanah merah dengan bebatuan karst putih kelabu. Hutan desa itu pun kini meranggas dipanggang kemarau.
0 komentar:
Posting Komentar