Ahmad Arif |
JAKARTA, KOMPAS —
Ratusan akademisi, tokoh agama, aktivis lingkungan dan agraria, serta
perwakilan masyarakat adat mengirim petisi kepada Presiden Joko Widodo
terkait krisis ekologi yang mendera Indonesia, khususnya Pulau Jawa.
Krisis ini dipicu oleh arah pembangunan yang hanya mengedepankan
pertumbuhan ekonomi tetapi abai dengan daya dukung lingkungan serta
keadilan sosial.
Krisis Pulau Jawa, menurut para tokoh masyarakat ini, telah
mencapai tahap parah. Situasi tersebut diperburuk dengan banyaknya
pembangunan industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap, dan
penambangan bahan mineral, terutama semen.Soeryo Adiwibowo, ahli ekologi IPB yang menjadi koordinator gerakan ini, menyatakan, "Kami berharap kepada Presiden untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dengan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah berlanjutnya krisis sosial dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasi yang tepat."
Beberapa tokoh yang turut dalam petisi ini di antaranya Dr Myrna A Safitri (Sekretaris, Universitas Pancasila), Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor), Prof Dr Sudharto P Hadi (Universitas Diponegoro), Prof Dr Ahmad Syafii Ma'arif (tokoh agama), Prof Dr KH Mochammad Maksum Machfoedz (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia/PBNU), KH Muhammad Imam Aziz (PBNU), tokoh Sedulur Sikep Gunretno, dan ratusan orang lain.
Masalah
Isi petisi yang disampaikan kepada Presiden adalah Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan telah memberikan penafsiran untuk ukuran "sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (ii) pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (iii) partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta; (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.
Meningkatnya konsumsi bahan-bahan alam dan energi di Indonesia banyak terjadi bukan karena kebutuhan lokal, melainkan karena perluasan industri ekstraktif dengan dukungan sektor keuangan dan perbankan. Daratan kepulauan Indonesia beserta perairannya dan kesatuan sosial ekologis yang ada telah secara sistematis mengalami perusakan.
Proyek-proyek pembangunan di Jawa, secara khusus industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara, dan penambangan mineral lain, ditengarai belum memberikan keadilan lingkungan dan sosial kepada rakyat, khususnya masyarakat terdampak. Beberapa bahkan masih belum menghormati hak-hak rakyat atas tanah permukiman dan pertanian yang telah dikuasai turun-temurun.
Rencana pembangunan industri semen akan menyebabkan krisis ekologi dan menimbulkan ketidakadilan lingkungan (environmental injustice).
Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, demikian juga pembangunan di Gombong, Jawa Tengah, mengindikasikan hal ini. Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang, sebagai misal, mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. CAT itu merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar yang memasok sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegunungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. Sekitar 10 persen di antaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Sisanya didistribusikan ke lahan pertanian. Jika nilai ini dievaluasi sebagai potensi ekonomi, nilai air yang dihasilkan akan melebihi nilai yang didapat dari sektor pertambangan, yang justru berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan pasokan dan distribusi air pada sumber mata air yang ada.
Rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga. Lahan yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, 95 hektar di antaranya berupa lahan pertanian produktif milik 569 orang atau keluarga. Lahan untuk tapak pabrik dan tapak tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani seluas 484,96 hektar. Lahan tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budidaya pertanian. Dengan produktivitas 6 ton padi per hektar per panen, pendapatan total dari satu kali panen di areal budidaya pertanian yang akan terkena proyek diperkirakan mencapai Rp 2.137.500.000. Dengan pembangunan pabrik semen, akan terjadi penurunan pendapatan.
Semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang tinggi. Sekitar 80 persen kabupaten/kota mempunyai risiko banjir tinggi; 93 persen mempunyai risiko kekeringan yang juga tinggi. Selain itu, kondisi hutan di Pulau Jawa yang saat ini berada pada titik kritis perlu mendapat perhatian serius. Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38 persen dari seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37 persen dikelola oleh Perum Perhutani.
Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun makin berkurang. Tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar, tetapi tahun 2009 merosot tinggal 800.000 hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23,1 persen. Sebanyak 123 titik DAS dan sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung, 10,7 juta hektar DAS dan sub-DAS di Pulau Jawa akan semakin terancam.
Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukan solusi yang tepat untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat ini. Tukar-menukar itu diduga dapat memicu konflik agraria karena belum adanya jaminan clear and clean dari lahan pengganti yang disediakan. Tukar-menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis pada lahan yang ditukar.
Konflik agraria di Pulau Jawa, khususnya di areal Perum Perhutani, relatif tinggi dalam hal jumlah dan frekuensi. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 konflik hutan terjadi di Jawa yang notabene diurus oleh Perum Perhutani. Menurut LSM yang bergerak pada pembaruan hukum di bidang sumber daya alam itu, dalam satu dasawarsa terakhir ini setidaknya 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan kriminalisasi.
Persentase keluarga miskin yang bermukim di desa hutan lebih besar daripada persentase keluarga miskin di Indonesia. Di Jawa-Madura saat ini terdapat 5.400 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang terdiri atas 5 juta keluarga dan 60 persen di antaranya masuk kategori desa miskin dan tertinggal. Berdasarkan data BPS (2012), jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 orang. Jumlah ini sangat menonjol jika dibandingkan pulau-pulau besar lain di Indonesia.
Pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan terwujud jika konflik agraria tidak diselesaikan atau diselesaikan hanya dengan cara represif. Pembangunan ekonomi yang sehat memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang adil, penguatan ekonomi rakyat dan partisipasi masyarakat yang hakiki. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan kemauan politik serta jaminan perlindungan hukum yang nyata terhadap kelompok masyarakat yang rentan, utamanya masyarakat tak bertanah serta tidak memiliki akses terhadap tanah dan sumber daya alam.
Harapan
Terkait dengan butir-butir pandangan di atas, para ahli dan aktivis itu berharap Presiden bisa menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, dan di Pulau Jawa khususnya. Dengan dukungan pemuka agama, akademisi dan masyarakat sipil, mereka berharap Presiden segera mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah berlanjutnya krisis sosial dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasinya yang tepat.
Petisi itu mengusulkan agar Presiden memimpin pelaksanaan Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan membentuk jaringan pemantau yang beranggotakan unsur pemangku kepentingan, secara transparan dan akuntabel.
Menugaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menghentikan proses tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa dengan tidak menerbitkan keputusan mengenai tukar-menukar tersebut kecuali untuk kepentingan bencana alam. Selain itu, menugaskan Menteri LHK untuk memeriksa izin lingkungan dan tukar-menukar kawasan hutan guna memastikan adanya partisipasi dan penghormatan hak-hak rakyat.
Menugaskan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR) untuk mengkaji ulang perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Provinsi yang diduga dilakukan untuk memuluskan proyek-proyek infrastruktur yang tidak mengindahkan prinsip keadilan lingkungan. Selain itu, menugaskan Menteri ATR untuk mengkaji ulang proses pengadaan tanah di lokasi-lokasi proyek tersebut yang patut diduga berjalan di luar ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.
Menugaskan Menteri Badan Urusan Milik Negara untuk mengevaluasi praktik penanganan konflik yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan badan-badan usaha milik negara lain terkait keabsahan tukar-menukar dan pinjam pakai kawasan hutan.
Menugaskan Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri LHK untuk memeriksa kembali kelayakan lingkungan seluruh rencana industri semen, penambangan emas dan pasir besi, waduk dan pembangkit listrik tenaga uap di Pulau Jawa.
Memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengusut tuntas tindakan-tindakan kekerasan terhadap masyarakat, lebih khusus pada kasus-kasus konflik agraria dan sumber daya alam yang dilakukan oleh oknum aparat Polri/TNI, dan membawanya ke proses hukum yang terbuka dan independen.
0 komentar:
Posting Komentar