Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Rabu, 29 Maret 2017

Gandhi, Samin dan Semen



Saya mengenal orang tua yang sudah saya anggap orang tua sendiri. Tinggal di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pak Sugandhi namanya, seperti petani kebanyakan ia mengerjakan tanahnya yang kecil, sekaligus kerja serabutan lainnya. Istrinya, membantu dengan berdagang kecil-kecilan kadang bakso, telur asin, selai pisang. Khas tipikal warga desa kebanyakan.
Suatu sore, dalam percakapan kopi dengan singkong goreng, saya bertanya asal usul namanya. “Kalau “Su” saya mengerti, itu kependekan dari Sugeng, artinya adalah baik atau kebaikan”, kata saya. “Kalau Gandhi itu artinya apa?, tanyaku. “Menurut orang tua saya, nama Gandhi karena mendengar bahwa ada tokoh kemerdekaan India, mas. Namanya Gandhi. Tapi, ya entah, namanya juga orang tua saya cuma mendengar, saya sendiri tak pernah tahu secara pasti.”
Saya tersenyum dan membenarkan perihal nama tersebut. Gandhi itu tokoh utama dalam perjuangan kemerdekaan India, jelas saya. Saya jadi teringat Mahatma Gandhi, dengan kata-katanya yang sangat terkenal. Dunia ini cukup untuk menghidupi semua manusia. Namun tak pernah cukup bagi satu orang yang serakah. Ternyata di pojok Jawa ini, ada orang tua yang lebih tepat disebut marhaen namun bernama Gandhi.
Tak dinyana, suatu hari ditahun 2015 saya berkenalan dengan salah satu tokoh utama penerus ajaran Gandhi saat ini, karena diberi kesempatan menjadi moderator di sebuah forum di Gujarat, India. Ia adalah pemimpin dari organisasi Ekta Parishad di Kerala, India, Raj Ghopal namanya. Tokoh paling terkenal dan konsisten menyebarluaskan ajaran Gandhi ke seluruh dunia. Non violence itu anti kapitalisme, bagaimana mungkin orang yang memahami ahimsa bisa merusak manusia dan bumi demi keuntungan pribadi atau golongan. Sampai sekarang, teman-teman Ekta Parishad ini rutin mengirimi saya berbagai buku, video dan link berita tentang aktivitas mereka.
Bung Hatta juga pernah dijuluki sebagai Gandhi dari Jawa. Saat itu Bung Hatta diundang oleh pemerintah Jepang sebelum pecah Perang Dunia II. Pemerintahan Jepang mengundang beliau untuk memamerkan kemajuan negeri matahari terbit. Saat kedatangannya, koran-koran memberi ucapan selamat datang kepada Gandhi dari Jawa. Julukan tersebut diberikan bukan karena basa-basi, tapi karena konsistensinya beliau dalam gerakan non cooperatie (tak mau bekerjasama) dengan pemerintah penjajah Belanda. Ajaran kemandirian yang mirip dengan ajaran pokok Gandhi.
Ajaran utama Gandhi adalah ahimsa alias anti kekerasan, satyagraha alias selalu mencari dan berpegang teguh kepada kebenaran dan kejujuran, serta swadesi yang berarti kemandirian. Sebenarnya, di tanah Jawa bisa kita dijumpai ajaran serupa, jika dibandingkan dengan Gandhi tentu lebih tua dan dijalankan oleh Masyarakat Samin di Jawa Tengah, khususnya di Blora, Pati dan Rembang. Ajaran ini berasal dari Samin Surosentiko, yang bernama asli Raden Kohar, seorang tokoh dari Blora yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial Belanda pada 1890 dengan menolak membayar pajak karena membebani petani dan menolak mengikuti aturan yang dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda.
Masyarakat Samin saat ini sedang melawan pendirian pabrik semen. Sudah bertahun-tahun lamanya. Karena filosofi samin, mereka tak pernah bersuara keras apalagi memaki meski telah disakiti. Namun suara mereka terdengar sampai jauh. Mereka melawan dengan mendirikan tenda, aksi-aksi budaya. Mengapa menolak pabrik Semen? Untuk menyelamatkan Pegunungan Kendeng yang merupakan sumber mata air, sumber kesuburan bagi puluhan ribu hektar sawah dan ratusan ribu warga. Menjadi petani itu pilihan dan meneruskan ajaran leluhur kami, tak mengganggu siapapun. Jika sumber mata air hilang, sawah tak bisa ditanam, air harus membeli. Apa yang mau disisakan kepada kami?
Bersama beberapa kawan, tahun lalu, saya pernah menemani Gunretno, salah satu pemimpin Masyarakat Samin bertemu Kapolri sebelum Jend. Tito. Ia melaporkan penambangan liar yang dibiarkan polisi bahkan menggunakan dinamit dan hasil tambang tersebut bebas melenggang ke pabrik semen yang di Gresik dan Pati. Kalau pabrik semen bertambah lagi, apakah semua Pegunungan Gendeng akan rata dengan tanah.
Karena filosofi Samin yang mereka terapkan, saat diundang oleh Presiden Jokowi, Gun Retno dan Ibu Kartini kendeng ini “nembang” di depan presiden untuk menyampaikan uneg-uneg mereka. Saya mencoba mengingat kalimat-kalimat pokok yang sering mereka tembangkan setiap aksi. Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili.
Perjuangan mereka sebenarnya telah dimenangkan oleh Mahkamah Agung dengan membatalkan izin lingkungan pabrik yang dengan demikian menutup pendirian pabrik Semen Indonesia. Namun putusan MA tersebut, oleh pemerintah Jawa Tengah dijawab dengan kejam: menerbitkan izin baru.
Karena izin baru ini mereka kembali protes. Mengecor kaki mereka dengan semen di depan Istana. Sebab Gubernur memberi izin baru padahal MA sudah memutuskan. Keputusan tertinggi di Republik ini diabaikan. Dalam aksi ini Bu Patmi yang turut mengecor kaki, meninggal dunia karena serangan jantung.
Kali ini Istana bergeming. Tak mau menemui, bahkan para pejabat KSP lebih suka ditemui di kantornya. Dengan susah payah dengan kaki dicor mereka datangi untuk menyampaikan pandangan.
Akhirnya, melalui pertemuan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama Presiden di istana, Gunarti -tokoh perempuan Petani Kendeng— bisa bertemu dengan Presiden Jokowi. Gunarti memberikan Tembang Pangkur kepada Presiden. Mungkin sebuah sindiran halus khas orang Jawa kepada Presiden yang juga seorang Jawa. Mungkin lo, ya. Tapi, presiden juga pintar menyindir, “Jangan sedikit-sedikit masalah dibawa ke Presiden, lalu Gubernur dan Bupati kerja apa?, demikian Presiden yang dilansir media massa setelah pertemuan usai.Gubernur kerjanya menerbitkan izin baru yang telah dibatalkan MA, pak, batin saya.
Saya mencoba mencari tahu apa itu Tembang Pangkur. Menurut Budayawan Jaya Suprana, Pangkur berasal dari kata ‘mungkur’ yang memiliki arti pergi atau meninggalkan. Tembang Pangkur menggambarkan kearifan kehidupan yang seharusnya dapat menjauhi berbagai hawa nafsu dan angkara murka. Di saat menghadapi sesuatu yang buruk sebaiknya manusia pergi menjauhi dan meninggalkan yang buruk tersebut.
Untuk menutupi pemerintah melawan putusan MA, dihembuskan kabar, oleh lingkaran kekuasaan dan pabrik, bahwa masyarakat ini hanya menolak pabrik Semen Indonesia di Rembang. Mereka tidak menolak pabrik yang di Pati, padahal pabrik ini milik asing. Maksudnya, aksi-aksi ini adalah orang-orang bayaran yang memanfaatkan petani dan masyarakat samin yang lugu karena persaingan bisnis pabrik semen.
Terbaru, mereka menyampaikan bahwa mereka yang berlawan alias Masyarakat Kendeng tersebut tak pernah menuntut penutupan pabrik. Hanya menuntut pencabutan izin lingkungan pabrik.
Ah, seandainya mereka mau gunakan gawai mereka untuk membaca bagaimana Gunretno, Gunarti dkk berjuang menyelamatkan Pegunungan Kendeng dari Pati sampai Rembang. Bertahun-tahun lamanya. Tak hanya di Rembang, juga di Pati sejak 2006 hingga sekarang.
Saya kembali teringat kata-kata Gunretno, “jika kelak sawah tak bisa dipakai, dan mungkin akan membeli air tawar karena lingkungan rusak dan berganti menjadi cerobong pabrik semen yang berdebu. Apakah itu yang disebut pembangunan? Apakah alasan penolakan dan perlawanan bertahun-tahun tersebut terlalu sulit dipahami?

*Iwan Nurdin, Ketua Dewan Nasional KPA

Senin, 27 Maret 2017

Pak Jokowi, Eling Pesan Bu Patmi !


Siaran Pers "Koalisi Untuk Kendeng Lestari, 
Jakarta, 27 Maret 2017. 


"Bu Patmi berjuang dengan keyakinan hukum, putusan pengadilan dapat ditegakkan. Bu Patmi juga percaya Pemerintah RI tidak akan diam melihat rakyatnya disengsarakan perusahaan pelanggar hukum. Bu Patmi juga percaya Presiden adalah pimpinan tertinggi negara dan pemerintahan yang dapat menertibkan kepala daerah yang melanggar hukum. Karena kepercayaan itulah Bu Patmi datang ke Jakarta dan aksi demi mendapatkan tindakan nyata Presiden"
Tujuh hari sudah semenjak Ibu Patmi berpulang, atau 14 hari sejak aksi #DipasungSemen2, gerakan menolak pabrik semen di Pegunungan Kendeng membesar. Ini menepis asumsi arus penolakan pabrik semen akan menurun atau berhenti. Namun sebaliknya gerakan ini terus berlanjut. Hingga kemarin (26/03/17) tercatat aksi solidaritas Kendeng Lestari sudah dilakukan di 35 lokasi. Sayangnya, belum nampak niat baik dan pernyataan membesarkan hati dari Jokowi, selain “berpaling muka” dengan menyerahkannya pada Gubernur Jawa Tengah saat ditanya oleh Gunart – perwakilan warga Kendeng di Istana.
Padahal sejatinya, sikap warga Kendeng menolak pertambangan dan pabrik semen tak semata untuk menyelamatkan pegunungan Kendeng, tapi menyelamatkan pulau Jawa. Bentang alam karst memiliki fungsi hidrologi yang mengontrol sistem ekologi di dalam kawasan, permukaan bukit karst berperan sebagai penyimpan utama air. Pulau Jawa memiliki luasan karst paling kecil dibanding pulau besar lainnya di Indonesia. Padahal sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di pulau Jawa, sekitar 145.143.600 jiwa (BPS, 2015). Sebaran batu gamping di Jawa hanya sekitar 1.112.418 hektar, dan sekitar 11, 18 juta jiwa tinggal di dalam kawasan batu gamping. Tekanan terhadap kawasan karst saat ini adalah pertambangan dan pabrik semen. Saat ini sudah ada 21 pabrik semen beroperasi di Jawa (Falah, 2016). Bertambahnya tambang gamping dan pabrik semen akan memperburuk kualitas lingkungan di pulau Jawa.
Ditengah akhir penyusunan KLHS, terdengar kabar gembira lewat pernyataan dari Ketua Tim Penyusun Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), yang menyebutkan bahwa Daerah Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih yang merupakan area tambang PT. Semen Indonesia adalah Wilayah yang tidak layak ditambang . Jauh-jauh hari sebelumnya Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI pada 16 Januari 2016 juga mengirim surat kepada Ganjar Pranowo mengingatkan daerah CAT WAtuputih mengindikasikan Kawasan Bentang Alam Karst yang tidak boleh ditambang. Ini semakin menegaskan kesalahan Gubernur Jawa Tengah dan PT. Semen Indonesia.
Kesedihaan atas meninggalnya Ibu Patmi, tujuh hari yang lalu dalam aksi menolak pabrik semen, bukannya menyurutkan perjuangan. Justru memberikan energi baru terhadap perjuangan dulur-dulur Kendeng menolak pabrik semen di wilayah pegunungan Kendeng. Beliau pun juga menginspirasi gerakan penolakan terhadap pabrik semen di berbagai daerah seluruh Indonesia. Sore ini, di depan istana – Koalisi untuk lendeng Lestari akan meneruskan perjuangan sekaligus mengadakan selamatan Brokohan untuk mendoakan kepergian Bu Patmi dan keberhasilan perjuangan menyelamatkan pegunungan Kendeng.
Sayangnya kematian Ibu Patmi hanya ditanggapi dengan ucapan belasungkawa oleh pemerintah serta pemberian uang santunan. Pemerintah seakan tutup mata dan pura-pura tidak memahami alasan kenapa Ibu Patmi memasung kakinya dengan semen hingga ajal menjemput.
Untuk terus mendorong #KendengLestari dan menunjukkan bahwa #KendengTidakSendiri, Koalisi untuk Kendeng Lestari tetap melanjutkan perjuangan beliau dengan tetap memasung kaki kami dengan semen hingga Presiden Jokowi memerintahkan Gubernur Jawa Tengah untuk mencabut izin lingkungan pembangunan pabrik semen dari PT Semen Indonesia.
Hari ini ada setidaknya ada 23 (dua puluh tiga) orang dari berbagai organisasi yang akan dicor kakinya 

1. Titin Wahab – Arus Pelangi
2. Rendi Ahmad – Simponi Band
3. Rio Senovel – Ciliwung Merdeka
4. Leonard Siamjuntak – Green Peace
5. Pius Ginting – AEER
6. Nadin Dulu – AMAN
7. Redho Taqwa – warga Tangerang
8. Melva Harahap – WALHI
9. Fahs Agatoratma – WALHI
10. Rayi Fahmi – Green Peace
11. Sobirin – Desantara
12. Anna – Kalyanamitra
13. Johanna – Kalyanamitra
14. Veronica Indri – Institute Kapal Perempuan
15. Veronica Koman – Papua Itu Kita
16. Maulana – FORMAPIH Medan
17. Helena – AMP
18. Arepu Sama – AMP
19. Dean Asso – AMP
20. Karon – LBH Jakarta
21. Bob – AMP
22. M.Arinal Haqil Ghifari – PA Urindo (Respati)
23. Imam Sofwan – Yayasan Pantau
Ibu Bumi Wis Maringi,
Ibu Bumi Dilarani,
Ibu Bumi Kang Ngadili
CP : Matthew 0859 2064 1931 / Galesh 0838 7700 3355

Surokonto Wetan: "Kurung Siji Kurung Kabeh"

KURUNG SIJI KURUNG KABEH 
[Penjarakan Satu Penjarakan Semua] 


Tak hanya petani Rembang, Pati dan Blora yang jadi korban tambang dan pabrik semen. Petani Surokonto Wetan di Kabupaten Kendal, juga menjadi korban tukar guling lahan untuk pabrik semen di Rembang. Kriminalisasi berawal dari masalalah ‘"Tanah Negara’’ yang dijadikan sebagai lahan tukar menukar yang ditetapkan melalui SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri, seluas 127.821 Hektar di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Sebagai lahan pengganti kawasan hutan yang digunakan oleh PT. Semen Indonesia di Rembang sebagai tapak pabrik. Dengan objek tukar menukar lahan berada di Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal dengan luas 127.821 Ha.
Hari ini, 27 Maret 2017 adalah hari dimana jaksa akan melakukan perintah penetapan Pengadilan Tinggi (PT) Jateng untuk menahan Kyai Nur Aziz dan kedua petani Surokonto Wetan, Kendal, lainnya.
Sebelumnya pada tgl 23 Maret 2017, istri ketiga Petani tersebut telah melayangkan permohonan penangguhan penahanan ke PT Jateng namun sampai saat ini belum ada keputusan diterima atau tidaknya. Oleh karena itu, hari ini ratusan petani surokonto wetan kendal kembali lagi mendatangi PT Jateng utk meminta agar majelis hakim PT mengabulkan penangguhan penahanan.
Sumber : LBH Semarang

Seruan Aksi

PANTANG PULANG SEBELUM PENANGGUHAN PENAHANAN DIKABULKAN
3 Petani di Vonis 8 Tahun Pidana Penjara dan Denda 10 Milyar!!!
[MASYARAKAT ADAT, MASYARAKAT DISEKITAR HUTAN, DAN MASYARAKAT DIDALAM HUTAN YANG MEMANFAATKAN KAWASAN HUTAN TIDAK DAPAT DIPIDANA]
.
Pada 18 Januari 2017, Pengadilan Negeri Kendal memvonis 3 petani di Desa Surokonto Wetan dengan pidana MASING-MASING PIDANA PENJARA 8 TAHUN DAN MASING-MASING DENDA 10 MILYAR RUPIAH, Pasal 94 ayat (1) huruf a UU PPPH dengan pertimbangan hakim, menyebutkan bahwa para petani tersebut terbukti secara sah dan menyakinkan melakukan perbuatan melawan hukum dengan memanfaatkan lahan tersebut. Dan atas Vonis tersebut dilakukan upaya hukum banding di Pengadilan Tinggi Jawa Tengah.

Para Petani, tersebut adalah Nur Aziz (44), Sutrisno Rusmin (63), dan Mujiono (39), mereka adalah perwakilan masyarakat dari Perkumpulan Petani Surokonto Wetan (PPSW), ketiganya dilaporkan oleh Perhutani KPH Kendal, dengan tuduhan mengorganisir masyarakat dalam melakukan perlawanan terhadap Perhutani. Padahal, ketiga Petani tersebut hanya mempertanyakan, kebenaran dari lahan yang digarap lebih dari 400 masyarakat Desa Surokonto Wetan, sejak tahun 1970-an, Lahan tersebut merupakan lahan turun temurun yang sudah dimanfaatkan masyarakat Desa, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Penderitaan Petani, Desa Surokonto Wetan semakin menjadi-jadi dan sangat berat, dengan adanya Surat Penetapan Penahanan dari Pengadilan Tinggi Jawa Tengah, tertanggal berita penahanannya terhitung sejak 27 maret s.d. 25 April 2017., penahanan tersebut atas upaya hukum banding yang sedang dilakukan oleh para petani dan kuasa hukumnya.

Penetapan penahanan itu sangat memberatkan para petani Surokonto Wetan, atas kasus kriminaliasi yan dilakukan oleh Perhutani ini saja mereka harus wajib lapor saat penyidikan, proses peradilan harus sidang setiap minggu, dan sekarang akan ditahan. Hal ini justru, membuat hukum Indonesia semakin tumpul terhadap masyarakat kebawah, selama proses dari penyidikan hingga vonis, 3 Petani tersebut tidak pernah melakukan perbuatan yang bersifat menunda atau menggangu proses hukum, tetapi mengapa mereka akan ditahan? Dan pula kita mengenal asas praduga tidak bersalah (persumption of innocence), faktanya 3 petani tersebut tidak pernah menunda persidangan, dan menimbang bahwa penetapan tersebut berdasarkan bahwa petani akan merusak hutan, faktanya adalah perbuatan mereka seharusnya menghormati nilai-nilai asas praduga tak bersalah, bukan malah menyudutkan petani adakan merusak kawasan hutan. Kemudian, bila 3 petani tersebut di tahan, itu akan sangat memberatkan keluarganya khususnya, yang masih memiliki anak-anak yang butuh kehadiran Ayahnya, pula 3 petani tersebut adalah tulang punggung keluarga. maka penahanan tersebut sangat memberatkan dan menciderai para penghormatan hak asasi manusia di Indonesia!

Terhadap Putusan atau Vonis Hakim PN Kendal, menurut para penasihat hukum terdapat kekeliruan Majelis Hakim dalam mempertimbangkan aspek hukum. Bahwa jelas dalam putusan Mahkamah Konstitusi Nomor. 95/PUU-XII/2014, menyebutkan bahwa: ‘’Memang seharusnyya masyarakat yang hidup secara turun temurun didalam hutan yang membutuhkan sandang, pangan, dan papan untuk kebutuhan sehari-hari dengan menebang pohon dan dapat dibuktikan tidak disalahgunakan untuk kepentingan pihak lain (komersial) sehingga bagi masyarakat tersebut tidaklah termasuk dalam larangan, sehingga tidak dapat dijatuhkan sanksi pidana terhadapnya. Sebaliknya negara justru harus hadir memberikan perlindungan terhadap masyarakat demikian. Dengan demikian permohonan para pemohon sepanjang mengenai pengecualian terhadap masyarakat yang hidup di dalam hutan dan tidak ditujukan untuk kepentingan komersial, beralasan menurut hukum untuk sebagian sepanjang yang berkaitan dengan dan hanya terhadap masyarakat yang hidup secara turun temurun didalam hutan...,(vide Putusan MK No. 95/PUU-XII/2014 hal. 181). Lanjutnya, Bahwa masyarakat yang hidup dalam kawasan hutan harus dihubungkan akan sandang (kebutuhan pakaian), pangan (kebutuhan makanan), dan papan (kebutuhan perumahan) dari hutan, dengan demikian yang dimaksud masyarakat yang hidup dalam hutan adalah masyarakat yang mengantungkan kebutuhan hidupnya untuk keperluan sandang, pangan dan papan dari hutan. Dengan kata lain hanya masyarakat yang memiliki relasi kehidupan yang kuat dengan hutan. Atas pertimbangan MK tersebut, Majelis Hakim di PN Kendal terlihat tidak memhami putusan MK tersebut dengan baik.

Upaya Banding, adalah upaya hukum bagi petani untuk mencari keadilan atas tidak diprolehnya keadilan di PN Kendal. Biarlah upaya hukum tersebut berlangsung dengan baik dan memproleh keadilan seadilnya. Tetapi, untuk proses tersebut kiranya penghormatan terhadap hak-hak masyarakat, asas paraduga tidak berasalah, hak untuk menghidupu keluargnya, hak untuk berdudukan sama di mata hukum ,dan hak mendasar lainnya, atas dasar itu semoga permohonan penangguhan penahanan terhadap Petani diterima. Dan untuk itu, mengundang seluruh jaringan masyarakat di yang peduli terhadap nasib petani dan menyakini bahwa konflik-konflik terhadap petani masih terjadi sampai sekarang, untuk dapat datang dan menemani para warga Surokonto Wetan. Adapun aksinya akan dilakukan pada:

Hari dan Tanggal: Senin, 27 Maret 2017
Pukul: 10:00 WIB
Bertempat: Pengadilan Tinggi Jawa Tenggah
.
Aksi ini bertujuan untuk menangguhkan penahanan terhadap 3 Petani Surokonto Wetan.
#LawanKriminaliasiPetani
#WujudkanReformaAgrariaSejati
#LaksanakanPutusanMK95/2014
.
Kontak Person
Samuel Rajagukguk (YLBHI-LBH Semarang): 0823-2604-6489
Kahar Muamalsyah S.H. (PBHI Jawa Tengah) 0815-6592-812
Dian Puspita Sari S.H. (LRC KJ-HAM Semarang) 0856-4080-7986
________
Pres Release
CABUT PENETAPAN PENAHANAN 3 Petani Surokonto Wetan: 
"Negara Mengkhianati Petani, Negara Mengkhianati Reforma Agraria Sejati"
Reforma Agraria sejati hanya slogan belaka dalam Nawa Cita Presiden Jokowi, kekerasan-kerasan terhadap petani belakangan ini semakin menjadi-jadi, dan sudah berapa petani mengalami kekerasan dari aparatur-aparatur sipil negara, hingga militer. Negeri yang besar dan kaya akan kekayaan alam, khusus sumber pangan, dan terkenal sebagai negeri agraris hanya slogan saja. 
Pada 18 Januari 2017, Pengadilan Negeri Kendal mevonis 3 petani di Desa Surokonto Wetan dengan pidana MASING-MASING PIDANA PENJARA 8 TAHUN DAN MASING-MASING DENDA 10 MILYAR RUPIAH. Dengan pertimbangan hakim, bahwa Para Petani terbukti merusak kawasan hutan, yang dimana kawasan hutan tersebut hanya bentuk tidak berdayanya pejabat negara dan negara menegakkan hukum. Kawasan hutan tersebut ditetapakan sebagai kawasan hutan tidak melalui proses clean and clear, yang artinya cacat prosedur, karena bagaimana bisa tanah negara dapat diperjual-belikan.
Atas Vonis Hakim yang tidak berkeadilan, Para Petani melakukan upaya hukum banding di Pengadilan Jawa Tengah. DAN PADA TANGGAL 20 MARET 2017 PARA PETANI MENERIMA SURAT DARI PT JAWA TENGAH YANG MEMERINTAH UNTUK PARA PETANI DITAHAN. PENETAPAN PENAHANAN TERSEBUT MEMBUAT PENDERITAAN PARA PETANI SEMAKIN BERAT. SEBAB, PARA PETANI MASIH MEMILIKI KELUARGA DAN ANAK ANAK YANG MEMBUTUHKAN SOSOK SEORANG AYAH, DAN JUGA SEBAGAI TULANG PUNGGUNG KELUARGA. KEMUDIAN, MENIMBANG PASAL 31 KUHAP BAHWA DAPAT DILAKUKAN PENANGGGUHAN PENAHANAN.
Kriminalisasi berawal dari masalah ‘’Tanah Negara’’ yang dijadikan sebagai lahan tukar menukar yang sitetapakan melalui SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 Hektar di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Sebagai lahan pengganti kawasan hutan yang digunakan oleh PT. Semen Indonesia di Rembang sebagai tapak pabrik. Dengan objek tukar menukar lahan berada di Desa Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal dengan luas 127.821 Ha.
Jauh sebelum ada penetapan lahan 127.821 Ha. di Surokonto Wetan, Kabupaten Kendal. Masyarakat sudah menggarap lahan tersebut dari tahun 1972. Bahwa saaat itu PT. Sumurpitu dengan HGU yang diterbitkan oleh Keputusan Menteri Dalam Negeri/ Dirjen Agraria Nomor SK 166/HGU/DA72 tanggal 13 Oktober 1972. HGU yang berlaku sampai 31 Desember 1997 dengan status tanah sebagai TANAH NEGARA. PT Sumurpitu Wringinsasi memiliki hak Pengelolahan.
Pada tahun 1972, PT Sumurpitu melakukan penanaman dilahan yang diterbitkan HGU tersebut. Penanaman hanya dilakukan sekali dan setelah itu PT Sumurpitu menelantarkan lahan tersebut. Melihat lahan yang tidak diolah secara baik, warga desa Surokonto Wetan menggarap lahan tersebut.
Bahwa tahun 2014, terbit SK Menhut dengan NomoR SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 Hektar di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Dengan adanya SK Menhut tersebut, Perhutani KPH Kab. Kendal Mengadakan penawaran terhadap warga Desa Surokonto Wetan untuk kerjasama dalam pengelolahan kawasan hutan.
Warga menolak penawaran tersebut, dan melakukan penolakan pada saat penawaran yang dilakukan KPH Perhutani Kab. Kendal tersebut. Warga tidak tahu menahu persoalan perubahan status kepengolahan HGU PT Sumurpitu Wringinsari yang merupaka tanah negara telah berubah status menjadi milik perhutani KPH Kendal.
Pada 30 maret 2016, Perhutani KPH Kab. Kendal melakukan intimidasi terhadap warga Surokonto Wetan dengan mengadakan upacara simbolik penanaman pohon yang juga diiringi oleh ratusan aparat kepolisian, Brimbob, dan TNI. Brimbob juga mendirikan tenda dan berkemah disekitar SD Negeri 01 Surokonto Wetan sampai 2 April 2016.
Ketiga Terdakwa, Nur Aziz terdakwa I, Sutrisno Rusmin Terdakwa II, dan Mujiono Terdakwa III. Merupakan pengarap dilahan 127.821 Ha. tersebut. Ketiga Petani sudah mengarap lahan tersebut sejak dari tahun 1972, dan lahan tersebut merupakan lahan peninggalan dari orangtua dan leluhur mereka.
Vonis Hakim PN Kendal telah memposisikan hukum menjadi alat untuk menindas kalangan bawah, dan tumpul keatas. DalamVONIS HAKIM tersebut tampak bagaimana MAJELIS HAKIM tidak memahami kondisi sosial masyarakat Surokonto Wetan dan lebih memprioritaskan kepentingan Perhutani yang seringkali tidak memihak masyarakat sekitar hutan. Dominasi Perhutani dalam penguasaan Hutan di Jawa yang hingga hari ini tidak kunjung mendatangkan kesejahteraan masyarakat kian nyata, bahkan semakin kuat dengan diiringi ancaman nestapa bagi masyarakat. Hukum kini dijadikan oleh negara melalui Perhutani KPH Kendal bukan sebagai sarana mewujudkan keadilan serta kesejahteraan masyarakat melainkan sebagai sarana penindasan negara kepada rakyatnya.
Ini menjadi ironi di rezim Joko Widodo yang dalam Nawa Cita nya berkeinginan untuk menwujudkan Reforma Agraria. Konflik Agraria menjadi polemik yang berkepanjangan dan selalu mengorbankan para rakyat kecil, khususnya petani. Hal ini menambah pula semakin korban-korban dari timpangnya struktur Agraria di Indonesia. Jelas bahwa UUPA -sebagai salah perundang-undangan yang berorientasi rakyat- dibentuk untuk mengakhiri ketimpangan penguasaan lahan dan menwujudkan impelementasi atas Pasal 33 UUD 1945 NRI.
Untuk itu, tidak hanya sebatas kasus ini namun juga untuk seluruh kasus konflik agraria, negara hendaknya bertindak responsif dalam penegakan hukum. Bahwa yang semestinya dilayani oleh negara melalui aparaturnya adalah masyarakat banyak, bukan pihak-pihak yang ingin menguasai sumber daya namun tidak dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Kemudian, sebagai seruan kepada masyarakat umum dan jaringan solidaritas agar ikut menemani para petani melakukan aksinya. AKSI TERSEBUT ADALAH SEBAGAI UPAYA PERMOHONAN KEPADA PENGADILAN TINGGI JAWA TENGAH UNTUK TIDAK MENAHAN PARA PETANI, ATAS PENETAPAN YANG PENAHANAN YANG DIKELUARKAN OLEH PENGADILAN TINGGI JAWA TENGAH pada 18 maret 2017.
AKSI CABUT PENETAPAN PENAHANAN TERHADAP PARA PETANI SUROKONTO WETAN
HARI DAN TANGGAL: KAMIS, 23 MARET 2017
PUKUL: 10.00 WIB
BERTEMPAT: PENGADILAN TINGGI JAWA TENGAH
Kontak Person
Samuel Rajagukguk (YLBHI-LBH Semarang): 0823-2604-6489
Kahar M. S.H. (PBHI Jawa Tengah) 0815-6592-812
Dian Puspita Sari S.H. (LRC KJ-HAM Semarang) 0856-4080-7986

Jumat, 24 Maret 2017

Press-Release | Rakyat Indonesia Menolak Pabrik Semen di Pegunungan Kendeng



(Jakarta, 24/03/17) - Pernyataan Jokowi bahwa urusan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng bukan merupakan kewenangan pemerintah pusat (22/03), memicu protes dalam bentuk aksi solidaritas di berbagai daerah mendukung petani Kendeng menolak pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng. Aksi solidaritas ini terjadi di beberapa daerah yakni: Medan (Sumatera Utara), Lampung, Samarinda dan Balikpapan (Kalimantan Timur), Palu (Sulawesi Tengah), Bandung, Yogjakarta, Karawang, Solo, Semarang, Wonogiri, Purwokerto, Mojokerto, Malang dan Surabaya. Dukungan juga meluas secara global dari Friend of the Earth Internasional (FoEI), Jaringan Land Coalition dan Nahdatul Ulama cabang Amsterdam.
Serupa yang dilakukan oleh dulur-dulur Kendeng di Jakarta, aksi solidaritas di beberapa daerah ini dilakukan dengan cara ikut memasung kakinya dengan semen serta aksi teaterikal memprotes Gubernur Jawa Tengah yang membangkang putusan Mahkamah Agung, Ganjar Pranowo menerbitkan izin lingkungan pabrik semen di saat Presiden memerintahkan semua pihak menunggu hasil Kajian Lngkungan Hidup Strategis (KLHS) (Agustus 2016). Pembiaran Presiden terhadap tindakan tersebut menunjukkan tidak sekatanya perkataan dan perbuatan pemimpin Negara.
Meluasnya aksi solidaritas di beberapa daerah tersebut memberikan pesan tegas kepada Presiden Jokowi bahwa rakyat indonesia menolak pembangunan yang dilakukan dengan cara melanggar hukum dan merusak lingkungan, seperti yang dilakukan di kawasan Pegunungan Kendeng. 
Aksi-aksi itu juga ingin menunjukkan kepada para penguasa bahwa pemenuhan pangan dan air lebih mendesak dibanding kebutuhan pembangunan pabrik semen di Indonesia, khususnya pulau Jawa. 
Penambangan semen di wilayah karst akan menghilangkan sumber air para petani Kendeng. Apalagi Asosiasi Semen Indonesia menyebutkan produksi semen surplus hingga 27 juta ton pada 2016.
Aksi ini akan terus berlanjut hingga Presiden Jokowi memerintahkan Gubenur Jawa Tengah mencabut Izin Lingkungan PT Semen Indonesia serta menghentikan pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng, Rembang, Jawa Tengah. Kami mendesak Presiden untuk: 
(1) mematuhi isi Putusan Mahkamah Agung No: 99 PK/TUN/2016; dan 
(2) memerintahkan Ganjar Pranowo untuk mencabut Izin Lingkungan PT Semen Indonesia.

Rabu, 22 Maret 2017

Pesan Bu Patmi: Pak Jokowi, Tuntaskan Kasus Kendeng

Siaran Pers Koalisi Untuk Kendeng Lestari, 22 MAret 2017. 
"Saya datang ke Jakarta cuma minta Pak Jokowi menyelesaikan masalah Kendeng" - Patmi binti Rustam (1969-2017)

Bu Patmi adalah syuhada, pejuang yang tanpa lelah dan teguh dalam mempertahankan hartanya yang berharga: tanah dan air. Kawasan karts Pegunungan Kendeng adalah kehidupannya bersama anak, suami dan cucunya. Bersama perempuan-perempuan Kendeng lainnya, dia rela berjalan kaki ratusan kilometer dan ikut dalam aksi dipasung semen. Perjuangan Ibu Patmi adalah riwayat pergelutan dan keteguhan. Semua pihak pemerintah sudah didatangi, jalur hukum sudah dilakoni, berkali-kali aksi damai, menuntut pemerintah mencabut izin Semen di Pegunungan Kendeng.
Kepergian Bu Patmi di tengah medan perjuangan, menuntut presiden Jokowi menuntaskan kasus Kendeng membuat kami semua berduka sedalam-dalamnya. Protes sudah Bu Patmi sampaikan, tekad sudah Bu Patmi jalani dengan perbuatan, kini kami bertekad terus melanjutkan sampai harapan Bu Patmi dan sedulur Kendeng menjadi kenyataan.
Pada hari ini, sehari setelah wafat Bu Patmi, kami mahasiswa, buruh, aktivis, pegiat lingkungan, elemen masyarakat, secara serentak di Jakarta, Bandung, Bogor, Sulawesi Tengah, Purwokerto, Surabaya, Kalimantan dan berbagai kota lainnya melanjutkan perjuangan Ibu Patmi dan para petani Kendeng. Kami serempak memekikkan tuntutan yang sama dalam aksi #DipasungSemen2 : “Tutup Pabrik Semen, Hormati Hukum” dengan menyemen kaki kami. Tuntutan kami hanya satu: Presiden Jokowi memerintahkan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk mematuhi putusan MA dengan menghentikan dan menutup pabrik PT Semen Indonesia di Rembang.
Bagi kami, penanganan negara dalam menyelesaikan kasus Kendeng saat ini adalah dagelan, akrobat politik semata yang tidak menyelesaikan masalah. Kami sedih dan marah karena pemerintah tidak ada rasa malu dan bersalah, serta lepas tangan atas perjuangan warga Kendeng yang sudah bertahun-tahun. Ketidakadilan semakin meruncing, wibawa hukum merosot dan dilecehkan.
Kami minta Presiden menegakkan Negara Kesatuan RI sebagai Negara hukum dan wibawa Pemerintah terhadap Pemerintah daerah. Putusan Mahkamah Agung melalui Putusan No. 99 PK/TUN/2016 telah membatalkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 tahun 2012 tertanggal 7 juni 2012 serta Penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara Semarang nomor 064/G/2014/PTUN SMG. Esensi putusan MA tersebut adalah "penghentian operasi", bukan sekedar mencabut kertas izin. Oleh karena itu, penerbitan izin baru di tempat sama dengan esensi yang sama oleh Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo adalah "pembangkangan terhadap hukum dan wujud penggerogotan Negara Indonesia sebagai Negara hukum."
Negara seharusnya merasa malu karena "memaksa" rakyatnya melakukan aksi demi penyelamatan tanah tumpah darahnya yang dalam pembukaan UUD '45 menjadi tugas negara.
Kami bersama Bu Patmi
Ibu Bumi Wis Maringi
Ibu Bumi Dilarani
Ibu Bumi Kang Ngadili
Narahubung:
Alghiffari Aqsa +62 812 80666410
Arip Yogiawan +6281214194445


Sedikitnya 154 Sumber Air Kendeng Terancam Hilang oleh Pabrik Semen

  • March 22, 2017



IndoPress, Kendeng – Peneliti Karst dan Aliran Air Bawah Tanah A. B. Rodhi Al-Falah menyebutkan, pabrik semen di pegunungan Kendeng mengancam sedikitnya 154 sumber mata air alam. Lelaki yang tergabung dalam Masyarakat Speologi Indonesia ini menyebutkan angka tersebut masih belum seluruhnya, karena hingga saat ini belum ada penelitian menyeluruh atas sistem hidrologi di pegunungan Kendeng.
“Sungai-sungai bawah tanah di gua, di lorong-lorong tanah, belum semuanya diidentifikasi,” ujar pria yang kerap masuk ke gua-gua bawah tanah meneliti sistem hidrologi di Kendeng ini, Rabu 22 Maret.
Wilayah Watu Putih Kendeng sendiri tuturnya, merupakan kawasan Cekungan Air Tanah (CAT), yang dalam Perda Kabupaten Rembang sudah ditetapkan sebagai lahan geologi yang dilindungi karena berfungsi sebagai wilayah resapan air. Tidak boleh ada penambangan di sana karena bisa merusak air.
Lebih lanjut Rodhi mengingatkan bahwa semua sistem hidrologi bawah tanah ini saling terhubung, sehingga satu terdampak, maka wilayah lainnya juga akan kena.
“Itu ada dalam AMDAL yang dibuat oleh PT Semen sendiri, tertulis di Bab 5 Halaman 75,” terang Rodhi.
Dalam AMDAL itu, disebutkan PT Semen Gresik pada 3 titik bor memasukkan perunut, berupa air garam sekitar 6000 liter. Perunut terdeteksi di Mata Air Brubulan setelah 3,5 hari (82 jam) dengan jarak antara titik bor 3 dan Mata Air Brubulan sekitar 4 Km. Artinya, tutur Rodhi, area terdampaknya bisa meluas ke mana-mana. Terlebih hingga saat ini belum ada penelitian lengkap sejauh mana sistem hidrologi ini tersebar dan akan terdampak.
“154 mata air itu yang sudah kami teliti ada di daerah pinggir. Untuk daerah tengah, belum bisa kami teliti karena ada di lahan privat milik pabrik, milik Perhutani, dan lainnya, jadi sulit,” tutur Rodhi. ”
Rodhi berharap pemerintah berpikir ulang menambang karst di pegunungan Kendeng. Rodhi mencontohkan wilayah Tuban, Gresik, dan Cibinong, masyarakat sekarang kesulitan mendapatkan air saat musim kemarau dan membuat pendapatan masyarakat hilang.
“Sekitar 30 tahun lalu, di Citeureup, Cibinong terkenal istilah Haji Durian, karena banyak orang bisa naik haji dari durian. Namun sekarang, 20 tahun setelah pabrik semen di sana, sudah tak ada lagi,” ujar Rodhi.
Akankah pegunungan Kendeng mengalami nasib sama seperti di Cibinong ini? [Ngaenan/Yudhi]

https://indopress.id/sedikitnya-154-sumber-air-kendeng-terancam-hilang-oleh-pabrik-semen/


Selasa, 21 Maret 2017

Press-Release | Kendeng Menundukkan Kepala



Jakarta, Selasa, 21 Maret 2017
Sejak Senin 13 Maret 2017, warga pedesaan di kawasan bentang alam karst Kendeng memulai aksi kolektif untuk memprotes pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menanggapi penolakan warga kawasan Kendeng terhadap rencana pendirian dan pengoperasian pabrik Semen milik PT Semen Indonesia di Rembang dan semen lainnya di pegunungan Kendeng. 
Termasuk dalam ketidak-becusan tersebut antara lain adalah pengambilan keputusan dan tindakan yang mempermainkan hukum, termasuk mengecilkan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia yang membatalkan Ijin Lingkungan; dan mengganggu usaha warga untuk mendapatkan keadilan atau membiarkan berlangsungnya gangguan dari pihak lain.
Sejak awal, seluruh peserta aksi #DipasungSemen2 didampingi dan dimonitor selalu oleh tim Dokter yang siaga di YLBHI dan di lokasi aksi. Aksi protes berlangsung setiap hari, dimulai dari siang sampai sore, dengan fasilitas sanitasi lapangan dan peneduh. Pada sore hari peserta aksi pulang ke tempat beristirahat dan menginap di YLBHI jalan Diponegoro Jakarta.
Kamis, 16 Maret 2017, datang menyusul kurang-lebih 55 warga dari kabupaten Pati dan Rembang bergabung melakukan aksi pengecoran kaki dengan semen. Dua Puluh dari yang datang memulai mengecor kaki di hari Kamis tersebut. Bu Patmi adalah salah satu dari yang mengecor kaki dengan kesadaran tanggung jawab penuh. Beliau datang sekeluarga, dengan kakak dan adiknya, dengan seijin suaminya.
Senin Sore, 20 Maret 2017, perwakilan warga diundang Kepala Kantor Staf Presiden, Teten Masduki untuk berdialog di dalam kantor KSP. Pada pokoknya, perwakilan menyatakan menolak skema penyelesaian konflik yang hendak digantungkan pada penerbitan hasil laporan KLHS yang sama tertutupnya dan bahkan samasekali tidak menyertakan warga yang bersepakat menolak pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia dan Pabrik Semen lainnya di Pegunungan Kendeng tersebut.
Senin 20 Maret 2017, pada malam hari, diputuskan untuk meneruskan aksi tetapi dengan mengubah cara. Sebagian besar warga akan pulang ke kampung halaman, sementara aksi akan terus dilakukan oleh 9 orang. (Alm) Bu Patmi (48) adalah salah satu yang akan pulang sehingga cor kakinya dibuka semalam, dan persiapan untuk pulang di pagi hari.
Bu Patmi sebelumnya dinyatakan sehat dan dalam keadaan baik oleh Dokter. Kurang lebih pukul 02:30 dini hari (Selasa, 21 Maret 2017) setalah mandi, bu Patmi mengeluh badannya tidak nyaman, lalu mengalami kejang-kejang dan muntah. Dokter yang senang mendampingi dan bertugas segera membawa bu Patmi ke RS St. Carolus Salemba. Menjelang sampai di RS, dokter mendapatkan bahwa bu Patmi meninggal dunia. Pihak RS St. Carolus menyatakan bahwa bu Patmi meninggal mendadak pada sekitar Pukul 02.55 dengan dugaan jantung. Innalillahi wa inna lillahi roji'un.
Pagi ini jenasah almarhumah Bu Patmi dipulangkan ke desa Larangan, Kecamatan Tambakromo, Kabupaten Pati untuk dimakamkan di desanya. Dulur-dulur kendeng juga langsung pulang menuju Kendeng.
Kami segenap warga-negara Republik Indonesia yang ikut menolak pendirian pabrik semen di Pegunungan Kendeng berduka atas kematian bu Patmi dalam aksi protes penolakan di seberang Istana Presiden ini. Kami juga ingin menegaskan kekecewaan kami yang mendalam terhadap tumpulnya kepekaan politik para pengurus negara, termasuk pengingkaran tanggung-jawab untuk menjamin keselamatan warga-negara dan keutuhan fungsi-fungsi ekologis dari bentang alam pulau Jawa, khususnya kawasan bentang alam karst Kendeng. 
Sungguh ironis, bahwa di satu pihak pemerintah Republik Indonesia menggembar-gemborkan itikad dan tindakan untuk ikut menjadi resolusi sejati dari krisis perubahan iklim dan hilangnya keragaman hayati, menegakkan hukum dan melakukan pembangunan dari pinggiran. Kematian Bu Patmi menjadi saksi bagi seluruh dunia, bahwa warga masyarakat Indonesia masih harus menyatakan sikapnya sendiri karena tidak adanya pembelaan sama-sekali dari pengurus kantor-kantor pemerintah yang seharusnya mengurus nasib warga negara. 
Kami juga menyampaikan kepada kalangan berpendidikan tinggi yang justru memilih peran sebagai juru-sesat untuk mengaburkan duduk-perkara masalah yang tengah dilawan oleh warga kawasan bentang alam karst Kendeng, termasuk sebagian pengurus media massa bahwa upaya-upaya bangsa Indonesia dan kemerdekaan Republik Indonesia.
Koalisi Untuk Kendeng Lestari
CP :
Mokh Sobirin - Desantara [0822 2072 1419]
Muhamad Isnur - YLBHI [0815 1001 4395]

Jumat, 17 Maret 2017

ESDM: Pengajuan KBAK Wewenang Gubernur


Staf Ahli Bidang Minerba Kementerian ESDM, Kristiyono (mengenakan baju batik lengan panjang) dan disampingnya adalah Mirza Kumala (Staf Ahli Bidang kemasyarakatan Kementerian ESDM) saat menerima delegasi Perpag (16/3) di kantornya [Foto: Perpag-Doc]

Jakarta – Bingung setelah di”pingpong” birokrasi daerah antara Pemkab Kebumen dan Pemprov Jawa Tengah di soal wewenang inisiatif perubahan KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst), akhirnya Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) mendatangi Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Jum’at (16/3).

Menemui langsung Menteri ESDM Ignasius Jonan di Jakarta jadi upaya Perpag memperoleh semua kejelasan mekanisme perubahan KBAK dari pemegang otoritas terkait ketidakjelasan KBAK Gombong Selatan ini. Upaya ini pun tak sepenuhnya terpenuhi karena pada saat yang sama, Ignasius Jonan tengah berada di Istana Merdeka. Perpag pun diterima pejabat lain, yakni Kristiyono (Staf Ahli Bidang Minerba) dan Mirza Kumala pejabat Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan pada Kementerian ESDM.

Pertemuan di Kantor Kementerian ESDM Jalan Merdeka Barat Jakarta ini delegasi Perpag terdiri dari Lapiyo (Wakil Ketua), Supriyanto (Sekretaris) Tulus Wijayanto dan Rugimanto (Sekretaris Paguyuban Warga Sikayu “Perwasik” se Jabodetabek) ini menyampaikan secara detail pentingnya mengembalikan bentang alam karst yang diduga telah dimanipulasi untuk kepentingan industri semen.

“Perubahan KBAK ini sarat dengan kepentingan pribadi dan klas tertentu, tapi mengabaikan kepentingan masyarakat luas”, tegas Supriyanto yang diamini delegasi Perpag lainnya.


Kesal “dipingpong” Birokrasi

Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong Selatan telah ditetapkan sebagai kawasan lindung eco-karst pada tahun 2012. Regulasi yang menjadi domain Kementerian ESDM ini telah mengalami perubahan signifikan pada 2014, dengan munculnya KepMen ESDM semasa kementrian ini dijabat oleh Plt Chairul Tandjung karena Jero Wacik terjerat kasus korupsi.

Dalam pandangan Perpag, inisiasi perubahan KBAK ini diajukan oleh Pemkab Kebumen. Itu sebabnya Perpag melakukan desakan ke Pemkab. Namun penjelasan pejabat pemerintah lokal menyebutkan bahwa wewenang inisiatif perubahan KBAK ini berada di Pemerintah Provinsi. Tetapi saat Perpag menemui Gubernur Jateng, mendapat penjelasan bahwa terkait perubahan KBAK, wewenangnya ada di Pemkab Kebumen.

“Selama ini kami merasa dipermainkan oleh struktur birokrasi”, kata Supriyanto.
Menurutnya, jika KBAK Gombong Selatan itu mengacu Kepmen ESDM No.3043 Tahun 2014, yang mengalami perubahan dari KepMen sebelumnya, berekses luas wilayahnya tidak jelas dan berubah-ubah. Dalam kepmen ESDM tersebut di sebutkan bahwa letak wilayah Karst Gombong yang meliputi 3 Kecamatan, yakni Kecamatan Ayah seluas 54,08 kilometer persegi, Kecamatan Rowokele 11,74 dan Kecamatan Buayan 35,20 kilometer persegi. Dengan demikian jumlah luasan seluruh kawasan Karst Gombong adalah 101,02 kilometer persegi.

“Maka inilah yang menjadi tuntutan kami agar luasan KBAK segera dikembalikan sebagaimana yang telah ditetapkan dengan status di lindungi. Karena Karst adalah pegunungan yang memiliki ribuan manfaat buat rakyat, khususnya sumber air permanen, sungai bawah tanah, batu gamping karst terumbu, ponor dan lainnya yang terkandung di dalam kawasan karst”, paparnya.


Tim Riset KBAK Gombong Selatan

Staf Ahli Bidang Minerba Kemen ESDM, Kristiyono mengatakan, mengacu pada UU No.23 tahun 2014 bahwa  seperti pengajuan pengembalian KBAK ini adalah wewenang Provinsi dan Kabupaten sebagaimana telah ditetapkannya Otonomi Daerah. Maka hal ini merupakan wewenang pejabat pemerintah provinsi, dalam hal ini Gubernur Jateng. Kementerian ESDM sangat memberikan apresiasi atas semangat perjuangan Perpag dalam menjaga lingkungan khususnya kawasan Karst.

Menurut Kristiyono, sesuai dengan surat Perpag yang masuk ke Kementerian ESDM maka pihaknya akan segera mengusulkan kepada Bidang Geologi untuk melakukan analisa, riset dan penelitian ke kawasan karst tersebut.

“Untuk itu, segera lah (Perpag_Red) menemui Gubernur” ujar Kristiyono
Permasalahan perubahan KBAK ini diakui pula dan disampaikan Staf Ahli Bidang Kemasyarakatan Kementrian ESDM, Mirza Kumala.
“Permasalahan seperti ini memang banyak sekali terjadi tidak hanya di Provinsi Jawa tengah saja”, katanya menambahkan.

Menanggapi masalah yang dilaporkan Perpag ini pihaknya mengatakan bahwa otoritas bukan lagi wewenang oleh Pemerintah Pusat. Meski demikian Pemerintah Pusat melalui Kementrian ESDM, akan membantu masyarakat dengan menurunkan tim ahli geologi ke lokasi kawasan karst.

“Prinsipnya, sudah menjadi tanggung jawab bersama buat kita untuk menjaga lingkungan di daerah masing-masing bagi kelangsungan hidup generasi mendatang”, pungkas Mirza Kumala. [tls]

Kamis, 16 Maret 2017

Bebal

Kamis, 16/03/2017 00:35 WIB
Oleh: KBR

Sejumlah petani Pegunungan Kendeng bersiap memasung kakinya dengan semen saat aksi di depan Istana Merdeka, Rabu (15/3) (Foto: Antara)
Jalan petani Kendeng di Rembang, Jawa Tengah, mempertahankan tanahnya dari rakusnya investasi tambang semen, sungguh ruwet. Tapi, mereka tak menyerah, meski kerap dikalahkan.
Perjuangan mereka sudah dimulai sejak 2012. Menggelar tenda penolakan persis di depan pabrik semen PT Semen Indonesia. Melakukan aksi jalan kaki dari Rembang ke Semarang. Berdemonstrasi di depan kantor Gubernur Jawa Tengah, hingga menggugat secara hukum ke Mahkamah Agung.
Tapi, berkali-kali, mereka dibuat kalah.
Tenda dan mushala yang sudah lima tahun berdiri, dihancurkan dan dibakar pada Februari lalu. Demonstrasi di depan kantor Gubernur Ganjar Pranowo, tak dipedulikan. Politisi PDI Perjuangan ini malah protes karena membuat macet. Dan, begitu menang di Mahkamah Agung pada Oktober tahun lalu, malah disiasati dengan menerbitkan izin baru lewat diskresi. Padahal hakim MA terang menyebut Amdal PT Semen Indonesia sudah cacat secara prosedur. Artinya, sudah semestinya PT Semen Indonesia angkat kaki dari sana.
Para petani penolak tambang semen itu sebetulnya tak menuntut apapun dari pemerintah. Hanya minta tanah mereka tak diusik agar mereka bisa terus memanen hasil padi dan jagung –seperti yang dilakukan Februari lalu. Mereka tak ingin menggantungkan hidup dengan bekerja di pabrik semen. Karena para petani itu percaya, tanah di Kendeng membawa kesejahteraan sampai anak cucu kelak.
Melihat kondisi seperti ini, siapa sesungguhnya yang bebal?
Kini, 20 petani dari Rembang, Pati, Blora, dan Grobogan, kembali memasung kaki dengan semen di depan Istana Negara untuk kali kedua. Pak Presiden, tolong lihat dan dengar permintaan mereka; tambang semen disingkirkan dari pegunungan kapur Kendeng. 

http://kbr.id/opini/03-2017/bebal/89246.html

Selasa, 14 Maret 2017

DPRD dan Pemkab Akan Dampingi Perpag Ke Gubernur


PERPAG: Perwakilan Perpag beraudiensi dengan pejabat di lingkungan Pemkab dan DPRD Komisi A (13/3) di Ruang Ra[im DPRD Kebumen [Foto: Perpag-Doc]

Kebumen - Keinginan Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) untuk pengembalian Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) pada ketentuan semula, mendapat respons lembaga legislatif daerah dan unsur Pemkab Kebumen. Dalam rencana jangka pendeknya, Perpag akan menghadap Gubernur Jateng dan meminta pemerintah provinsi untuk mengajukan permohonan pengembalian KBAK Gombong selatan sebagaimana ketentuan semula.

Sebagaimana janji Sekretariat Dewan (Sekwan) akan mengagendakan pertemuan Perpag – DPRD, maka pada Senin (13/3) digelar audiensi bersama Komisi A DPRD, Kabag Hukum Pemkab dan Bidang Lingkungan Hidup. Audiensi ini digelar malam hari mulai jam 19.00 hingga 23.00 wib di Ruang Rapat Pimpinan (Rapim) Gedung DPRD di selatan alun-alun Kebumen.

Sebelumnya, Perpag telah melayangkan surat tertanggal 4 Maret 2017 kepada DPRD tentang permohonan pendampingan untuk menghadap Gubernur Jateng. 
Dalam waktu bersamaan Perpag juga menyurati Gubernur agar digelar audiensi dengan pemerintah provinsi bagi upaya pengembalian KBAK Gombong selatan.

Sebagaimana diketahui bahwa kewenangan penetapan KBAK merupakan domain Kementerian ESDM, tetapi inisiasinya diajukan dari pemerintah setempat. Belakangan dalam rangka mengupayakan inisiasi pengembalian KBAK ini, Perpag merasa dipingpong antara pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten.

DPRD Siap Dampingi Perpag

Ketidakjelasan inisiasi perubahan atau pengembalian KBAK ini cukup membuat masyarakat di kawasan karst Gombong selatan gerah. Pasalnya, Perpag sendiri selalu gagal untuk menemui Ketua DPRD Kebumen dengan berbagai alasan.

Rencananya, dalam waktu dekat, audiensi dengan pemerintah provinsi, dalam hal ini Gubernur Jateng; akan diagendakan pada Rabu (22/3) mendatang.
Ketua Komisi A Hj. Supriati SE menyatakan bahwa pada prinsipnya DPRD Kebumen akan siap mendampingi Perpag menghadap Gubernur Jateng. 

Sedangkan dari Pemkab Kebumen yang diwakili oleh Kabid Hukum, Amiruddin didampingi Kepala Bidang Lingkungan Hidup (BLH) Kebumen, Heru dan Siti.
Keduanya mendasari pada aturan yang ada, yakni berpedoman pada Undang-undang No 23 Tahun 2014 yang menyebutkan bahwa dalam usulan pengembalian KBAK itu adalah wewenang dari Gubernur.

Maka dalam menyikapi tuntutan tersebut, Pemkab mengusulkan agar Perpag langsung mempertanyakan kepada Gubernur Jawa Tengah. Dan bila diperlukan, pihaknya akan bersedia mendampingi Perpag dalam rencana pertemuan dengan Gubernur dalam membahas inisiasi pengembalian KBAK Gombong selatan.

Perwakilan Perpag yang hadir malam itu adalah H. Samtilar (Ketua), Lapiyo (Wakil Ketua), Supriyanto, Nanang Tri, Adi dan Martoyo. Sedangkan Sekwan DPRD Kebumen Ir. Hj. Siti Karisah akan segera melakukan kordinasi terlebih dahulu dengan pihak kantor Gubernur Jawa Tengah guna menentukan waktu yang tepat dalam pertemuan mendatang.

Surat Rakyat Kendeng untuk Presiden Jokowi

March 14, 2017


Foto: Mokh Sobirin

Kami  adalah  bagian  dari  warga  desa-desa  di  bentang  alam  karst Kendeng  yang  akan  bangkrut  penghidupan  taninya  karena  adanya pabrik  semen  PT  Semen  Indonesia  di  Rembang  beserta penambangan  bahan  semen  lainnya  di  wilayah  kami.  Kami  datang kembali  berbondong-bondong  ke  ibukota  negara, untuk  rawe-rawe rantas, malang-malang putungmenyemen kaki kami di depan Istana Presiden. Bentuk protes ini telah kami lakukan sebelumya, dan kali ini kami  berniat  menyemen  kaki  kami  sampai  pak  Presiden  tampil kembali  sebagai  pemimpin  rakyat,  dan  menghentikan  seluruh kegiatan industri semen di wilayah hidup kami.
Buat apa kami bersusah payah mengambil risiko? Kami menyerahkan diri  kami  sebagai  petani  untuk  membela  kewarasan  bangsa  dan keutuhan  negara  Republik  Indonesia.  Kami  memprotes  tindakan pemerintah,  pengurus  negara  Republik  Indonesia,  yang  sejak  2012 telah  mempermainkan  kami  sebagai  warga  negara,  petani,  warga bangsa. Dengan taktik petak umpet melawan ketentuan dan kepastian hukum negara, mengabaikan pendapat kami, untuk tetap meneruskan penanaman  modal  di  industri  semen  PT  Semen  Indonesia  di Rembang.
Pak Presiden, kami juga tahu, bahwa sebagian besar pegawai kantorkantor pemerintahan yang sampeyan pimpin sesungguh-sungguhnya masih  setia  mengabdi  sebagai  pegawai  negeri. Justru yang menyusahkan hidup kami, melecehkan martabat kemanusiaan kami, memecah-belah  persatuan  kami  orang  desa  dari  pegunungan Kendeng, menyalahkan kami seolah-olah kami ini orang jahat, adalah kepala-kepala  kantor  pemerintah,  para  pegawai-negeri  yang  paling tinggi pangkatnya, dosen-dosen universitas yang paling tinggi tingkat pendidikannya,  dan  paling  tahu  aturan  hukum  dan  undang-undang, tapi menjadikan hukum, undang-undang dan peraturan untuk menipu rakyat, artinya, untuk menipu diri sendiri juga.
Pak  Presiden,  ini  lho  contoh-contoh  dari  berbagai  alasan  untuk menyalahkan  dan  menakut-nakuti  kami,  dengan  tujuan  sederhana, memenangkan urusan investasi industri semen di tempat hidup kami. Pertama, dulu dibilang bahwa tidak jadi soal menambang di cekungan air  tanah  Watu  Putih.  Tidak  pa-apa  karst  dibongkar.  Tidak  akan mengganggu  kesediaan  air  untuk  kepentingan  tani.  Oo,  orang yang nafkahnya petani cuma sedikit. Belakangan lalu dibilang, mau bertani kok  di  atas  gamping,  ya  tidak  mungkin  subur.  Ini  ada  orang  yang bukan dari desa yang kena dampak, kok ikut protes.
Pak  Presiden,  waktu  kami  protes  di  dusun,  di  ibukota  propinsi,  di ibukota negara, kan kami terus-menerus diganggu dengan kekerasan dan  ancaman.  Memang  kami  orang  desa,  jauh  dari  kota  besar. Mungkin  susah  membayangkan  bahwa  kami  ini  kerja  dekat  dengan tanah,  keluar  keringat  pagi  sampai  malam.  Kalau  kami  datang menunjukkan protes kami seperti sekarang di depan Kantor Presiden atau  Istana  Negara  ini,  yang  mengerumuni  kami  itu  ya  malah  polisi, petugas bersenjata, petugas yang memata-matai kami dan memotret kami  satu  demi  satu.  Kami  merasa  seperti  hewan  liar  yang  harus dijaga jangan sampai berbuat onar, oleh opsir-opsir bersenjata api. Ya itu karena kami ada di wilayah istana. Tapi istana ini kan bukan istana gubernur  jenderal  Hindia  Belanda  lagi,  pak  Presiden.  Gedung  tua yang  kami  datangi  itu  kan  sekarang  simbol  kemerdekaan  bangsa Indonesia.  Kami  ini  warga  negara  yang  punya  martabat  tinggi  dan bangga menjadi petani lho pak Presiden.
Adapun alasan-alasan yang diajukan, baik oleh pemilik pabrik (yang secara  hukum  adalah  badan  usaha  milik  Publik  atau  Negara,  tapi kepemilikannya  tentu  pak  Presiden  lebih  tahu,  sudah  sulit  diakui sebagai mewakili kepentingan nasional) maupun oleh para pembantu pak Presiden, untuk membenarkan dan meneruskan rencana operasi industri  semen  Rembang  antara  lain  adalah  sebagai  berikut. Indonesia  sedang  menggenjot  pembangunan  infrastruktur  untuk mengejar  ketinggalan  dari  negara-negara  lain,  dan  untuk  menarik minat investasi asing. Proyek pabrik semen ini sudah menghabiskan uang  lima  triliyun  rupiah,  tidak  mungkin  dihentikan.  Kalau  khawatir lingkungan  alam  di  wilayah  penambangan  dan  pabrik  semen  rusak, kami  sudah  lakukan  proses  amdal,  tinggal  disempurnakan.  Mungkin masih banyak lagi yang lain. Setiap alasan itu sudah disanggah,oleh kami  sendiri  maupun  oleh  sanak  saudara  dan  handai-taulan  kami yang  pendidikannya  tidak  kalah  dengan  mereka  yang  mau  menutup mulut kami.
Pak Presiden, kalau sikap sewenang-wenang dari para pejabat tinggi di  kantor-kantor  yang  sampeyan  pimpin  tidak  sampeyan  hentikan sekarang, artinya pak Presiden mengingkari kewajiban dan tanggungjawab  melindungi  warga-negara  Republik  Indonesia  dan  sumber kehidupannya  sebagai  petani  dari  ancaman  nyata,  yaitu  adanya operasi industri semen. Perusakan dengan menambang bahan galian sampai  menghasilkan  semen  tidak  bisa  dipertemukan  dengan  cara hidup  sehari-hari  kami  sejak  nenek-kakek  kami  sebagai  wong  tani, untuk  menanam  memelihara  memanen  bahan  pangan  yang  tak tergantikan pentingnya buat kami dan orang banyak.
Waktu  mau  coblosan  pemilihan  Presiden  dulu,  kami  ini  ya  benarbenar bangga mau punya Presiden yang merakyat, sederhana, yang tutur  kata  dan  sikapnya  menunjukkan  kedekatan  dengan  rakyat. Dalam beberapa tahun terakhir ini, kami ya dibikin bingung, terutama oleh  aparat  dari  yang  paling  dekat  dengan  dusun  kami,  sampai  ke kepala  daerah,  sampai-sampai  ke  menteri-  menteri,  sampai  ke pengurus  kantor  pak  Presiden  sendiri. Anak-anak  muda  yang  paling perduli  dari  desa-desa  kami  malah  ditakut-takuti,  mau  diperkarakan polisi,  dicari-cari  kesalahan  tindakannya.  Tindakan  kami  membela negeri  kami  yang  kami  warisi  dengan  kerja  keras  disalah- salahkan sebagai perbuatan tercela.
Sejak pamitan dengan orang-orang terkasih kami di dusun, sejak kami berdoa  bersama,  ngomong  langsung  sama  Gusti  Allah  sebelum berangkat  ke  depan  kantor  pak  Presiden,  bukan  perempuan  bukan laki  kami  diam-diam  pada  keluar  air  mata.  Bukan  karena  ketakutan, bukan karena kami ini sentimentil, tapi karena membayangkan anakanak  kami,  akan  mewarisi  hidup  seperti  apa  mereka,  kalau  para pegawai  yang  diupah  dengan  uang  milik  publik,  menista  mereka seperti layaknya memperlakukan hewan melata. Pak Presiden jangan pernah  lupa  ya  pak,  rakyat  memang  kecil-kecil,  tapi  apa-apa  yang kami kerjakan menentukan hidup matinya bangsa dan negara kita ini.

Jakarta, 14 Maret 2017
Tertanda
Atas Nama Petani Pegunungan Kendeng
Joko Prianto (Rembang) – Sukinah (Rembang) – Suparmi (Rembang) – Jumikan  (Rembang)  –  Sudiri  (Rembang)  –  Giyem  (Pati)   –  Gunritno (Pati) – Darto (Pati) – Sariman (Pati) – Kumari (Blora) – Darto (Grobogan) dan lain-lain.