Senin, 03 April 2017

Seruan Moral Akademisi Indonesia

Seruan Moral Akademisi Indonesia:  


illustrasi: Pegunungan Kendeng [Foto: Antara] 

“KEMBALIKAN KEDAULATAN RUANG HIDUP DAN

EKOLOGI RAKYAT KENDENG UTARA”


1. Pengantar
Kami, pendidik dan peneliti, selalu mengamati, mengawasi, dan hadir dalam setiap peristiwa perjalanan bangsa. Kami ingin memastikan bahwa penyelenggaraan negara, tata kehidupan antarwarga, dan pembangunan untuk tujuan kesejahteraan masyarakat, dilakukan dengan memperhitungkan prinsip keadilan sosial, penghormatan kepada hak hidup masyarakat adat/ komunitas lokal, dan keadilan ekologis. Prinsip-prinsip tersebut sudah dipikirkan secara visioner oleh para Pendiri Bangsa, dan karenanya dirumuskan dalam Konstitusi dan diamanatkan dalam berbagai peraturan perundangan Indonesia sampai hari ini.
Seruan ini kami sampaikan karena percaya bahwa kedaulatan rakyat dan kebaikan bersama bagi bangsa menjadi tanggung jawab kita bersama agar bangsa Indonesia dapat mencapai tujuan agungnya menjadi bangsa besar, bermartabat dan berkeadilan.
Kita belajar bahwa keputusan ilmuwan yang salah, tidak berhati-hati, dan
mengabaikan manusia dan ruang hidupnya, akan punya dampak besar terhadap potensi bencana lingkungan hidup, dan kesengsaraan manusia dan masyarakat. Ada banyak contoh bagaimana kita sudah melakukan kesalahan, yang dampaknya sukar dipulihkan, diantaranya adalah kasus lumpur Lapindo. Ketika ilmuwan dan pemerintah memutuskan bahwa pengeboran Lapindo hanyalah sebatas persoalan teknis, tanpa memperhitungkan bahwa di lokasi tersebut ada manusia, kebudayaan dan kesejarahannya, maka dampaknya adalah kerusakan yang luar biasa dan sukar untuk diperbaharui.

2. Darurat Ekologis Pulau Jawa
Terdapat banyak sekali penelitian dan kajian yang menunjukkan daya dukung
lingkungan Pulau Jawa yang semakin kritis, di antaranya:

• Pulau Jawa memiliki luasankars yang paling kecil di Indonesia, padahal
wilayah bentang alam karst memiliki fungsi hidrologi yang mengontrol sistem
ekologi di dalam kawasan. Permukaan bukit karst berperan sebagai penyimpan air yang utama. Jika terjadi kerusakan karst, akan sukar diperbaharui karena karst adalah bentukan alam sejak 470 juta tahun dan yang terbaru adalah sejak 700.000 tahun yang lalu.

• Kondisi hutan di Pulau Jawa juga berada pada titik kritis, karena luasnya

semakin berkurang secara cepat. Luas kawasan hutannya tinggal sekitar 24 %
dari luas Pulau Jawa (Puspijak KLH, 2015);

• Dengan luas hutan dan bentangan karst yang semakin mengecil, Pulau Jawa
telah mendapatkan beban sangat berat karena 60 % populasi penduduk tinggal
di pulau Jawa. Penduduk menghadapi ancaman bencana, dengan indikasi semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, abrasi, longsor, dan kekeringan yang tinggi, yang juga diperparah oleh perubahan iklim.

• Kerusakan dan melemahnya daya dukung ekologis Pulau Jawa adalah juga

karena tekanan dari maraknya pertambangan batu gamping dan pabrik semen
terhadap kawasan karst, besar dan kecil, baik yang legal maupun ilegal.
Masalah Kendeng Utara Kendeng Utara adalah suatu potret dari kawasan karst yang bentuknya menyerupai ular naga di Pulau Jawa, dikelilingi mata air dan menyimpan sungai bawah tanah. Kendeng adalah salah satu bumper area bagi resapan air Pulau Jawa. Itu sebabnya ketika pemerintah menggulirkan kebijakan
menambah pabrik semen dan menetapkan wilayah cekungan air tanah (CAT)
Watu Putih Rembang sebagai lokasinya; potensi bencana ekologis membayangi para warga. Terutama adalah para petani, yang hidupnya tergantung pada alam, tidak bisa dipisahkan dari tanah, dan secara turun temurun memegang kearifan/ pengetahuan lokal tentang kelangsungan ekologi.

2. Fakta Hukum
Keberadaan masyarakat lokal dan ruang hidupnya dilindungi oleh Konstitusi dan
sejumlah peraturan perundangan Indonesia, bahkan sudah terdapat putusan
pengadilan dalam kasus ini.

• Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung No. 99/PK/TUN/2016 menyatakan bahwa Kawasan Cekungan Air Tanah Watuputih, lokasi di mana PT. Semen Indonesia akan melakukan penambangan, merupakan Kawasan Bentang Alam Karst yang harus dilindungi. Putusan Mahkamah Agung itu didasarkan pada Surat Badan Geologi Kementerian ESDM Nomor 3131/05/BGL/2014 tertanggal 1 Juli 2014, yang dalam pertimbangannya halaman 112 menyebutkan: 
“…Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam (ESDM) dalam Suratnya Kepada Gubernur Jawa Tengah (bukti P-32) menyampaikan pendapat untuk menjaga kelestarian akuifer CAT Watuputih agar tidak ada kegiatan penambangan...”

• Perdebatan tentang CAT Watuputih sebagai Kawasan Bentang Alam Karst
seharusnya telah selesai dalam proses di pengadilan dengan merujuk dua hal:
Pertama, pertanyaan tentang ada atau tidaknya Sungai Bawah Tanah telah
disajikan melalui bukti-bukti oleh masing-masing pihak di Pengadilan.
Mahkamah Agung dalam pertimbangannya halaman 113 menyebutkan: 
Penambangan yang dilakukan sebagaimana tergambar dalam Amdal mengakibatkan runtuhnya dinding-dinding sungai bawah tanah…” 
Kedua, Amdal PT. Semen Indonesia tahun 2012 pada BAB VI Halaman 28 jelas
mengakui adanya sungai bawah tanah di area tambang mereka. Dengan
demikian putusan Mahkamah Agung merupakan putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap yang seharusnya tidak diperdebatkan lagi.

• Status CAT Watuputih dinyatakan sebagai Kawasan Lindung Geologi
berdasarkan fungsinya sebagai resapan air tanah sesuai dengan Perda
Kabupaten Rembang No.14 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Rembang 2011-2031, Pasal 19/a.

• CAT Watuputih juga telah ditetapkan oleh Presiden sebagai salah satu
Cekungan Air Tanah (CAT) dengan luas 31 Km2 berdasarkan Keputusan
Presiden No. 26 Tahun 2011.

• KLHS merupakan bagian yang diwajibkan oleh Undang-Undang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) yang
mewajibkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat KLHS guna
memastikan prinsip pembangunan berkelanjutan menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana,
dan/atau program. KLHS diatur tata laksananya oleh Peraturan Pemerintah
No. 46 Tahun 2016 yang menekankan prinsip pembangunan berkelanjutan
jaminan atas keterlibatan masyarakat, dan mekanisme pelaksanaan KLHS.

4. Masalah Manusia dan Kebudayaan
Perjuangan petani Kendeng Utara, khususnya komunitas Sedulur Sikep seharusnya direspon dengan pendekatan akademis yang komprehensif, ditelaah secara multi, inter dan transdisiplin, dan dibaca dengan kejujuran akademis dan nurani yang bening. Dari perspektif kebudayaan yang berfokus pada manusia, maka peristiwa ini harus dilihat sebagai sistem pengetahuan dan sistem hukum (adat) yang dilahirkan oleh lokalitas geografis, sosial dan kesejarahan masyarakat setempat.Manusia, dan relasinya dengan semesta alam, tidak dapat direduksi ke dalam hitungan angka dan teknis.

Sistem Pengetahuan.
• Sistem pengetahuan dibutuhkan oleh manusia untuk melangsungkan
kehidupannya berselaras dengan alam dan sesama manusia. Masyarakat Sedulur Sikep mengajarkan kepada kita tentang filosofi hubungan hakiki antara manusia dengan Ibu Bumi, alam semesta. Suatu pengetahuan yang mendasar tentang manusia dan ruang hidup, serta kelestarian masa depan bumi Pulau Jawa dan Indonesia.

• Sistem pengetahuan lokal ini sama canggihnya dengan sistem pengetahuan
modern dan dapat ditemukan dalam mitologi, kisah-kisah pengalaman dan
sejarah keseharian terkait relasi manusia dengan alam dan keragaman hayati.
Sayangnya narasi sejarah lokal dan kaitannya dengan lingkungan alam sering
tenggelam dalam narasi sejarah besar dan tidak tercatat secara memadai dalam
repertoire ilmu pengetahuan arus utama.

Sistem Hukum Adat
• Sistem hukum adat lahir karena kebutuhan untuk mengatur tata hubungan
antar warga, apa yang dianggap boleh dan tidak boleh dilakukan oleh warga
demi kelangsungan hidup bersama.

• Prinsip dalam hukum adat terkait kepemilikan sumberdaya alam tanah pada
masyarakat pertanian adalah: “Tanah hilang, kami pun punah”. Artinya,
mencerabut mereka dari ruang hidupnya sama dengan meniadakan mereka.
Mereka bukan hanya akan kehilangan ruang hidup, tetapi juga paparan partikel semen yang potensial akan merusak tanah, karst, sumber air, segala tanaman dan terlebih paru-paru mereka

5. Masyarakat Desa dan Ruang Hidupnya
Secara prinsip tanah, air dan sumber-sumber agraria lainya bukan sepenuhnya barang dagangan (komoditas). Sehingga pengelolaan atasnya tidak boleh diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar (UUD 1945, Pasal 33, UUPA, No/ 5/1960). Sebab secara hakiki hubungan manusia dengan tanah dan sumberdaya alamnya bersifat kompleks dan berlapis (Sosial, Budaya, Ekonomi, Ekologi, dan Spiritual) 
Sehingga dalam praktriknya, seluruh kebijakan pembangunan ekonomi nasional tidak dapat boleh menyederhakan hubungan tersebut hanya pada satu bentuk dimensi saja.
Pemisahan kompleksitas dan lapisan-lapisan hubungan tersebut secara terus menerus akan dapat menggoncangkan sendi-sendi sosial, ekonomi, politik dan keberlanjutan ekologis dan akan melahirkangejolak perlawanan untuk melindungi kerusakan yang lebih luas.

Secara kesejarahan tenurial masyarakat di sekitar pegunungan Kendeng Utara terbukti telah hidup lama dan turun temurun bergantung dari sumberdaya dan ruang hidup di pegunungan Kendeng. Secara sosial-ekonomi masyarakat di Kendeng Utara cukup sejahtera dengan model pertanian yang dikembangkan sekarang di sekitar pegunungan Kendeng. Model pengembangan ekonomi pertanianya bercorak pertanian kombinasi sawah, ladang, palawija dan ternak. Meski tanah di sekitar Kendeng Utara bercorak tandus, namun para petani dan masyarakat desa mampu adaptif mengembangkan pertanian lokalnya. Maka tidak cukup beralasan jika maayarakat di sekitar pegunungan Kendeng Utara dikatakan tidak sejahtera atau miskin. Hal ini sangat tergantung bagaimana model pengukuran tingkat kesejahteraan yang digunakan (Sains, 2015). 
Dengan demikian jelas bahwa masuknya industri semen di wilayah ini telah mengancam sumber pokok ekonomi petani dan masyarakat desa di sekitar Pegunungan Kendeng Utara dan sekitarnya. Ancaman itu bukan hanya persoalan kebutuhan air namun juga persoalan rusaknya ruang hidup ekosistem pegunungan Kendeng Utara dan ekosistem pertanian masyarakat desa di pegunungan Kendeng secatra keseluruhan. Karena itu, jika kebijakan nasional melandaskan pembangunan dari pinggiran, maka masyarakat desa dan ruang hidupnya mesti didudukkan sebagai subjek utama pembangunan, bukan sebagai korban.

6. Peryataan Sikap Akademisi
Demi kehidupan berbangsa dan bernegara yang berkeadilan dan menghormati
keberadaan masyarakat lokal petani Kendeng Utara, khususnya komunitas adat
Sedulut Sikep, untuk menjamin keberlangsungan hidupnya yang sangat bergantung pada kelestarian alam, maka kami menyatakan sikap sebagai berikut.
• Pemerintah dan semua pihak seharusnya menghormati putusan Peninjauan
Kembali Mahkamah Agung. Sangat baik bila kita bersedia belajar pengalaman
dari berbagai negara lain yang menghormati keberlangsungan hidup masyarakat lokal/adat beserta ruang hidup, kebudayaan dan kesejarahannya, demi kelangsungan hidup mereka.
• Kepentingan pembangunan ekonomi hendaknya tidak dibayar dengan
lenyapnya ruang hidup masyarakat yang manapun, beserta kebudayaan, hukum adat dan kesejarahannya. Dengan lenyapnya ruang hidup dan ruang ekonomi masyarakat sekitar pabrik yang mayoritas petani, jurang stratifikasi sosial dikhawatirkan akan semakin tinggi. Padahal, persoalan kesenjangan ekonomi ini merupakan persoalan penting yang dihadapi Indonesia saat ini, dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi.
• Paradigma pembangunan modern yang sudah dilakukan di negara-negara maju termasuk Asia, pada saat ini sudah semakin meninggalkan industri
ekstraktif yang mengeksploitasi sumberdaya alam (tanah dan air), untuk keperluan tambang dan membabat hutan untuk perkebunan monokultur. Contohnya adalah ditutupnya pabrik-pabrik semen di China, yang merupakan produsen semen terbesar dunia, sejak 2013. Alasan penutupannya adalah dampak ekologis dan kesehatan warganya yang terpapar polusi pabrik semen. Sejak saat itu, Cina memindahkan sebagian industri semennya ke Indonesia
• Paradigma pembangunan modern adalah upaya memampukan anak-anak
muda, kecerdasan otak warga negara, perempuan dan laki-laki, untuk
menciptakan berbagai hasil cipta karya, melahirkan berbagai inovasi, kreasi,
yang berdaya saing. Keberhasilan membangun potensi hasil karya, temuan
teknologi, dan lahirnya hak kekayaan intelektual dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, akan semakin memperkaya keuangan negara. Hal ini sangat dimungkinkan mengingat Indonesia tengah memasuki masa jendela demografi pada tahun 2020-2035, di mana penduduk usia muda/ produktif akan mencapai jumlah 200-an juta, dan menyediakan potensi modal pembangunan dengan mengandalkan kecerdasan, kreasi dan inovasi mereka.

• Masih banyak cara untuk memajukan pembangunan bangsa termasuk menyediakan semen, dengan cara yang lebih mementingkan manusia dankelestarian alam, melalui ilmu pengetahuan dan teknologi modern dari ribuan otak pintar para ilmuwan, yang berhati jujur dan berintegritas. Kebutuhan semen saat ini tidak termasuk sangat urgen dibandingkan kepastian kedaulatan pangan masyarakat dan kepentingan konservasi. Produksi semen dalam negeri saat ini masih tercukupi, terutama di Pulau Jawa. Proyeksi kebutuhan semen ke depan juga masih aman. Oleh karena itu, mengorbankan pertanian dan sumber air warga demi produksi semen untuk ekspor tentu tidak bijaksana.

7. Rekomendasi
Pembangunan pabrik semen di Rembang sudah selesai, dan sekarang tinggal penambangannya. Berdasarkan paparan di atas, dengan segala hormat dan kerendahan hati, kami mendesak Bapak Presiden, untuk membatalkan rencana penambangan semen sebagaimana diamanatkan dalam putusan Mahkamah Agung. 
Pembangunan pabrik yang sudah telanjur berdiri harus ditinjau ulang berdasarkan perspektif yang kritikal, dengan prinsip kehati-hatian, agar tidak mengulangi berbagai kesalahan pembangunan sebelumnya. Bersama itu kiranya juga dapat ditinjau ulang berbagai penambangan lain yang sudah ada, baik yang legal maupun liar. 
Upaya melindungi keselamatan manusia dari bencana kerusakan ekologis yang tidak terbaharui, dan mempertahankan ruang hidup manusia yang berselaras dengan alam, kebudayaan dan peradabannya, jauh lebih berharga bagi masa depan Indonesia jangka panjang, daripada keuntungan ekonomi.

Jakarta, Senin: 3 April 2017

FORUM AKADEMISI PEDULI AGRARIA
1. PM Laksono, Prof (UGM)
2. Muhajir Darwin, Prof (UGM)
3. Sulistyowati Irianto, Prof (UI)
4. Mia Siscawati, PhD, (UI)
5. Rikardo Simarmata, Dr (UGM)
6. Suraya Afif, PhD (UI)
7. Amrih Widodo (Australian National University)
8. Hendro Sangkoyo, Dr. (SDE)
9. Lidwina Inge, Dr (UI)
10. Dian Noeswantari, S.Pi., M.PAA (Universitas Surabaya)
11. Riris Sarumpaet, Prof (UI)
12. Mayling Oey-Gardiner, Prof (UI)
13. Poppy Ismalina, M.E.c.Dev, PhD (UGM)
14. Moh. Sobary, Dr. (Universitas Indonesia)
15. Melany A. Sunito, M.Si. (Institut Pertaian Bogor)
16. Awaludin Marwan, S.H., M.H., M.A. (Fakultas Hukum Universitas
Pandanaran, Semarang)
17. Manneke Budiman (UI)
18. R.Yando Zakaria (Lingkar Pembaharuan Desa dan Agraria, Yogyakarta)
19. Satyawan Sunito, Dr. (Institut Pertanian Bogor)
20. Endriatmo Soetarto, Prof. (Institut Pertanian Bogor)
21. Tri Chandra Aprianto (UNEJ)
22. Benny D. Setianto, SH., LLM., MIL. (Fakultas Hukum dan Komunikasi
Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang)
23. Bivitri Susanti, SH., LL.M. (Wakil Ketua Sekolah Tinggi Hukum Jentera,
Jakarta)
24. David Bayu Narendra, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran,
Semarang)
25. Devi Rahayu, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Trunojoyo,
Madura)
26. Donny Danardono, SH., Mag.Hum. (Ketua Prodi Magister Lingkungan dan
Perkotaan dan Fakultas Hukum dan Komunikasi Universitas Katolik
Soegijapranata, Semarang)
27. Dri Utari CR, S.H., LL.M (Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
28. Dwi Rahayu K, S.H., MA. (Ketua Departemen HTN Fakultas Hukum
Universitas Airlangga)
29. Franky Butar Butar, SH., M.Dev. (Unair)
30. E. Prajwalita Widiati, SH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga)
31. Esmi Warasih Pujirahayu, SH., MS., Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas
Diponegoro, Semarang)
32. Fery Amsari, SH., MH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang)
33. Franky Butar-Butar, SH., M.Dev.Prac. (Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya)
34. Frits Siregar, SH., LLM., PhD. (Sekolah Tinggi Hukum Jentera, Jakarta)
35. Haris Azhar, SH., MA (Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta)
36. Haris Retno S, S.H,.M.H. (Ketua Pusat Studi Perempuan dan Anak Fakultas
Hukum Universitas Mulawarman, Samarinda)
37. Harry Supriyono, SH., M.Si., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,
Yogjakarta)
38. Hasan Muazis, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Pandanaran,
Semarang)
39. Herdiansyah Hamzah, S.H., LLM. (Fakultas Hukum Universitas
Mulawarman, Samarinda)
40. Herlambang P. Wiratraman, SH., MA., Dr. (Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya)
41. Hifdzil Alim, S.H,.M.H. (Pusat Kajian Anti Korupsi Fakultas Hukum
Universitas Gadjah Mada)
42. HS. Tisnanta, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Lampung, Bandar
Lampung)
43. Iman Prihandono, SH., MH., LLM., PhD. (Fakultas Hukum Universitas
Airlangga, Surabaya)
44. Joeni A. Kurniawan, SH., MA. (Fakultas Hukum Universitas Airlangga,
Surabaya)
45. Khairani Arifin, SH., M.Hum (Ketua Pusat Studi HAM, Fakultas Hukum
Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh)
46. Kurnia Warman, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Andalas,
Padang)
47. Manunggal K. Wardaya, SH., LLM. (Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto)
48. Mela Ismelina, SH., M.H., Dr. Prof. (Fakultas Hukum Universitas Islam
Bandung)
49. Melkias Hetharia,S.H.,M.H., Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas
Cendrawasih, Jayapura)
50. Mohamad Ilham Agang, S.H., M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas
Borneo, Tarakan)
51. Muhtar Said, S.H., M.H. (Fakultas Hukum Universitas Nahdlatul Ulama
Indonesia, Jakarta)
52. Myrna A. Safitri, PhD (Fakultas Hukum Universitas Pancasila, Jakarta)
53. Oce Madril, S.H., M.A. (Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada,
Yogyakarta)
54. Rahayu., SH., MH. Dr., Prof. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro)
55. Rian Adhivira Prabowo, S.H., S.Sos, M.H. (Fakultas Hukum Universitas
Pandanaran, Semarang)
56. Rikardo Simarmata, PhD. (Fakultas Hukum Universitas Gajahmada,
Yogyakarta)
57. Siti Rakhma Mary Herwati, SH., M.Si., MA. (Prodi Hukum Universitas
Presiden, Bekasi)
58. Eko Cahyono, S.Th.I, MSi (Fakultas Ekologi Manusia, Institute Pertanian
Bogor)
59. Stefanus Laksanto Utomo, S.H.,M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas
Sahid)
60. Suteki, S.H., M.Hum., Dr. Prof. (Fakultas Hukum Universitas Diponegoro
Semarang)
61. Syukron Salam, SH., MH. (Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang,
Semarang)
62. Tristam P. Moeliono, SH., LLM., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Katolik
Parahyangan, Bandung)
63. W. Riawan Tjandra, SH., MH., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Atmajaya,
Yogyakarta)
64. Widodo Dwi Putro, S.H., M.H., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Mataram,
Nusa Tenggara Barat)
65. Yance Arizona, SH., MH., MA. (Prodi Hukum Universitas Presiden, Bekasi)
66. Zainal A. Mochtar, SH., LLM., Dr. (Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, Yogjakarta)
67. Yacinta Kurniasih (Monash University Australia)
68. Patrick Ziegenhain, Dr.Prof, (Department of Southeast Asian Studies, Goethe
University, Frankfurt, Germany)
69. Heru Nugroho, Prof, (UGM)
70. Ratna Noviani, Dr (UGM)
71. Dewi Candraningrum, Dr, (Jejer Wadon, Surakarta)
72. Sylvia Tiwon, Prof, (Univ California at Berkeley
73. Rachmi Diyah Larasati, Prof, (Univ of Minnesota
74. Dyah Pitaloka PhD, (Univ of Sydney)
75. Manneke Budiman, Ph.D. (Universitas Indonesia)
76. R. Yando Zakaria (Lingkar Pembaruan Desa dan Agraria)
77. Muktiono, SH., M.Phil. (Fakultas Hukum Universitas Brawijaya).
78. Wahyu Prasetywan, PhD (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
79. Eko Teguh Paripurno, Dr. (UPN Veteran, Yogyakarta)
80. Zainal Abidin Bagir, (UGM)
81. Mariane Klute (Regenwald Berlin).
82. Hariadi, MA, PhD (Univ.Jendral Sudirman).
83. Andi Tri Haryono, S.E., M.M (Universitas Pandanaran Semarang).
84. Yunita Winarto, Prof, Dr. ( Univ. Indonesia)
85. Karlina Supelli, Dr, (STF Driyarkara)
86. Andri Wibisana, Dr, (Fak. Hukum Univ. Indonesia)
87. Risa Permanadeli, Dr (Pusat Kajian Representasi Sosial)
88. Rahayu Surtiati, Prof, (UI)
89. Iva Kasuma, SH MA (UI)
90. Irwanto, Prof, Dr, (Univ Atmajaya Jkt)
91. Bungaran Anton Simanjuntak, Prof, Dr (Unimed)
92. Edy Ikhsan Dr, MA
93. Anna Erliyana, Prof, Dr (UI)
94. Khaerul Nur Umam, Dr, (UI)
95. Ina Hunga, Dr, (UKSW)
96. Asep Saefudin, Prof, (IPB)
97. Saparinah Sadli, Prof, (UI)
98. Ratna Sitompul, Dr, (UI)
99. Ina Hunga, Dr, (UKSW)
100. Suwardi Endraswara (UNY)
101. Muhyanur Syahrir, S.Pd., M.Pd. (Lembaga Pemerhati Masyarakat Sulawesi)
102. Widyastuti Purbani (UNY)
103. Prof. Dr. Melani Budianta, Prof, Dr, (UI)
104. Siti Adiprigandari Adiwoso, M.Sc., Ph.D., S.H. (UI)
105. Titiek Kartika, Dr (Univ Bengkulu)
106. Herry Yogaswara, Dr (LIPI)
107. Bambang Hudayana, Dr (UGM).
108. Agus Sarjono, Prof, Dr, (UI)
109. Rosa Agustina, Prof, Dr, (UI)
110. Felix Oentoeng Soebagyo, Prof, Dr, (UI)
111. Martua Sirait, PhD, (ISS) Belanda
112. Moh. Shohibuddin, MSi (Amsterdam Univ)
113. Tien Handayani SH. MH (UI)
114. Tirtawening, SH, MA (UI)
115. Selly Riawanti (Universitas Padjajaran)
116. Bambang Hudayana, Dr (UGM)


Keterangan:
Dukungan dari akademisi dan peneliti untuk perjuangan penyelamatan pegunungan Kendeng dan masyarakatnya dari ancaman industri semen masih terus mengalir dan tetap terbuka, tidak dibatasi waktu. Hanya demi tujuan publikasi saja, dokumen ini mesti difinalkan.

0 komentar:

Posting Komentar