Senin, 09 Januari 2017

Press-Release | Pak Jokowi, Pilih Rakyat atau PLTU?


BATANG - Warga Batang yang tergabung dalam paguyuban UKPWR, kembali melakukan aksi penolakan terhadap proyek PLTU Batubara Batang. Proyek pembangkit listrik berkapasitas 2 x 1000 MW yang digadang-gadang sebagai yang terbesar di Asia Tenggara.

Sejak tahun 2011, yang berarti sudah sejak lima tahun silam warga Batang konsisten dengan perjuangan mereka untuk menolak proyek PLTU Batubara di tanah dan laut mereka. Warga berharap aksi yang dilakukan bersamaan dengan kunjungan Presiden Jokowi untuk peninjauan proyek PLTU Batubara Batang ini, mampu menggugah kesadaran Presiden Jokowi atas berbagai permasalahan yang ada bahkan sejak sebelum pembangunan dimulai.
Paguyuban UKPWR terdiri dari 5 desa (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso dan Roban) dengan mayoritas warganya adalah petani dan nelayan.

Warga yang pernah melakukan kunjungan ke beberapa wilayah yang terdapat PLTU Batubara, tidak ingin mengalami nasib  serupa dengan petani dan nelayan di sekitar PLTU Batubara di Cilacap, Cirebon, dan Jepara. Warga yang tinggal di sekitar PLTU tersebut banyak mengeluhkan udara yang kotor, gangguan pernapasan, penyusutan secara drastis hasil laut karena aktivitas PLTU dan berkurangnya lahan yang bisa digarap petani dan menimbulkan banyak masalah sosial lain. Ditambah, janji manis terbuka luasnya lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal ternyata hanya janji semata.

Selain masalah yang kelak muncul setelah PLTU Batubara ini mulai beroperasi, warga UKPWR juga telah mengalami banyak pelanggaran HAM, seperti dari perampasan lahan yang masih sah milik warga yang membuat warga tidak lagi dapat bertani di lahan sendiri, intimidasi dan tindakan represif aparat maupun preman bayaran perusahaan. Bahkan ada 7 warga yang dikriminalisasi tanpa alasan jelas.


Pembangunan PLTU Batubara Batang juga sudah menyalahi aturan yang menetapkan sepanjang pesisir Ujungnegoro-Roban sebagai Kawasan Konservasi Laut Daerah Batang melalui SK Bupati Kabupaten Batang Nomor 523/283/2005, yang berarti sejatinya pembangunan PLTU batubara di kawasan ini sangat tidak dibenarkan. SK ini diperkuat dengan penetapan Taman Wisata Alam Laut Daerah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 26 tahun 2008 tentang RTRW Nasional Lampiran VIII Nomor Urut 313, dan Perda Provinsi Jawa Tengah Nomor 6 Tahun 2010 tentang RTRW Provinsi Jawa Tengah tahun 2009-2029.


 Sudah berkali-kali warga melakukan aksi, mendirikan tenda perlawanan, bertemu langsung dengan pemenang tender di Jepang, J-Power dan Itochu, dan menemui JBIC (Japan Bank for International Corpration) sebagai pendana proyek, sampai beraudiensi dengan parlemen Jepang. Upaya untuk mengadu secara langsung ke Presiden sebagai kepala negara yang masih dipercaya warga mampu memihak dan menyelamatkan rakyatnya seperti pada janji kampanyenya pun dilakukan, berkunjung ke Istana dan tidak ditemui, mengirimi surat resmi melalui lembaga pendamping juga tidak mendapat respon berarti, mengirim ratusan surat tulisan tangan warga, hingga berkunjung ke rumah Jokowi di Solo juga sudah dilakukan, tapi hingga kini tidak ada satu statement atau tindakan Jokowi pun yang memihak rakyatnya ini.

"Sudah berbagai macam cara kita lakukan untuk dapat berkomunikasi langsung dg Presiden dan menyampaikan betapa PLTU Batubara sesungguhnya menyengsarakan rakyat. Tapi entah kenapa Bapak Presiden kita ini selalu saja seperti tidak punya waktu untuk rakyatnya ini. Jika seorang Presiden yang katanya 'dari rakyat untuk rakyat'  selalu punya waktu untuk meninjau proyek demi proyek, mengapa untuk rakyat yang memilihnya sendiri justru tidak?", ujar Sabrina relawan SKWB.

Ibu Rokiban, seorang istri nelayan Roban menambahi, "Tolong, Pak, hentikan PLTU sekarang juga. Karena sangat mengganggu dari sisi ekonomi. Sekarang saja tangkapan ikan sudah mulai menyusut. Lautnya jadi banyak lumpur semenjak pembangunan di area laut dimulai. Nelayan itu setiap hari harus ke laut mencari ikan biar dapat penghasilan, jadi kami selalu butuh laut. Beda dengan orang2 seperti bapak2 itu di pemerintahan, kerja atau tidak kerja tetap ada pemasukan yang pasti".

Dalam sudut pandang yang lebih luas, PLTU batubara menyumbang jutaan ton gas rumah kaca dan gas beracun (seperti sulfur dioksida, karbon dioksida, nitrogen oksida) yang berdampak pada kerusakan lingkungan secara global. Ini juga tidak sesuai dengan janji Indonesia pada dunia untuk menurunkan emisi karbon sebanyak 29% pada tahun lalu.

Kerusakan alam,  kesejahteraan rakyat yang dipertaruhkan, konflik berkepanjangan, dan pemerintah yang tak berpihak pada rakyat rupanya juga terjadi di banyak tempat di Indonesia. Di tahun 2016, Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat ada 450 konflik agraria. Selain masalah PLTU Batang, banyak juga kasus kriminalisasi petani dan polemik di Pegunungan Karst, salah satunya di Pegunungan Kendeng Utara. Hari ini di lain tempat, para petani pegunungan Kendeng Utara juga menuntut keberpihakan pemerintah pada rakyat alih-alih kepentingan modal. Masa yang berkolaborasi dengan mahasiswa se-Semarang juga masyarakat yang peduli lainnya melakukan aksi di depan kantor gubernur Jawa Tengah. Aksi warga sendiri sudah dilakukan setiap hari selama hampir satu bulan di depan kantor gubernur. Properti aksi bahkan sempat dirusak satpol PP Kota Semarang karena dianggap mengganggu ketertiban umum dengan dasar hukum perda Kota Semarang No 11 Tahun 2000 tentang pengaturan dan pembinaan pedagang kaki lima. 

Alasan warga pegunungan Kendeng melakukan aksi adalah menuntut Ganjar Pranowo sebagai gubernur untuk mematuhi keputusan MA yang sudah dimenangkan warga dan menghentikan segala aktivitas PT Semen Indonesia di pegunungan Kendeng yang  merusak lingkungan dan tidak menyejahterakan rakyat.

Dengan menumpuknya permasalahan lingkungan, seharusnya pemerintah yang bernawacita menyejahterakan rakyatnya mampu mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan dengan berinvestasi pada energi yang ramah lingkungan dan memprioritaskan ketahanan pangan.

Dalih bahwa pembangunan ini untuk kepentingan umum patut dipertanyakan lagi jika dampaknya justru lebih banyak menimbulkan kerusakan daripada kebaikan. Maka dari itu, penolakan terhadap segala pembangunan yang merugikan harus tetap dilakukan sebagai wujud kritis dan kepedulian masyarakat atas negara.

Narahubung:
- Sabrina Aulia Nisa, SKWB (Solidaritas Untuk Keadilan Warga Batang)
085727476333

0 komentar:

Posting Komentar