Penulis Redaksi Persma
TOR Diskusi
SALAM PERS MAHASISWA !!
Saat ini, pariwisata merupakan salah satu aset pendapatan nasional terbesar keempat setelah minyak dan pertambangan. Tak heran jika pemerintah mulai mengupayakan perkembangan wisata di setiap daerah. Bahkan untuk menarik wisatawan, Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam pernyataannya (Sektor Wisata Menggeliat Rakyat Ikut Sejahtera, Tempo edisi khusus Agustus 2015) mengatakan pemerintah akan menggenjot penerimaan dari sektor pariwisata. Ia juga menargetkan akan meningkatkan kontribusi Produksi Domestik Bruto (PDB) Nasional sebesar 15 % dengan cara menargetkan 20 juta wisatawan mancanegara pada tahun 2019.
Upaya pemerintah tersebut menjadi isyarat bagi masyarakat daerah untuk mendatangkan wisatawan domestik maupun mancanegara. Saat ini, DIY menawarkan pengembangan kepariwisataan berbasis desa dengan memanfaatkan potensi dan masyarakat didalamnya. Kepariwisataan ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah destinasi baru yang disebut dengan
desa wisata.
Dinas Pariwisata DIY mencatat, hingga November 2015 terdapat 112 desa wisata yang tersebar di semua kabupaten, seperti Kulonprogo, Bantul, Sleman dan Gunungkidul. Sedangkan di Kota Yogyakarta dikenal dengan istilah kampung wisata.
Gunung Kidul, kabupaten yang dikelilingi bebatuan karst ini menyuguhkan wisata alam, Sleman dengan wisata alam dan penerapan skill bagi wisatawan, Bantul dengan wisata alam dan kebudayaannya, Kulonprogo sama halnya dengan Gunung kidul yaitu menyuguhkan alam, yang terakhir Kota Yogyakarta dengan wisata buatan, alam dan bangunan purbakala.
Melihat masifnya desa dan kampung wisata di DIY, Poros mencoba masuk ke beberapa desa dan kampung wisata di setiap kabupaten dan kota Jogja. Ternyata banyak polemik yang terjadi. Beberapa desa dan kampung wisata nyaris mati akibat pengelolaan yang tidak optimal. Setiap desa dan kampung memiliki objek yang hampir sama. Akibatnya perkembangannya menjadi stagnan.
Tidak hanya itu, bahkan setiap kabupaten dan kota memiliki pandangan yang berbeda tentang pemberlakuan aturan hukum. Keberadaan kampung wisata juga menjadi kegelisahan. Pasalnya para pengelola harus bekerja keras untuk mempertahankan wisata ini di tengah-tengah kota. Hal menarik terjadi di Kulon Progo. Salah satu desa wisatanya, tegas menolak investor yang akan masuk.
Lebih lanjut mengenai polemik Desa dan Kampung Wisata di DIY, akan didiskusikan dalam acara Diskusi dan Launching Majalah POROS edisi IX yang berjudul “MENILIK DESA WISATA”.
Narahubung : 0838-6721-1971 (Dalety)
SALAM PERS MAHASISWA !!
Saat ini, pariwisata merupakan salah satu aset pendapatan nasional terbesar keempat setelah minyak dan pertambangan. Tak heran jika pemerintah mulai mengupayakan perkembangan wisata di setiap daerah. Bahkan untuk menarik wisatawan, Menteri Pariwisata Arief Yahya dalam pernyataannya (Sektor Wisata Menggeliat Rakyat Ikut Sejahtera, Tempo edisi khusus Agustus 2015) mengatakan pemerintah akan menggenjot penerimaan dari sektor pariwisata. Ia juga menargetkan akan meningkatkan kontribusi Produksi Domestik Bruto (PDB) Nasional sebesar 15 % dengan cara menargetkan 20 juta wisatawan mancanegara pada tahun 2019.
Upaya pemerintah tersebut menjadi isyarat bagi masyarakat daerah untuk mendatangkan wisatawan domestik maupun mancanegara. Saat ini, DIY menawarkan pengembangan kepariwisataan berbasis desa dengan memanfaatkan potensi dan masyarakat didalamnya. Kepariwisataan ini kemudian dikembangkan menjadi sebuah destinasi baru yang disebut dengan
desa wisata.
Dinas Pariwisata DIY mencatat, hingga November 2015 terdapat 112 desa wisata yang tersebar di semua kabupaten, seperti Kulonprogo, Bantul, Sleman dan Gunungkidul. Sedangkan di Kota Yogyakarta dikenal dengan istilah kampung wisata.
Gunung Kidul, kabupaten yang dikelilingi bebatuan karst ini menyuguhkan wisata alam, Sleman dengan wisata alam dan penerapan skill bagi wisatawan, Bantul dengan wisata alam dan kebudayaannya, Kulonprogo sama halnya dengan Gunung kidul yaitu menyuguhkan alam, yang terakhir Kota Yogyakarta dengan wisata buatan, alam dan bangunan purbakala.
Melihat masifnya desa dan kampung wisata di DIY, Poros mencoba masuk ke beberapa desa dan kampung wisata di setiap kabupaten dan kota Jogja. Ternyata banyak polemik yang terjadi. Beberapa desa dan kampung wisata nyaris mati akibat pengelolaan yang tidak optimal. Setiap desa dan kampung memiliki objek yang hampir sama. Akibatnya perkembangannya menjadi stagnan.
Tidak hanya itu, bahkan setiap kabupaten dan kota memiliki pandangan yang berbeda tentang pemberlakuan aturan hukum. Keberadaan kampung wisata juga menjadi kegelisahan. Pasalnya para pengelola harus bekerja keras untuk mempertahankan wisata ini di tengah-tengah kota. Hal menarik terjadi di Kulon Progo. Salah satu desa wisatanya, tegas menolak investor yang akan masuk.
Lebih lanjut mengenai polemik Desa dan Kampung Wisata di DIY, akan didiskusikan dalam acara Diskusi dan Launching Majalah POROS edisi IX yang berjudul “MENILIK DESA WISATA”.
Narahubung : 0838-6721-1971 (Dalety)
http://persma.org/agenda/launching-majalah-poros-edisi-ix-menilik-desa-wisata/
0 komentar:
Posting Komentar