Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Jumat, 30 Desember 2016

Mereka Payung Kita !

Penulis: Kafha
Terus terang, berlebihanlah kalau saya itu mendukung para Sedulur Kendeng, terutama ibu-ibu petani itu! Apalagi membela! Jelas bukan kapasitas saya. Sesungguhnya yang terjadi pada saya adalah “ngalap berkah”. Saya ingin memperoleh cipratan berkah dari mereka. Saya ingin mendapat resonansi kemuliaan Sedulur-sedulur Kendeng.
Mereka itu petani. Mereka adalah orang-orang mulia. Mereka tak punya apa-apa selain ketulusan berderma untuk anak-cucu. Yang mereka kerjakan adalah mempertahankan hak hidup generasi mendatang. Sama sekali bukanlah untuk kepentingan sesaat seperti: terbukanya lapangan pekerjaan atau peluang kesejahteraan ragawi semata.
Berhari-hari, mereka rela beratap terpal, kemudian berlanjut hanya berteduh di bawah payung. Mereka juga ikhlas berjalan kaki dengan jarak tempuh 150 km. Jadi, betapa mulianya mereka dan betapa bodohnya saya jika sampai tak bergegas mendekat serta sujud takzim di bawah telapak kaki mereka. Sungguh merugilah hidup ini, jika sampai melepas kesempatan untuk mencium telapak dan punggung tangan mereka.
Mereka memang bukan orang-orang sekolahan. Namun, selama bertenda dan berpayung di depan kantor Gubernur Jawa Tengah itu, mereka telah memperlihatkan adat sopan-santun yang sangat mengerti etika. Artinya, keadiran mereka di Kota Semarang sesungguhnya sedang mengajari kita yang mendaku sebagai kalangan terdidik atau kaum terpelajar untuk menghargai alam. Memahami alam. Bahkan menghayati irama alam. Bahwa kemarahan alam akan jauh lebih dahsyat dari yang kita bayangkan. Kehadiran para sedulur tak lain untuk mencegah murka alam.
Jelas sudah, bahwa kitalah yang sedang membutuhkan kehadiran petani Kendeng itu. Lantaran mereka, murka Tuhan akibat ulah penguasa brengsek yang gemar merusakbinasakan alam jadi tertunda. Karena keikhlasan mereka untuk menderita, Jawa Tengah tak diazab Tuhan. Nah, tunggu apa lagi? Masihkah kita berlagak gagah di hadapan para Sedulur Kendeng? Masihkah kita akan berdalih bahwa petani-petani itu bodoh? Sehingga Pegunungan Kendeng pun boleh dikangkangi PT Semen Indonesia? Masihkah kita berpangku tangan tak bergegas duduk di sebelah mereka? Atau tegakah kita berpaling dari ibu-ibu mulia itu? Tegakah kita dengan justru berpihak pada penguasa pabrik Semen Indonesia?
Astaghfirullah!
Ungaran, 30 Desember 2016: 06.07

PERNYATAAN KOMNAS PEREMPUAN


PERNYATAAN KOMNAS PEREMPUAN 
ATAS PENDIRIAN DAN RENCANA PENDIRIAN PABRIK SEMEN 
SERTA EXPLOITASI KAWASAN KARTS DI PEGUNUNGAN KENDENG UTARA DAN SELATAN


Komnas Perempuan sebagai salah satu lembaga HAM memantau konflik pendirian pabrik semen dan eksploitasi batu kapur di wilayah pegunungan Kendeng, yang terbentang di bagian utara Pulau Jawa, melintasi wilayah Kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Rangkain pemantauan Komnas Perempuan adalah: 

(1) Mendokumentasi pengaduan 9 perempuan Kendeng ke Komnas Perempuan pada 19 November 2014 karena mengalami kekerasan. 
(2) Memantau perkembangan kasus melalui 9 Kartini Kendeng yang melakukan aksi mengecor kaki dengan semen di depan Istana pada 9 April 2016. 
(3) Memantau perjuangan hukum pada 5 September 2016 saat komunitas Kendeng melakukan aksi mengawal tuntutan dan keprihatinan Di PT TUN Semarang. 
(4) Melakukan pencarian fakta ke lapangan untuk menjalankan mandat pemantauan ke sejumlah wilayah yaitu Pati, Rembang, Purwodadi dan Kendal yang dilakukan pada September 2016. Komnas Perempuan bertemu dan bicara dengan sekitar 70 perempuan terutama perempuan petani, CSO, penggiat lingkungan, lembaga Negara, penambang dan karyawan di pertambangan batu kapur/gamping serta mendatangi langsung 2 wilayah penambangan batu kapur yang tersebar luas di wilayah Rembang dan Grobogan. Dimana batu kapur yang ditambang akan dikirimkan sebagai bahan baku pabrik semen. 
Fokus pemantauan adalah untuk mendokumentasi dimensi kekerasan terhadap perempuan dan indikasi pelanggaran Hak Asasi pada kasus tersebut.

Temuan-temuan kunci Komnas Perempuan: 

Terjadi kehancuran dan kerusakan alam yang parah dengan penambangan batu kapur, dari mengamputasi gunung, menggali hingga nyaris mendekati kedalaman permukaan laut. Tanpa memperhatikan keamanan penambangan hingga terjadi longsor yang mengundang kematian, jatuh kedalam lubang tambang, hingga dampak banjir di wilayah lain.
Polusi berat udara karena debu yang diakibatkan lalu lalangnya kendaraan pengangkut bahan baku batu kapur tersebut, baik di area penambangan, arena proyek pabrik Semen Rembang, maupun perkampungan yang dilalui mobil tersebut. Debu putih menutupi tanaman, yang dilaporkan warga sudah tidak bisa dikonsumsi ternak, dan mengganggu pernafasan, mata, kulit yang dapat merusak kesehatan warga baik dalam waktu dekat atau panjang.

Terjadi konflik horisontal yang merusak kehidupan sosial yang selama ini banyak dirawat oleh perempuan, ketegangan antar warga yang pro dan tolak semen. Retaknya kohesi sosial, tergerusnya budaya saling mengayomi, hilangnya rasa aman oleh tetangga sendiri, misalnya perempuan pemilik tanah yang tolak semen selalu bawa pasir untuk perlindungan diri karena diancam. Rumah-rumah bersaing memasang pamflet pro atau tolak semen yang menghentikan interaksi dan komunikasi yang semula adalah masyarakat yang rekat. Politik sumbangan dan konsultasi yang dirasakan cenderung banyak melibatkan warga pro semen yang semakin menaikkan ketegangan warga. 

Rusaknya ekosistem dan keanekaragaman hayati; perempuan-perempuan Kendeng, mengidentifikasi potensi hancurnya ekosistem, baik air yang disimpan di gunung karts akan hancur padahal tempat bergantungnya pertanian masyarakat, tanaman obat yang diidentifikasi setidaknya 52 jenis sebagai apotik masyarakat yang lambat laun dikhawatirkan akan punah.
Perempuan Surokonto Wetan kehilangan rasa aman akibat kriminalisasi lahan tukar guling PT Semen Indonesia dengan lahan yang selama ini mereka garap sebagai sumber kehidupan, perempuan Surokonto Wetan terancam bermigrasi tanpa kesiapan dan menimbulkan permasalahan baru. 

Terganggunya wilayah sakral dan hak budaya masyarakat, karena kehadiran pabrik semen di dekat lokus yang disakralkan dan dijadikan lokus spiritual, salah satunya adalah makam tokoh spiritual perempuan, yang dihormati warga, termasuk makam yang dipercaya warga sebagai keturunan wali. Padahal lokus tersebut bagian dari situs sejarah penting bagi bangsa. 

Konflik bahkan terjadi sampai ke keluarga yang menyebabkan ketegangan bahkan perceraian karena perbedaan keberpihakan pro dan tolak semen. Yang lebih menyedihkan, anak-anak yang tolak semen diintimidasi guru dan didiskriminasi di sejumlah sekolah.

Kekerasan dan ancaman kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan yang dialami perempuan saat demonstrasi menentang pendirian semen, ancaman pada perempuan pembela HAM perempuan oleh preman, aparat, juga oleh tetangga. KDRT dengan berbagai pola akibat banyaknya pendatang yang kost dan mulai ada gangguan pada isteri pemilik kost, isteri yang bekerja untuk berjualan menopang karyawan pabrik semen yang mulai dicurigai suami dan warga, karena dikhawatirkan menjalani prostitusi terselubung. Selain itu warung-warung kopi yang dahulu dijaga orang tua mulai diganti jadi tempat karaoke dan dilayani oleh perempuan-perempuan muda, diskotik yang menampilkan wajah-wajah perempuan belia untuk mengundang pengunjung. Selain itu politisasi agama yang memecah warga dan mem-victimisasi perempuan.

Perendahan dan pengabaian pada perjuangan perempuan Kendeng oleh aparat negara dalam berbagai bentuk: 
a) mengabaikan analisis dan kekhawatiran perempuan akan kerusakan lingkungan yang dikalkulasi dengan cermat berdasarkan kedekatannya pada alam dan merawat kehidupan. 
b) Mempertanyakan kemampuan dan mencurigai bahwa perempuan-perempuan ini dipakai dan dipolitisasi. 
c) Mengabaikan pelaporan kekerasan yang dialami perempuan saat peletakan baru pertama pendirian pabrik semen Rembang, karena hingga saat ini belum ada tindak lanjut atas pelaporan tersebut.

Untuk itu Komnas Perempuan menyatakan sejumlah hal:
Apresiasi kepada Presiden RI yang melakukan langkah kehati-hatian untuk meninjau kembali pendirian pabrik semen, dan memberi ruang kepada perempuan Kendeng untuk didengarkan. Komnas Perempuan akan menyerahkan hasil laporan pemantauan ini untuk mendukung pertimbangan komprehensif Presiden. 

Negara harus berani bersikap, tindak lanjuti keputusan inkrah, hentikan rencana pendirian pabrik semen, karena proses pendiriannya maupun penambangan yang ada, sudah berdampak serius pada kerusakan sosial, konflik horisontal, kekerasan terhadap perempuan dan dampak panjang kerusakan lingkungan.
Gubernur Jateng segera melaksanakan putusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap sebagai bentuk tanggungjawab negara terhadap penghormatan, perlindungan dan pemenuhan HAM warga negara, dan sebagai bagian dari penyelesaian konflik pengelolaan SDA secara bermartabat.
Hentikan ekspor semen dan menyerukan seluruh pihak untuk meminimalisir penggunaan semen sebagai bahan baku membangun, juga sebagai bagian dari upaya minimalisir eksploitasi alam yang akan merusak ekosistem.

Negara harus cermat keluarkan izin, lakukan KLHS (Kajian Lingkungan Hidup Strategis) yang independent, akui kajian masyarakat terutama analisa perempuan di komunitas atas wilayahnya, karena mereka yang tahu dekat dengan bumi sebagai sumber hidup, faham wilayahnya dan yang akan terdampak langsung atau tidak langsung. Libatkan perempuan dalam seluruh proses konsultasi secara sejati bukan hanya syarat formal.

Tanggulangi konflik dan kekerasan di komunitas, utamanya kekerasan terhadap perempuan yang sudah dan yang akan timbul baik di publik maupun domestik.
Mengapresiasi perjuangan perempuan Kendeng dan masyarakat peduli Kendeng yang tidak lelah berjuang untuk merawat ekosistem. Mereka telah melakukan langkah-langkah damai, konstitusional, dengan taat pada proses hukum. Selain itu mereka jeli melakukan kajian lingkungan dengan perspektif integratif baik pada isu lingkungan maupun dampak jangka panjang, termasuk pada perempuan dan merawat hak masyarakat adat.

Narasumber : Azriana (ketua), Yuniyanti Chuzaifah (wakil ketua), Adriana Veny, Sri Nurherwati, Saur Tumiur Situmorang, Riri Khariroh (komisioner). Kontak/koordinasi wawancara: Pino 081342317804, Elwi 081287996922

Rabu, 28 Desember 2016

Perlawanan Petani Surokonto Wetan Terhadap Kriminalisasi Ketiga Rekannya

28 Desember 2016

Jatengku.com –  Dalam upaya melawan tuduhan kriminalisasi terhadap tiga petani warga Desa Surokonto Wetan Kendal yakni Nur Aziz (44), Sutrisno Rusmin (64), dan Mudjiyono (41), Puluhan petani yang tergabung dalam Front Rakyat Untuk Agraria Kendal (FRAK) melakukan aksi demontrasi di depan gedung DRPD Kendal, Rabu (28/12/2016).
Massa petani menganggap bahwa pihak Perhutani telah melakukan upaya kriminalisasi terhadap tiga petani tersebut, mereka didakwa menggerakkan ratusan petani Surokonto untuk menguasai kawasan hutan secara tidak sah, dan dituntut hukuman penjara masing-masing delapan tahun dengan denda masing-masing Rp 10 miliar.
Massa melakukan aksi longmarch dari terminal angkutan Pasar Kendal menuju gedung DPRD di Jalan Soekarno – Hatta Kendal sebagai wujud solidaritas mereka dalam upaya pengawalan sidang yang bertepatan dengan pembacaan pledoi ketiga terdakwa kriminalisasi. Selain itu, massa juga menggelar aksi budaya kerakyatan.
Dalam sidang pembacaan tuntutan dua pekan lalu, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kendal menilai Nur Aziz, Sutrisno Rusmin dan Mudjiyono terbukti melanggar Pasal 94 ayat 1 Undang-Undang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Sedianya hari ini dijadwalkan pembacaan pleidoi atau pembelaan dari penasihat hukum ketiga terdakwa atas tuntutan jaksa tersebut, namun lantaran para terdakwa juga berkeinginan membaca pleidoi mereka sendiri yang berkasnya belum siap, sidang ditunda hingga pekan depan.
Rentetan Peristiwa Atas Kasus Ini
Sejak 1972, petani Surokonto Wetan menggarap lahan secara
bagi hasil dengan PT Sumur Pitu Wringinsari. Dua per tiga bagian hasil untuk petani penggarap dan sepertiga hasil untuk PT Sumur Pitu Wringinsari.
PT Sumur Pitu Wringinsari adalah pemegang Hak Guna Usaha (HGU) berdasar Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria Nomor SK.16/HGU/DA/72 tertanggal 13 Oktober 1972, berlaku hingga 1997. Lahan Surokonto Wetan seluas 127,821 hektare yang sebagian digarap petani setempat termasuk di dalamnya.
Pada 1998, PT Sumur Pitu Wringinsari mengajukan perpanjangan HGU kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Jawa Tengah. Pengajuan disetujui melalui Surat Keputusan Kepala BPN Jawa Tengah, Nomor SK.540.2/005/7/504/33/99 yang diterbitkan pada 20 Februari 1999. HGU berlaku 25 tahun hingga 2022, termasuk di dalamnya lahan Surokonto Wetan seluas 127,821 hektare. Sementara hak kepemilikan lahan ada pada negara. Hal itu berdasar Akta Jual Beli Nomor 45 tertanggal 23 Desember 1952 di hadapan notaris RM Soeprapto.
Perkebunan di Kabupaten Kendal yang pada masa penjajahan dikuasai oleh perusahaan perkebunan swasta NV Rotterdamsche Cultuur Maatschapij dan NV Cultuur Maatscapij Satrian, saat itu dibeli Pemerintah Republik Indonesia melalui Biro Rekonstruksi Nasional. PT Sumur Pitu Wringinsari sendiri merupakan perusahaan perkebunan, angkutan, dan perindustrian yang berada di bawah naungan Yayasan Rumpun Diponegoro milik Kodam IV Diponegoro.
Pada 25 September 2013, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan penunjukan kawasan hutan produksi tetap untuk lahan yang terletak di Desa Surokonto Wetan seluas 125,53 hektar. Penunjukan melalui surat bernomor SK.643/MENHUT-II/2013.
Penunjukan kawasan hutan di Surokonto Wetan itu dilakukan guna memenuhi penggantian lahan kawasan hutan di Rembang. Kawasan itu yang digunakan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk pembangunan pabrik semen.
Surat keputusan penunjukan kawasan hutan disusul dengan surat keputusan penetapan kawasan hutan produksi pada bagian hutan Kalibodri untuk tanah seluah 127,821 hektare di Surokonto Wetan. Surat Keputusan bernomor SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tertanggal 17 April 2014 itupun tidak disosialisasikan
Pada akhir 2014, ada kajian sosial yang memaparkan bahwa lahan tersebut akan dijadikan hutan produksi. Petani Surkonto Wetan keberatan, lantaran mereka menggantungkan hidup dengan menggarap lahan tersebut. Merekapun tetap menanam jagung dan ketela di lahan tersebut.
Perum Perhutani baru mengadakan sosialisasi pada 21 Januari 2015. Sosialisasi itu sekaligus perekrutan pekerja, yang berlaku bagi warga Surokonto Wetan yang hendak bekerja di wilayah lahan sebagai mandor. Pada April 2015, Nur Azis bersama petani penggarap mengajukan surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meminta peninjauan kembali SK penetapan kawasan hutan.
Namun tak berbuah hasil. Desember 2015, warga melaporkan kejanggalan ruilslag ke pemerintah pusat. Laporan tak kunjung mendapat tanggapan. Malahan pada 26 Januari 2016, Perum Perhutani KPH Kendal melaporkan tindak pidana penguasaan kawasan hutan secara tidak sah di Desa Surokonto Wetan.
Pada 2 Mei 2016, Nur Azis dan kawan-kawannya ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kendal.
Sumber : metrosemarang.com
http://jatengku.com/perlawanan-petani-surokonto-wetan-terhadap-kriminalisasi-ketiga-rekannya/1818

Lawan Kriminalisasi, Petani Surokonto Wetan Geruduk DPRD Kendal

28 Desember 2016 | metrosemarang

METROSEMARANG.COM – Puluhan petani dari Desa Surokonto Wetan, Kecamatan Pageruyung, Kendal melakukan aksi demontrasi di depan gedung DRPD Kendal, Rabu (28/12). Protes ini dilakukan dalam upaya melawan tuduhan kriminal terhadap tiga petani dari desa tersebut, Nur Aziz (44), Sutrisno Rusmin (64), dan Mudjiyono (41).

Jelang pembacaan pleidoi, petani Surokonto wetan demo di depan gedung DPRD Kendal. Foto: metrosemarang.com/eka handriana 
Ketiganya didakwa menggerakkan ratusan petani Surokonto untuk menguasai kawasan hutan secara tidak sah, dan dituntut hukuman penjara masing-masing delapan tahun dengan denda masing-masing Rp 10 miliar.
Massa petani menganggap hal tersebut sebagai bentuk kriminalisasi yang dilakukan pihak Perhutani. Sebab, sekurangnya 450 petani dari Surokonto Wetan telah menggarap lahan yang dimaksud telah dikuasai secara tidak sah, jauh sebelum lahan tersebut ditetapkan menjadi kawasan hutan.
“Hidup petani Surokonto!! Lawan Perhutani!” begitu teriak massa petani yang hingga berita ini diturunkan masih beraksi di depan gedung DRPD Kendal dan belum mendapat respons dari anggota dewan setempat. Untuk aksi demonstrasi siang ini massa berjalan dari terminal angkutan Pasar Kendal menuju gedung DPRD di Jalan Soekarno – Hatta Kendal.
Dalam sidang pembacaan tuntutan dua pekan lalu, Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Kendal menilai Nur Aziz, Sutrisno Rusmin dan Mudjiyono terbukti melanggar Pasal 94 ayat 1 Undang-Undang 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan. Sedianya hari ini dijadwalkan pembacaan pleidoi atau pembelaan dari penasihat hukum ketiga terdakwa atas tuntutan jaksa tersebut.
Namun lantaran para terdakwa juga berkeinginan membaca pleidoi mereka sendiri yang berkasnya belum siap, sidang ditunda hingga pekan depan.
Sejak 1972, petani Surokonto Wetan menggarap lahan tersebut secara
bagi hasil dengan PT Sumur Pitu Wringinsari. Dua per tiga bagian hasil
untuk petani penggarap dan sepertiga hasil untuk PT Sumur Pitu Wringinsari.
PT Sumur Pitu Wringinsari adalah pemegang Hak Guna Usaha (HGU)
berdasar Surat Keputusan Direktorat Jenderal Agraria Nomor SK.16/HGU/DA/72 tertanggal 13 Oktober 1972, berlaku hingga 1997. Lahan Surokonto Wetan seluas 127,821 hektare yang sebagian digarap petani setempat termasuk di dalamnya.
Pada 1998, PT Sumur Pitu Wringinsari mengajukan perpanjangan HGU
kepada Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kantor Wilayah Jawa Tengah.
Pengajuan disetujui melalui Surat Keputusan Kepala BPN Jawa Tengah,
Nomor SK.540.2/005/7/504/33/99 yang diterbitkan pada 20 Februari 1999.
HGU berlaku 25 tahun hingga 2022, termasuk di dalamnya lahan Surokonto
Wetan seluas 127,821 hektare. Sementara hak kepemilikan lahan ada pada negara. Hal itu berdasar Akta Jual Beli Nomor 45 tertanggal 23 Desember 1952 di hadapan notaris RM Soeprapto.
Perkebunan di Kabupaten Kendal yang pada masa penjajahan dikuasai oleh
perusahaan perkebunan swasta NV Rotterdamsche Cultuur Maatschapij dan
NV Cultuur Maatscapij Satrian, saat itu dibeli Pemerintah Republik Indonesia melalui Biro Rekonstruksi Nasional.
PT Sumur Pitu Wringinsari sendiri merupakan perusahaan perkebunan,
angkutan, dan perindustrian yang berada di bawah naungan Yayasan Rumpun Diponegoro milik Kodam IV Diponegoro.
Pada 25 September 2013, Menteri Kehutanan mengeluarkan surat keputusan penunjukan kawasan hutan produksi tetap untuk lahan yang terletak di Desa Surokonto Wetan seluas 125,53 hektar. Penunjukan melalui surat
bernomor SK.643/MENHUT-II/2013.
Penunjukan kawasan hutan di Surokonto Wetan itu dilakukan guna
memenuhi penggantian lahan kawasan hutan di Rembang. Kawasan itu yang
digunakan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk pembangunan pabrik semen.
Surat keputusan penunjukan kawasan hutan disusul dengan surat
keputusan penetapan kawasan hutan produksi pada bagian hutan Kalibodri
untuk tanah seluah 127,821 hektare di Surokonto Wetan. Surat Keputusan
bernomor SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tertanggal 17 April 2014 itupun tidak disosialisasikan
Pada akhir 2014, ada kajian sosial yang memaparkan bahwa lahan tersebut akan dijadikan hutan produksi. Petani Surkonto Wetan keberatan, lantaran mereka menggantungkan hidup dengan menggarap lahan tersebut. Merekapun tetap menanam jagung dan ketela di lahan tersebut.
Perum Perhutani baru mengadakan sosialisasi pada 21 Januari 2015.
Sosialisasi itu sekaligus perekrutan pekerja, yang berlaku bagi warga
Surokonto Wetan yang hendak bekerja di wilayah lahan sebagai mandor. Pada April 2015, Nur Azis bersama petani penggarap mengajukan surat ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, meminta peninjauan kembali
SK penetapan kawasan hutan. Namun tak berbuah hasil. Desember 2015, warga melaporkan kejanggalan ruilslag ke pemerintah pusat. Laporan tak kunjung mendapat tanggapan. Malahan pada 26 Januari 2016, Perum Perhutani KPH Kendal melaporkan tindak pidana penguasaan kawasan hutan secara tidak sah di Desa Surokonto Wetan.
Setelahnya, Kepolisian Resor Kendal memulai serangkaian pemeriksaan
penyidikan berkaitan laporan Perhutani tersebut. Pada 2 Mei 2016, Nur Azis dan kawan-kawannya ditetapkan sebagai tersangka. Pemeriksaan perkara bergulir hingga saat ini di pengadilan. (han)
http://metrosemarang.com/lawan-kriminalisasi-petani-surokonto-wetan-geruduk-dprd-kendal

Bercermin dari Kasus Rembang: Sulitnya Warga Dapatkan Keadilan Walau Menang Pengadilan Tertinggi

 
Aksi di Semarang, di Depan Kantor Gubernur Jateng. Foto: JMPPK 
Sukinah tak menyangka, perjalanan sejauh 130 Kilometer lebih, dari Kabupaten Rembang menuju Kantor Gubernur Jawa Tengah di Semarang berbuah kebohongan. Setiap langkah kaki bersama ratusan warga lain, diiringi doa untuk Ibu Bumi di Pegunungan Karst Kendeng.
Ibu bumi wes maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili. LaillahaIlallah, Muhammdur Rosulullah.” Doa ini mereka ucapkan setiap langkah kaki.
Pada 9 Desember 2016, Sukinah mendengar langsung Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo sudah menerbitkan izin lingkungan baru.
Raut muka ratusan warga pun terlihat kecewa dan marah.  “Dulu janji jika warga menang tak akan ada pabrik semen. Ketika putusan Mahkamah Agung memenangkan warga, Gubernur ingkar janji,” katanya.
Semangat perjuangan mereka tak surut. Mereka kompak dan makin bersemangat melawan.  Senin, (19/12/16), mereka aksi mendirikan tenda perjuangan di depan Kantor Gubernur Jateng, dan tak akan pulang ke desa hingga zjin lingkungan dicabut dan pabrik semen ditutup.
Dukungan terhadap warga yang menolak pembangunan pabrik semen atau Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) di Rembang makin meluas. Gus Nuril Arifin,  pengasuh Pesantren Soko Tunggal Semarang, datang langsung ke tenda.
Dulu, katanya, ketika datang ke pondok saat pencalonan Gubernur akan berpihak pada kaum tani, janji itu diingkari.
Warga berjuang dengan hati tulus meminta penguasa mendengarkan rakyat. Dia bilang,  Al-Quran jelas menyatakan, pemimpin itu menyejahterakan orang. Warga ini punya misi sangat luhur melestarikan Ibu pertiwi.
Menurut Gus Nuril, Ganjar Pranowo harus segera menghentikan operasi pabrik semen di Rembang. Gubernur tak perlu malu pada perusahaan yang mendirikan pabrik.
“Diberi kekuasaan untuk merusak alam, ini tidak konsekuen janji. Kebijakan munafik dan tak boleh diteruskan,” kata Gus Nuril, Selasa, (20/12/16).
Di Jakarta, pada 22 Desember 2016,  Komite Nasional Pembaharuan Agraria (KNPA) bersama JMPPK di Kantor Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) menyikapi Gubernur Jateng mengeluarkan izin baru dengan dalil “hanya berupa amandemen bukan izin baru.” Alasannya, perusahaan berganti nama dari PT. Semen Gresik ke PT. Semen Indonesia. Termasuk perubahan luasan tambang dari 520 hektar menjadi 293 hektar, di lokasi dan kegiatan yang masih sama dengan izin sebelumnya.

Di kaki pegunungan Kendeng pepohonan Jati ditanami untuk memaksimalkan resapan air. Foto: Tommy Apriando
Di kaki pegunungan Kendeng pepohonan Jati ditanami untuk memaksimalkan resapan air. 
Foto: Tommy Apriando 
Dewi Kartika, Sekjen KPA mengatakan,  pembatalan izin berdasarkan putusan Peninjauan Kembali MA, seperti diatur dalam Pasal 40 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, berbunyi “dalam hal izin lingkungan dicabut, izin usaha dan/atau kegiatan dibatalkan.”
Dengan begitu, kata Dewi, seluruh kegiatan Semen Gresik dibatalkan. Tak ada dasar hukum pengecualian apabila perusahaan telah berganti nama.
“Hukuman pembatalan izin tetap melekat. Jelaslah Ganjar Pranowo melakukan perbuatan melawan hukum karena mengingkari kekuatan hukum tetap dan final,” katanya.
Tambang semen, katanya, selain menggusur lahan, eksploitasi operasi pabrik akan merusak Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih di Pegunungan Kendeng yang menopang kebutuhan air bagi sekitar 153.402 petani Rembang. Padahal,  Watuputi telah ditetapkan Presiden melalui Keputusan Presiden RI nomor 26/2011 sebagai salah satu CAT dilindungi.
Hak petani atas tanah jelas dijamin UU.  Penerbitan izin pembangunan pabrik semen oleh Pemerintah Jateng, katanya,  tanpa memperhatikan dampak sosial, budaya, ekonomi din ekologis yang lebih utuh dan luas, merupakan tindakan merampas hak-hak dasar warga. Para Sedulur Sikep menggantungkan hidup sebagai petani. Dalam keseharian, katanya, warga Kendeng membutuhkan tanah, sekaligus air sebagai tiang penopang keberlangsungan hidup.
Siti Rakhma Mary, kuasa hukum warga mengatakan, tindakan Gubernur Jateng memberikan izin baru merupakan pengingkaran putusan MA, yang final dan mengikat. “Ganjar Pranowo lebih berpihak ke pabrik semen daripada rakyat sendiri. Jelas melanggar hukum,” katanya.
Pemerintah Jateng, katanya,  jelas merampas hak-hak agraria warga Rembang. Sejak awal kebijakan pembangunan pabrik semen telah dipaksakan dan sarat kepentingan ekonomi semata.
Jadi, berbagai cara pemerintah daerah agar ekspansi tambang dan pembangunan pabrik semen di Rembang,  maupun Jateng terus berjalan.
Gunretno, perwakilan JMPPK dan Sedulur Sikep Pati mengatakan, ketidakpatuhan Gubernur Jateng terhadap putusan MA bentuk pelanggaran hukum dan ingkar janji pada rakyat, terutama petani.
Dia berjanji akan bikin Jateng ijo royo-royo atau berdaulat pangan. Kenyataan, kebijakan merusak sumber air warga. Izin lingkungan terbit berkelit atas nama addendum, bagi Gunretno siasat menghindar dari kewajiban mencabut izin lingkungan lama lama dan menutup pabrik semen.
“Pertemuan 22 warga dengan Presiden Joko Widodo pada 2 Agustus 2016 diputuskan segera dibuat analisa daya dukung dan daya tampung pegunungan Kedeng melalui Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), dikoordinir Kantor Staf Presiden (KSP). Selama proses satu tahun KLHS semua izin dihentikan,” katanya.
Bukan menghentikan operasi pabrik semen, katanya, diam-diam Gubernur malah mengeluarkan izin baru. Perbuatan itu, katanya, jelas melawan hukum. Kekuatan hukum, katanya,  ternyata masih dikangkangi pejabat di negeri ini, petani dan rakyat kecil terus dipermainkan di meja hijau.
“Izin lingkungan baru itu tanpa pemberitahuan ke publik dan tanpa dokumen Amdal. Artinya gubernur melanggar hukum.”
Dia bilang, Presiden, sebagai pimpinan pemerintahan tertinggi, harus menjamin dan memastikan aparat di bawah,  yakni Gubernur Jateng bisa mematuhi putusan hukum. Juga, melindungi hak-hak dasar warga, sekaligus memberikan teguran, sanksi kepada Gubernur yang berupaya mengingkari hukum dan kesepakatan politik Presiden atas kasus Rembang.
Direktur Eksekutif Walhi Nasional, Nur Hidayati mengatakan, Walhi dan warga Rembang yakni Joko Prianto dkk, sebagai  penggugat merasa berkepentingan kelangsungan perlindungan lingkungan hidup masyarakat dalam wilayah izin Semen Indonesia. “Tafsir Gubernur cenderung keliru dan melampaui hukum,” katanya.
Wakhi, perlu meluruskan isi putusan supaya masyarakat memahami soal pembatalan izin lingkungan Semen Indonesia itu. Pertama, Walhi dan masyarakat memilih mengajukan gugatan atas terbit izin lingkungan Semen Indonesia, bukan izin operasional atau izin-izin.
Merujuk UU PPLH dan PP Izin Lingkungan, katanya, izin lingkungan merupakan persyaratan memperoleh izin usaha. Jika izin lingkungan dicabut baik oleh penerbit maupun pengadilan, izin usaha atau kegiatan dibatalkan.
“Artinya putusan PK yang mencabut izin lingkungan Semen Indonesia termasuk juga membatalkan izin operasional dan izin konstruksi atau izin dengan nama lain,” kata Yaya, panggilan akrabnya.
Gubernur, katanya, selaku penerbit izin lingkungan seharusnya menaati isi putusan MA, bukan mengambil langkah menafsirkan sendiri atau memberikan opini salah dalam mengartikan putusan PK ini.
Pemerintah yang telah membentuk tim kecil buat menyiapi putusan MA, seyogyanya bukan menafsirkan isi putusan. Bahkan, katanya,  jangan dipakai mengelak dari kewajiban mencabut izin lingkungan Semen Indonesia.
Seharusnya,  tim kecil ini dibentuk untuk memudahkan proses pencabutan izin dan memberikan solusi berikutnya.
“Tim kecil tak boleh melampaui hukum yang berlaku, apalagi sekarang sudah ada perintah jelas dari Presiden untuk menyusun KLHS.”
Kedua, Semen Indonesia mengajukan permohonan perubahan melalui penyusunan dan penilaian dokumen Amdal baru atau penyampaian dan penilaian adendum ANDAL dan RKL-RPL. “Apakah penyusunan Amdal baru sudah dilakukan? Kita semua menyakini berdasarkan fakta, belum pernah ada proses penyusunan Amdal baru.”
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional Merah Johansyah mengatakan, Presiden Jokowi, Gubernur dan Bupati harus menjamin prioritas pemenuhan dan penghormatan hak-hak dasar warga Rembang atas kekayaan agrarian.
Presiden dan Mendagri, katanya, harus memanggil Gubernur Jateng agar mengikuti putusan PK MA yang memenangkan warga. “Pabrik harus dibatakan dan dihentikan pembangunan.”
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, katanya,  jangan sekadar buang badan dengan mendesak Ganjar mencabut, tetapi mengambil alih kewenangan pemerintah daerah yang mengabaikan putusan pengadilan.
Selain itu, kata Merah, PDIP  sebagai pengusung Ganjar juga harus malu dan bertanggung jawab, karena kader telah penistaan terhadap produk hukum. Seharusnya,  PDIP yang mengklaim sebagai partai wong cilik (orang kecil) punya sikap tegas.

Aksi jalan kaki warga Rembang dan Pati, ke Kantor Gubernur Jateng di Semarang pada 9 Desember 2016, menuntut Gubernur menjalankan putusan MA mencabut izin lingkungan. Tak dinyana, ternyata izin lingkungan lama sudah cabut pas sebulan lalu dan ganti izin baru. Warga terkejut. Foto: Tommy Apriando
Aksi jalan kaki warga Rembang dan Pati, ke Kantor Gubernur Jateng di Semarang pada 9 Desember 2016, menuntut Gubernur menjalankan putusan MA mencabut izin lingkungan. Tak dinyana, ternyata izin lingkungan lama sudah cabut pas sebulan lalu dan ganti izin baru. Warga terkejut. Foto: Tommy Apriando 

Ramai-Ramai kecam Gubernur
Empat puluh enam tokoh hukum dan sosial, baik dosen praktisi dan aktivis sosial ramai-ramai menyatakan sikap terhadap tindakan Gubernur Jateng, yang mengkhianati rakyat dan melawan hukum.
Mereka itu antara lain Asfinawati, (Dosen Fakultas Hukum Jentera Law School), Herlambang P. Wiratraman  (Dosen Fakultas Hukum dan Ketua Pusat Studi Hukum dan HAM (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya), Benny D Setianto (Fakultas Hukum dan Komunikasi Unika Soegijapranata), Herry Supriyono (Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada), W. Riawan Tjandra (Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta).
Lalu, L. Eddy Wiwoho, Donny Danardono (Dosen dan Ketua Prodi Magister Lingkungan dan Perkotaan, Universitas Katolik Soegijapranata, Semarang) dan Esmi Warasih Pujirahayu (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang).
Menurut Zainal Arifin, LBH Semarang, pernyataan ini muncul karena meskipun  pengadilan memenangkan tahapan PK tak lantas warga Rembang sepenuhnya menang lantaran Gubernur berupaya “mengakali” putusan ini.
Upaya mengakali hukum ini, katanya, antara lain dengan pernyataan Gubernur bahwa tak ada perintah putusan menyatakan pabrik harus setop.
Upaya Gubernur mengakali hukum, katanya,  juga dengan penerbitan diam-diam Keputusan Gubernur tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan Pembangunan Serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang.
  
Bongkar paksa tenda petani Kendeng
Jumat (23/12/16) atau hari kelima warga Rembang mendirikan tenda di depan Kantor Gubernur Jateng,  menghadapi perlakuan represif aparat.
Joko Prianto dihubungi Mongabay mengatakan, kejadian bermula sekitar pukul 08.00, massa aksi dihalangi mendirikan tenda oleh Polrestabes Kota Semarang dengan alasan mengganggu pedestrian dan kumuh.
Alasan ini, dicari-cari untuk membenarkan tindakan pelarangan penyampaian pendapat di muka umum. Lantaran aksi sesuai ketentuan UU Nomor 9 tahun 1998, akhirnya Polrestabes membiarkan pendirian tenda.
Kemudian, sekitar pukul 11.20, massa aksi menolak pabrik semen didatangi Satpol PP Semarang diminta membongkar tenda. Tanpa menyebutkan dasar hukum sebelum membongkar, Satpol PP Semarang membongkar tenda itu.  “Semua disita Satpol PP.”
Beberapa personel Satpol PP Semarang saat ditanya mengenai dasar hukum pembongkaran tenda, mengaku tak tahu dan tampak bingung. Pasca pembongkaran tenda, Mudzakir, Komandan Regu Satpol PP yang bertugas membongkar tenda, menyatakan, dasar pembongkaran tenda adalah Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
Dengan fakta ini, katanya, tampak upaya di luar hukum oleh Polrestabes maupun Satpol PP untuk menghalang-halangi penyampaian pendapat di muka umum.
Gubernur Jateng Ganjar Pranowo seperti disampaikan pada program Mata Najwa, Rabu, (21/ 12/16), seperti pernyataan sebelumnya bilang bukan izin baru hanya addendum. Dia mengatakan, akan menyikapi putusan MA setelah 17 Januari 2017,  sesuai batasan waktu perundang-undangan.




Satpol PP kala membongkar tenda warga Rembang yang aksi protes mendesak pencabutan izin baru yang dikeluarkan Gubernur kepada Semen Indonesia. Foto: JMPPK
Satpol PP kala membongkar tenda warga Rembang yang aksi protes mendesak pencabutan izin baru yang dikeluarkan Gubernur kepada Semen Indonesia. Foto: JMPPK

Sabtu, 24 Desember 2016

Siaran Pers LBH Semarang: Seruan untuk Gubernur Jawa Tengah yang Melakukan Pembangkangan Hukum



Hingga saat ini Putusan MA Nomor 99 PK/TUN/2016 yang membatalkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012 tentang Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah tidak kunjung dilaksanakan oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo sebagai Tergugat I. Masyarakat yang menolak pabrik semen pun harus berlelah-lelah untuk melakukan longmarch dari tanggal 5 sampai 9 Desember 2016 untuk meminta Ganjar mematuhi putusan MA. Buah dari longmarch ini pun amat mengecewakan : telah diterbitkannya Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/30 Tahun 2016 tentang Izin Lingkungan tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan Pembangunan Serta Pengoperasian Pabrik Semen PT Semen Indonesia (Persero) Tbk di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah. Ganjar berdasarkan pernyataannya dari berbagai media berkelit, mulai dari dokumen tersebut bukan izin lingkungan melainkan pengawasan Amdal, dan kemudian mengubah pernyatannya bahwa dokumen tersebut merupakan adendum lantaran ada permintaan perubahan izin lingkungan dari PT Semen Indonesia.
Tak lelah untuk menuntut Gubernur Jawa Tengah melaksanakan putusan MA, pada Senin (19/12) masyarakat pegunungan Kendeng kembali mendatangi kantor Gubenur Jawa Tengah untuk melakukan audiensi. Namun, pada saat audiensi, Ganjar tetap tidak menyatakan ketegasan untuk mencabut Izin Lingkungan PT Semen Indonesia di Rembang. Masyarakat pun menjalankan ikhtiar yang telah disepakati bersama sejak awal : akan tetap berada di Semarang dan melakukan aksi pendirian tenda perjuangan setiap hari di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah hingga ada kepastian bahwa pabrik semen di Rembang dapat berhenti.
Hingga Kamis (22/12) aksi pendirian tenda perjuangan berjalan lancar. Namun pada Jumat (23/12) mulai ada tindakan represif dari aparat negara. Pagi hari, sekitar pukul 08.00 WIB massa aksi dilarang untuk mendirikan tenda oleh Polrestabes Kota Semarang dengan alasan mengganggu pedestrian, kumuh, serta ada masyarakat pendukung pabrik semen yang akan melakukan aksi di hari yang sama. Namun lantaran aksi yang dilaksanakan telah memenuhi ketentuan UU Nomor 9 tahun 1998 tentang Kemerdekaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum, pihak kepolisian pun meninggalkan lokasi aksi.
Kemudian, sekitar pukul 11.20 WIB, Satpol PP Kota Semarang membongkar tenda yang telah didirikan warga dengan menggunakan dasar hukum Perda Kota Semarang Nomor 11 tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Perda yang sedianya ditujukan untuk mengatur dan membina PKL dijadikan dasar pembongkaran tenda. Padahal, tidak ada satu ketentuan pun dalam Perda ini yang dilanggar oleh massa aksi. Komandan Regu Satpol PP yang melakukan pembongkaran, Mudzakir, pun tidak bisa memberi penjelasan terhadap kejanggalan ini. Properti aksi disita oleh Satpol PP Kota Semarang tanpa ada dasar hukum. Mutlak, tindakan Satpol PP ini membuat massa aksi yang mayoritas ibu-ibu harus berpanas-panasan menanti kepatuhan Gubernur Jawa Tengah tehadap Putusan MA.
Ternyata, ditengah aksi yang dilakukan masyarakat Pegunungan Kendeng untuk menuntut Gubernur Jawa Tengah mematuhi Putusan MA, pada tanggal 20 Desember 2016 Ganjar Pranowo menerbitkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/32 Tahun 2016 tentang Pembentukan Tim Supervisi Penyusunan Dokumen Adendum Analisis Dampak Lingkungan Hidup (Andal) dan Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup-Pemantauan Lingkungan Hidup (RKL-RPL) Kegiatan Penambangan Bahan Baku Semen dan Pembangunan serta Pengoperasian Pabrik PT. Semen Indonesia (Persero) Tbk. Di Kabupaten Rembang Provinsi Jawa Tengah.
Dalam Konsiderans pertama dokumen ini tertulis “bahwa dalam rangka memenuhi Amar Putusan Peninjuan Kembali Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016, dokumen analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) … PT Semen Indonesia (Persero) di Kabupaten Rembang perlu disempurnakan dengan menambahkan kajian lingkungan hidup …”.
Dalam konsiderans ini tampak jelas pembangkangan hukum yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah. Hal ini dikarenakan di dalam amar putusan MA Nomor 99 PK/TUN/2016 dinyatakan “1. Mengabulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya; 2. Menyatakan batal Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah; 3. Mewajibkan kepada Tergugat untuk mencabut Surat Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/17 Tahun 2012, tanggal 7 Juni 2012, tentang Izin Lingkungan Kegiatan Penambangan oleh PT Semen Gresik (Persero) Tbk, di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah;”
Tidak ada satu frasa pun dalam amar putusan ini yang memerintahkan Gubernur Jawa Tengah untuk menyempurnakan dokumen Amdal PT Semen Indonesia di Rembang sebagaimana yang dinyatakan oleh Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/32 Tahun 2016. Yang ada, putusan ini menyatakan batal objectum litis dan memerintahkan Tergugat (dalam hal ini Gubenur Jawa Tengah) untuk mencabut izin lingkungan PT Semen Indonesia.
Oleh karena Izin Lingkungan PT Semen Indonesia di Kabupaten Rembang telah dinyatakan batal oleh MA, tentu tidak dimungkinkan lagi untuk diterbitkannya izin lingkungan perubahan, baik itu dengan menyusun dokumen adendum Andal dan RKL-RPL atau bahkan dengan menyusun dokumen Amdal baru sekalipun. Pembentukan tim supervisi untuk penyusun dokumen adendum Andal dan RKL-RPL untuk Izin Lingkungan PT Semen Indonesia sama sekali tidak melaksanakan Putusan MA, melainkan melawan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap tersebut.
Tindakan Gubernur Jawa Tengah dalam menerbitkan Keputusan ini juga bertentangan dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB), yaitu asas kepastian hukum, asas ketidakberpihakan, asas kecermatan dan asas tidak menyalahgunakan kewenangan sebagaimana diatur dalam Pasal 10 ayat (1) huruf a, huruf c, d dan huruf e Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Gubernur Jawa Tengah tampak dengan segala daya upaya memaksa agar Pabrik Semen di Rembang tetap dapat berjalan meskipun dengan cara melawan hukum. Cara ini adalah cara yang paling tidak terhormat dalam negara hukum, terlebih jika dilakukan oleh seorang penyelenggara negara.
Untuk itu, kami menyerukan kepada Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo:

1. Laksanakan perintah putusan MA Nomor 99 PK/TUN/2016. Cabut Izin Lingkungan PT Semen Indonesia di Rembang

2. Cabut Izin Usaha, Izin Kegiatan, Izin Operasi, dan Izin Konstruksi PT Semen Indonesia di Rembang sebagaimana ketentuan Pasal 40 ayat (2) Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Menerbitkan Keputusan Gubernur Jawa Tengah Nomor 660.1/32 Tahun 2016 adalah pembangkangan terhadap Putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Segera cabut Keputusan ini demi menghormati hukum
4. Hentikan segala bentuk pembangkangan hukum lainnya untuk mengakali agar pabrik Semen Indonesia di Rembang tetap berjalan.
Semarang, 24 Desember 2016
Narahubung :
Rizky Putra Edry (0823 8680 7165)

Jumat, 23 Desember 2016

Ganjar, Amankan Tani!



Konferensi Pers Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Petani (Amankan Tani) di Kantor Yayasan Kristen Trukajaya Salatiga.
Aliansi Masyarakat Anti Kekerasan Terhadap Petani (Amankan Tani) gelar konferensi pers di Kantor Yayasan Kristen Trukajaya, Salatiga (23/12). Konferensi pers digelar untuk menyikapi pembangunan pabrik semen oleh PT. Semen Indonesia (PT. SI) di Pegunungan Kendeng, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Pun, Amankan Tani mengecam tindakan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Semarang, yang membongkar tenda perjuangan Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, di hari yang sama.
Amankan Tani adalah gabungan sejumlah organisasi masyarakat yang peduli terhadap persoalan lingkungan hidup dan petani. Sejumlah organisasi itu adalah Aliansi Petani Indonesia (API) Jateng, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Jateng, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Yayasan Kristen Trukajaya Salatiga, Kerja Kreatif Akar Rumput, dan Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Jateng.
Dalam konferensi pers, Koordinator KPA Jateng Purwanto mendukung sepenuhnya perjuangan JMPPK untuk menolak pembangunan pabrik semen yang dilakukan oleh PT. SI. “Keputusan Mahkamah Agung sudah jelas bahwa Gubenur Jateng harus menghentikan pembangunan pabrik itu. Melalui konferensi pers ini saya harap semakin banyak warga Jawa Tengah yang sadar bahwa mereka itu (JMPPK –red) telah dikhianati, dicederai melalui amanat yang telah dipegang oleh pemerintahan Ganjar,” jelas Purwanto.
Kepala Program Yayasan Kristen Trukajaya Salatiga Bagus Indra Kusuma menghimbau agar putusan dari MA menjadi tuntunan pemerintah dalam mengambil keputusan. “Baik oleh Gubernur Jateng hingga semua tingkatan dibawahnya. Apa yang disampaikan teman-teman Sedulur Sikep di televisi kemarin juga harus diperhatikan oleh pemerintah daerah,” kata Bagus. 
Bagi Koordinator Kerja Kreatif Akar Rumput Erik Darmawan, menjaga lingkungan agar tetap lestari adalah kewajiban semua orang. “Kejadian ini (pembangunan pabrik semen –red) menyangkut persoalan lingkungan hidup di Pegunungan Kendeng. Oleh karena itu perjuangan ini harus tetap berlanjut dan dapat dijadikan contoh di daerah lain bahwa kelestarian alam adalah prioritas utama,” katanya.
Koordinator API Jateng Syukur Fahrudin mengecam pembongkaran tenda perjuangan JMPPK di depan Kantor Gubernur Jateng, yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Semarang. “Saya kira pembongkaran ini adalah bentuk arogansi yang dilakukan oleh Satpol PP Semarang,” jelas Fahrudin, yang akrab disapa Sondey.
Sondey juga menganggap bahwa tindakan yang dilakukan oleh Satpol PP Kota Semarang, membuktikan bahwa aparat masih menjadi kepanjangan tangan korporasi besar (PT. SI –red) dalam rangka meredam perjuangan masyarakat Rembang yang tergabung dalam JMPPK.
Lentera menghubungi Koordinator JMPPK Joko Prianto melalui telepon seluler. Kata Joko Prianto atau yang akrab disapa Print, Satpol PP Kota Semarang membongkar tenda perjuangan karena dianggap mengganggu pengguna jalan dan membuat pemandangan kota menjadi kumuh. “Padahal selama ini pemberitahuan dari kami sudah jelas. Ini aksi, tapi mereka menggunakan undang-undang Pedagang Kaki Lima (PKL). Kan lucu. Tidak ada hubungannya aksi dengan PKL” tegas Print.
Api perjuangan JMPPK tak pernah padam. Mereka akan tetap berada di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo membatalkan pembangungan pabrik semen. “Kalau tidak boleh pakai tenda, kami akan pakai payung,” imbuh Print.
Berita ini ditulis oleh Galih Agus Saputra. Pemimpin Umum LPM Lentera. Mahasiswa Ilmu Komunikasi-Jurnalistik UKSW, angkatan 2014.
Penyunting: Andri Setiawan

Menyikapi Tindakan Represif Pembongkaran Tenda Perjuangan Kendeng

Siaran Pers JMPPK

Menyikapi Tindakan Represif Pembongkaran Tenda Perjuangan Kendeng


Sudah lima hari tenda perjuangan masyarakat Pegunungan Kendeng berdiri di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah guna menuntut Gubernur Jawa Tengah untuk mematuhi putusan Mahkamah Agung Nomot 99 PK/TUN/2016. Putusan ini berisi keharusan untuk Gubernur Jawa Tengah mencabut Izin Lingkungan PT Semen Indonesia di Rembang. Namun demikian, Gubernur Jawa Tengah hingga saat ini masih mencari celah untuk membangkang terhadap Putusan yang sudah berkekuatan hukum tetap tersebut.
Aksi yang selama ini berlangsung tertib, sebagaimana aksi-aksi sebelumnya, pada hari ini (23/12) harus menghadapi perlakuan represif dari aparat negara. Pagi, sekitar pukul 08.00 WIB, massa aksi dihalangi untuk mendirikan tenda oleh Polrestabes Kota Semarang dengan alasan mengganggu pedestrian dan kumuh. Alasan ini tentu merupakan alasan yang dicari-cari untuk membenarkan tindakan pelarangan penyampaian pendapat di muka umum. Namun, lantaran aksi ini diadakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 9 tahun 1998, akhirnya pihak Polrestabes membiarkan pendirian tenda.
Kemudian, sekitar pukul 11.20 WIB, massa aksi yang menolak pabrik semen didatangi oleh Satpol PP Kota Semarang dan diminta untuk membongkar tenda yang telah didirikan. Tanpa menyebutkan dasar hukum sebelum melakukan pembongkaran tenda, Satpol PP Kota Semarang kemudian membongkar tenda yang digunakan warga untuk berteduh, beserta properti aksi seperti bendera, poster, dan lain-lain. Semuanya disita oleh Satpol PP.
Beberapa personel Satpol PP Kota Semarang pun saat ditanya mengenai dasar hukum pembongkaran tenda, mengaku tidak tahu dan tampak bingung. Akhirnya, paska pembongkaran tenda, Mudzakir, Komandan Regu Satpol PP yang bertugas membongkar tenda, menyatakan bahwa dasar pembongkaran tenda adalah Perda Kota Semarang Nomor 11 Tahun 2000 tentang Pengaturan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Ditanya lebih jauh mengenai pasal yang dilanggar oleh massa aksi, Satpol PP Kota Semarang tidak dapat menjelaskan lebih lanjut, dan memasuki kantor Gubernur tanpa memeberitahu dasar hukum pembongkaran tenda.
Memperhatikan fakta yang terjadi hari ini, tampak upaya-upaya di luar hukum yang dilakukan oleh Polrestabes Kota Semarang maupun Satpol PP Kota Semarang untuk menghalang-halangi penyampaian pendapat di muka umum. Bahkan, Satpol PP Kota Semarang sampai melakukan tindakan represif, menghalang-halangi penyampaian pendapat di muka umum dengan menggunakan landasan Peraturan Daerah yang ditujukan untuk Pedagang Kaki Lima.
Polrestabes Kota Semarang dan Satpol PP Kota Semarang telah menggunakan pendekatan kekuasaan dalam menjalankan tugas. Padahal jelas, bahwa Indonesia adalah negara hukum. Ketidakpatuhan terhadap hukum dalam upaya penolakan pabrik semen guna pelestarian lingkungan tidak hanya dilakukan oleh Gubernur Jawa Tengah, melainkan ketidakpatuhan hukum juga dilakukan oleh Polrestabes Kota Semarang dan Satpol PP Kota Semarang.
Yang tampak dari kejadian hari ini adalah kekuasaan digunakan untuk meredam suara-suara yang tidak sejalan dengan penguasa. Hal ini merupakan satu peringatan bahaya terhadap proses demokrasi dan perlindungan terhadap HAM. Di sisi lain, hal ini menunjukkan bahwa penyelenggara negara belum cukup bijak dan cerdas dalam hidup bernegara.
Semarang, 23 Desember 2016
Nara Hubung:
Joko Prianto (0823 1420 3339)



Solidaritas Kendeng juga tumbuh di lain kota, Yogyakarta...