Kamis, 02 Februari 2017

Perjalanan Menuju Kendeng: Temu Masyarakat Karst Indonesia

February 2, 2017 | Oleh: Wahyu Eka*


Para aktivist Kendeng 

Tuban-Blora-Purwodadi-Pati
Karst adalah sumber kehidupan, begitulah keyakinan kami ketika menyuarakan perlunya melindungi sumber kehidupan. Alam telah memberikan penghidupan, maka manusia harus menyayanginya, melindunginya serta melestarikannya, begitulah keyakinan kami. Suku, budaya, bahasa dan wilayah boleh berbeda, tetapi keyakinan bahwa karst sebagai alam yang harus dikasihi selalu melekat dalam sanubari. Begitulah kesan yang saya dapat saat mengikuti pertemuan masyarakat karst, refleksi tentang makna perjuangan melindungi Ibu Bumi yang telah memberi kehidupan. 
Minggu ini saya sebagai perwakilan pemuda jomblo suka protes soal tambang, diundang oleh kawan-kawan organisasi non-pemerintahan yang bergerak di bidang lingkungan untuk menghadiri pertemuan masyarakat karst. Pertemuan tersebut diinisiasi oleh JATAM, Desantara, JMPPK dan TKPT, bertempat di Omah Kendeng, Sukolilo, Pati dan Desa Tegaldowo, Gunem, Rembang.
Bertepatan pada hari minggu tanggal 15 (1/17) saya berangkat dari Tuban menuju Blora terlebih dahulu, melewati jalan yang baru pertama kali saya lewati yaitu jalur Jatirogo-Kenduruan-Blora. Melewati hutan kelola perhutani yang semakin hari kian menipis, jalan penuh hambatan seperti, lobang, batu, jalan tidak rata, serasa sedang melewati track motorcross. Adrenalin terpacu, skill dipertaruhkan tentunya, ini merupakan pengalaman menarik daripada duduk diam tak produktif. Sesampainya di Blora saya langsung menuju Pati bersama kawan-kawan dari Walhi Jatim dan Trenggalek. Lagi-lagi saya dibuat takjub, rute menuju Omah Kendeng via Purwodadi-Grobogan benar-benar menantang. Seolah ada pesan selamat datang “Sugeng rawuh, dateng Kendeng”, memang sepanjang jalan kami melewati turunan lalu tanjakan dengan pemandangan hutan yang tak sepenuhnya lebat. Kendeng membujur lintas daerah, pegunungan kapur yang benar-benar indah menajubkan. Bayangkan saja jika korporasi tambang datang menkooptasi Kendeng, dampaknya akan sangat besar. Baik itu petani, masyarakat sekitar hingga pemuda-pemudi yang doyan selfie, mereka akan kehilangan harta yang paling berharga bagi manusia.
Sesampainya di Omah Kendeng, kita bertemu dengan masyarakat dari berbagai daerah yang mempunyai persoalan yang sama yaitu terancamnya ekologi karst. Mulai dari masyarakat yang sudah terdampak sampai yang baru akan dibangun. Mereka berasal dari Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur dan Kalimantan Selatan. Kita bertemu dalam satu tempat yang menjadi sarang perjuangan sedulur Kendeng, untuk belajar bersama satu sama lainnya. Selain itu tentu kita akan berjejaring, saling bertukar informasi dan bersolidaritas untuk mendukung perjuangan melindungi lingkungan hidup. Bertukar pemikiran dalam bentuk strategi perjuangan yang telah dilakukan, tujuannya nanti agar bisa mengembangkan strategi-strategi gerakan baru ketika kembali ke daerah masing-masing. 
Dari Omah Kendeng ke Sonokeling 
Pada hari senin 16 (1/17) kami mengikuti serangkaian kegiatan yang telah dijadwalkan. Kegiatan pertama, kami diajak untuk berjalan cukup jauh melintasi salah satu area di kawasan pegunungan Kendeng. Dalam perjalanan yang cukup melelahkan, karena saya sudah tak seramping dulu. Banyak hal yang sebetulnya tidak baru, cenderung melekat diingatan layaknya mantan. Jalanan berbatu, pepohonan yang tidak merata, areal pertanian di atas bukit kapur. Mengingatkanku pada beberapa daerah di Tuban, sebut Desa Mliwang, Sawir, daerah Kecamatan Kerek dan Montong. Secara geografis hampir serupa, baik struktur tanah hingga morfologi bukit karst itu sendiri. Selama perjalanan yang cukup menguras lemak, saya menjumpai aliran sungai kecil yang muncul dari sela-sela bebatuan, mengalir menuju daerah yang lebih rendah. Mungkin air tersebut berasal dari ponor (lubang air) atau rekahan, tidak hanya satu tapi saya melihatnya lagi. Di dekat sumber air, terdapat tebing karst yang menjulang tinggi mirip di daerang Montong Tuban. Secara morfologi bebatuan hampir sama, dengan tetesan-tetesan air di ujung bebatuan. Tebing tersebut dinamakan watu Semar, daerah yang dikramatkan oleh warga setempat. 


Sepanjang jalan dari Omah Kendeng menuju Omah Sonokeling, saya melihat bahwa tanah ini subur, bahkan bebatuan bisa ditanami beberapa tanaman seperti jagung, kacang, singkong dan tanaman pangan lainnya. Cukup membantah anggapan sesat, bahwa gunung kapur itu tidak produktif nyatanya sangat subur dan menguntungkan. Jika di reboisasi kembali beberapa titik, mungkin dapat digunakan sebagai lahan wisata berupa bumi perkemahan dan outbound. 
Setelah menempuh perjalanan kurang lebih satu jam, kami istirahat sejenak di pendopo. Setelah itu kami merefleksikan perjalanan tadi secara bergantian, dengan panduan Pak Eko Teguh yang nantinya akan sedikit berbagi ilmu. Pak Eko Teguh akrab disapa ET, merupakan dosen S2 UPN Jogjakarta yang cukup mumpuni soal kajian karst. Karena memang beliau sendiri telah melakukan beberapa kajian baik di Jawa maupun di Kalimantan beberapa waktu lalu, beliau juga merupakan penasihat dari ISS (Indonesia Speleological Society) yang bergerak di bidang kajian soal penelitian dan penelusuran terkait goa-goa di Indonesia. Menarik, ibarat anak SD yang selalu ingin tahu, saya sangat antusias mendapatkan materi ini.


Selanjutnya Pak ET, menjabarkan sedikit pengetahuan soal karst. Terkait apa itu karst, bagaimana kriterianya, tipologinya, cukup panjang untuk dijelaskan. Pak ET memberikan sedikit pencerahan jika melihat persoalan karst, maka kita harus mengenali karakteristiknya. Eksokarst dan Endokarst, merupakan karakteristik  yang menunjukan bahwa bukit tersebut termasuk dalam tipologi karst atau tidak. Eksokarst merupakan wilayah permukaan, dapat berupa ponor (lubang masuknya air), doline (lubang yang lebih besar), karren, uvala, polije, terrarosa (tanah pelapukan kapur) dan Sinkholes (lubang, biasanya mulut goa vertikal). Selanjutnya Endokarst merupakan lapisan bawah, sungai bawah tanah dan goa kapur bawah tanah yang dipenuhi stalaktit, stalakmit serta tiang kapur. Jika suatu kawasan terdapat karateristik yang seperti itu, sudah dapat dipastikan bahwa kawasan tersebut merupakan karst. Setelah mendapatkan materi, kami beristirahat sejenak.
Menuju Brati, Bertemu  Kartini Kendeng
Sesi selanjutnya, kami membentuk tiga kelompok yang nantinya akan terjun langsung ke tempat-tempat terdampak. Ya semacam daerah yang akan dibangun industri, serta daerah yang sukses menolak. Saya sendiri tergabung di kelompok tiga, bersama kawan dari Sankulirang-Mahayat, Biduk-Biduk, Karawang, Gombong dan beberapa dari JATAM. Kami ditemani Yu Gunarti ketika studi lapangan ke Desa Brati, Kayen. Kami bertemu dengan ibu-ibu penolak tambang, mereka bercerita panjang lebar dengan bahasa campuran, yang membuat beberapa teman-teman berasal dari Jawa Barat, Kalimantan serta Sulawesi geleng-geleng kepala. Mereka hanya mengangguk-anggukan kepala, muka serius namun sejatinya bingung. Beruntunglah Mbak Mai dari JATAM menjadi penerjemah bagi mereka, sehingga mereka tak perlu bertanya pada saya. Ibu-ibu tersebut merupakan garda terdepan pejuang Kendeng, mereka tergabung dalam kelompok Simbar Wareh. 
Menurut Yu Gunarti,untuk meyakinkan mereka semua agar sadar tentang pentingnya melestarikan Kendeng cukup susah. Beliau harus menyambangi satu persatu sedulur, menceritakan perihal pentingnya menjaga Ibu Bumi. Dari metode bertamu, ke arisan hingga tahlilan, semua dilakukan demi meyakinkan ibu-ibu penolak tambang. Awalnya mereka tidak terlalu peduli, tak punya sikap karena beranggapan bahwa orang kecil itu tak berdaya. Namun waktu berjalan, mereka telah yakin untuk berjuang. Jika dahulu laki-laki, maka sekarang ibu-ibu juga turut menjadi penolak semen yang cukup progresif. Intimidasi, fitnah serta perlakuan tidak menyenangkan senantiasa mereka terima. Baik dilakukan oleh tetangga, aparatur desa, preman hingga aparatur negara mereka terima dan hadapi. 
Dari awalnya ragu-ragu, sekarang telah teguh bersikap membela Kendeng agar tetap lestari. Saya tersentak, bagaimana mungkin orang-orang yang selama ini menjadi biang kerok lolosnya AMDAL. Malah menjadi penolak yang militan, bahkan lebih berani daripada para aktivis penolak tambang. Mereka lebih berani bersikap daripada para akademisi penakut, yang selalu sok bicara soal keadilan, kesejahteraan dll. Ibu-ibu ini terbentuk bukan secara pragmatis, mereka ada karena keterkaitan personal manusia. Kepentingan yang sama, untuk melindungi sumber penghidupan mereka. Belajar melihat kenyataan, bertindak sesuai dengan pengetahuan, nurani dan keyakinan. Ibu-ibu ini adalah contoh pejuang kesetaraan di era modern ini, disaat mereka tengah asyik berteriak kesetaraan dalam konteks kebebasan berpakaian.
Kami diantar oleh ibu-ibu tersebut berkeliling desa, mengunjungi sumber mata air, goa vertikal yang bernama goa pari, lalu sumber pengairan sawah warga. Semuanya merupakan bukti bahwa Kendeng kaya akan air, melimpah ruah untuk kelangsungan hidup manusia. Tanahnya subur, memberikan manusia kehidupan. Berkontradiksi dengan ungkapan pihak tambang, jika daerah tersebut tidak subur, gersang dan menyedihkan. Menawarkan kesejahteraan semu, ditengah sumber daya alam yang begitu menajubkan. Sebuah sumber penghidupan yang langsung dirasakan oleh manusia, kesejahteraan yang nyata. Dimana manusia dengan alam hidup berdampingan, saling menjaga satu sama lainnya. 
Selepas bertemu ibu-ibu, kami pulang ke Omah Kendeng dengan menaiki truk bak terbuka. Sepanjang perjalanan cukup mengasyikan, memicu adrenalin. Bayangkan truk yang besar harus melewati jalan-jalan kecil, repotnya lagi ketika bersimpangan dengan truk yang lainnya. Toh supirnya memiliki skill offroad, sehingga membuat kami merasa aman. Sesampainya di Omah Kendeng kami istirahat sejenak, bersih diri, serta bersiap makan malam bersama sebelum melanjutkan aktivitas. Makanan hari pertama cukup enak, sederhana namun terasa istimewa. Mungkin karena dimakan bersama-sama, sambil bercanda satu sama lain yang membuat suasana lebih hidup. 
Sesudah makan, kami bersiap untuk presentasi hasil studi lapangan. Tiap kelompok mempresentasikan hasil temuannya, secara bergantian. Presentasi yang ditampilkan tak jauh beda dengan materi dari Pak ET, terkait karst itu sendiri. Lalu pola perjuangan juga hampir sama, masih satu koridor gerak. Mungkin yang berbeda ialah, ketika ada salah satu kelompok yang menceritakan soal goa jodoh atau sumber jodoh. Seketika aku tersentak, “benarkah”. Ada harapan ini, kalau iya siapa jodohku ya?. Sempat kami tertawa bersama, saling mengolok satu sama lainnya. Walaupun berbeda ras, budaya, agama baik tua maupun muda, kami akrab satu sama lainnya. Setelah materi selesai kami bersiap beristirahat, karena besok akan ke Semarang mengikuti aksi Kendeng menagih janji Ganjar. Ndoro Ganjar tunggu aku, ayo noak bareng ben gak lamis !!!!!!!!.

*Penulis adalah pemuda desa yang peduli dengan lingkungannya
Sumber: TubanLiterasi 

0 komentar:

Posting Komentar