Liputan 1 | |
Hamparan hijau padi di sawah ditambah jejeran pepohonan jati di Perbukitan Karst Gombong, menyempurnakan keindahan ketika saya memasuki Desa Sikayu, Kebumen, Jawa Tengah, medio Februari lalu.
Arus air cukup deras mengalir jernih dari sungai dan saluran irigasi. Elang terbang berputar-putar. Suara kutilang dan burung gereja bersahutan.
Sore itu, Lapiyo, warga Desa Sikayu, sedang memberi makan nila, kakap dan gurame. Empat kolam ikan ini teraliri air tanpa henti dari sumber Kali Sirah, sungai bawah tanah Pegunungan Gombong.
“Saya baru pensiun dari tentara. Pulang ke desa untuk pelihara ikan, diganggu rencana pertambangan semen,” katanya memulai cerita.
Lapiyo pada 1980, merantau ke Lampung dari Desa Sikayu, Kebumen. Lalu jadi tentara di Jakarta. Dia sempat menjadi penjaga rumah Soeharto di Jalan Cendana. Pada 2000, tugas ke kampung. Sempat juga tugas di Yogyakarta.
Ketika pensiun, dia memilih menghabiskan waktu bersama anak istri di kampung, dan berernak ikan. Rumahnya, tepat di lereng pegunungan karst Gombong. Kekhawatiran datang ketika dia mendapatkan kabar dari tetangga bahwa pabrik dan pertambangan semen akan beroperasi di pegunungan karst. Selama ini, sumber air dari sana mengaliri kolam, mengisi tong air untuk mandi, masak dan minum.
“Selama ini, air gratis dan mengalir tiap hari. Kemarau tidak kekeringan, kok gunung mau di rusak? Apa tidak mikir ya?” kata Lapiyo.
Dia tak anti investasi tetapi harus sinergis, berkesinambungan dengan rakyat. Kalau investasitambang semen, sumber air rusak, suplai air mati, bahkan polusi udara. Terlebih, masyarakat Gombong mayoritas petani dan ternak ikan. Mereka bertopang pada air dari pegunungan karst.
“Pemerintah daerah dan pusat harus teliti, lihat dampak, khusus air. Tolong pikirkan, pegunungan karst mengandung air berlimpah.”
Saya mendatangi lokasi sumber-sumber air di Pegunungan Gombong. Air keluar dari mulut goa. Di pinggiran jalan desa, ratusan selang berbahan plastik dan pipa-pipa mengalirkan air ke tong penampungan. Ada juga langsung ke rumah warga. Setiap pagi, puluhan perempuan Desa Sikayu, Banyu Mudal, dan beberapa desa lain membawa pakaian kotor untuk dicuci di sungai.
“Ibu-ibu sudah tahu akan ada tambang semen di Gombong?” tanya saya.
“Tidak tahu,” jawab mereka serentak.
Mereka tak rela ada tambang yang akan merusak sumber air.
Beberapa sumber air juga untuk rekreasi warga sekitar ketika akhir pekan dan hari libur. Irigasi sawah warga juga tersuplai langsung sumber air yang mengalir dari sungai bawah tanah di Pegunungan Gombong.
Siti Hanifah, warga Desa Sikayu, sehari-hari berternak ikan. Sekitar dua tahun lalu, dia mulai gencar mencari dukungan sesama kaum perempuan untuk menolak tambang semen. Baginya, tambang berdampak pada air. Perempuan, paling merasakan dampak terlebih mayoritas warga desa petani dan peternak ikan.
Menurut Siti, perempuan ingin anak-anak mereka tumbuh sehat. Jika ada pabrik semen, sumber air bakal hilang, berganti polusi.
“Bagaimana anak bisa cerdas, jika terkena limbah debu dan air tidak ada?’ tanya Siti.
Tambang juga bisa menyebabkan manusia terkena penyakit ganguan pernapasan. “Kami tidak mau anak sakit. Kami mampu menyekolahkan, tapi mereka sakit karena polusi. Belum lagi pendapatan warga dari pertanian dan perikanan akan hilang.”
Memang, katanya, perusahaan janji menawarkan pekerjaan bagi warga terdampa. “Kami tak perlu. Kami sudah sejahtera dengan bertani. Setiap sore, petani memanen sayur di ladang. Jika kami ditawari pekerjaan, tak mungkin petani yang berpendidikan rendah merasakan. Ujung-ujungnya pendatang yang bekerja.
“Kami mutlak menolak, tambang akan membawa penyakit dan hilang air. Selama air ada, warga bisa mendapatkan penghasilan, walau lewat pertanian.”
Saya mengunjungi ladang pertanian warga di Desa Sikayu. Pagi dan sore hari, mereka memanen sayur di ladang. Ada bayam, terong, cabai, sawi, singkong sampai pepaya. Antarmereka saling bertukar hasil tani, dan beberapa dijual ke pasar.
Di rumah-rumah, warga memiliki kolam ikan. Air dari sumber mata air Pegunungan Gombong.
Sukini, juru kunci Mata Air Sendang Pelus bercerita. Air mengalir ke rumah warga dan sungai irigasi. Walaupun kemarau, air tetap melimpah dan jernih. Warga menjaga mata air dan menggunakan secara bijak. Warga juga punya tradisi potong kerbau sebagai bentuk syukur atas limpahan sumber air.
“Jika ditambang dan merusak sumber air, kami menolak. Air punya peran penting bagi warga desa di Gombong,” kata Sukini.
***
Kami memasuki Goa Paes. Lembab dan dingin. Air tampak menetes dari ujung stalatit goa. Beberapa kekelawar berterbangan di langit-langit goa. Menggunakan Global Positioning System (GPS), sesuai koordinat lokasi izin Semen Gombong, Goa Paes masuk dalam lokasi.
Bersama tim Indonesian Speleological Society (ISS), saya menelusuri lokasi izin Semen Gombong.
Goa ini berjarak sekitar 500 meter dari perkampungan warga. Dari mulut goa, pemandangan hijau sawah dan perkampungan warga terlihat indah.
Samtilar, Ketua Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) bercerita, tahun 1995, oleh Lurah Elani, warga Desa Sikayu berkumpul di Balai Desa Sikayu. Saat ini, ada tawaran perusahaan semen masuk dan meminta izin warga. Mayoritas warga tak mengiyakan, namun tak menolak. Ada juga menerima.
“Warga dulu tak tahu fungsi gunung dan karst. Warga dulu tahu itu gunung batu, tak bisa ditanami,” kata Samtilar.
Pada tahun sama, jelang beberapa bulan, ada sosialisasi oleh asisten bupati waktu itu. Dalam sosialisasi, mengatakan, bumi, air dan semua di bumi dikuasai negara. Berhenti disitu.
“Yang saya ketahui, isi utuh, semua untuk kesejahteraan rakyat. Warga tak ada berani menentang penguasa. Takut. Ketika warga bertanya, dampak pertambangan terhadap air, perusahaan dan pemerintah bilang kalau di tambang air tidak hilang, bahkan bertambah deras.”
Tahun itu pula terjadi negosiasi dengan perwakilan masyarakat. Ada tujuah tokoh masyarakat, termasuk saya. Ketika itu menjelang bulan puasa, warga kumpul di Balai Desa Sikayu. Perusahaan ingin membeli lahan warga. Saat itu, warga meminta Rp10.000 permeter. Perusahaan menawar Rp1.200 permeter. Tak ada kesepakatan. Menjelang mahgrib warga bubar. Tanpa ada negosiasi, lalu ada surat edaran, intinya perusahaan menawar dan membeli lahan warga Rp1.500 permeter persegi.
“Akhirnya melalui birokrasi di desa dan kecamatan, warga diintimidasi. Jika tidak menjual, berarti melawan pemerintah. Warga takut, mereka door to door mencari warga yang mau melepas lahan,” kata Samtilar.
Aparat desa, kecamatan dan kabupaten terlibat dalam pembebasan lahan warga. Warga diintimidasi dan diteror. Aparatur desa, membujuk pemilik tanah di kalangan keluarga, mengajak tetangga. Bahkan hingga kini masih ada rekan-rekan anggota Perpag diintimidasi.
“Jika tidak dijual lahan akan dibongkar tanpa dibayar.”
Samtilar memiliki lahan IUP Semen Gombong. Dia tak akan menjual, walaupun sudah banyak warga melepas lahan ke perusahaan. Dia tahu benar, pembebasan lahan dengan upaya paksa, teror dan intimidasi.
Rekan Samtilar, Meri, warga Desa Sikayu belum rela tanah terjual untuk pertambangan semen. “Jika bisa dibeli, saya akan beli. Akan saya gunakan untuk bertani,” katanya.
Menanjaki Pegunungan Gombong, Samtilar menjinjing jerigen dua liter teh hangat dan makanan. Sepanjang perjalanan, pepohonan bambu lebat, jati dan sayuran warga seperti singkong, cabai, jahe, temulawak, buah srikaya, kami jumpai.
“Kita sudah masuk IUP semen,” kata Rasyid Wisnu Aji, dari ISS Jawa Tengah.
Tanah masih basah, hujan baru turun. Tebing-tebing batu gamping persis di samping jalan setapak yang kami lalui. Sembari berjalan, kami menemui beberapa lubang ponor. Kami juga mendatangi beberapa goa yang tak masuk dalam dokumen Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) Semen Gombong. Di dalam goa, masih dijumpai kekelawar berterbangan dan serangga. “Dalam dokumen Amdal mereka tak menyebutkan ada goa dan ponor,” kata Samtilar. Temuan ini akan dicatat dan disampaikan kepada para penilai Amdal.
Perpag sudah menyampaikan penolakan pertambangan Semen Gombong. Tahun 2015, dia mengumpulkan lebih 1.000 warga menandatangai petisi penolakan. Dia juga sudah bertemu anggota DPRD Kebumen Oktober 2015. Saat itu, jawaban akan dipelajari. Hingga kini belum ada tindaklanjut mereka.
“Ketemu DPRD Komisi B bidang pembangunan, jawabnya akan dipertimbangkan. Hingga sekarang tidak tahu apa hasil pertimbangan itu.”
Dengan berbagai upaya, Perpag bisa mengundang perhatian Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya. Pada Sabtu, 19 Desember 2015, Siti blusukan ke beberapa sumber mata air. Salah satu ke Kali Sirah. Bersama ratusan warga dan beberapa pelajar menyaksikan dan pendengarkan langsung pemanfaatan air bersih yang selama ini dimanfaatkan warga.
Siti berjanji meninjau kembali Amdal Semen Gombong di karst Gombong Selatan. Bahkan, akan menghentikan sementara izin penambang di sana.
“Saya akan meminta izin kepada Bapak Presiden (Joko Widodo), selama penyusunan aturan perlindungan ini dilakukan,” kata Siti terlihat dalam video dokumentasi Perpag.
Siti akan mengusulkan moratorium izin-izin di kawasan karst Jawa. “Sambil kita dalami kesuluruhan.”
Siti meninjau langsung ke karst dan mendengarkan keluhan warga. Ekosistem karst, kata Siti, harus dilindungi. Kawasan itu, sumber mata air untuk kehidupan masyarakat.
“Jadi kunci perlindungan. Yang paling penting, pengendalian. Ini harus diawasi, yang merusak harus kena sanksi. Itu akan diatur,” ucap Siti.
Untuk Amdal yang diajukan Semen Gombong, dia meminta warga dan semua pihak mengawasi proses sedang berjalan. Amdal masih tahap awal.
“Saya minta tolong, nggak boleh marah, nggak boleh anarkis, tidak boleh galak-galak. Sabar. Kita selesaikan bersama dengan bupati dan gubernur. Hadirnya saya dan bupati disini, itu artinya kita ini bersama rakyat,” kata Siti.
Saya melewati jalan aspal selebar tiga meter, menuju Desa Nogoraji. Rumah-rumah warga cukup padat. Sekitar 500 meter dari Balai Desa Nogoraji, saya tiba di bangunan dengan halaman ditumbuhi ilalang. Tampak beberapa pohon mangga dan jati tumbuh.
Banyak sepeda motor terparkir. Dari luar tak terlihat aktivitas perkantoran, kecuali bunyi mesin printer dan nada dering telepon gengam.
Bangunan inilah bakal lokasi pabrik Semen Gombong. Perusahaan ini, anak usaha Medco Energi. Dalam website perusahaan, medcogroup.co.id menyebutkan, pengembangan pabrik pengolahan semen berkapasitas 2,5 juta ton terpusat di Desa Nogoraji, Gombong, Jateng. Cadangan batu kapur kualitas tinggi sebesar 70,1 juta ton usia 46 tahun. Cadangan tanah liat 20 juta ton berumur 41 tahun.
Awal proyek ini 1994. Krisis ekonomi Asia, termasuk Indonesia, mengakibatkan proyek tertunda pada 1997. Ketika proyek terhenti, pembangunan mencapai 7,83% terdiri dari desain teknis dan infrastruktur dasar.
Tahun 2014, Medco Group berhasil mengembangkan studi kelayakan dan pemutakhiran izin terkait khusus Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal).
Hari itu, Wisnu Basuki, Kepala Teknis Tambang Semen Gombong, menemui saya. Wisnu menjelaskan seputar perusahaan yang katanya berprinsip ramah lingkungan hingga warga tak perlu khawatir. Soal polusi debu, misal, Semen Gombong, ada teknologi buat mengantisipasi, seperti pakai alat ramah lingkungan dan bapperzone. Ada lokasi hijau, jarak 50 meter dari tambang.
Sebelum operasi akan tanam tanaman yang mengurangi debu pertambangan ke pemukiman warga.“Masalah air, semua sudah didesain dan didata. Kami akan menambang 25 meter di atas titik jenuh air di daerah kering. Jika masalah air berkurang, justru air bertambah.”
Perusahaan sudah memetakan lokasi mata air, goa dan lain-lain. “Elevasi tertinggi sudah kami ketahui. Tak akan menambang di bawah elevasi mata air.”
Guna mengatasi air yang khawatir akan hilang, perusahaan bakal menampung air. “Jadi bekas lokasi tambang dibuat pon, hingga air run off ke permukaan. Kami tampung di dalam kolam, hingga air infiltrasi ke tanah, masuk ke bawah.”
Perusahaan, katanya, akan membuat laporan tentang pengelolaan dan pengawasan lingkungan setiap semester. Kala terjadi sesuatu yang tak sesuai—kekhawatiran warga terjadi—, dia memastikan pemerintah bisa menghentikan kegiatan. “Bisa menutup sebagian atau seluruhnya jika pertambangan menggangu dan berdampak pada lingkungan. ”
Perusahaan, katanya, tak menambang di kawasan penting, seperti kawasan bentang alam karst (KBAK) Gombong. Penambangan di luar KBAK. “IUP kami dulu luasan 271 hektar, berkurang lebih100 hektar.”
Soa Amdal, dia mengklaim tim penilai sudah melibatkan masyarakat termasuk penolak. “Perbedaan pandangan biasa saja. Kami selalu dialog untuk bicara tentang keberatan warga yang menolak. Adapun lokasi pabrik yang dekat dengan pemukiman warga, mesin produksi ramah lingkungan. Kami mengkuti standar baku mutu lingkungan,” kata Wisnu.
Tak jauh beda dengan pernyataan Aris Pardjimanto, Direktur Utama Semen Gombong, dalam siaran pers Februari 2015, Dia mengatakan, hasil kajian Lembaga Afiliasi Penelitian dan Industri (LAPI) ITB, tak ada goa basah dan mata air dalam IUP eksplorasi batugamping Semen Gombong. Arah aliran sungai bawah tanah berada di luar penambangan.
“Batas penggalian batugamping maksimal sampai elevasi 80 meter atas permukaan air laut (mdpl) dan minimal 25 meter atas lapisan jenuh air. Jadi tak mengganggu sumber air yang dikhawatirkan warga.”
Perusahaan, katanya, mengantisipasi dengan menjajaki kerjasama pada Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) untuk memasok air dari Waduk Sempor. Juga akan membangun jaringan pipa 19 kilometer untuk kebutuhan Semen Gombong dan masyarakat sekitar.
Soal banyak warga menolak penambangan, Aris tak mempersoalkan. Menurut dia, pro kontra masyarakat biasa terjadi pada proyek investasi cukup besar.
“Saya melihat itu bukan malapetaka tetapi dinamika. Bahwa masyarakat peduli, bagaimana kita bisa memberikan jawaban atas aspirasi masyarakat baik pro dan kontra. Kita dengarkan semua. Yang penting jangan sampai terjadi konflik horisontal. Kita tak menginginkan itu terjadi.”
Karst rusak tak tergantikan
Petrasa Wacana, Koordinator Bidang Konservasi, Advokasi dan Kampanye Masyarakat Speleologi Indonesia (MSI) mengatakan, penambangan karst Gombong akan menghilangkan zona epikarst. Zona ini, sebagai penyimpan utama air hujan antara 5-50 meter bagian atas perbukitan karst. Ia sebagai sebagai pengontrol sistem kartifikasi.
Air tersimpan mampu melarutkan batuan gamping melalui zona-zona rekahan menuju sungai bawah tanah. Fungsi utama air ini sebagai media pelarut membentuk speleothem dan sistem perguaan atau sungai bawah tanah.
Berdasarkan hasil penelitian mereka 2015, hasil water tracing menggunakan merang, pada Goa Pucung dan Goa Jeblosan, setelah beberapa hari merang yang dilepaskan keluar pada mata air Goa Candi, Kali Winong dan Kali Sirah.
“Berdasarkan analisis pola aliran, sungai bawah tanah melewati areal IUP hingga penambangan di IUP dapat berdampak langsung terhadap sungai bawah tanah yang mengalir ke Kali Winong dan Kali Sirah,” katanya.
Kala bukit-bukit yang menjadi tandon penyimpan air utama hilang mengakibatkan air hujan tak tersimpan pada zona epikarst. Ia meningkatkan debit air permukaan (run off), hilang mata air sumber air utama Desa Sikayu.
“Peningkatan run off, karena air tak terserap karst akan mengakibatkan banjir.”
Selain itu, kata Petrasa, industri semen menyumbang emisi gas rumah kaca. Berdasarkan laporan Inventerarisasi gas rumah kaca, Kementerian Lingkungan Hidup 2014, .industri semen menyumbang 22.674,6 gram emisi karbon ke udara. Ini baru pengukuran di pabrik PT. Indocement Prakarsa, Cibinong-Bogor.
“Karst menjadi salah satu rantai penting dalam siklus karbon dunia, hingga hilang karst akan menjadi penyumbang pemanasan global dan perubahan iklim.”
Berdasarkan kajian MSI, industri semen penyumbang polutan terbesar dan mengandung bahan berbahaya. Pada 2010, Tiongkok menutup 762 pabrik semen karena industri ini menyumbang polutan terbesar.
Zat berbahaya yang dilepas pabrik semen karena pembakaran bersuhu tinggi antara lain Nitrogen Oksida (NOx). Ia menyebabkan kerusakan lapisan ozon, memicu hujan asam, kualitas air rusak dan gangguan penglihatan.
Sulfur Dioksida (SO2), menyebabkan gangguan pernafasan, memperparah penderita asma dan infeksi bronchitis, memicu penyakit kardiovaskular seperti jantung koroner, stroke, kelainan jantung pada bayi, gagal jantung dan berbagai macam penyakit kardiovaskular lain. Ia juga mengandung mercuri.
Indonesia, katanya, tak sedang krisis semen. Dari penelitian Rodhialfalah dkk pada 2014, Indonesia surplus cadangan semen jika untuk kebutuhan nasional.
Indonesia ada tiga perusahaan dengan delapan IUP. Yakni, PT. Semen Indonesia (Tuban, Indarung, Tonasa), PT. Indocement (Cieterep, Cirebon, Tarjun), dan PT. Holcim (Cilacap dan Tuban).
Pada 2025, berdasarkan asumsi pertumbuhan konsumsi 10% tiap tahun, rata-rata pertumbuhan kebutuhan (konsumsi) semen tiap tahun 5%, total kebutuhan Indonesia dari 2015-2025 diperkirakan 1259,8 juta ton.
Cadangan batugamping tertambang dihimpun dari delapan IUP tiga perusahaan terbesar itu tercatat 13.930,60 juta ton. Dengan asumsi efisiensi bahan baku 85%, cadangan batugamping ini bisa menjadi produk semen 11.841,01 juta ton. Nilai ini, katanya, belum memperhitungkan cadangan batugamping IUP tujuh perusahaan semen besar lain. Kondisi ini menunjukkan, investasi baru industri semen di Indonesia tak perlu, karena dari cadangan sudah surplus memenuhi kebutuhan nasional.
Kebijakan penutupan industri semen di Tiongkok 2010, dan beberapa negra-negara Eropa, guna melindungi karst, terjadi peningkatan investasi besar-besaran di Indonesia. Indonesia berusaha mengambil pasar Asia sebagai pemasok semen terbesar. Tiongkok, pemasok semen terbesar pertama Asia, disusul Vietnam dan Indonesia.
Mengenai penetapan KBAK di Gombong, tak serta merta melindungi fungsi ekosistem esensial karst. Karst Gombong Selatan pertama kali ditetapkan sebagai Karst Gombong pada 2003 seluas 48.94 kilometer persegi. Pada 6 Desember 2004, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono mencanangkan sebagai kawasan eko karst pemanfaatan berkelanjutan.
Implementasi Kawasan Ekokarst Gombong Selatan, katanya, tak membawa perkembangan. Pada 2014, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menetapkan karst Gombong sebagai KBAK Gombong luas 101.02 km2. Tak lama berselang, masih tahun sama, dengan alasan ada kekeliruan keluar Kepmen ESDM menyatakan, luasan mengecil menjadi 40.89 km2.
Penetapan KBAK Gombong pun memunculkan pertanyaan karena goa-goa dengan mata air sangat penting justru berada di luar kawasan lindung alias tak masuk KBAK Gombong.
“Secara potensi ekosistem karst Gombong belum terlindungi karena masih banyak di luar KBAK padahal habitat berbagai jenis kelelawar.”
Kalau perusahaan mengatakan, dampak lingkungan dan pertambangan akan reklamasi, kata Petrasatak akan mengembalikan kualitas dan kuantitas air.
Kemampuan batugamping hilang dalam menyerap dan menyimpan air hujan. Nilai infiltrasi air hujanpun berkurang ketika batugamping permukaan terkupas.
Perhitungan debit beberapa mata air dan sungai di karst Gombong, antara lain Goa Pucung 16,58 liter per detik, Goa Candi 16,03 liter perdetik, Kali Winong 18,63 liter perdetik, dan Kali Sirah 72,07 perdetik. Dari data debit ini, bisa diasumsikan dalam satu hari, Goa Pucung menghasilkan air 1.432,512 M3. Kali Sirah memiliki debit lebih tinggi, sehari mampu menghasilkan air 61.980,2 M3.
Jumlah air ini, setiap hari disediakan karst Gombong. Ia jadi pengontrol utama sistem hidrologi karst.
Terkait kualitas air, komposisi kimia air tanah cenderung memiliki PH rendah atau asam. Keadaan ini, karena penggunaan batubara sebagai bahan bakar utama industri semen memicu hujan asam.
Sutanto dan Iriani pada 2011 dari Pusat Teknologi Limbah, Radiaktif dalam penelitian di Cibinong-Bogor, Cieterep, menemukan peningkatan kadar nitrat dalam sumur warga. Dari rata-rata 0,4 mg perliter, pada 1999 menjadi 5,3 mg perliter 2009. Ambang batas kadar asam nitrat boleh terminum 10 mg perliter, bila kadar nitrat lebih tiga mg/lt harus pemantauan rutin tiap tahun.
Dia juga membahas soal Amdal. Dalam dokumen Amdal awal tak memasukkan data hidrogeologi seperti lintasan sungai bawah tanah, water tracing dan lain-lain. Dari kajian ISS, ada sungai bawah tanah melintasi IUP. Kawasan ini memiliki kriteria sebagai karst, justru keluar dari kawasan karst karena IUP Semen Gombong.
“ISS berdasarkan kajian mendalam dan menyeluruh merekomendasikan penolakan rencana pendirian pabrik semen dan penambangan batugamping Semen Gombong di Kebumen,” ucap Petrasa.
Presiden MSI, Cahyo Rahmadi memberikan surat dan kertas posisi MSI terkait Karst Gombong. Dalam surat ini, MSI, menolak eksploitasi Semen Gombong dan mengimbau tak memberikan izin lingkungan dengan berbagai pertimbangan.
Salah satu pertimbangan, Cahyo menuliskan, rencana pendirian pabrik semen dan penambangan batugamping mengancam mata air seperti Banyumudal dan Kali Sirah. Berdasarkan penelitian, menunjukkan sistem sungai bawah tanah dari Goa Pucung ke Candi berakhir berujung di Kali Sirah mengalir di dalam IUP Semen Gembong.
Berdasarkan valuasi nilai guna tak langsung, kelelawar pemakan serangga di Desa Candirenggo mencapai Rp 270.687.541, selama satu kali musim panen.
“Kelelawar pemakan serangga mampu mengendalikan populasi serangga yang berpotensi hama di persawahan sekitar karst (perikarst) radius 20 km. Potensi sawah mendukung ketahanan pangan terancam jika kelelawar terganggu,” tulis Cahyo.
Kelelawar pemakan serangga berpeluang melindungi 1.142.000 jiwa tersebar di empat kabupaten, 33 kecamatan dan 384 desa dari ancaman berbagai penyakit seperti demam berdarah, malaria dan penyakit lain.
Sedangkan, kelelawar pemakan buah mampu menjelajah sampai 20 km berpotensi menjadi agen penyebar biji untuk regenerasi hutan, mencakup sedikitnya 577,18 km2. Beberapa spesies juga berperan untuk proses penyerbukan di hutan-hutan yang disangga oleh kelelawar Karst Gombong.
Selain itu, penambangan dan pabrik semen, sekitar 11.500 jiwa berpotensi terpapar langsung partikel debu. Jumlah ini dalam pemukiman seluas 82.223.79 hektar. Anak-anak bersekolah di 33 sekolah rentan terserang pernapasan.
Belum lagi lahan pertanian produktif rentan terpapar debu mencapai 252.367,08 hektar meliputi kebun, sawah dan tegalan.
“MSI mendorong pemerintah kabupaten dan provinsi mencari alternatif pemanfaatan karst berkelanjutan.”
0 komentar:
Posting Komentar