March 14, 2017
Foto: Mokh Sobirin
Kami adalah bagian dari warga desa-desa di bentang alam karst Kendeng yang akan bangkrut penghidupan taninya karena adanya pabrik semen PT Semen Indonesia di Rembang beserta penambangan bahan semen lainnya di wilayah kami. Kami datang kembali berbondong-bondong ke ibukota negara, untuk rawe-rawe rantas, malang-malang putungmenyemen kaki kami di depan Istana Presiden. Bentuk protes ini telah kami lakukan sebelumya, dan kali ini kami berniat menyemen kaki kami sampai pak Presiden tampil kembali sebagai pemimpin rakyat, dan menghentikan seluruh kegiatan industri semen di wilayah hidup kami.
Buat apa kami bersusah payah mengambil risiko? Kami menyerahkan diri kami sebagai petani untuk membela kewarasan bangsa dan keutuhan negara Republik Indonesia. Kami memprotes tindakan pemerintah, pengurus negara Republik Indonesia, yang sejak 2012 telah mempermainkan kami sebagai warga negara, petani, warga bangsa. Dengan taktik petak umpet melawan ketentuan dan kepastian hukum negara, mengabaikan pendapat kami, untuk tetap meneruskan penanaman modal di industri semen PT Semen Indonesia di Rembang.
Pak Presiden, kami juga tahu, bahwa sebagian besar pegawai kantorkantor pemerintahan yang sampeyan pimpin sesungguh-sungguhnya masih setia mengabdi sebagai pegawai negeri. Justru yang menyusahkan hidup kami, melecehkan martabat kemanusiaan kami, memecah-belah persatuan kami orang desa dari pegunungan Kendeng, menyalahkan kami seolah-olah kami ini orang jahat, adalah kepala-kepala kantor pemerintah, para pegawai-negeri yang paling tinggi pangkatnya, dosen-dosen universitas yang paling tinggi tingkat pendidikannya, dan paling tahu aturan hukum dan undang-undang, tapi menjadikan hukum, undang-undang dan peraturan untuk menipu rakyat, artinya, untuk menipu diri sendiri juga.
Pak Presiden, ini lho contoh-contoh dari berbagai alasan untuk menyalahkan dan menakut-nakuti kami, dengan tujuan sederhana, memenangkan urusan investasi industri semen di tempat hidup kami. Pertama, dulu dibilang bahwa tidak jadi soal menambang di cekungan air tanah Watu Putih. Tidak pa-apa karst dibongkar. Tidak akan mengganggu kesediaan air untuk kepentingan tani. Oo, orang yang nafkahnya petani cuma sedikit. Belakangan lalu dibilang, mau bertani kok di atas gamping, ya tidak mungkin subur. Ini ada orang yang bukan dari desa yang kena dampak, kok ikut protes.
Pak Presiden, waktu kami protes di dusun, di ibukota propinsi, di ibukota negara, kan kami terus-menerus diganggu dengan kekerasan dan ancaman. Memang kami orang desa, jauh dari kota besar. Mungkin susah membayangkan bahwa kami ini kerja dekat dengan tanah, keluar keringat pagi sampai malam. Kalau kami datang menunjukkan protes kami seperti sekarang di depan Kantor Presiden atau Istana Negara ini, yang mengerumuni kami itu ya malah polisi, petugas bersenjata, petugas yang memata-matai kami dan memotret kami satu demi satu. Kami merasa seperti hewan liar yang harus dijaga jangan sampai berbuat onar, oleh opsir-opsir bersenjata api. Ya itu karena kami ada di wilayah istana. Tapi istana ini kan bukan istana gubernur jenderal Hindia Belanda lagi, pak Presiden. Gedung tua yang kami datangi itu kan sekarang simbol kemerdekaan bangsa Indonesia. Kami ini warga negara yang punya martabat tinggi dan bangga menjadi petani lho pak Presiden.
Adapun alasan-alasan yang diajukan, baik oleh pemilik pabrik (yang secara hukum adalah badan usaha milik Publik atau Negara, tapi kepemilikannya tentu pak Presiden lebih tahu, sudah sulit diakui sebagai mewakili kepentingan nasional) maupun oleh para pembantu pak Presiden, untuk membenarkan dan meneruskan rencana operasi industri semen Rembang antara lain adalah sebagai berikut. Indonesia sedang menggenjot pembangunan infrastruktur untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara lain, dan untuk menarik minat investasi asing. Proyek pabrik semen ini sudah menghabiskan uang lima triliyun rupiah, tidak mungkin dihentikan. Kalau khawatir lingkungan alam di wilayah penambangan dan pabrik semen rusak, kami sudah lakukan proses amdal, tinggal disempurnakan. Mungkin masih banyak lagi yang lain. Setiap alasan itu sudah disanggah,oleh kami sendiri maupun oleh sanak saudara dan handai-taulan kami yang pendidikannya tidak kalah dengan mereka yang mau menutup mulut kami.
Pak Presiden, kalau sikap sewenang-wenang dari para pejabat tinggi di kantor-kantor yang sampeyan pimpin tidak sampeyan hentikan sekarang, artinya pak Presiden mengingkari kewajiban dan tanggungjawab melindungi warga-negara Republik Indonesia dan sumber kehidupannya sebagai petani dari ancaman nyata, yaitu adanya operasi industri semen. Perusakan dengan menambang bahan galian sampai menghasilkan semen tidak bisa dipertemukan dengan cara hidup sehari-hari kami sejak nenek-kakek kami sebagai wong tani, untuk menanam memelihara memanen bahan pangan yang tak tergantikan pentingnya buat kami dan orang banyak.
Waktu mau coblosan pemilihan Presiden dulu, kami ini ya benarbenar bangga mau punya Presiden yang merakyat, sederhana, yang tutur kata dan sikapnya menunjukkan kedekatan dengan rakyat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kami ya dibikin bingung, terutama oleh aparat dari yang paling dekat dengan dusun kami, sampai ke kepala daerah, sampai-sampai ke menteri- menteri, sampai ke pengurus kantor pak Presiden sendiri. Anak-anak muda yang paling perduli dari desa-desa kami malah ditakut-takuti, mau diperkarakan polisi, dicari-cari kesalahan tindakannya. Tindakan kami membela negeri kami yang kami warisi dengan kerja keras disalah- salahkan sebagai perbuatan tercela.
Sejak pamitan dengan orang-orang terkasih kami di dusun, sejak kami berdoa bersama, ngomong langsung sama Gusti Allah sebelum berangkat ke depan kantor pak Presiden, bukan perempuan bukan laki kami diam-diam pada keluar air mata. Bukan karena ketakutan, bukan karena kami ini sentimentil, tapi karena membayangkan anakanak kami, akan mewarisi hidup seperti apa mereka, kalau para pegawai yang diupah dengan uang milik publik, menista mereka seperti layaknya memperlakukan hewan melata. Pak Presiden jangan pernah lupa ya pak, rakyat memang kecil-kecil, tapi apa-apa yang kami kerjakan menentukan hidup matinya bangsa dan negara kita ini.
Jakarta, 14 Maret 2017
Tertanda
Atas Nama Petani Pegunungan Kendeng
Joko Prianto (Rembang) – Sukinah (Rembang) – Suparmi (Rembang) – Jumikan (Rembang) – Sudiri (Rembang) – Giyem (Pati) – Gunritno (Pati) – Darto (Pati) – Sariman (Pati) – Kumari (Blora) – Darto (Grobogan) dan lain-lain.
0 komentar:
Posting Komentar