Jumat, 02 Desember 2016

Pembelajaran Negara Hukum Indonesia dan HAM dalam kasus Pembatalan Ijin Lingkungan Kegiatan Penambangan Semen Gresik Tbk. di Rembang

SIARAN PERS
Pusat Studi Hukum HAM FH Unair (HRLS) dan Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) Indonesia


KEADILAN SOSIAL DAN KEPASTIAN HUKUM 
PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG

Pembelajaran Negara Hukum Indonesia dan HAM dalam kasus Pembatalan Ijin Lingkungan Kegiatan Penambangan Semen Gresik Tbk. di Rembang

"Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum." (Pasal 28D ayat 1 UUD Negara RI 1945)
Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung telah keluar pada 5 Oktober 2016. Menariknya, putusan PK tersebut (No Register 99 PK/TUN/2016) memenangkan atau mengabulkan permohonan warga Kendheng atas pembatalan ijin lingkungan PT Semen Indonesia yang dikeluarkan perizinannya oleh Gubernur Jawa Tengah. Hakim yang memutus putusan di Mahkamah Agung terdiri dari: Yosran, SH., MH. (Hakim P1); Is Sudaryono (Hakim P2), dan Dr. Irfan Fachruddin, SH., CN. (Hakim P3, Ketua Majelis), dengan Panitera Pengganti: Maftuh Effendi, SH., MH.
Amar putusan PK Mahkamah Agung tersebut,
Mengabulkan gugatan para Penggugat untuk seluruhnya; Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor: 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT. Semen Gresik (Persero) Tbk. di kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah; Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tangga 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk. di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah.
Sekalipun kalah dua kali di peradilan TUN (tata usaha negara), dan selalu menyatakan “menghormati putusan Mahkamah Agung”, uniknya, bertolak belakang dengan kenyataan bahwa ada upaya sejumlah pihak yang mendelegitimasi atau tidak menerima putusan MA, yang obyek gugatan berupa Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17/2012 tertanggal 7 Juni 2012 tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambang dari Pembangunan Pabrik Semen PT Semen Indonesia.
Problemnya, bukan semata di tingkat perusahaan, melainkan pula keterlibatan para aparat penegak hukum, pejabat daerah maupun pusat, bahkan di level pemerintah pun, diminta untuk bersikap tegas dan lugas dalam menegakkan hukum Indonesia. Sejumlah pejabat daerah dan bahkan nasional, ramai-ramai menegaskan dukungan pada PT Semen Indonesia untuk mengabaikan putusan Mahkamah Agung tersebut, sebagaimana dilakukan oleh DPR RI Komisi IV usai kunjungan kerjanya di lokasi industri (baca: Komisi VI DPR ‘Pasang Badan’ untuk Pabrik Semen Rembang, CNN Indonesia, 28 November 2016; Putusan MA Tak Hentikan Pembangunan Pabrik Semen Indonesia, JPNN, 13 Oktober 2016).
Argumentasinya selalu dikaitkan dengan "nasionalisme, investasi yang sudah mendekati 5 T rupiah, dan jumlah warga yang menolak sedikit." Argumentasi demikian, seakan bertolak belakang dengan Pembukaan UUD Negara RI, yang menyatakan melindungi segenap warga negara Indonesia untuk menuju kesejahteraan sosial. Nasionalisme itu bukan menyingkirkan hak-hak dasar warna negara, bukan memiskinkan, bukan mencerabut kehidupan sosial dan komunitas tradisionalnya, dan bukan dibangun atas penderitaan rakyatnya. Kami melihat ini sebagai "nasionalisme 5 T".
Sesungguhnya dalam kasus ini, rakyat berupaya mematuhi aturan dan mekanisme yang bekerja. Apa yang terjadi dalam pemberitaan, pernyataan, dan komentar yang “mengabaikan’ putusan MA, justru berdampak pada hilangnya atau berkurangnya akses kehidupan masyarakat.
Situasi ketidakpastian hukum, ancaman atas rasa aman, tidak terselesaikannya kasus-kasus HAM,, mengakibatkan krisis kehidupan masyarakat, termasuk hak-hak asasi manusia untuk hidup lebih sejahtera dan mengembangkan kehidupan sosialnya.
Oleh sebab itu, kami menyatakan posisi,
1. Mendesak Gubernur Jawa Tengah untuk patuh hukum terhadap Putusan Mahkamah Agung PK No Register 99 PK/TUN/2016 dan menghormatinya sebagai petanggungjawaban konstitusional pejabat negara, dan membatalkan ijin lingkungan kegiatan penambangan.
2. Mendesak PT Semen Indonesia (dulu Semen Gresik) menghentikan kegiatan penambangan dan tidak perlu bermanuver melawan putusan pengadilan dengan dalih "Nasionalisme 5 T", karena jelas tidak ada upaya “menghargai putusan Mahkamah Agung” bila terjadi perbuatan melawan hukum.
3. Bahwa pembangkangan untuk mengeksekusi putusan MA dalam bentuk pembatalan ijin lingkungan, merupakan pembiaran yang mengakibatkan kemunduran atas situasi yang merugikan publik, terutama keadilan ekologi dan sosial. Hak asasi manusia yangbdiakui sebagai hak konstitusional warga negara akan mudah hilang.
4. Bahwa di tengah proses pembiaran, justru Negara Hukum tidak hadir untuk mengawal kebijakan, melainkan justru mencipta situasi ketidakadilan tersendiri.
Delay justice is injustices! (Menunda keadilan adalah ketidakadilan-ketidakadilan!).
Surabaya, 1 Desember 2016
Herlambang P. Wiratraman - HRLS dan SEPAHAM Indonesia
082140837025
* terima kasih pada Sandrayati Moniaga dari Komnas HAM dan Azriana sebagai Ketua Komnas Perempuan yang telah ikut hadir bersama dalam siaran pers di Gedung C Pusat Studi Hukum HAM (HRLS) FH Unair.

0 komentar:

Posting Komentar