Aliansi Gerakan
Reforma Agraria (AGRA) Banyumas mendukung penuh perjuangan kaum tani, pemuda
desa, pemuda mahasiswa, aktivis lingkungan, seniman, dan berbagai elemen
lainnya yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Slamet, dalam rangka aksi massa
penolakan atas proyek PLTP Baturraden di Gunung Slamet, yang akan dilaksanakan
pada 9 Oktober 2017 di Pemkab Banyumas.
PT SAE telah
melakukan pelanggaran-pelanggaran dalam hal perencanaan maupun pelaksanaan
pembangunan proyek panas bumi di Gunung Slamet. Dari segi dampak yang sudah
terlihat saja, PT SAE telah membuat masyarakat desa hutan pelan-pelan terusir
dari sumber penghidupannya. Lokasi eksplorasi yang hanya berjarak kurang lebih
hanya 7 km saja dari desa hutan, telah
membuat satwa liar seperti babi hutan, kijang, dan kera terusir dari habitatnya
di hutan lindung, yang kemudian memasuki kawasan pertanian dan perkebunan kaum
tani. Berbagai tanaman menjadi sasaran satwa liar tersebut seperti palawija,
tanaman buah-buahan, bahkan tanaman kayu albasia (pucukannya dimakan kera
sampai tanamannya mati). Jumlah desa yang terkena dampak satwa liar ini untuk
di Banyumas tercatat ada di 7 desa yang berada di 3 kecamatan.
Masyarakat yang
bukan di desa hutan pun juga dirugikan dengan adanya proyek ini. Akibat dari
pengerjaan proyek yang minim perencanaan, hulu Sungai Prukut menjadi tercemar
oleh limbah material pembukaan lahan untuk jalan akses infrastruktur. Warna air
yang tadinya jernih berubah menjadi coklat kemerahan. Masyarakat desa yang
bergantung pada sungai menjadi terusik kehidupannya. Padahal sungai tersebut
merupakan sumber dari berbagai kegiatan ekonomi produksi maupun konsumsi
masyarakat mulai dari perikanan, peternakan, wisata alam, produksi tahu
rumahan, air minum rumah tangga, untuk keperluan mandi, mencuci, dsb. Jumlah
desa yang terkena dampak air keruh ini untuk di Banyumas tercatat ada di 7 desa
dalam 1 kecamatan.
Dari segi
perencanaan pun, PT SAE tidak mengindahkan kaidah-kaidah lingkungan. Fungsi
pokok hutan lindung tidak berjalan semestinya karena ekosistem tak lagi
seimbang. Bayang-bayang kebencanaan menghantui mulai dari longsor hingga banjir
bandang, karena ternyata PLTP Baturraden dibangun di Zona Merah Rawan Bencana.
Sosialisasi baru dilakukan ketika eksplorasi tengah berlangsung, bahkan setelah
air keruh, menunjukkan bahwa PT SAE menganggap sosialisasi sebagai formalitas
belaka. Rakyat lereng selatan Gunung Slamet dalam hal ini oleh PT SAE dianggap
sebagai "Yang-Lain".
Ilustrasi: Profil Gunung Slamet [Kredit Foto: BanuCare]
Siapakah yang paling
berhak atas penguasaan Gunung Slamet? Jauh sebelum Republik Indonesia berdiri,
rakyat di lereng Gunung Slamet telah lebih dulu eksis dan mengelola serta
menjaga kelestarian Gunung Slamet. Berbagai ritual dan tradisi lahir di sekitar
Gunung Slamet, dan masih terus berlangsung hingga saat ini, lengkap dengan
situs budaya yang juga masih terawat. Hubungan antara rakyat di lereng dengan Gunung
Slamet bersifat lahiriah dan batiniah. Bahkan masih ada satu kepercayaan yang
diyakini jika, "Gunung Slamet dikalungi besi, Elang Jawa turun, maka
Gunung Slamet akan meletus dan Pulau Jawa terbelah menjadi dua." Tak perlu
ada keraguan bahwa Gunung Slamet adalah milik rakyat yang selama ini
menjaganya.
Akan tetapi kemudian
negara mengklaim penguasaan atas Gunung Slamet, dan atas dasar klaim itu,
negara membuka kran investasi perusahaan asing untuk mengeksploitasi Slamet
melalui skema Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Ini adalah bukti bahwa negara
merupakan Tuan Tanah Besar Tipe IV, yang bersekutu dengan PT SAE dan PT
Trinergy selaku Borjuasi Besar Komprador dan STEAG GmbH selaku Imperialis
Jerman yang memegang saham mayoritas PT SAE. Ini adalah bukti pula bahwa
Program Reforma Agraria & Perhutanan Sosial (RAPS) Jokowi-JK pada
hakikatnya merupakan reforma agraria palsu. RAPS bermaksud melakukan
redistribusi tanah seluas 9 juta hektar dan perombakan pengelolaan hutan seluas
12,7 juta hektar. Akan tetapi dalam saat yang sama RAPS tidak bermaksud
mengurangi secara signifikan adanya monopoli tanah, dan bahkan masih membiarkan
adanya perampasan tanah, seperti termasuk yang terjadi di Gunung Slamet.
Oleh karena itu,
AGRA Banyumas menilai bahwa momen aksi massa Selamatkan Slamet pada 9 Oktober
merupakan upaya bagi massa rakyat terutama kaum tani dan pemuda pedesaan, untuk
menunjukkan hak dan kedaulatan mereka atas tanah sebagai ruang hidup dan sumber
penghidupan. Sehingga AGRA Banyumas mendukung dan berpartisipasi aktif terhadap
aksi massa Aliansi Selamatkan Slamet dalam hal menuntut :
1. Mendesak Bupati
untuk menerbitkan Rekomendasi kepada Gubernur dan Menteri ESDM untuk mencabut
Izin Panas Bumi PLTPB Baturraden di Gunung Slamet
2. Mendesak Bupati
untuk memberhentikan proyek PLTPB dan menarik seluruh alat berat sampai ada
kejelasan mengenai tuntutan surat Rekomendasi pada poin pertama
Kami juga menyerukan
kepada seluruh rakyat Indonesia terutama massa kaum tani, agar terus memperkuat
antar elemen gerakan rakyat, demi terwujudnya Reforma Agraria Sejati yang
selama ini dicita-citakan.
Demikianlah sikap
dari AGRA Banyumas.
Bagi kawan-kawan yang hendak bersolidaritas dalam aksi
ini dalam bentuk apapun, silakan hubungi +6285869684402 [Chen]
0 komentar:
Posting Komentar