Febriana Firdaus | 6:04 PM, April 12, 2016
Meminta Jokowi bongkar belenggu semen yang merusak alam di pegunungan Kendeng, Jawa Tengah
JAKARTA, Indonesia — Sudah bertahun-tahun ibu-ibu di
pegunungan Karst, Kendeng, Jawa Tengah, menolak pembangunan pabrik Semen
Indonesia di daerahnya.
Namun hingga hari ini, Selasa, 12 April, belum ada penyelesaian dari pemerintah meski berbagai langkah hukum telah ditempuh.
Hari ini tepat setahun mereka membunyikan lesung tanda
bahaya di depan Istana Presiden di Jakarta. Sudah 665 hari pula sejak
mereka mendirikan tenda di Rembang, Jawa Tengah, menolak pendirian
pabrik semen tersebut.
Hari ini pula, sembilan wanita dari pegunungan Kendeng
kembali melakukan aksi dengan memasung kaki mereka dengan semen di depan
Istana.
Kaki mereka disemen hingga Presiden Joko “Jokowi” Widodo mau menemui dan mengakomodir permintaan mereka.
Menurut para ibu ini, Jokowi harus membongkar belenggu
semen yang merusak alam dan mengancam keberlangsungan hidup para petani
sepanjang pegunungan Kendeng di Rembang, Pati, dan Grobogan, Jawa
Tengah.
—Rappler.com
Palagan terakhir Ibu-Ibu Kendeng
Presiden Jokowi sempat mengirimkan utusannya untuk menemui Ibu-Ibu Kendeng.JAKARTA, Indonesia— Ambarwati menatap lekat pada sekumpulan wartawan yang mengambil foto kakinya. Ia kemudian tersenyum. Kakinya yang terbalut gips itu diselonjorkan di depan kotak kayu yang akan menjadi ‘tempat pasungan’nya entah sampai kapan.
Kakinya akan ditanam atau dipasung di kotak berisi semen sebagai protes terhadap pembangunan pabrik semen di kampung halaman mereka di Pati, Jawa Tengah.
Ia kemudian memanggil penulis dengan sebutan ‘mbak’. Penulis dan Ambarwati belum pernah bertemu sebelumnya, apalagi saling mengenal. Tapi dia menggapai tangan penulis seakan kenalan yang lama tidak bersua sembari berkata. “Kayaknya saya kenal. Mbaknya ini selalu ada kalau kami demo. Mbaknya di Semarang waktu itu ada juga kan?”
Tentu saja penulis menggeleng kepala karena memang belum pernah pergi ke Semarang, ibukota Provinsi Jawa Tengah. Sekalipun tidak. Penulis kemudian mendekati Ambarwati dan mulai bertanya tentang rencana 9 perempuan asal Kendeng ini dengan dua sak semen, batu kerikil, pasir, dan air.
Ambarwati mulai bercerita tentang lahan sawah di kampung halamannya di Pati, kawasan pengunungan Karst Kendeng, Jawa Tengah. Dia berbicara mengenai musim katiga dan musim labuhan. Dia menuturkan pada musim katiga ia biasanya menanam semangka, sedangkan pada musim labuhan ia menanam padi.
Gemah ripah loh jinawi alias tanah makmur dan subur. Kehidupan warga Kendeng menyatu dengan alam. Tetapi itu dulu. Sekarang Ambarwati dan warga di Pati dan daerah sekitar sedang gundah gulana dan itu semua berawal dengan pembangunan sebuah pabrik semen di wilayah mereka.
Suatu hari, Ambarwati mendengar informasi akan ada pembangunan pabrik semen milik PT Sahabat Mulia Sakti (PT SMS), anak perusahaan Indocement, di Pati, kampung halamannya.
Ambarwati gundah. Ia tahu pabrik itu akan menggali perut bumi dan memporak-porandakan 'ibu pertiwi’ yang selama ini ia jaga.
Sekarang, kekhawatiran Ambarwati sudah menjadi kenyataan. Saluran air tidak lagi berfungsi lagi, entah sampai kapan. Yang jelas, pembangunan pabrik semen itu akan terus berjalan karena sudah menangtongi izin dari bupati yang menerbitkan izin lingkungan (AMDAL) untuk perusahan semen tersebut. Saat ini perusahaan semen sudah menguasai 2.868 hektare lahan di Pati, Kendeng, sementara protes masyarkat terus mengalir.
Merasa tak nyaman dengan keberadaan pabrik semen tersebut, Ambarwati dan warga Pati lainnya mengajukan gugatan pada 2015 lalu. Langkah warga Pati ini lalu dikuti oleh warga di sekitar Karst Kendeng , seperti Rembang, Blora, dan Grobogan.
Perjuangan yang dilakukan Ambarwati dan warga Pati-Kendeng membuahkan hasil. Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memenangkan gugatan masyarakat Pati pada Selasa, 17 November 2015. Pelaksanaan sidang itu sempat diwarnai tangis haru warga Pati yang rela berjalan kaki 122 kilometer untuk menjemput keadilan.
Bupati Pati tidak menerima kemenangan masyarakat Pati dan mengajukan banding ke PT TUN Surabaya. Tetapi kemenangan warga Pati tersebut tetap saja memberi inspirasi dan semangat kepada warga di tiga lokasi lain di sekitar pabrik semen untuk melakukan perlawanan hukum terhadap pabrik semen.
Sayang, gugatan warga Rembang tak berujung kemenangan seperti warga Pati. Majelis Hakim PTUN Semarang juga tidak menerima gugatan karena menilai tenggat waktu pengajuan gugatan telah kadaluarsa.
Semetara itu, sidang untuk warga Gerobogan masih akan dimulai. Untuk Blora, warga masih memantau perkembangan izin prinsip yang dikeluarkan oleh bupati untuk perusahaan.
Perjuangan warga Kendeng belum berhenti di sini. Mereka tetap melakukan perlawanan kepada perusahaan semen. Pada Selasa siang di depan istana negara, warga Kendeng yang diwakili oleh 9 perempuan itu menyindir penghuni Istana Negara dengan ‘menanam' kaki mereka di kotak berisi semen.
Sambil menunggu kakinya 'ditanam', Ambarwati dan delapan ‘kartini’ asal Kendeng melantunkan lagu Ibu Pertiwi dalam bahasa lokal. Ia kemudian menuturkan bahwa lagu itu bermakna tentang Ibu Pertiwi yang selalu melindungi perjuangan mereka.
“Ibu Pertiwi itu selalu ada menjaga kami. Tadi saja waktu kami mau ke Jakarta, kami berdoa, semoga tidak panas,” katanya. Walau tidak lama, cuaca memang cukup bersahabat pada saat mereka melakukan demo, meski kemudian panas terik sinar matahari cukup menyengat dan membuat keringat mengucur di wajah mereka.
Saat giliran kakinya ditanam, Ambarwati menoleh ke penulis dengan mata berkaca-kaca. “Saya ndak papa, saya kan sudah nekad ya?” katanya seraya meminta dukungan. Pandangan matanya jatuh pada kakinya yang mulai disemen.
Lalu ia memandang lagi ke penulis. “Saya ini menangis bukan karena kaki saya sakit. Saya kasihan nanti sama anak cucu saya, bagaimana hidup mereka nanti dengan adanya pabrik semen,” katanya.
Selema kakinya disemen, Ambarwati tak berhenti menitikkan air mata. Ia mengusap wajahnya berkali-kali dengan selendang yang ia bawa dari kampung halamannya.
Ia kemudian menyalami penulis dan berujar. “Apakah saya berdosa sama Pak (Presiden Joko Widodo) Jokowi? Benar ya saya nyebutnya Pak Jokowi atau Pak Presiden?” Penulis mencoba menenangkannya dengan mengatakan Jokowi tak akan marah jika ia memanggil Pak Presiden saja.
Tapi hingga pukul 05:00 sore, presiden yang ia hormati itu tak kunjung datang. Presiden Jokowi hanya mengirim stafnya, Jaleswari Pramodhawardhani untuk menyampaikan pesan. “Yang kuat ya bu,” kata Jaleswari pada Ibu-Ibu Kendeng.
Jaleswari kemudian pamit. Dan beberapa saat kemudian, Rappler melihat mobil RI 2 alias Wakil Presiden Jusuf Kalla melintas. Sayangnya beliau tak mampir.
Ibu-Ibu Kendeng pun ikut pamit. Protes hari ini selesai. “Besok saya kembali lagi ke sini,” kata Ambarwati. Tekadnya bulat, seakan ini adalah palagan terakhir untuknya, ketika bupati dan penegak hukum sudah tak bisa diharapkan lagi.—Rappler.com
0 komentar:
Posting Komentar