Saya mengenal orang tua yang sudah saya anggap orang tua sendiri. Tinggal di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pak Sugandhi namanya, seperti petani kebanyakan ia mengerjakan tanahnya yang kecil, sekaligus kerja serabutan lainnya. Istrinya, membantu dengan berdagang kecil-kecilan kadang bakso, telur asin, selai pisang. Khas tipikal warga desa kebanyakan.
Suatu sore, dalam percakapan kopi dengan singkong goreng, saya bertanya asal usul namanya. “Kalau “Su” saya mengerti, itu kependekan dari Sugeng, artinya adalah baik atau kebaikan”, kata saya. “Kalau Gandhi itu artinya apa?, tanyaku. “Menurut orang tua saya, nama Gandhi karena mendengar bahwa ada tokoh kemerdekaan India, mas. Namanya Gandhi. Tapi, ya entah, namanya juga orang tua saya cuma mendengar, saya sendiri tak pernah tahu secara pasti.”
Saya tersenyum dan membenarkan perihal nama tersebut. Gandhi itu tokoh utama dalam perjuangan kemerdekaan India, jelas saya. Saya jadi teringat Mahatma Gandhi, dengan kata-katanya yang sangat terkenal. Dunia ini cukup untuk menghidupi semua manusia. Namun tak pernah cukup bagi satu orang yang serakah. Ternyata di pojok Jawa ini, ada orang tua yang lebih tepat disebut marhaen namun bernama Gandhi.
Tak dinyana, suatu hari ditahun 2015 saya berkenalan dengan salah satu tokoh utama penerus ajaran Gandhi saat ini, karena diberi kesempatan menjadi moderator di sebuah forum di Gujarat, India. Ia adalah pemimpin dari organisasi Ekta Parishad di Kerala, India, Raj Ghopal namanya. Tokoh paling terkenal dan konsisten menyebarluaskan ajaran Gandhi ke seluruh dunia. Non violence itu anti kapitalisme, bagaimana mungkin orang yang memahami ahimsa bisa merusak manusia dan bumi demi keuntungan pribadi atau golongan. Sampai sekarang, teman-teman Ekta Parishad ini rutin mengirimi saya berbagai buku, video dan link berita tentang aktivitas mereka.
Bung Hatta juga pernah dijuluki sebagai Gandhi dari Jawa. Saat itu Bung Hatta diundang oleh pemerintah Jepang sebelum pecah Perang Dunia II. Pemerintahan Jepang mengundang beliau untuk memamerkan kemajuan negeri matahari terbit. Saat kedatangannya, koran-koran memberi ucapan selamat datang kepada Gandhi dari Jawa. Julukan tersebut diberikan bukan karena basa-basi, tapi karena konsistensinya beliau dalam gerakan non cooperatie (tak mau bekerjasama) dengan pemerintah penjajah Belanda. Ajaran kemandirian yang mirip dengan ajaran pokok Gandhi.
Ajaran utama Gandhi adalah ahimsa alias anti kekerasan, satyagraha alias selalu mencari dan berpegang teguh kepada kebenaran dan kejujuran, serta swadesi yang berarti kemandirian. Sebenarnya, di tanah Jawa bisa kita dijumpai ajaran serupa, jika dibandingkan dengan Gandhi tentu lebih tua dan dijalankan oleh Masyarakat Samin di Jawa Tengah, khususnya di Blora, Pati dan Rembang. Ajaran ini berasal dari Samin Surosentiko, yang bernama asli Raden Kohar, seorang tokoh dari Blora yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890 dengan menolak membayar pajak karena membebani petani dan menolak mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda.
Masyarakat Samin saat ini sedang melawan pendirian pabrik semen. Sudah bertahun-tahun lamanya. Karena filosofi samin, mereka tak pernah bersuara keras apalagi memaki meski telah disakiti. Namun suara mereka terdengar sampai jauh. Mereka melawan dengan mendirikan tenda, aksi-aksi budaya. Mengapa menolak pabrik Semen? Untuk menyelamatkan Pegunungan Kendeng yang merupakan sumber mata air, sumber kesuburan bagi puluhan ribu hektar sawah dan ratusan ribu warga. Menjadi petani itu pilihan dan meneruskan ajaran leluhur kami, tak mengganggu siapapun. Jika sumber mata air hilang, sawah tak bisa ditanam, air harus membeli. Apa yang mau disisakan kepada kami?
Bersama beberapa kawan, tahun lalu, saya pernah menemani Gunretno, salah satu pemimpin Masyarakat Samin bertemu Kapolri sebelum Jend. Tito. Ia melaporkan penambangan liar yang dibiarkan polisi bahkan menggunakan dinamit dan hasil tambang tersebut bebas melenggang ke pabrik semen yang di Gresik dan Pati. Kalau pabrik semen bertambah lagi, apakah semua Pegunungan Gendeng akan rata dengan tanah.
Karena filosofi Samin yang mereka terapkan, saat diundang oleh Presiden Jokowi, Gun Retno dan Ibu Kartini kendeng ini “nembang” di depan presiden untuk menyampaikan uneg-uneg mereka. Saya mencoba mengingat kalimat-kalimat pokok yang sering mereka tembangkan setiap aksi. Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili.
Perjuangan mereka sebenarnya telah dimenangkan oleh Mahkamah Agung dengan membatalkan izin lingkungan pabrik yang dengan demikian menutup pendirian pabrik Semen Indonesia. Namun putusan MA tersebut, oleh pemerintah Jawa Tengah dijawab dengan kejam: menerbitkan izin baru.
Karena izin baru ini mereka kembali protes. Mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana. Sebab Gubernur memberi izin baru padahal MA sudah memutuskan. Keputusan tertinggi di Republik ini diabaikan. Dalam aksi ini Bu Patmi yang turut mengecor kaki, meninggal dunia karena serangan jantung.
Kali ini Istana bergeming. Tak mau menemui, bahkan para pejabat KSP lebih suka ditemui di kantornya. Dengan susah payah dengan kaki dicor mereka datangi untuk menyampaikan pandangan.
Akhirnya, melalui pertemuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Presiden di istana, Gunarti -tokoh perempuan Petani Kendeng— bisa bertemu dengan Presiden Jokowi. Gunarti memberikan Tembang Pangkur kepada Presiden. Mungkin sebuah sindiran halus khas orang Jawa kepada Presiden yang juga seorang Jawa. Mungkin lo, ya. Tapi, presiden juga pintar menyindir, “Jangan sedikit-sedikit masalah dibawa ke Presiden, lalu Gubernur dan Bupati kerja apa?, demikian Presiden yang dilansir media massa setelah pertemuan usai.Gubernur kerjanya menerbitkan izin baru yang telah dibatalkan MA, pak, batin saya.
Saya mencoba mencari tahu apa itu Tembang Pangkur. Menurut Budayawan Jaya Suprana, Pangkur berasal dari kata ‘mungkur’ yang memiliki arti pergi atau meninggalkan. Tembang Pangkur menggambarkan kearifan kehidupan yang seharusnya dapat menjauhi berbagai hawa nafsu dan angkara murka. Di saat menghadapi sesuatu yang buruk sebaiknya manusia pergi menjauhi dan meninggalkan yang buruk tersebut.
Untuk menutupi pemerintah melawan putusan MA, dihembuskan kabar, oleh lingkaran kekuasaan dan pabrik, bahwa masyarakat ini hanya menolak pabrik Semen Indonesia di Rembang. Mereka tidak menolak pabrik yang di Pati, padahal pabrik ini milik asing. Maksudnya, aksi-aksi ini adalah orang-orang bayaran yang memanfaatkan petani dan masyarakat samin yang lugu karena persaingan bisnis pabrik semen.
Terbaru, mereka menyampaikan bahwa mereka yang berlawan alias Masyarakat Kendeng tersebut tak pernah menuntut penutupan pabrik. Hanya menuntut pencabutan izin lingkungan pabrik.
Ah, seandainya mereka mau gunakan gawai mereka untuk membaca bagaimana Gunretno, Gunarti dkk berjuang menyelamatkan Pegunungan Kendeng dari Pati sampai Rembang. Bertahun-tahun lamanya. Tak hanya di Rembang, juga di Pati sejak 2006 hingga sekarang.
Saya kembali teringat kata-kata Gunretno, “jika kelak sawah tak bisa dipakai, dan mungkin akan membeli air tawar karena lingkungan rusak dan berganti menjadi cerobong pabrik semen yang berdebu. Apakah itu yang disebut pembangunan? Apakah alasan penolakan dan perlawanan bertahun-tahun tersebut terlalu sulit dipahami?
*Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional KPA
0 komentar:
Posting Komentar