Akademisi Kirim Petisi ke Presiden.
JAKARTA, KOMPAS — Daya dukung lingkungan di Pulau Jawa telah memasuki fase kritis. Namun, izin tambang dan proyek infrastruktur yang merusak lingkungan terus dikeluarkan. Kehancuran ekologi dikhawatirkan memicu malapetaka dan konflik sosial.
Terkait persoalan itu, 241 orang dari kalangan akademisi, peneliti, aktivis, tokoh agama, dan masyarakat adat mengirim petisi ke Presiden Joko Widodo. Mereka meminta agar Presiden mengubah paradigma pembangunan, dari yang hanya bertumpu ekonomi menjadi lebih memperhitungkan daya dukung ekologi dan bervisi keadilan.
"Krisis ekologi di Jawa sudah akut. Kini kian parah dengan dibangunnya industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap batubara, dan proyek lain. Kerusakan ini memicu konflik horizontal dan vertikal," kata Soeryo Adiwibowo, ahli ekologi Institut Pertanian Bogor yang juga salah satu pemrakarsa petisi itu, di Jakarta, Selasa (29/12).
Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro Esmi Warassih menyoroti konflik dalam pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. "Dari segi aturan hukum, kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih di Rembang seharusnya dilindungi. Namun, atas nama tambang, seolah semua boleh. Prinsip partisipasi dalam pemberian izin juga diabaikan. Ini memperparah krisis," ujarnya.
Guru Besar Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo menambahkan, indikasi kehancuran ekologi Pulau Jawa ditandai dengan tingginya bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan longsor, selain kekeringan. Data Indeks Risiko Bencana yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa sebagai pulau paling rentan bencana jenis ini.
Dari 118 kabupaten atau kota di Jawa, sebanyak 94 di antaranya memiliki risiko banjir sangat tinggi. Adapun 110 kabupaten atau kota di antaranya berisiko mengalami kekeringan.
Pada tahun 2008, Hariadi dan sejumlah akademisi diminta Kementerian Koordinator Perekonomian untuk membuat studi tentang daya dukung Pulau Jawa. Permintaan tersebut didasari dana triliunan rupiah yang harus dikeluarkan setiap tahun untuk memperbaiki kerusakan infrastruktur akibat banjir.
"Dari kajian kami, bencana ini dipicu krisis ekologi. Itu mulai dari berkurangnya tutupan hutan hingga kerusakan DAS (daerah aliran sungai)," kata Hariadi.
Meluas di Indonesia
Hendro Sangkoyo, peneliti School of Democratic Economics, menyatakan, krisis ekologi bukan hanya di Jawa, melainkan juga di seluruh Indonesia. "Di luar Jawa, banyak pulau kecil yang rapuh ekologinya telah dikapling habis untuk tambang. Misalnya, di Kepulauan Sula, Maluku Utara, 90 persen luas pulau diperuntukkan bagi konsesi tambang tanpa mempertimbangkan keberadaan penduduk lokal. Ini kejahatan karena meniadakan ruang hidup manusia," tuturnya.
Ironisnya, lanjut Hendro, maraknya pertambangan tidak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, misalnya industri semen. Ketika Tiongkok menutup pabrik semen dengan alasan ekologi, mereka mengalihkan tambangnya ke Indonesia. "Perlu dipertanyakan, industri ini untuk siapa?" ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono mengatakan, krisis ekologi di Jawa adalah dampak kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan, tetapi mengabaikan prinsip keadilan sosial, pemerataan, dan daya dukung lingkungan. Selain merusak lingkungan, hal itu memicu lahirnya konflik agraria dan kemiskinan struktural yang kian parah.
Data menunjukkan, konflik berbasis tanah dan sumber daya alam menunjukkan peningkatan jumlah kasus konflik agraria. Komite Pembaruan Agraria mencatat, konflik agraria pada 2013-2015 meningkat 27, 9 persen.
Untuk itu, Sri Palupi, peneliti Institute for Ecosoc Right, mengatakan, Presiden seharusnya menugasi para menteri untuk memeriksa kembali kelayakan lingkungan semua industri. Itu meliputi industri semen, tambang emas, pasir besi, dan proyek-proyek lain di Jawa.
Sementara Warassih meminta Presiden segera melaksanakan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. (AIK)
Sumber: Kompas
0 komentar:
Posting Komentar