Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Kamis, 31 Desember 2015

Petisi Para Ahli dan Aktivis Soal Krisis Ekologi ke Jokowi

JAKARTA, KOMPAS — Ratusan akademisi, tokoh agama, aktivis lingkungan dan agraria, serta perwakilan masyarakat adat mengirim petisi kepada Presiden Joko Widodo terkait krisis ekologi yang mendera Indonesia, khususnya Pulau Jawa. Krisis ini dipicu oleh arah pembangunan yang hanya mengedepankan pertumbuhan ekonomi tetapi abai dengan daya dukung lingkungan serta keadilan sosial.
Krisis Pulau Jawa, menurut para tokoh masyarakat ini, telah mencapai tahap parah. Situasi tersebut diperburuk dengan banyaknya pembangunan industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap, dan penambangan bahan mineral, terutama semen.

Soeryo Adiwibowo, ahli ekologi IPB yang menjadi koordinator gerakan ini, menyatakan, "Kami berharap kepada Presiden untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dengan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah berlanjutnya krisis sosial dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasi yang tepat."

Beberapa tokoh yang turut dalam petisi ini di antaranya Dr Myrna A Safitri (Sekretaris, Universitas Pancasila), Prof Dr Ir Hariadi Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor), Prof Dr Sudharto P Hadi (Universitas Diponegoro), Prof Dr Ahmad Syafii Ma'arif (tokoh agama), Prof Dr KH Mochammad Maksum Machfoedz (Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia/PBNU), KH Muhammad Imam Aziz (PBNU), tokoh Sedulur Sikep Gunretno, dan ratusan orang lain.
Masalah

Isi petisi yang disampaikan kepada Presiden adalah Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan telah memberikan penafsiran untuk ukuran "sebesar-besarnya kemakmuran rakyat" sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (ii) pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (iii) partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta; (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

Meningkatnya konsumsi bahan-bahan alam dan energi di Indonesia banyak terjadi bukan karena kebutuhan lokal, melainkan karena perluasan industri ekstraktif dengan dukungan sektor keuangan dan perbankan. Daratan kepulauan Indonesia beserta perairannya dan kesatuan sosial ekologis yang ada telah secara sistematis mengalami perusakan.

Proyek-proyek pembangunan di Jawa, secara khusus industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara, dan penambangan mineral lain, ditengarai belum memberikan keadilan lingkungan dan sosial kepada rakyat, khususnya masyarakat terdampak. Beberapa bahkan masih belum menghormati hak-hak rakyat atas tanah permukiman dan pertanian yang telah dikuasai turun-temurun.

Rencana pembangunan industri semen akan menyebabkan krisis ekologi dan menimbulkan ketidakadilan lingkungan (environmental injustice).
Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, demikian juga pembangunan di Gombong, Jawa Tengah, mengindikasikan hal ini. Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang, sebagai misal, mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. CAT itu merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air terbesar yang memasok sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegunungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. Sekitar 10 persen di antaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat. Sisanya didistribusikan ke lahan pertanian. Jika nilai ini dievaluasi sebagai potensi ekonomi, nilai air yang dihasilkan akan melebihi nilai yang didapat dari sektor pertambangan, yang justru berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan pasokan dan distribusi air pada sumber mata air yang ada.

Rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga. Lahan yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, 95 hektar di antaranya berupa lahan pertanian produktif milik 569 orang atau keluarga. Lahan untuk tapak pabrik dan tapak tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani seluas 484,96 hektar. Lahan tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budidaya pertanian. Dengan produktivitas 6 ton padi per hektar per panen, pendapatan total dari satu kali panen di areal budidaya pertanian yang akan terkena proyek diperkirakan mencapai Rp 2.137.500.000. Dengan pembangunan pabrik semen, akan terjadi penurunan pendapatan.

Semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor, dan kekeringan yang tinggi. Sekitar 80 persen kabupaten/kota mempunyai risiko banjir tinggi; 93 persen mempunyai risiko kekeringan yang juga tinggi. Selain itu, kondisi hutan di Pulau Jawa yang saat ini berada pada titik kritis perlu mendapat perhatian serius. Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38 persen dari seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37 persen dikelola oleh Perum Perhutani.


Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun makin berkurang. Tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar, tetapi tahun 2009 merosot tinggal 800.000 hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23,1 persen. Sebanyak 123 titik DAS dan sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung, 10,7 juta hektar DAS dan sub-DAS di Pulau Jawa akan semakin terancam.

Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukan solusi yang tepat untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat ini. Tukar-menukar itu diduga dapat memicu konflik agraria karena belum adanya jaminan clear and clean dari lahan pengganti yang disediakan. Tukar-menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis pada lahan yang ditukar.

Konflik agraria di Pulau Jawa, khususnya di areal Perum Perhutani, relatif tinggi dalam hal jumlah dan frekuensi. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia, 41 konflik hutan terjadi di Jawa yang notabene diurus oleh Perum Perhutani. Menurut LSM yang bergerak pada pembaruan hukum di bidang sumber daya alam itu, dalam satu dasawarsa terakhir ini setidaknya 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan kriminalisasi.

Persentase keluarga miskin yang bermukim di desa hutan lebih besar daripada persentase keluarga miskin di Indonesia. Di Jawa-Madura saat ini terdapat 5.400 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang terdiri atas 5 juta keluarga dan 60 persen di antaranya masuk kategori desa miskin dan tertinggal. Berdasarkan data BPS (2012), jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 orang. Jumlah ini sangat menonjol jika dibandingkan pulau-pulau besar lain di Indonesia.

Pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial, dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan terwujud jika konflik agraria tidak diselesaikan atau diselesaikan hanya dengan cara represif. Pembangunan ekonomi yang sehat memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang adil, penguatan ekonomi rakyat dan partisipasi masyarakat yang hakiki. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan kemauan politik serta jaminan perlindungan hukum yang nyata terhadap kelompok masyarakat yang rentan, utamanya masyarakat tak bertanah serta tidak memiliki akses terhadap tanah dan sumber daya alam.
Harapan

Terkait dengan butir-butir pandangan di atas, para ahli dan aktivis itu berharap Presiden bisa menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, dan di Pulau Jawa khususnya. Dengan dukungan pemuka agama, akademisi dan masyarakat sipil, mereka berharap Presiden segera mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah berlanjutnya krisis sosial dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasinya yang tepat.

Petisi itu mengusulkan agar Presiden memimpin pelaksanaan Ketetapan MPR RI No IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan membentuk jaringan pemantau yang beranggotakan unsur pemangku kepentingan, secara transparan dan akuntabel.

Menugaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menghentikan proses tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa dengan tidak menerbitkan keputusan mengenai tukar-menukar tersebut kecuali untuk kepentingan bencana alam. Selain itu, menugaskan Menteri LHK untuk memeriksa izin lingkungan dan tukar-menukar kawasan hutan guna memastikan adanya partisipasi dan penghormatan hak-hak rakyat.

Menugaskan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR) untuk mengkaji ulang perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Provinsi yang diduga dilakukan untuk memuluskan proyek-proyek infrastruktur yang tidak mengindahkan prinsip keadilan lingkungan. Selain itu, menugaskan Menteri ATR untuk mengkaji ulang proses pengadaan tanah di lokasi-lokasi proyek tersebut yang patut diduga berjalan di luar ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Menugaskan Menteri Badan Urusan Milik Negara untuk mengevaluasi praktik penanganan konflik yang dilakukan oleh Perum Perhutani dan badan-badan usaha milik negara lain terkait keabsahan tukar-menukar dan pinjam pakai kawasan hutan.

Menugaskan Menteri Koordinator Perekonomian dan Menteri LHK untuk memeriksa kembali kelayakan lingkungan seluruh rencana industri semen, penambangan emas dan pasir besi, waduk dan pembangkit listrik tenaga uap di Pulau Jawa.

Memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengusut tuntas tindakan-tindakan kekerasan terhadap masyarakat, lebih khusus pada kasus-kasus konflik agraria dan sumber daya alam yang dilakukan oleh oknum aparat Polri/TNI, dan membawanya ke proses hukum yang terbuka dan independen.

Ratusan Akademisi, Tokoh Agama Dan Aktifis Lingkungan Kompak Sampaikan Keprihatinan Kepada Jokowi

| Raihan Syarif

Jakartakita.com – Lebih dari 200 akademisi, tokoh agama dan kebudayaan serta aktivis sosial menyampaikan keprihatinan terhadap penanganan krisis ekologi dan sosial di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, kepada Presiden Joko Widodo. Mereka tergabung dalam Forum Pengajar, Peneliti dan Pemerhati Agraria, Lingkungan dan Kebudayaan.

“Kami berharap kepada Presiden untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dengan mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah berlanjutnya krisis social dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasi yang tepat”, papar Dr. Soeryo Adiwibowo, koordinator Forum yang juga pengajar di Institut Pertanian Bogor.

Dia juga mengatakan bahwa Proyek-proyek pembangunan di Jawa, secara khusus industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara, dan penambangan mineral lain masih belum memberikan keadilan lingkungan dan sosial pada rakyat khususnya masyarakat terdampak.

“Bahkan di beberapa tempat masih belum menghormati hak-hak rakyat atas tanah permukiman dan pertanian yang telah dikuasai turun-temurun,” tambahnya

Eko Cahyono, Direktur Sajogyo Institute menuturkan bahwa salah satu contohnya adalah rencana pembangunan industri semen yang akan menyebabkan krisis ekologi dan menimbulkan ketidakadilan lingkungan dimana Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegununungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. 10% diantaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat dan sisanya didistribusikan ke lahan pertanian.

Dengan adanya rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga. Lahan yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, 95 hektarnya berupa lahan pertanian produktif milik 569 orang/KK di tiga Desa.Lahan untuk tapak pabrik dan tapak tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani sekitar seluas 484,96 hektar yang telah dikelola oleh 267 petani hutan.

Banyak kebijakan pembangunan yang berdampak rusaknya lingkungan, belum lagi konflik argaria di pulau jawa ini relatif tinggi. Untuk itu Forum ini meminta Presiden menugaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menghentikan proses tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa dengan tidak menerbitkan keputusan mengenai tukar-menukar tersebut kecuali untuk kepentingan bencana alam.

“Kami mendesak agar Presiden segera memimpin pelaksanaan Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan membentuk jaringan pemantau yang beranggotakan unsur pemangku kepentingan secara transparan dan akuntabel”, kata Profesor Esmi Warassih dari Universitas Diponegoro.

Forum ini juga berharap Presiden dapat menugaskan Menteri BUMN untuk mengevaluasi praktik penanganan konflik yang dilakukan oleh Perum Perhutani, serta keabsahan tukar-menukar kawasan hutan di areal Perum Perhutani. Menugaskan Menko Bidang Perekonomian dan Menteri LHK untuk memeriksa kembali kelayakan lingkungan seluruh rencana industri semen, penambangan emas, penambangan pasir besi, waduk dan pembangkit listrik tenaga uap di Pulau Jawa.


http://jakartakita.com/2015/12/30/58352/

Surat Terbuka untuk Presiden RI tentang Krisis Ekologi dan Sosial di Pulau Jawa

30 Dec 2015
 
Surat Terbuka
Forum Pengajar, Peneliti dan Pemerhati Agraria, Lingkungan dan Kebudayaan
kepada
Presiden Republik Indonesia
tentang Penanganan Krisis Ekologi dan Sosial di Pulau Jawa

Bapak Presiden yang kami hormati,

Mengikuti perkembangan terkait dengan konflik agraria dan lingkungan di berbagai pelosok Nusantara serta di Pulau Jawa secara khusus, sebagai akibat rencana pembangunan industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap, dan penambangan bahan mineral; kami sebagai pengajar, peneliti dan pemerhati agraria, lingkungan dan kebudayaan di Indonesia menyatakan keprihatinan yang mendalam.

Berdasarkan kajian, pengalaman, dan pengamatan terhadap permasalahan tersebut, kami sampaikan pendapat dan usulan kepada Bapak, sebagaimana butir-butir di bawah ini:

1. Mahkamah Konstitusi dalam beberapa putusan telah memberikan penafsiran untuk ukuran ‘sebesar-besarnya kemakmuran rakyat sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 sebagai berikut: (i) kemanfaatan sumber daya alam bagi rakyat; (ii) pemerataan manfaat sumber daya alam bagi rakyat; (iii) partisipasi rakyat dalam menentukan manfaat sumber daya alam, serta; (iv) penghormatan terhadap hak rakyat secara turun-temurun dalam memanfaatkan sumber daya alam.

2. Meningkatnya konsumsi bahan-bahan alam dan energi di Indonesia banyak terjadi bukan karena kebutuhan lokal, tetapi karena perluasan industri ekstraktif dengan dukungan sektor keuangan dan perbankan. Daratan kepulauan Indonesia beserta perairannya dan kesatuan sosial ekologis yang ada telah secara sistematis mengalami perusakan.

3. Proyek-proyek pembangunan di Jawa, secara khusus industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap berbasis batubara, dan penambangan mineral lain ditengarai masih belum memberikan keadilan lingkungan dan sosial pada rakyat khususnya masyarakat terdampak; beberapa bahkan masih belum menghormati hak-hak rakyat atas tanah permukiman dan pertanian yang telah dikuasai turun-temurun.

4. Rencana pembangunan industri semen akan menyebabkan krisi ekologi dan menimbulkan ketidakadilan lingkungan (environmental injustice).
Pembangunan pabrik semen di Pegunungan Kendeng Utara yang menyebar di Kabupaten Rembang, Pati, dan Grobogan, demikian juga pembangunan di Gombong, Jawa Tengah mengindikasikan hal ini. Penambangan batu gamping untuk industri semen di Kabupaten Rembang, sebagai misal, mengancam keberlanjutan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih. CAT itu merupakan kawasan lindung geologi dan kawasan resapan air  terbesar yang memasok sumber-mata air yang ada di sekitarnya. Volume air yang dihasilkan oleh mata air-mata air yang ada di pegununungan karst ini dalam satu hari mencapai sekitar 51.840.000 liter air. Sekitar 10% diantaranya dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat dan sisanya didistribusikan ke lahan pertanian. Jika nilai ini divaluasi sebagai potensi ekonomi, maka nilai air yang dihasilkan akan melebihi nilai yang didapat dari sektor pertambangan yang justru berpotensi mengurangi bahkan menghilangkan pasokan dan distribusi air pada sumber-mata air yang ada.

5. Rencana pembangunan industri semen di Pati mengancam hak pangan warga. Lahan yang akan digunakan untuk pabrik seluas 180 hektar, 95 hektarnya berupa lahan pertanian produktif milik 569 orang/KK di tiga Desa yakni Tambakromo, Mojomulyo dan Karangawen. Lahan untuk tapak pabrik dan tapak tambang akan menggunakan kawasan hutan produksi Perum Perhutani sekitar seluas 484,96 hektar. Lahan tersebut telah dikelola oleh 267 petani hutan (pesanggem) untuk budi daya pertanian. Dengan produktivitas 6 ton padi/hektar/panen, pendapatan total dari satu kali panen di areal budidaya pertanian yang terkena proyek diperkirakan mencapai Rp 2.137.500.000. Namun, dengan pembangunan pabrik semen akan terdapat penurunan pendapatan.

6. Semua provinsi di Pulau Jawa mempunyai indeks rawan bencana banjir, longsor dan kekeringan yang tinggi. Kondisi hutan di Pulau Jawa yang saat ini berada pada titik kritis perlu mendapat perhatian serius. Pulau Jawa hanya memiliki luasan hutan sebesar 3,38% dari seluruh kawasan hutan di Indonesia. Dari luasan tersebut, sebesar 85,37% dikelola oleh Perum Perhutani.
Luas tutupan hutan dari tahun ke tahun makin berkurang. Di tahun 2000 luas tutupan hutan Jawa masih 2,2 juta hektar. Namun di tahun 2009 sudah merosot tinggal 800 ribu hektar. Total luas tutupan hutan di kawasan hutan produksi di Jawa hanya 23, 1%. Akibatnya, sebanyak 123 titik DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa terganggu akibat degradasi dan deforestasi hutan. Jika tren ini terus berlangsung maka sekitar 10,7 juta ha DAS dan Sub-DAS di Pulau Jawa akan semakin terancam.

7. Kebijakan tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa bukanlah solusi yang tepat untuk menyelamatkan Pulau Jawa dari krisis ekologis yang berlangsung saat ini. Tukar-menukar itupun diduga dapat memicu konflik agraria karena belum adanya jaminan ‘clear and clean’ dari lahan pengganti yang disediakan. Tukar menukar juga tidak dapat mengganti hilangnya fungsi ekologis pada lahan yang ditukar.

8. Konflik agraria di Pulau Jawa, khususnya di areal Perum Perhutani, relatif tinggi dalam hal jumlah dan frekuensi. Dalam catatan HuMa (2013), dari 72 konflik terbuka kehutanan yang terjadi di Indonesia,  41 (empat puluh satu) konflik hutan terjadi di Jawa yang nota bene diurus oleh Perum Perhutani. Dalam satu dasawarsa terakhir ini setidak-tidaknya 108 warga desa hutan mengalami kekerasan dan kriminalisasi.

9. Persentase keluarga miskin yang bermukim di desa hutan lebih besar dari persentase keluarga miskin di Indonesia. Di Jawa Madura saat ini terdapat 5.400 Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang terdiri atas 5 juta kepala keluarga, dan 60 persen di antaranya masuk kategori desa miskin dan tertinggal. BPS (2012) menunjukkan jumlah penduduk miskin di desa pada Pulau Jawa adalah 8.703.350 jiwa. Jumlah ini sangat menonjol jika dibandingkan pulau-pulau besar lain di Indonesia.

10. Pembangunan Indonesia yang berprinsip pada keseimbangan pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial dan pelestarian fungsi lingkungan tidak akan terwujud jika konflik agraria tidak diselesaikan atau diselesaikan hanya dengan cara represif. Pembangunan ekonomi yang sehat memerlukan penataan penguasaan dan pemanfaatan tanah dan sumber daya alam yang adil, penguatan ekonomi rakyat dan partisipasi masyarakat yang hakiki. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan kemauan politik serta jaminan perlindungan hukum yang nyata terhadap kelompok masyarakat yang rentan, utamanya masyarakat tak bertanah (tunakisma) dan tidak memiliki akses terhadap tanah dan sumber daya alam.

Terkait dengan butir-butir pandangan di atas, kami berharap pada kepemimpinan Bapak Presiden untuk menyelamatkan lingkungan dan sumber daya alam di Indonesia, dan di Pulau Jawa  khususnya. Dengan dukungan pemuka agama, akademisi dan masyarakat sipil, kami berharap Bapak dapat segera mengambil semua langkah yang diperlukan untuk mencegah berlanjutnya krisis sosial dan ekologis melalui kebijakan yang progresif disertai implementasinya yang tepat.

Atas dasar itu kami mengusulkan kepada Bapak Presiden hal-hal berikut:

(1) Memimpin pelaksanaan Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam dengan membentuk jaringan pemantau yang beranggotakan unsur pemangku kepentingan secara transparan dan akuntabel.

(2) Menugaskan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) untuk menghentikan proses tukar-menukar kawasan hutan di Pulau Jawa dengan tidak menerbitkan keputusan mengenai tukar-menukar tersebut kecuali untuk kepentingan bencana alam. Selain itu menugaskan juga Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memeriksa izin-izin lingkungan proyek-proyek yang memohonkan tukar-menukar kawasan guna memastikan adanya partisipasi dan penghormatan hak-hak rakyat..

(3) Menugaskan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk mengkaji ulang perubahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Provinsi yang diduga dilakukan untuk memuluskan proyek-proyek infrastruktur yang tidak mengindahkan prinsip keadilan lingkungan. Selain itu menugaskan juga Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional untuk mengkaji ulang proses pengadaan tanah di lokasi-lokasi proyek tersebut yang patut diduga berjalan di luar ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

(4) Menugaskan Menteri Badan Urusan Milik Negara untuk mengevaluasi praktik penanganan konflik yang dilakukan oleh Perum Perhutani, serta keabsahan tukar-menukar kawasan hutan di areal Perum Perhutani.

(5) Menugaskan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian dan Menteri LHK untuk memeriksa kembali kelayakan lingkungan seluruh rencana industri semen, penambangan emas, penambangan pasir besi, waduk dan pembangkit listrik tenaga uap di Pulau Jawa.

(6) Memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk mengusut tuntas tindakan-tindakan kekerasan terhadap masyarakat, lebih khusus pada kasus-kasus konflik agraria dan sumberdaya alam, yang dilakukan oleh oknum aparat Polri/TNI dan membawanya ke dalam proses hukum yang terbuka dan independen.

Jakarta, 28 Desember 2015

Forum Pengajar, Peneliti dan Pemerhati Agraria, Lingkungan dan Kebudayaan
1.    Dr. Soeryo Adiwibowo (Koordinator, Institut Pertanian Bogor)
2.    Dr. Myrna A. Safitri (Sekretaris, Universitas Pancasila)
3.    Prof. Dr. Ir. Hariadi Kartodihardjo (Institut Pertanian Bogor)
4.    Prof. Dr. Sudharto P. Hadi (Universitas Diponegoro)
5.    Prof. Dr. Ahmad Syafii Ma’arif (tokoh agama)
6.    Prof. Dr. K.H. Mochammad Maksum Machfoedz (Universitas Nahdhatul Ulama Indonesia/PBNU)
7.    K.H. Muhammad Imam Aziz (PBNU)
8.    K.H. Amin Hamid (PP Bodho Kajoran Magelang)
9.    H. Nuruddin Amin (PP Hasyim Asy’ari Jepara)
10.    Alissa Wahid (Jaringan Gusdurian Indonesia)
11.    Rumadi (Lakpesdam Nahdhatul Ulama)
12.    K.H. Ubaidillah Achmad, M.A. (UIN Walisongo Semarang)
13.    K.H. Zaim Ahmad Ma’shoem (PP Kauman Lasem)
14.    Romo Agustinus Tri Budi Utomo, Pr (Keuskupan Surabaya)
15.    Romo Aleksius Kurdo Irianto (Keuskupan Surabaya)
16.    Romo Aloys Budi Purnomo, Pr (Keuskupan Agung Semarang)
17.    Ki Manteb Sudarsono (budayawan)
18.    Dr. Surono (Mbah Rono, ahli kebencanaan)
19.    Muhammad Sobary (budayawan)
20.    Radhar Panca Dahana (budayawan)
21.    Prof. Dr. Endriatmo Soetarto (Institut Pertanian Bogor)
22.    Prof. Dr. Esmi Warassih, S.H. (Universitas Diponegoro)
23.    Prof. Dr. Maria S. W. Sumardjono (Universitas Gadjah Mada)
24.    Prof. Dr.Suhariningsih, SH., SU. (Universitas Brawijaya)
25.    Prof. Dr. Khudzaifah Dimyati, S.H. (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
26.    Prof. Dr. Ida Nurlinda, S.H. (Universitas Padjajaran)
27.    Prof. Dr. Ir. Budi Widianarko, M.Sc (Unika Soegijapranata)
28.    Prof. Dr. Andreas Dwi Santoso (Institut Pertanian Bogor)
29.    Prof. Dr. Muhammad Hisyam (LIPI)
30.    Prof. Dr. Didik Suharjito (Institut Pertanian Bogor)
31.    Prof. Dr. Nur Hasan Ismail, S.H., M.Si (Universitas Gadjah Mada)
32.    Dr. Herlambang Perdana Wiratraman (Universitas Airlangga)
33.    Dr. Rikardo Simarmata, S.H. (Universitas Gadjah Mada)
34.    Dr. Iman Prihandono  (Universitas Airlangga)
35.    Dr. Widodo Dwi Putro (Universitas Mataram)
36.    Dr. Tristam Moeliono (Universitas Parahyangan)
37.    Dr. A. Sonny Keraf (Unika Atmajaya)
38.    Dr. Aziz Khan (Peneliti, Institut Pertanian Bogor)
39.    Dr. Suraya Afiff (Universitas Indonesia)
40.    Dr. Satyawan Sunito (Institut Pertanian Bogor)
41.    Dr. Laksmi Savitri (Universitas Gadjah Mada)
42.    Dr. Kurnia Warman, S.H. (Universitas Andalas)
43.    Dr. A. Hanief Saha Ghafur (Universitas Indonesia/PBNU)
44.    Dr. F.X. Sumarja (Universitas Lampung)
45.    Dr. H.S. Tisnanta (Universitas Lampung)
46.    Dr. Ir. Rahmanta Setiahadi, M.P (Universitas Merdeka Madiun)
47.    Dr. Subadi, S.H. (Universitas Merdeka Madiun)
48.    Dr. Ir. Luluk Sulistio Budi, M.P. (Universitas Merdeka Madiun)
49.    Dr. Hendro Sangkoyo (School of Democratic Economics)
50.    Dr. Ir. Eko Teguh Paripurno, MT (Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta)
51.    Dr. Ani Purwanti, S.H. (Universitas Diponegoro)
52.    Dr. Sukirno, S.H., M.Si (Universitas Diponegoro)
53.    Dr. Tri Chandra Apriyanto (Universitas Jember)
54.    Dr. Natangsa Surbakti, S.H., M.Hum (Universitas Muhammadiyah Surakarta)
55.    Dr. Dewi Candraningrum (Jurnal Perempuan)
56.    Dr. Kunthi Tridewiyanti, S.H., M.A (APPHG/Universitas Pancasila)
57.    Dr. Rodiyah, S.Pd, S.H., M.Si (Universitas Negeri Semarang)
58.    Dr. Agus Riewanto (Universitas Sebelas Maret Surakarta)
59.    Dr. Ari Sujito (Universitas Gadjah Mada)
60.    Dr. Zainal Arifin Muchtar (Universitas Gadjah Mada)
61.    Dr. R.K.T. Ko MD.Dv (Lembaga Karst Indonesia)
62.    Dr. Yunus Husein, S.H., LL.M (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera)
63.    Dr. S. Djuni Prihatin, M.Si (Universitas Gadjah Mada)
64.    Dr. Agung Djojosoekarto (Kemitraan)
65.    Dr. Ngatawi Al-Zastrouw (Pascasarjana UNU Jakarta)
66.    Dr. Francis Wahono (Cindelaras Institute Yogyakarta)
67.    Dr. Agus Riwanto (LIPI)
68.    Dr. Riwanto Tirtosudarmo (LIPI)
69.    Dr. Dedi S. Adhuri (LIPI)
70.    Dr. E.G. Togu Manurung (Institut Pertanian Bogor)
71.    Dr. Nyoman J. Wistara (Institut Pertanian Bogor)
72.    Dr. Arif Satria, S.P., M.Si (Institut Pertanian Bogor)
73.    Dr. Mubariq Ahmad (Universitas Indonesia)
74.    Dr. Martua T. Sirait (Dewan Kehutanan Nasional)
75.    Dr. Abubakar Eby Hara (Universitas Jember)
76.    Dr. Luky Adrianto (Institut Pertanian Bogor)
77.    Dr. Ir. Arzyna Sunkar, M.Sc (Institut Pertanian Bogor)
78.    Dr. Cahyo Rahmadi (Indonesia Speleological Society)
79.    Dr. Hendra Yusran Siry, (Ikatan Sarjana Kelautan Indonesia)
80.    Dr. Baskara T. Wardaya (Universitas Sanata Dharma Yogyakarta)
81.    Dr. Ery Seda (Universitas Indonesia)
82.    Dr. T. Rameyo Adi (ahli kelautan dan perikanan)
83.    Dr. Achmad Munjid (Universitas Gadjah Mada)
84.    Dr. Ria Fitriana (Maritime Livelihoods)
85.    Dr. Herry Yogaswara (LIPI)
86.    Dr. Mia Siscawati (Universitas Indonesia)
87.    Dr. Ir. Tri Djoko Lelono, M.Si. (Universitas Brawijaya)
88.    Trimoelya D. Soerjadi (praktisi hukum)
89.    Zumrotin K. Susilo (Kosakti)
90.    Amrih Widodo (Australian National University)
91.    Agus Pambagio (PH & H Public Policy Interest Group)
92.    Tini Hadad (aktivis masyarakat sipil)
93.    Eko Cahyono, M.Si (Sajogyo Institute)
94.    Luh Rina Apriani, S.H., M.H. (Universitas Pancasila)
95.    Ricca Anggraeni, S.H., M.H. (Universitas Pancasila)
96.    M. Shohibuddin, M.Si (Institut Pertanian Bogor)
97.    Imam Koeswahyono, S.H., M.H. (Universitas Brawijaya)
98.    Moh Hamidi Masykur, S.H., M.H. (Universitas Brawijaya)
99.    Dyah Pawestri Maharani, S.H., M.H. (Universitas Brawijaya)
100.    Ranitya Ghaninda, S.H., M.H (Universitas Brawijaya)
101.    Siti Rakhma Mary, S.H., M.Si, M.A (President University)
102.    Dahniar Andriani, S.H., M.ID (Peneliti, Perkumpulan HuMa)
103.    Erwin Dwi Kristanto, S.H., M.Si (Peneliti, Perkumpulan HuMa)
104.    Asep Yunan Firdaus, S.H., M.H (Peneliti, Working Group Tenure)
105.    Chalid Muhammad, S.H (Peneliti, Institut Hijau Indonesia)
106.    Oki Hajiansyah Wahab, S.H., M.H (Universitas Muhammadiyah Malang)
107.    Dharma Setyawan, M.Si (STAIN Jurai Siwo, Metro, Lampung)
108.    Debbie Prabawati (PWD Project Universitas Gadjah Mada)
109.    Yance Arizona, S.H., M.H (President University)
110.    Fachrizal Afandi, S.H., M.H. (Universitas Brawijaya)
111.    Donny Danardono, S.H., M.A (Unika Soegijapranata)
112.    Paramita Iswari, S.T., M.A. (Peneliti, Perkumpulan Karsa)
113.    Herlindah, S.H., M.Kn (Universitas Brawijaya)
114.    Joeni Arianto Kurniawan, S.H., M.A (Universitas Airlangga)
115.    Ir. Melani Abdulkadir Sunito, M.Sc (Institut Pertanian Bogor)
116.    Feri Amsari, S.H., LL.M (Universitas Andalas)
117.    Ach. Tahir, SHI, LL.M, M.A. (UIN Sunan Kalijaga)
118.    Bivitri Susanti, S.H., LL.M. (Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera)
119.    Fauzin, S.H., LL.M (Universitas Trunojoyo, Madura)
120.    Dri Utari C.R., S.H., LL.M (Universitas Airlangga)
121.    Rosita Indrayati, S.H., M.H. (Universitas Jember)
122.    Anton Novenanto, M.A. (Universitas Brawijaya)
123.    Ir. Herlily, M.Urb.Des (Universitas Indonesia)
124.    Aryo Danusiri (Ph.D Candidate Harvard University)
125.    Mardha Tillah, M.Sc (Peneliti, Rimbawan Muda Indonesia)
126.    I Wayan Suyadnya, M.Sos (Universitas Brawijaya)
127.    Ali Nur Sahid, (Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Paramadina)
128.    Vera W. Soemarwi (Universitas Tarumanagara)
129.    Muchtar Said, S.H., M.H. (Universitas Sahid)
130.    Tommy Michael, S.H. (Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya)
131.    Yordan Gunawan, S.H. (Universitas Muhammadiyah Yogyakarta)
132.    Rofi Wahanisa, S.H. (Universitas Negeri Semarang)
133.    Totok Dwi Diantoro, S.H., M.A., LL.M. (Universitas Gadjah Mada)
134.    Dian Noeswantarari, M.A. (Universitas Surabaya)
135.    Umar Sholahuddin, M.Si (Universitas Muhammadiyah Surabaya)
136.    Usman Hamid, S.H. (Australian National University)
137.    Ahmad Salehudin (ISD UIN Sunan Kalijaga)
138.    Hotmauli Sidabalok (Unika Soegijapranata Semarang)
139.    Benny D. Setianto (Unika Soegijapranata Semarang)
140.    Melly Setiawati, S.H. (Peneliti, Perkumpulan Magenta)
141.    Luluk Uliyah, S.P. (Peneliti, Epistema Institute)
142.    Wiwiek Awiati, S.H., M.Hum (Peneliti Senior, ICEL)
143.    Henri Subagio, S.H. (Peneliti, ICEL)
144.    Roy Murtadho (Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam)
145.    Dandhy Dwi Laksono (Ekspedisi Indonesia Biru)
146.    Siti Maimunah (Peneliti, Tim Kerja Perempuan dan Tambang)
147.    Sri Palupi (Peneliti, Institute for Ecosoc Rights)
148.    I Sandyawan Sumardi (Ciliwung Merdeka)
149.    Idham Arsyad (Dewan Pakar KPA)
150.    Haris Azhar, M.A. (Kontras)
151.    Abetnego Tarigan (Direktur WALHI Nasional)
152.    Umbu Wulang Tanaamahu (Dinamisator Komunitas Wai Humba)
153.    Sahdi Sutisna (Paguyuban Petani Hutan Jawa)
154.    Sungging Septivianto (Koalisi Pemulihan Hutan Jawa)
155.    Nining Erlina Fitri (Yayasan Bina Desa)
156.    Wahyu Nandang Herawan, S.H. (YLBHI)
157.    Mokh. Sobirin, S.IP (Yayasan Desantara)
158.    Ir. Djumadi S. Rama (Yayasan Karya Alam Lestari Rembang)
159.    Anwar Sastro Maruf (Konfederasi Pergerakan Rakyat)
160.    Irvan Pulungan (Forum Kampung Kota)
161.    Heri Muliono (Forum Kampung Kota)
162.    Yu Sing (Forum Kampung Kota)
163.    Avianto Armand (Forum Kampung Kota)
164.    Muhammad Mustafad (Pesantren Aswaja Nusantara, Yogyakarta)
165.    Yuli Kusworo (Arsitek Komunitas)
166.    Antonio Ismael, M. Arch (Forum Permukiman)
167.    Prathiwi Widyatmi Putri (Forum Kampung Kota)
168.    Maria Hartiningsih (Warga Indonesia Peduli Rembang)
169.    Ivana (Ciliwung Merdeka)
170.    Gentry Amalo (Lembaga Pelopor Perubahan Semarang)
171.    Muhammad Reza (KruHa)
172.    Heru Prasetia (aktivis sosial)
173.    Devil Rinaldo (Forum Kampung Kota)
174.    Ahmad Atho’ Lukman Hakim, M.Sc (P3M IAI Al-Qolam Malang)
175.    Irham Saifudin (PP Nurul Huda Cisurupan Garut)
176.    Saeroni S.Ag, M.H. (Rifka Anissa)
177.    Abdul Wachid Habibullah, S.H., M.H. (LBH Surabaya)
178.    Hairus Salim (Yayasan LKiS Yogyakarta)
179.    Saiful Huda Shodiq (Koperasi Setia Kawan Paguyuban Anak Bangsa Batang)
180.    Abdurrahman Syehbubakar (Institute for Democracy Education)
181.    Hexa Rahmawati (KruHa)
182.    Yori Antar (Rumah Asuh)
183.    Ahmad Majidun (Ketua PCNU Magelang)
184.    Mahmudi Widodo (aktivis tambang)
185.    L. Susanto Nugroho D. S.E, Akt (Wirausaha)
186.    Ibrahim Fahmy (Komisi Anggaran Independen)
187.    Ir. A.H. Mahendra (aktivis lingkungan)
188.    Dra. Maria Selastiningsih (wirausaha)
189.    Ririn Sefsani (Sikola Perempuan Mombine)
190.    Monica Tanuhandaru  (Kemitraan)
191.    Dian Tri Irawaty (University of California Los Angeles)
192.    Harry Wibowo (aktivis HAM)
193.    Inne Sri B. Rifayantina (Forum Kampung Kota)
194.    Christina Widiantari (Pengacara Publik)
195.    Deny Tjakra (aktivis sosial)
196.    Mohammad Ichwan D.S. (Penggerak Budaya Nahdliyin)
197.    Mur Kholik Ridwan (Taqwimul Ulama, RMI)
198.    Abaz Zahroetin (aktivis sosial, Temanggung)
199.    Ishfah Abidal Aziz (aktivis sosial, Depok)
200.    M. Zaynal Arifin (PCNU Kulonprogo)
201.    Abdul Hakim BA. S.Ud (Rumah Santri Darul Quran Bogor)
202.    Anis Masduki, Lc, M.Si (PP Aji Mahasiswa Al-Mukhsin)
203.    Abdul Waidz (National Network for Education Watch)
204.    Isnu Handoni (Forum Ayah ASI)
205.    Dwi Astuti, M.Si (Bina Desa)
206.    Khalisah Halid (Walhi)
207.    Nia Ramdhaniaty (Peneliti, Rimbawan Muda Indonesia)
208.    Misbahul Munir (Komite NTI)
209.    Nazla Mariza, M.A. (Pusat Transformasi Kebijakan Publik)
210.    Ahmad Marthin Hadiwinata, S.H., M.H. (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia)
211.    Amin Abdullah (LPSDN, Lombok)
212.    Dede Wardiat (LIPI)
213.    Iing Rohimin (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia)
214.    Karim Agus Dasuki (aktivis sosial)
215.    Thung Ju Lan (LIPI)
216.    Masyhuri Imron (LIPI)
217.    Sri Hartati Rachmad (Sekolah Tinggi Ilmu Statistik)
218.    Muhammad Karim (Pusat Kajian Pembangunan Kelautan dan Maritim)
219.    Ir. Chitra Retna S, ME (Article 33)
220.    Asma Luthfi, M.Hum (Universitas Negeri Semarang)
221.    Ahmad Nashih Luthfi (Etnohistori)
222.    Handoko Wibowo (Omah Tani Batang)
223.    Yusdi Usman (Biru Mandiri Institute)
224.    Istiriani (aktivis sosial, Wonogiri)
225.    Lilis Mulyani (LIPI)
226.    Gutomo Bayu Aji (LIPI)
227.    Siti Fikriyah Khuriati (Yayasan Akselerasi)
228.    Lasminto ( Forum Komunikasi Tani Sumberanyar Pasuruan)
229.    Yatno Subadio (Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi)
230.    Andri (Paguyuban Petani Jawa Timur)
231.    Fathul Khoir (Kontras Surabaya)
232.    Petrasa Wacana, S.T., M.Sc (Indonesia Speleological Society)
233.    Hidayatullah, SH., MHum (Fakultas Hukum UMK Kudus)
234.    Ary Wahyono (LIPI)
235.    Rosinah (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia, Sumenep)
236.    Suhana (Institut Pertanian Bogor)
237.    Teguh Surya (Greenpeace Indonesia)
238.    Ir. Dwi Rahmad Muhtaman, MPA (Lembaga Alam Tropika Indonesia)
239.    Suwito (Kemitraan)
240.    Herryadi (Lembaga Ekolabel Indonesia)
241.    Hartono Prabowo (Forest Stewardship Council)
242.    Diah Suradiredja (Lembaga Ekolabel Indonesia)
243.    Bona Beding (budayawan)
244.    Sarie Wahyuni (Komunitas Transformasi Hijau)
245.    Rina Kusuma (Brunel University)
246.    Bayu Dwi Mardana (National Geograpic Indonesia)
247.    Diah R. Sulistiowati (aktivis pelestarian satwa)
248.    Gunretno (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng)
249.    Gladi Hardiyanto (Kemitraan)
250.    Nabiha Shahab (Universitas Indonesia)
251.    Hj. Hindun Anisah (LBH NU Jepara)
252.    Dra. Ira Setiari Soerjani, M.Si (aktivis lingkungan)
253.    dr.Alexandra Herlina (aktivis lingkungan dan kemanusiaan)
254.    Edy Sutrisno (peneliti satwa liar dan tumbuhan)
255.    Hening Parlan (PP Aisyiyah)
256.    Hendra Michael Aquan (Perkumpulan Transformasi Hijau)
257.    Bambang Permadi, AAN (Generasi muda penghayat kepercayaan)
258.    Darmawan Listanto (Fauna dan Flora Indonesia)

Tembusan disampaikan kepada yang terhormat:
1. Wakil Presiden Republik Indonesia
2. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian
3. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan
4. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional
5. Menteri Badan Usaha Milik Negara
6. Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi
7. Kepala Kantor Staf Kepresidenan
8. Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
9. Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
10. Panglima Tentara Republik Indonesia
11. Kepala Kepolisian Republik Indonesia
12. Gubernur Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, D.I Yogyakarta dan Jawa Timur
13. Direktur Utama Perum Perhutani
Alamat Sekretariat:
Jalan Jati Padang Raya No. 25, Pasar Minggu Jakarta Selatan
Telp: 021-78832167
Kontak Person:
1. Dr. Soeryo Adiwibowo: 0811119578; adiboiwo3006@gmail.com
2. Dr. Myrna A. Safitri: 0816861372; myrna.safitri@epistema.or.id
3. Eko Cahyono, M.Si: 082312016658, anachoning@gmail.com

http://caves.or.id/arsip/2105

Rabu, 30 Desember 2015

Jawa Didera Krisis Ekologi

Akademisi Kirim Petisi ke Presiden.
JAKARTA, KOMPAS — Daya dukung lingkungan di Pulau Jawa telah memasuki fase kritis. Namun, izin tambang dan proyek infrastruktur yang merusak lingkungan terus dikeluarkan. Kehancuran ekologi dikhawatirkan memicu malapetaka dan konflik sosial.
Terkait persoalan itu, 241 orang dari kalangan akademisi, peneliti, aktivis, tokoh agama, dan masyarakat adat mengirim petisi ke Presiden Joko Widodo. Mereka meminta agar Presiden mengubah paradigma pembangunan, dari yang hanya bertumpu ekonomi menjadi lebih memperhitungkan daya dukung ekologi dan bervisi keadilan.
"Krisis ekologi di Jawa sudah akut. Kini kian parah dengan dibangunnya industri semen, waduk, pembangkit listrik tenaga uap batubara, dan proyek lain. Kerusakan ini memicu konflik horizontal dan vertikal," kata Soeryo Adiwibowo, ahli ekologi Institut Pertanian Bogor yang juga salah satu pemrakarsa petisi itu, di Jakarta, Selasa (29/12).
Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro Esmi Warassih menyoroti konflik dalam pembangunan pabrik semen di Rembang, Jawa Tengah. "Dari segi aturan hukum, kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watu Putih di Rembang seharusnya dilindungi. Namun, atas nama tambang, seolah semua boleh. Prinsip partisipasi dalam pemberian izin juga diabaikan. Ini memperparah krisis," ujarnya.
Guru Besar Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo menambahkan, indikasi kehancuran ekologi Pulau Jawa ditandai dengan tingginya bencana hidrometeorologi, terutama banjir dan longsor, selain kekeringan. Data Indeks Risiko Bencana yang disusun Badan Nasional Penanggulangan Bencana beberapa tahun terakhir selalu menempatkan Jawa sebagai pulau paling rentan bencana jenis ini.
Dari 118 kabupaten atau kota di Jawa, sebanyak 94 di antaranya memiliki risiko banjir sangat tinggi. Adapun 110 kabupaten atau kota di antaranya berisiko mengalami kekeringan.
Pada tahun 2008, Hariadi dan sejumlah akademisi diminta Kementerian Koordinator Perekonomian untuk membuat studi tentang daya dukung Pulau Jawa. Permintaan tersebut didasari dana triliunan rupiah yang harus dikeluarkan setiap tahun untuk memperbaiki kerusakan infrastruktur akibat banjir.
"Dari kajian kami, bencana ini dipicu krisis ekologi. Itu mulai dari berkurangnya tutupan hutan hingga kerusakan DAS (daerah aliran sungai)," kata Hariadi.
Meluas di Indonesia
Hendro Sangkoyo, peneliti School of Democratic Economics, menyatakan, krisis ekologi bukan hanya di Jawa, melainkan juga di seluruh Indonesia. "Di luar Jawa, banyak pulau kecil yang rapuh ekologinya telah dikapling habis untuk tambang. Misalnya, di Kepulauan Sula, Maluku Utara, 90 persen luas pulau diperuntukkan bagi konsesi tambang tanpa mempertimbangkan keberadaan penduduk lokal. Ini kejahatan karena meniadakan ruang hidup manusia," tuturnya.
Ironisnya, lanjut Hendro, maraknya pertambangan tidak untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, misalnya industri semen. Ketika Tiongkok menutup pabrik semen dengan alasan ekologi, mereka mengalihkan tambangnya ke Indonesia. "Perlu dipertanyakan, industri ini untuk siapa?" ujarnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Sajogyo Institute Eko Cahyono mengatakan, krisis ekologi di Jawa adalah dampak kebijakan pembangunan yang mengutamakan pertumbuhan, tetapi mengabaikan prinsip keadilan sosial, pemerataan, dan daya dukung lingkungan. Selain merusak lingkungan, hal itu memicu lahirnya konflik agraria dan kemiskinan struktural yang kian parah.
Data menunjukkan, konflik berbasis tanah dan sumber daya alam menunjukkan peningkatan jumlah kasus konflik agraria. Komite Pembaruan Agraria mencatat, konflik agraria pada 2013-2015 meningkat 27, 9 persen.
Untuk itu, Sri Palupi, peneliti Institute for Ecosoc Right, mengatakan, Presiden seharusnya menugasi para menteri untuk memeriksa kembali kelayakan lingkungan semua industri. Itu meliputi industri semen, tambang emas, pasir besi, dan proyek-proyek lain di Jawa.
Sementara Warassih meminta Presiden segera melaksanakan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. (AIK)

Sumber: Kompas 

Minggu, 27 Desember 2015

Walhi Minta Pemerintah Tegas Lindungi Karst

Minggu, 27/12/2015 00:51 WIB

Karst Sangkulirang Mangkaliat Kab.Kutai Timur, Kaltim/kemendagri/antara  

Bisnis.com, MAKASSAR-- Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sulawesi Selatan (Sulsel) Asmar Exwar meminta pemerintah secara tegas melindungi karst, termasuk Kawasan Karst Maros Pangkep (KKMP) yang bernilai ekologi tinggi.

"Pemerintah daerah baik di level kabupaten maupun provinsi harus berkomitmen menjaga karst dengan menerbitkan regulasi perlindungan kawasan esensial," katanya di Makassar, Sabtu.

Asmar menilai, pemerintah daerah maupun Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) seharusnya lebih fokus pada pemantauan perizinan bermasalah, serta sungguh-sungguh memberlakukan moratorium izin pertambangan baru.

"Pemerintah harus tegas tidak mengeluarkan izin baru pertambangan karst," ujarnya.

Ia menjelaskana dalam catatan koordinasi dan supervisi (korsup) kehutanan, serta mineral dan bahan tambang (minerba) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan 12 kementerian pada Agustus 2015 terpantau dari 414 izin usaha pertambangan (IUP) di Sulawesi Selatan ada 27 IUP telah dicabut perizinannya, 12 IUP diantaranya berada di Kabupaten Maros.

Padahal, ia mengemukakan, Kawasan Karst Maros Pangkep (KKMP) yang merupakan kawasan karst yang memiliki nilai ekologi penting.

Karst adalah sebuah bentuk permukaan bumi yang pada umumnya dicirikan dengan adanya depresi tertutup (closed depression), drainase permukaan dan gua. Daerah karst dibentuk terutama oleh pelarutan batuan, kebanyakan batu gamping.

"Masyarakat menyebut karst sebagai paku bumi karena fungsi tata air yang menunjang kehidupan masyarakat di sekitarnya," ujarnya.

Tingginya jumlah IUP yang dicabut di Kabupaten Maros, menurut Asmar, berindikasi kuat bahwa seharusnya penataan pertambangan dan perlindungan lingkungan hidup harus lebih diprioritaskan di Provinsi Sulawesi Selatan. 

"Bukan justru menambah izin usaha pertambangan baru," pungkasnya.


http://kabar24.bisnis.com/read/20151227/79/505043/walhi-minta-pemerintah-tegas-lindungan-karst

Kamis, 24 Desember 2015

Pekerja Lokal Justru Tersisih di Pabrik Semen Rembang

 Wed, Dec 23rd, 2015

Aktivitas pembangunan pabrik semen di Rembang beberapa waktu lalu. (KORAN MURIA)
REMBANG – Pembangunan pabrik semen milik PT semen Indonesia di Kabupaten Rembang, telah menyerap ribuan tenaga kerja. Namun pekerja dari masyarakat lokal, justru tersisih.
Karena daari sekitar 4.796 orang, hanya 27 persen saja pekerja lokal yang dilibatkan dalam proyek pembangunan itu. Itu pun hanya sebagai pekerja kasar. Kondisi ini memunculkan keprihatinan, karena lapangan pekerjaan di pabrik semen itu justru lebih banyak dinikmati warga di luar daerah.
Salah satunya Ketua Komisi B DPRD Rembang, Harno. Pihaknya mendesak PT Semen Indonesia lebih banyak menarik tenaga lokal. Terutama saat pabrik kelak beroperasi pada akhir tahun 2016. Kalau hanya jadi tenaga kasar saat pembangunan pabrik, sifatnya jangka pendek.
Ia menyarankan PT Semen Indonesia memantau lulusan lulusan perguruan tinggi berprestasi asal Kabupaten Rembang, untuk direkrut menjadi karyawan perusahaan.
Sedikitnya jumlah pekerja lokal yang terserap dalam pembangunan pabrik semen itu diakui Kepala Biro Bina Lingkungan PT Semen Indonesia Slamet Mursidiarso. Menurutnya, per tanggal 17 Desember 2015, ada 1.280 warga Rembang yang dipekerjakan atau 27 persen dari total pekerja yang ada. “Dari total tenaga kerja 4.796 orang, 1.280 di antaranya adalah warga Rembang sendiri,” katanya, Rabu (23/12/2015).
Ia merinci, dari 1.280 warga Rembang yang diakomodir sebagian besar merupakan warga yang berada di sekitar kawasan tapak pabrik. Rinciannya di Ring 1 sekitar pabrik mencapai 624 orang, Ring 2 ada 247 orang, dan Ring 3 sudah 409 orang.
Sementara tenaga kerja dari luar Rembang sebanyak 1.644 orang. Sehingga total pekerja dari provinsi Jawa Tengah mencapai 2.924 orang (61persen). Sedangkan warga luar provinsi Jawa Tengah yakni mencapai 1.872 (39 persen) orang. “Namun untuk warga luar Jawa Tengah, rata rata merupakan tenaga ahli,” ujarnya.
Slamet menegaskan, kedepan setelah proyek pembangunan pabrik selesai akan diadakan penghitungan ulang mengenai kebutuhan pekerja. “Setelah pembangunan selesai akan ada penghitungan ulang sesuai kebutuhan,” tegasnya.
Banyak Penipuan Penerimaan Karyawan Pabrik Semen
Selain itu, menurut dia saat ini juga banyak penipuan yang menggunakan modus perekrutan karyawan pegawai pabrik semen. Pihaknya pun meminta masyarakat waspada, karena pelaku penipuan itu hanya ingin mendapatkan uang dari korban. “Apabila pelaku meminta imbalan uang, bisa dipastikan hal itu adalah penipuan,” ungkapnya, Rabu (23/12/2015)
Slamet menegaskan proses rekrutmen karyawan di PT Semen Indonesia berlangsung transparan. Mulai diumumkan melalui website, kemudian menjalani serangkaian tes sampai pengumuman. “Tidak ada permainan uang agar pelamar bisa ditrerima,” tandasnya.
Justru kalau memang ada oknum melakukan tindakan semacam itu, lanjut Slamet, kantor perwakilan PT Semen Indonesia siap menerima laporan. Apabila bukti cukup dan ternyata melibatkan orang dalam, maka akan dipecat.
Menurutnya, ada juga modus lain yakni pelaku terkadang mengirimkan surat kepada pelamar, memberitahukan pelaksanaan tes wawancara. “Mereka minta uang Rp 5 juta ditransfer dulu, berdalih untuk biaya naik pesawat, taxi dan akomodasi. Saat pelamar tiba di Bandara, dia baru tersadar telah kena tipu,” tandasnya. (AHMAD WAKID / ALI MUNTOHA)
http://www.koranmuria.com/2015/12/23/25790/pekerja-lokal-justru-tersisih-di-pabrik-semen-rembang.html

Rabu, 23 Desember 2015

Hari Ibu dan Tugas Perjuangan Perempuan Kini

Selasa, 22 Desember 2015 - 19:09 |  Qory Dellasera

Ibu-ibu warga Kabupaten Rembang yang menolak pembangunan pabrik PT Semen Indonesia membentangkan spanduk dan poster saat berunjuk rasa di Semarang, Jawa Tengah. ANTARA FOTO/R. Rekotomo
Hari ini, 22 Desember, merupakan hari bersejarah bagi perempuan Indonesia yang diperingati sebagai Hari Ibu. Hari di mana perempuan menyatukan dirinya dalam sebuah platform perjuangan bersama untuk memperjuangkan kaumnya di bawah pemerintahan kolonial Belanda pada masa pra kemerdekaan.
Mungkin lebih tepat jika dikatakan bahwa 22 Desember diperingati sebagai Hari Perempuan Indonesia. Namun tak banyak yang begitu mengetahui apa dan bagaimana peran perjuangan perempuan pada masa itu dan bagaimana memaknainya dalam konteks kekinian.
Awal Kebangkitan dan Perjuangan Kaum Perempuan
Tahun 1890-1930 merupakan tahun-tahun kebangkitan nasionalisme di Indonesia. Di tahun inilah Rasuna Said, Kartini, Tirto Adhi Suryo, Tan Malaka, Dewi Sartika, Maria Walanda Maramis, Siti Wardiah (istri KH Ahmad Dahlan), Sri Wulandani Mangunsarkoro, Rohana Kudus, Nyi Ageng Serang, Cut Mutia, Ki Hajar Dewantara, memulai gerakan perlawanan menentang pemerintahan Belanda.
Organisasi-organisasi pun mulai bermunculan seperti Budi Utomo (1908), dan Serikat Islam pada 1912 (sebelumnya bernama Serikat Dagang Indonesia). Pada waktu itu juga berkembang organisasi kedaerahan seperti Jong Java (sebelumnya bernama Tri Koro Darmo pada 1915, kemudian berubah menjadi Jong Java di 1918), Jong Sumatranen Bond (1917), Jong Ambon (1918), Jong Celebes (1919).
Selain itu, organisasi perempuan mulai bermunculan di antaranya Putri Mardika atas bentukan Budi Utomo (1912), yang kemudian mempelopori berdirinya organisasi perempuan lainnya seperti Sekola Kautamaan Istri (didirikan oleh Dewi Sartika di Tasikmalaya pada 1913), Keradjinan Amal Setia (didirikan oleh Rohana Kudus di Bukittinggi pada 1914) Wanito Hadi (Jepara, 1915), Pawijatan Wanito (Magelang, 1915), Poerborini (Tegal, 1917), Pertjintaan Ibu Kepada Anak Temoroen/PIKAT (didirikan oleh Maria Walanda Maramis di Minahasa pada 1917), Wanito Soesilo (Pemalang, 1918), Gorontalische Mohamedaanshe Vrouwenbeweging (Gorontalo, 1920), Wanodjo Oetomo (Jogjakarta, 1920), Sarekat Kaoem Ibu Soematera (Bukittinggi, 1920), Kemadjoean Istri (Jakarta dan Bogor, 1926), Mardi Kamoeliaan (Madiun, 1927), Ina Toeni (Ambon, 1927) Wanito Mulyo (Poetri Indonesia, Jogjakarta, 1927, cabang dari Jong Java yang diketuai oleh Soejatin), Poeteri Setia (Manado, 1928), Wanita Sahati (Jakarta, 1928).
Periode awal kemunculan organisasi-organisasi perempuan ini lebih mengutamakan isu “emansipasi” yang merupakan isu yang berkembang di dunia pada abad ke 17-18. Beberapa isu utama yang diangkat oleh organisasi perempuan pada masa ini adalah kesetaraan dalam mendapatkan pendidikan, menyatakan pendapat di muka umum, terlibat aktif dalam pengambilan keputusan keluarga, memperoleh pengetahuan dan keahlian lainnya di luar rumah dan lingkungan adat.
Organisasi perempuan yang terbentuk mengalami perkembangan pesat. Anggota organisasi-organisasi tersebut bertambah banyak dan organisasi keagamaan semisal Muhammadyah pun turut ambil bagian dengan membentuk Aisyiyah yang diketuai oleh Siti Wardiah yang juga istri KH Ahmad Dahlan.
Sementara di sisi lain, mereka selalu bertindak hati-hati dalam mengeluarkan pernyataan karena pemerintahan Belanda pada waktu itu juga semakin represif dalam menghambat perkembangan organisasi-organisasi yang menjamur, termasuk juga kepada organisasi perempuan.
Penyatuan Gerakan: Kongres Perempuan Indonesia I
Organisasi-organisasi perempuan ini menyadari, banyak sekali hambatan dalam perjuangan perempuan. Namun di sisi lain, semangat nasionalisme untuk mengangkat derajat perempuan dari kebodohan secara adat dan intelektual inilah yang kemudian membawa mereka pada pertemuan di Jogjakarta pada 1928 untuk melakukan Kongres Perempuan, menyatukan visi dan misi secara ekonomi dan politik.
Setelah Sumpah Pemuda dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, yang juga dihadiri oleh tokoh perempuan yaitu Nyi Hajar Dewantoro, Soejatin, Sitti Sundari, Sri Wulandani Mangunsarkoro, dan Johanna Masdani Tumbuan (Pembaca naskah Sumpah Pemuda pada Kongres Pemuda II tanggal 28 Oktober 1928). Sebelumnya, beberapa organisasi perempuan mulai mengkoordinasikan diri untuk menggagas Kongres Perempuan se-Indonesia.
Dengan tujuan menyatukan cita-cita memajukan perempuan Indonesia, maka pada 22 Agustus 1928 di Jogjakarta, berbagai wakil dari organisasi perempuan ini pertama kali mengadakan pertemuan. Pertemuan ini menyusun konsep penyatuan berbagai organisasi perempuan kedaerahan dalam sebuah payung organisasi.
Pada saat itu, disepakati lahir organisasi payung yang diberi nama Perserikatan Perempuan Indonesia atau disingkat PPI. Ny. Sukanto dipilih menjadi ketua PPI dan merekomendasikan akan melaksanakan Kongres Perempuan se-Indonesia pada 22 Desember 1928 di Jakarta dengan menunjuk Soejatin, Nyi Hajar Dewantoro, dan Sitti Sundari sebagai panitia kongres.
Kongres Perempuan Pertama Indonesia kemudian terlaksana pada 22-25 Desember 1928 bertempat di Djoyodipuran, Yogyakarta. Kongres ini dihadiri utusan 30 organisasi perempuan, 21 utusan dari organisasi laki-laki (di antaranya Budi Oetomo dan PNI), wakil dari pemerintah dan pers.
Kongres Perempuan Indonesia I menghasilkan poin-poin isu perjuangan perempuan Indonesia, yaitu pelibatan perempuan dalam pembangunan bangsa dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, hak perempuan dalam rumah tangga, pemberantasan buta huruf dan kesetaraan dalam hak memperoleh pendidikan, hak-hak perempuan dalam perkawinan, pelarangan perkawinan anak di bawah umur, perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita serta menghancurkan ketimpangan dalam kesejahteraan sosial.
Dalam kongres ini pula, PPI berubah nama menjadi Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia atau disingkat PPPI. Kongres Perempuan Indonesia I inilah yang merupakan tonggak sejarah lahirnya Hari Ibu di Indonesia. Pada 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden yang menyatakan bahwa 22 Desember diperingati secara nasional sebagai Hari Ibu.
Rentetan sejarah ini kemudian menjadi bibit kemunculan organisasi perempuan yang lebih progresif dengan mengangkat program yang lebih radikal. Di antaranya Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang didirikan pada Juni 1950, dan pada Kongres II (1954) Gerwis berubah nama menjadi Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). Mengenai sejarah Gerwani akan dibahas pada waktu yang lain.
Hari Ibu dan Masa Kini
Jika kita melihat sejarah Hari Ibu, kita dapat menggariskan bahwa perjuangan perempuan pada masa kolonial untuk maju mengambil peran secara ekonomi dan politik. Kaum perempuan pada masa itu mempunyai kesadararan perjuangan dan mengorganisir diri ke dalam wadah-wadah organisasi perempuan.
Mereka melihat bahwa untuk berjuang mengangkat derajat dan hak perempuan, tidak cukup hanya dengan berjuang sendiri-sendiri seperti para pendahulu mereka. Di sinilah poin pentingnya. Walaupun di awal, perkembangan landasan organisasi perempuan masih mengangkat isu sederhana dan domestik dan belum memiliki ideologi yang jelas pada saat itu, adanya gerakan yang secara riil diwujudkan perempuan untuk terlibat aktif dalam memberantas ketimpangan sosial yang tumbuh dalam feodalisme.
Sayangnya, jauh setelah Kongres Perempuan Indonesia I, terutama di masa Orde Baru hingga sekarang, peringatan Hari Ibu mengalami pergeseran makna dalam sejarahnya. Peringatan Hari Ibu dilakukan hanya sebagai bentuk kasih sayang kepada ibu secara lahiriah.
Bahwa memang benar ibu adalah juga perempuan. Akan tetapi, ibu yang dimaknai di sini hanyalah sosok ibu secara domestikal bahkan dianggap sebagai kodrat yang berperan penting dalam keluarga, membangun rumah tangga yang harmonis, menyediakan makanan untuk keluarga, melahirkan, membesarkan dan mendidik anak-anak.
Poin-poin penting terlupakan dan isu-isu perempuan terabaikan. Banyak generasi penerus tidak memahami makna Hari Ibu itu sendiri. Alhasil, peringatan Hari Ibu lebih bersifat seremonial budaya tanpa muatan semangat perjuangan kaum perempuan itu sendiri.
Hingga yang perlu dimunculkan sekarang adalah mengembalikan nilai-nilai perjuangan perempuan. Nilai-nilai itu tidak hanya sebatas peran perempuan dalam wilayah budaya secara umum dan domestik secara khusus (feodalisme). Akan tetapi keterlibatan aktif perempuan dalam ekonomi dan politik yang sudah dimulai pada Kongres Perempuan Indonesia I.
Kita bisa melihat betapa perempuan menjadi objek peruntuhan dirinya sebagai manusia yang tidak memiliki hak atas apa pun, bahkan tubuhnya sendiri. Perempuan hanya menjadi objek seksualitas, tidak ada perlindungan, dan rasa aman untk dirinya. Beban domestik dan sosial, pemerkosaan, meningkatnya angka kematian ibu melahirkan hingga upah murah bagi buruh perempuan adalah model kekerasan yang dialami perempuan secara fisik dan psikis.
Tugas kita adalah melanjutkan perjuangan, melanjutkan cita-cita perempuan Indonesia yang bebas dari kungkungan ekonomi, politik, sosial, budaya. Perjuangan perempuan adalah kesetaraan perempuan, yang berarti membebaskan perempuan dari budaya patriarki, melawan kapitalisme yang berarti mendapatkan hak yang sama sebagai warga negara dan membebaskan perempuan dari penjajahan ekonomi, sosial dan politik.
Selamat Hari Ibu, 22 Desember 2015
Engkau yang ajarkan kami cara kembangkan kehidupan dengan bertani. Kini, kami tak bisa terima dengan masa depan anak-anakmu yang terus dipaksa jadi TKI. Ibu, kami masih memegang teguh cita-citamu untuk hilangkan ketidakadilan di atas tanah kehidupan. Karena engkau telah ajarkan pemilik hari esok tentang tanggung jawab perjuangan.
http://geotimes.co.id/hari-ibu-dan-tugas-perjuangan-perempuan-kini/

Senin, 21 Desember 2015

Pengelolaan Karst, Jangan Ulangi Kesalahan di Gambut

2015 / Desember / 20

Kesalahan pengelolaan ekosistem rawa gambut yang berbuah kebakaran hutan dan tragedi asap diharapkan jadi pengalaman dalam mengelola karst

Gua Pamuteran di Cimerak, Jawa Barat, relatif terlindungi karena aksesnya cukup sulit—harus menuruni lembah. Seperti halnya di kawasan karst lain, dalam gua ini terdapat sumber air dan sistem hidrologi yang belum dimanfaatkan. (Stephan Nugroho/Fotokita.net)

Kesalahan pengelolaan ekosistem rawa gambut yang berbuah kebakaran hutan dan tragedi asap berulang diharapkan jadi pengalaman dalam mengelola ekosistem karst. Kesalahan pengelolaan karst berdampak pada kekeringan, konflik sosial budaya, serta kehilangan biodiversitas unik yang belum banyak diteliti. 
Pemerintah pusat dan daerah selaku pengambil kebijakan dan pemberi izin diharapkan tak hanya berpikir keuntungan sesaat. "Gambut dieksploitasi, kanal-kanal dikeringkan jadi kebun. Akhirnya, kebakaran membuat kita kelabakan karena kerugian sangat besar. Ini jangan terulang pada karst," kata Emil Salim, tokoh lingkungan dan Menteri Lingkungan Hidup 1978-1993, Senin (14/12/2015), di Jakarta.
Ia berpidato dalam Lokakarya Nasional Ekosistem Karst yang diselenggarakan Direktorat Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Narasumber lain berasal dari akademisi, ilmuwan, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan usaha.
Menurut Emil, pemda yang berorientasi uang kerap meloloskan izin tambang karst bagi pabrik semen meski kawasan dinyatakan terlindung oleh pusat.
Dicontohkan, ekosistem karst di Gombong, Jawa Tengah, sejak 1983 berulang kali diincar pabrik semen. Bahkan, meski pada 6 Desember 2004 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mencanangkan Gunung Sewu dan Gombong sebagai kawasan ekokarst, pada 2013 terbit izin dari Dinas ESDM Jateng kepada pabrik semen.
"Perintah presiden disingkirkan seenaknya. Di lapangan bicara lain. Kita bicara lingkungan, semua itu kalah dengan kekuasaan dan uang," kata Emil.
Direktur Bina Pengelolaan Ekosistem Esensial Antung Deddy Radiansyah mengatakan, RPJMN 2014-2019 menargetkan pembentukan kawasan ekosistem esensial (KEE) karst Maros Pangkep di Sulsel; Sangkulirang Mangkalihat di Kaltim, Gunung Sewu di Jawa, Cukang Taneuh di Jabar, Jareweh di NTB, dan Buluh Kumbang di Kalsel. KEE karst akan dikelola oleh pemda bersama pemangku kepentingan.
(ICH/Kompas.com)

 http://nationalgeographic.co.id/berita/2015/12/pengelolaan-karst-jangan-ulangi-kesalahan-di-gambut

Minggu, 20 Desember 2015

"Curhat" ke Menteri LHK, Warga Buayan Tolak Tambang Karst

Minggu, 20 Desember 2015 | 07:43

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya. (Suara Pembaruan/ Ari Supriyanti Rikin)
Kebumen - Ratusan warga Desa Sikayu, Kecamatan Buayan, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah berkeluh kesah ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar. Warga Buayan menolak rencana ekplorasi pabrik semen karena akan merusak karst Gombong dan kehidupan mereka.
Di hadapan menteri, warga berharap Menteri LHK bisa menyuarakan aspirasi dan memperjuangkan alam tempat warga desa menggantungkan hidupnya.
Tokoh Masyarakat Wagiyo menegaskan tidak ada alasan penambangan dapat dilakukan baik itu legal maupun ilegal.
"Kami yakin itu karst, pegunungan gamping, yang bisa tampung air hingga dalam dan tercipta sungai bawah tanah. Kami tidak minta muluk-muluk, selamatkan karst itu, karena karst sumber air dan kehidupan kami," katanya di Kebumen, Sabtu (20/12) sore.
Sangatlah tragis lanjutnya jika kekayaan alam itu diubah. Ia menambahkan manusia hanya bisa mengubah tapi tidak bisa mengembalikan ke kondisi semula.
Hal senada juga diungkapkan Ketua perekat desa Samtilar yang tergabung Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong yang menegaskan menolak tambang karena akan merusak karst.
"Untuk pengairan sawah dan sumber air di masing kepala keluarga di semua desa di luar desa kita pun memanfaatkan air dari karst Gombong. Kami pun bergantung dari bertani," ucapnya.
Karst merupakan bentang alam di bawah permukaan (endokarst) dan di permukaan (eksokarst) tanah yang secara khusus berkembang pada batuan karbonat sebagai proses pelarutan air alami.
Bahkan masyarakat Buayan menyebut karst Gombong menunjang ketersediaan sumber air Jawa Tengah.
Suara Pembaruan
Ari Supriyanti Rikin/YUD
Suara Pembaruan

http://www.beritasatu.com/kesra/333766-curhat-ke-menteri-lhk-warga-buayan-tolak-tambang-karst.html