April 7, 2016
Penyusun: Rasyid Ridha Saragih dan Kiai Nur Aziz
Catatan Pembuka:
Kronologi ini disusun setelah dilangsungkannya dialog antara peserta Sekolah Kader Front Nahdliyyin untuk Kedaulatan Sumberdaya Alam dan para petani penggarap lahan sengketa di desa Surokonto Wetan pada tanggal 3 dan 4 April 2016. Penyusun utama kronologi adalah Rasyid Ridha Saragih dari peserta sekolah kader FNKSDA dan Kiai Nur Aziz sebagai perwakilan petani penggarap lahan sengketa. Acuan dari kronologi konflik lahan antara warga Surokonto Wetan dan PT. Perhutani Kabupaten Kendal ini berdasarkan dokumentasi warga dan seluruh regulasi yang berkaitan dengan konflik lahan tersebut. Penyelarasan bahasa dari dokumen kronologi ini dikerjakan oleh Dwicipta.
Hingga kuartal pertama tahun 2016, kasus sengketa lahan yang melibatkan masyarakat pemilik atau penggarap lahan, korporasi, dan aparatur pemerintahan terus meletup di berbagai daerah. Hal ini menjadi ironi tersendiri mengingatsemenjak dicanangkannya UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Peraturan Agraria di Indonesia, sudah ditegaskan bahwa permasalahan agraria harus direformasi secepat mungkin dan harus berdasarkan kepentingan masyarakat itu sendiri agar mampu mensejahterakan mereka.
Diantara sekian konflik agraria ini, konflik lahan perkebunan dan pertanian di daerah Surokonto Wetan, Kec. Pageruyung, Kab. Kendal, merupakan konflik lahan paling baru yang muncul ke permukaan dalam beberapa tahun terakhir ini. Konflik ini berawal dari masalah Tanah Negara yang dijadikan sebagai lahan tukar-menukar yang diterima oleh PT. Perhutani sebagai lahan pengganti kawasan hutan di Desa Surokonto Wetan, Kec. Pageruyung, Kab, Kendal, Jawa Tengah. Lahan yang menjadi objek sengketa memiliki luas sekitar kurang-lebih 127 Hektar.Hingga kini sebagian besar dari lahan tersebut merupakan lahan yang sudah digarap sebagai perkebunan dan pertanian oleh warga Surokonto Wetan semenjak tahun 1950-an.
Jauh sebelum berkuasanya kekuasaan kolonial dan Negara Kesatuan Republik Indonesia, lahan di Desa Surokonto Wetan yang kini disengketakan ini merupakan lahan milik nenek-moyang warga Surokonto. Beberapa perusahaan berbadan hukum sejak era kolonial hingga pasca kemerdekaan yang tercatat pernah memiliki hak kepemilikan tanah hingga pengelolaan lahan secara otomatis tidak berlaku sejak 1965-1966 akibat terjadinya kisruh G30S.Tanahtersebut dialihkan status kepemilikannya menjadi tanah negara. Demi mempermudah pemetaan sejarah kepemilikan atas lahan seluas 127 Hektar di Surokonto Wetan tersebut, maka perlu kiranya diterangkan melalui kronologi singkat kepemilikan atas tanah.
I
- Dalam catatan hukum kolonial Belanda yang masih bisa terlacak, hak kepemilikan lahan 127 Hektar di Desa Surokonto Wetan Kab. Kendal dimiliki oleh Rotterdamsche Culture Maschapij dan NV. Cultuur Maatschapij.Kedua Perusahaan tersebut berkedudukan di Rotterdam dan Amsterdam, Belanda, serta mengolah perkebunan kopi, karet randu, dan kelapasebagai tanaman budidayanya. Kepemilikan itu berlaku sejak era kolonial Pemerintah Hindia Belanda dan terus berlangsung hingga pasca-kemerdekaan Republik Indonesia.
- Pada tanggal 23 Desember 1952, Biro Rekonstruksi Nasional (BRN) atas nama Pemerintah Republik Indonesia membeli perkebunan tersebut dari Rotterdamsche Culture Maschapij dan NV. Cultuur Maatschapij dengan Akte Jual Beli Nomor: 45 tanggal 23 Desember 1952. Bertindak selaku notaris RM Soeprapto. Dengan demikian, hingga saat ini lahan tersebut secara sah menjadi tanah Negara, dan hak miliknya tidak bisa diperjualbelikan.
- Pada 1956 Badan Rekonstruksi Nasional (BRN) menyerahkan pengelolaan tersebut kepada Komuved Tk. I Provinsi Jawa Tengah menjadi “Credit Bedrij”. Setelah itu, di tanggal 20 April 1956 dibentuk Badan Hukum NV. Sekecer/Wringinsari oleh pribadi-pribadi atas nama Veteran dihadapan Notaris RM. Soeprapto dengan akte Notaris Nomor. 54 tanggal 20 April 1956 yang disahkan oleh Menteri Kehakiman RI Nomor: J.A.5/40/5 tanggal 11 Juni 1956 dan didaftarkan kepada Kepaniteraan Pengadilan Negeri Semarang tanggal 3 Juli 1956 Nomor: 172 diumumkan dalam Berita Negara tanggal 28 Desember 1956 Nomor: 104 tambahan Berita Negara Nomor: 1379.
- Pada 1965 NV. Sekecer/Wringinsari dinyatakan dan dituduh terlibat G30S. Akibat dari tuduhan tersebut, maka berdasarkan SK Menteri Perkebunan Nomor: 160/Men Perk/65 tanggal 17 November 1965, dilaksanakanlah instruksi kepada semua kepala inspektorat di daerah seluruh Indonesia untuk menguasai manajemen perkebunan milik swasta dan koperasi daerah yang nyata-nyata terlibat G30S/PKI. SK Menteri Perkebunan Nomor: 160/Men Perk/65 tanggal 17 November 1965 ini diperkuat oleh SK Task Force Siap Siaga Nomor: 48/TF SS/65 tanggal 26 November 1965 tentang pedoman/ketentuan untuk menguasai manajemen perkebunan milik swasta, koperasi dan daerah yang pemilik/direksi/pengurus/karyawan terlibat G30S/PKI atau menjadi anggota organisasi PKI/dibawah naungan PKI, serta membantu secara finansial/materiil/moril kepada G30S/PKI.
- Dengan diperkuat oleh dua Surat Keputusan tersebut, Pangdam VII/Diponegoro selaku Peperda Jateng dan DIY mengeluarkan SK Nomor: Kep-PPD/00102/7/1966 tanggal 22 Juli 1966 tentang pembekuan dan penyitaan hak milik pengelolaan lahan NV. Sekecer/Wringinsari yang kemudian pengelolaan diserahkan kepada Komuved Jateng. Penyerahan pengelolaan kepada Komuved Jateng ini didasarkan pada SK. Pangdam VII/Diponegoro selaku Peperda Jateng dan DIY Nomor: Kep-PPD/0032/3/1966 tanggal 3 Maret 1966 tentang Penetapan Semua Perusahaan-perusahaan swasta yang diambil langkah penertiban dikuasai oleh Komuved.
- Pada 11 Agustus 1966 PT. Sumurpitu Wringinsari yang merupakan perusahaan dibawah naungan Yayasan Rumpun Diponegoro (Kodam IV/Diponegoro) didirikan berdasarkan Akte Notaris RM. Soeprapto Nomor: 26 tanggal 11 Agustus 1966 dan baru disahkan oleh Menteri Kehakiman dengan SK Nomor: J.A.5/118/3 tanggal 9 November 1970. Perusahaan ini dicatat Panitera Pengadilan Negeri Kendal Tanggal 12 November 1970 Nomor: 12/1970 dan dimuat dalam Berita Negara RI Nomor: 32 tanggal 20 April 1971.
- Setelah pendirian perusahaan tersebut dibawah akte notaris, Komuved Provinsi Jawa Tengah menyerahkan pengelolaan perkebunan pada tanggal 10 Juli 1967, dan pada 1972 PT. Sumurpitu Wringinsari mengajukan HGU (Hak Guna Usaha) kepada Depdagri Cq. Agraria.Pengajuan ini dikabulkan dengan diterbitkannya Keputusan Menteri Dalam Negeri/Dirjen Agraria Nomor: SK. 16/HGU/DA72 tanggal 13 Oktober 1972. HGU ini berlaku sampai 31 Desember 1997 dengan status tanah sebagai tanah negara. PT. Sumurpitu Wringinsari memiliki hak pengelolaan bukan menguasai tanah
- Setelah masa habis berlakunya HGU yang dimiliki PT. Sumurpitu Wringinsari di tahun 1997, pada 1998 PT Sumurpitu Wringinsari mengajukan perpanjangan HGU dengan Nomor: Dir.K.029.a/SE/III/1998 tanggal 31 Maret 1998 kepada Mendagri/BPN tentang Perpanjangan HGU PT. Sumurpitu Wringinsari. Pengajuan perpanjangan HGU ini dikabulkan berdasarkan SK Kakanwil BPN Propinsi Jawa Tengah dengan Nomor: SK/540.2/005/7/504/33/1999 tanggal 20 Februari 1999. HGU ini berlaku hingga 31 Desember 2022. Dengan demikian, sampai kronologi ini dibuat, status kepemilikan lahan ini masih ada pada negara, bukan pada PT. Sumur Pitu Wringinsari.
- Pada 12 Maret 2012 telah dikeluarkan Surat Penawaran Bersama Penjualan Saham PT. Sumurpitu Wringinsari. Didalamnya diterangkan mengenai penjualan saham berupa lahan perkebunan seluas kurang-lebih 610 Ha yang dikelola PT. Sumurpitu Wringinsari di wilayah Desa Surokonto Wetan. Saham tersebut dijual dengan standar ukur berupa tanah—yang justru dalam jual-beli saham, saham dijual dengan ukuran per-lembar dengan ukuran nilai rupiah tertentu—dengan ukuran luas per-meter persegi sebesar Rp. 20.000,- (dua puluh ribu rupiah).Bila dikalkulasi, total harga keseluruhan menjadi Rp. 20.000,- x 610 = Rp. 122.000.000.000,-.
- Di kemudian waktu, saham dengan ukuran luas tanah per-meter persegi tersebut dibeli oleh PT. Semen Indonesia dengan luasan lahan sebesar 400Ha dengan harga Rp. 75.000.000.000,- (Tujuh Puluh Lima Milyar Rupiah). Pada tahun 2013, tanah yang dibeli oleh PT. Semen Indonesia pada luasan 125,53 hektar telah ditunjuk sebagai lahan pengganti dalam rangka tukar-menukar kawasan hutan atas nama PT. Semen Indonesia melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 643/Menhut-II/2013 tanggal 25 September 2013.
- Tukar-menukar lahan ini dilanjutkan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 (Seratus Dua Puluh Tujuh dan Delapan Ratus Dua Puluh Satu Perseribu) Hektar di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah. Dengan adanya dua regulasi tukar-menukar lahan tersebut, tanah negara yang mulanya “dibeli” oleh PT. Semen Indonesia dari PT. Sumurpitu Wringinsari tersebut berpindah kepemilikan menjadi milik PT. Perhutani KPH. Kab. Kendal.
- Pada 21 Januari 2015, tiba-tiba pihak PT. Perhutani KPH Kab. Kendal mengadakan sosialisasi dan ajakan kerjasama kepada para warga Desa Surokonto Wetan untuk turut bergabung dengan perusahaan sebagai mandor, pihak keamanan, dan lain-lain. Warga yang tidak tahu menahu persoalan perubahan status kepengelolaan hak guna usaha oleh PT. Sumurpitu Wringinsari ini kembali kaget ketika mengetahui bahwa ternyata status lahan garapan perkebunan warga yang merupakan tanah negara telah berubah status menjadi milik PT. Perhutani KPH Kab. Kendal yang dikukuhkan oleh Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 (Seratus Dua Puluh Tujuh dan Delapan Ratus Dua Puluh Satu Perseribu) Hektar di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah.
- Pada 30 Maret 2016, PT. Perhutani Kab. Kendal melakukan intimidasi terhadap warga Surokonto Wetan dengan mengadakan upacara simbolik penanaman pohon yang juga diiringi oleh 400 aparat Kepolisian, Brimob, dan TNI di Jawa Tengah. 100 personel Brimob itu kemudian mendirikan tenda dan berkemah di sekitar depan SDN 01 Surokonto Wetan sampai tanggal 2 April 2016. Bahkan di rumah Kiai Nur Aziz ditempatkan beberapa intel yang selalu mengikuti keberadaan Kiai yang mencoba menenteramkan keresahan warga Surokonto Wetan. Intimidasi terhadap warga dan petani penggarap lahan ini menyebabkan ketakutan dan kekhawatiran terjadinya kriminalisasi pada beberapa warga Desa Surokonto Wetan.
II
Semenjak Pemerintah Kolonial Hindia Belanda hingga tahun 1999, hak pengelolaan lahan di Desa Surokonto Wetan Kab. Kendal telah berganti beberapa kali. Namun semenjak 1952warga Desa Surokonto Wetan sudah menggarap lahan, persisnya semenjak Pemerintahan Indonesia mulai menguasai lahan seluas kurang-lebih 127 Hektar sebagai tanah negara.
Dengan status lahan perkebunan sebagai tanah negara dan hak pengelolaannya dipegang oleh NV. Sekecer/Wringinsari di tahun 1956-1965 sebelum kemudian beralih kepada PT. Sumurpitu Wringinsari dari tahun 1972-1997 dan 1998-2022, secara fakta sosial, masyarakat Desa Surokonto Wetan telah mengelola sebagian lahan perkebunan tersebut dengan berbagai perjanjian bagi hasil usaha dengan pihak perusahaan. Misalnya di tahun 1972, warga dan sesepuh Desa Surokonto Wetan pernah mengadakan perjanjian terkait penggarapan lahan kebun bersama PT. Sumurpitu Wringinsari dengan syarat bilamana ada warga Desa Surokonto Wetan yang hendak bergabung dan turut menggarap lahan perkebunan, maka warga tersebut harus ikut bergabung dengan Sekber Golkar. Selain itu, porsi pembagian hasil usaha pun turut diperjanjikan, dengan bagi hasil 1/3 untuk pihak Perusahaan, dan 2/3 untuk pihak penggarap.
Namun dalam kurun waktu dari tahun 1972 hingga tahun 2016, penggarapan lahan tanah negara oleh pihak warga Desa Surokonto Wetan tak selamanya berjalan mulus. Pernah beberapa kali mereka mengalami kendala dan halangan. Misalnya di tahun 1970-an akhir hingga 1980-an, penggarapan lahan oleh warga pernah mengalami pemberhentian dikarenakan lahan disewakan kepada PG Cepiring yang bergerak di bidang penanaman tebu untuk produksi gula. Dengan adanya penyewaan pengolaan lahan tersebut, warga Desa Surokonto Wetan akhirnya mensiasati dengan cara bekerja borong harian di PG Cepiring.
Setelah habisnya masa kontrak PG Cepiring yang berkisar 10 tahun tersebut, warga Desa Surokonto Wetan kemudian menggarap kembali lahan bekas perusahaan tersebut dengan cara menggali tunas tebu. Penggarapan lahan ini mengalami kendala kembali dikarenakan lahan kemudian disewakan kepada PT. Ulat Sutra dari kurun waktu 1984-1990, dan ditanami pohon murbai untuk kemudian dijadikan pakan ternak ulat sutera. Setelah habisnya masa kontrak PT. Ulat Sutera, warga desa Surokonto Wetan meminta izin untuk menggarap kembali lahan tersebut.Penggarapan berjalan sekitar 4 tahun hingga akhirnya terhenti kembali karena lahan disewa oleh PT. Kayu Manis untuk ditanami pohon tebu yang berlangsung selama belasan tahun.
Perpanjangan HGU milik PT. Sumurpitu Wringinsari di tahun 1997 merupakan awal mulanya permasalahan yang menyengsarakan warga Desa Surokonto sekarang ini. Perpanjangan tersebut tidak diiringi profesionalitas dan itikad baik dari pihak PT. Sumurpitu Wringinsari. Semenjak 1997 lahan seluas 127 Hektar tersebut tidak dikelola dengan semestinya oleh pihak PT. Sumurpitu Wringinsari. Lahan justru ditelantarkan oleh PT. Sumurpitu Wringinsari dan pengelolaannya justru dialih-sewakan pada pihak lain. Dalam rentang waktu penelantaraan (1998 hingga 2016), lahan perkebunan justru dirawat dan diberdayagunakan oleh warga Desa Surokonto Wetan.
Di tahun 2009-an, masa sewa lahan oleh PT. Kayu Manis telah habis dan lahan kembali digarap oleh warga desa Surokonto Wetan. Penggarapan kembali pada lahan perkebunan ini sempat mengalami kekisruhan dikarenakan adanya ketimpangan pengelolaan lahan kebun.Pangkal persoalannya adalah sebagian besar warga desa Surokonto Wetan tidak mendapatkan pengelolaan lahan semestinya. Hingga akhirnya, melalui jalan musyawarah dan kesepakatan masyarakat desa, lahan garapan perkebunan kemudian dibagi rata antar Kepala Keluarga dengan luas 1250 Meter persegi untuk satu Kepala Keluarga.
Dalam kekacauan tukar-guling antara PT Sumur Pitu dengan PT. Semen Indonesia, ada cacat hukum dalam hal pengelolaan yang dilaksanakan oleh PT. Sumurpitu Wringinsari. Cacat tersebut bahkan dimulai dari penelantaran lahan semenjak tahun 1998, hingga adanya jual-beli saham dengan standar ukur berupa luasan tanah per-meter persegi di tahun 2012 oleh PT. Sumurpitu Wringinsari yang kemudian dibeli oleh PT. Semen Indonesia untuk kemudian ditukarkan kepemilikan lahannya kepada PT. Perhutani KPH Kab. Kendal. Bila pun yang dialihkan oleh PT. Sumurpitu Wringinsari—yang dalam bahasa transaksinya adalah “jual beli saham”—kepada PT. Semen Indonesia adalah Hak Guna Usaha dalam artian sebenarnya, apakah PT. Semen Indonesia memenuhi syarat sebagai perusahaan yang dapat memiliki Hak Guna Usaha?
Bila menilik pada UU No. 5 tahun 1960 tentang Pokok-pokok Peraturan Umum Agraria pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa: “Hak guna-usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara, dalam jangka waktu sebagaimana tersebut dalam pasal 29, guna perusahaan pertanian, perikanan, atau peternakan”. Selain itu pada PP No. 40 tahun 1996 tentang peraturan mengenai Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha pada pasal 16 ayat (2) disebutkan bahwa HGU dapat beralih dengan cara jual beli, tukar menukar, penyertaan dalam modal, hibah, dan perwarisan haruslah didaftarkan kembali sesuai UUPA pasal 33 ayat (1), ayat (2). Tidak boleh meninggalkan pasal 28 ayat (1) sebagai syarat utama pemohon HGU. PP No. 40 tahun 1996 pada pasal 14 ayat (1) dengan jelas menyebutkan bahwa HGU hanya diberikan untuk perusahaan pertanian, perkebunan, perikanan, dan atau peternakan. Disinilah warga Surokonto Wetan bisa bertanya: Apakah PT. Semen Indonesia termasuk perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, perikanan, atau peternakan? Hingga sejauh ini, PT. Semen Indonesia tidak pernah bergerak di bidang-bidang tersebut. Dengan adanya cacat hukum pada “transaksi jual-beli” saham dari PT. Sumurpitu Wringinsari kepada PT. Semen Indonesia, maka sesungguhnya telah terjadi perbuatan melawan hukum yang dilakukan PT. Sumurpitu Wringinsari selaku pemegang Hak Guna Usaha pada lahan seluas 127 Ha.
Perbuatan melawan hukum ini bisa dilihat bagaimana transaksi PT. Sumurpitu Wringinsari tidak didasari oleh PP No. 40 tahun 1996. Menurut PP No. 40 tahun 1996, HGU hanya bisa dialihkan pengelolaannya kepada perusahaan yang bergerak di bidang pertanian, perikanan, atau peternakan. Selain itu, bila pun yang dimaksudkan dalam “transaksi jual beli saham” yang dilakukan oleh PT. Sumurpitu Wringinsari di tahun 2012 diartikan sebagai jual beli hak milik lahan, maka dengan jelas tindakan tersebut juga melawan hukum, karena HGU atas lahan 127 Ha yang dimiliki PT. Sumurpitu Wringinsari berdiri diatas tanah negara yang hak miliknya tidak bisa diperjualbelikan.
Dengan adanya cacat hukum pada transaksi “jual beli saham berupa ukuran luasan tanah per-meter persegi” yang dilakukan PT. Sumurpitu Wringinsari kepada PT. Semen Indonesia, maka kepemilikan PT. Semen Indonesia di tahun 2013 atas lahan 127 Ha tersebut tidak bisa dikatakan sah. Kepemilikan lahan yang tidak sah ini kemudian juga berimplikasi pada cacat hukum dalam Keputusan Menteri Kehutanan Nomor: SK. 643/Menhut-II/2013 tanggal 25 September 2013 yang menunjuk lahan seluas 127 Ha tersebut ditunjuk-dijadikan lahan objek tukar-menukar kepada PT. Perhutani Kab. Kendal, yang kemudian dilanjutkan dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 (Seratus Dua Puluh Tujuh dan Delapan Ratus Dua Puluh Satu Perseribu) Hektar di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah.
Dengan Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor: SK 3021/Menhut-VII/KUH/2014 tentang Penetapan Sebagian Kawasan Hutan Produksi Pada Bagian Hutan Kalibodri Seluas 127.821 (Seratus Dua Puluh Tujuh dan Delapan Ratus Dua Puluh Satu Perseribu) Hektar di Kabupaten Kendal, Provinsi Jawa Tengah, PT. Perhutani Kab. Kendal kemudian melakukan penanaman papan informasi mengenai kepemilikan lahan di beberapa titik areal lahan perkebunan. Keputusan Menteri Kehutanan RI tersebut di kemudian hari dijadikan dasar hukum untuk menjerat beberapa warga yang menggarap lahan dengan tuduhan pembalakan liar. Tuduhan ini didasarkan bahwa sebagian warga melakukan penanaman dan pengrusakan lahan yang diduduki oleh PT. Perhutani. Tuduhan ini tidak didasari dengan bukti yang jelas karena sebelumnya PT. Perhutani belum pernah menanam pohon di areal perkebunan. Areal perkebunan justru telah ditanami oleh warga semenjak 1952, yang dengannya tuduhan ini justru menafikan fakta sosial yang ada di masyarakat.
Selain tuduhan pembalakan liar, beberapa warga tersebut juga dikriminalisasikan oleh Polres Kab. Kendal dengan tuduhan merencanakan permufakatan jahat. Selain tidak didasari bukti yang jelas, tuduhan ini juga melawan hak asasi manusia dan demokrasi yang dianut oleh Republik Indonesia. []
http://www.daulathijau.org/?p=751
0 komentar:
Posting Komentar