Oleh : Dhani Armanto | Rab, 21 Des 2016 22:06 WIB
Akses kedalam hutan. Setiap proyek pengusahaan panas bumi (geothermal) akan selalu membutuhkan jalan akses dengan kapasitas beban besar ke lokasi-lokasi pemboran. Seringkali lokasi pemboran berada di dalam kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi yang sangat penting, sebagaimana lokasi di kawasan hutan lindung G. Slamet ini. (Foto : istimewa/Hamid)
Wartahijau - Pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas
Bumi (PLTP) hanya solusi instan pemenuhan kebutuhan energi nasional.
Wacana kebutuhan energi ini telah menutupi fakta bahwa pembangunan PLTP
yang sebagian besar berada di wilayah hutan berpotensi meningkatkan risiko
bencana.
Budi Prabowo AT (36), pegiat Kompleet Purwokerto,
menyampaikan bahwa kecenderungan perusakan hutan, pencemaran air dan risiko
rusaknya tata hidrologi sebagai akibat proses eksplorasi maupun eksploitasi
panas bumi, sangat berpotensi menyebabkan timbulnya bencana.
“Perlu dicari alternatif sumber energi lain yang lebih
sedikit risiko lingkungannya,” tutur Budi Prabowo ketika dihubungi Warta
Hijau, Minggu (18/12/16).
Menanggapi berjalannya eksplorasi panas bumi oleh PT
Sejahtera Alam Energi (SAE) di Gunung Slamet. Budi menilai, pemerintah
telah dengan sengaja menutupi dan meminggirkan informasi mengenai risiko
pembangunan PLTP di kawasan hutan terhadap kelestarian lingkungan dan
keselamatan masyarakat.
Temuan Kompleet terkait proses upaya pengusahaan energi
panas bumi di Gunung Slamet, sampai saat ini menunjukan bahwa terjadi
pembongkaran hutan secara masif di areal hutan lindung Gunung Slamet.
Temuan lainnya adalah terjadinya kerusakan dan pencemaran
pada beberapa alur sungai diantaranya sungai Logawa, ketidaklayakan dokumen
lingkungan, serta penyampaian informasi secara tidak transparan untuk tujuan
mobilisasi pendapat masyarakat.
Proyek geothermal mengancam hutan Gunung Slamet
Lebih jauh lagi, Budi menuturkan, kecenderungan terjadinya
dorongan lebih kuat pada perubahan budaya masyarakat yang langsung
bersinggungan dengan PLTP, dapat menyebabkan deforestasi kawasan hutan Gunung
Slamet semakin tinggi.
“Tanpa ada PLTP-pun, kerusakan lingkungan di Gunung
Slamet dari tahun ke tahun sudah terjadi dan semakin meluas. Kita tinggal
menunggu saja, bagaimana masyarakat yang tinggal di kawasan Slamet, pada suatu
saat akan melihat Gunung Slamet dengan segenap isinya hanya dengan kacamata
ekonomi”, ujarnya.
Linda Rosalina (24), Manajer Kampanye dan Intervensi
Kebijakan dari Forest Watch Indonesia (FWI), melihat pembangunan PLTP di Jawa
dan kawasan hutan lainnya berpotensi meningkatkan risiko bencana.
Menurut Linda, kondisi hutan Jawa saat ini
memprihatinkan. Hasil kajian FWI tahun 2014, jika dibandingkan dengan pulau
lainnya di Indonesia, Jawa memiliki persentase tutupan hutan terkecil, yaitu
675 ribu Ha.
Areal hutan yang tersisa di Jawa paling luas berada di
hutan lindung (239 ribu Ha) dan kawasan konservasi (232 ribu Ha). Kawasan
tersebut adalah kawasan yang harus dilindungi dan dipertahankan. “Sayangnya
dalam kurun waktu empat tahun sejak 2009-2013, Jawa mengalami kehilangan hutan
(deforestasi) hingga 327 ribu Ha,” jelasnya. Dari jumlah tersebut, 6,8
ribu Ha diantaranya rusak oleh kegiatan tambang, baik eksplorasi maupun
eksploitasi.
Persentase tutupan hutan di Jawa hanya tersisa lima persen,
padahal seharusnya dipertahankan sekurangnya 30 persen dari total luas
daratannya, sebagaimana diatur dalam Undang Undang Kehutanan Nomor 41 tahun
1999 pada pasal 18. “Akibatnya, kejadian-kejadian bencana pun tidak bisa
dihindari,” tambah Linda.
Rusaknya hutan memicu bencana
Data FWI dan BNPB menunjukan bahwa frekuensi kejadian
bencana paling tinggi terjadi di Pulau Jawa, pulau dengan persentase hutan alam
paling sedikit dibandingkan dengan pulau lainnya. Hilangnya atau
berkurangnya hutan dari sebuah wilayah akan menimbulkan bencana seperti banjir
dan longsor. Hal ini disebabkan karena hutan berperan penting dalam
memelihara pasokan air dan memberi perlindungan tanah pada suatu daerah aliran
sungai.
Lebih jauh lagi, Linda menuturkan hasil penelitian yang
dilakukan Corey Bradshaw pada 56 negara berkembang, menemukan bahwa penurunan
tutupan hutan sebanyak sepuluh persen dapat meningkatkan frekuensi banjir
sebanyak 4-28 persen.
“Kita bayangkan saja jika hutan di Jawa semakin berkurang
dan terus berkurang, pasti kejadian-kejaidan bencana semakin banyak lagi,”
ujarnya. Indonesia perlu melihat kembali dampak dari pembangunan proyek panas
bumi ke depan. Pembangunan PLTP bukan hanya berdampak pada kerusakan hutan,
namun justru menimbulkan permasalahan lain soal ketersediaan air dan bencana
kemudian hari, khususnya bagi masyarakat.
Perlu alternatif energi lain
Menurut Linda, di Eropa penggunaan energi panas bumi
untuk pembangkit listrik sudah mulai ditinggalkan. Hal ini disebabkan
karena PLTP tidak ramah lingkungan. Seharusnya Indonesia mulai memanfaatkan
energi surya dan angin, sumber energi terbarukan yang saat ini sedang
digalakkan di Eropa & Amerika.
Hal senada juga diungkapkan oleh Budi Prabowo, menurutnya
jika berbicara sumber energi alternatif, pemerintah punya kebiasaan yang aneh,
yaitu memaksakan sumber energi yang berisiko seperti panas bumi dan energi
nuklir.
Pemerintah selalu mengedepankan dua pilihan tersebut,
meskipun bukti dan risiko negatifnya, serta biaya investasinya sangat tinggi.
“Seolah tidak ada pilihan sumber energi lain yang lebih aman, murah dan
ramah lingkungan, seperti tenaga surya, angin atau ombak,” ujar Budi Prabowo.
Sumber: WartaHijau.Com
0 komentar:
Posting Komentar