Selasa, 20 November 2018

Yateno dan Gunretno



Saya banyak belajar kearifan dari keduanya.. Herlambang P. Wiratraman
Foto: Wawan Dwi/Jawa Pos Radar Jember
RadarJember

Mengenal mas Yateno, Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) yang baru saja pula terpilih sebagai Ketua Umum Paguyuban Petani Jawa Timur (Papanjati). Bicara apa adanya, selalu kritis, kerap meledak-ledak bila ada ketidakadilan persis di depan mukanya.
Ia pernah 'diculik' di stasiun Banyuwangi, saat hendak naik kereta ke Surabaya ketika membawa bukti-bukti soal penembakan di awal tahun 2000. Beruntung ada Cak Munir (alm) yang bekerja keras memaksa Polres mengakui penahanannya, sehingga ia pun berhasil dikeluarkan.

Sepertinya, sejak peristiwa itu, mas Yateno tak lagi mengenal kata takut, sakit, karena hidupnya berikut keluarganya sudah berpuluh-puluh tahun teraniaya. Empat kali ganti Bupati, yang diterima hanya penindasan!

Mbah Musinem, bapaknya, pernah bercerita penderitaan yang dialami semasa hidupnya untuk membesarkan anak-anaknya. Hampir 20 tahun mengenalnya, ia tak berubah, tetap teguh pendirian memperjuangkan hak-hak warga kampung untuk tetap bisa bertani, sekolah dan menikmati kesejahteraan sosialnya.

Kisahnya, bisa disimak dari video berikut: "Prahara Tanah Bongkoran" 


Tak jauh beda. Kang Gunretno. Namanya mungkin lebih dikenal, karena selama ini memimpin perlawanan melalui JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng). Dengan bahasa Jawa, ia menuturkan segala bentuk perjuangan, melalui kearifan-kearifan sosial-lokal sebagai Sedulur Sikep. Aksi cor semen, revitalisasi kebudayaan gunung, ritual sosial dipertahankan, sebagai basis keyakinan warga untuk tetap bertahan menghadapi tambang-tambang yang merusak Pegunungan Karst Kendeng.

Di berbagai kesempatan, termasuk dalam kuliah kelas lalu, syahdu melantunkan tembang Ibu Bumi. “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili”.

Gunretno, pula Gunarti, Gunarto, saudara-saudaranya memang punya kultur perlawanan panjang nan menyejarah. Mereka, meyakini bentuk perlawanan terhadap sebuah otoritas yang menindas dapat dilakukan tanpa kekerasan.
Mengutip profilnya di Kompas, "Seperti digambarkan orang-orang di sekelilingnya, Gunretno tak pernah bisa tinggal diam tiap kali terjadi ketidakberesan. Padahal, sering kali apa yang diperjuangkannya justru bukan demi kepentingan Komunitas Sedulur Sikep." 


Baik mas Yateno dan kang Gunretno, telah sama-sama saling berkunjung. Mereka kembali dipertemukan melalui agenda Kuliah Bersama Rakyat (KBR) II, di FH Unair (14/11/2018) dan di FH UNEJ (15/11/2018). Bagi saya, keduanya merupakan manusia-manusia dengan jiwa petarung, pemikir, dan sekaligus pencerah bagi kehidupan sosial di sekitarnya. Mereka, menempatkan hukum dan Negara Hukum secara terhormat, bukan seperti lawan-lawannya yang kerap memanipulasi hukum, mempermainkan warganya, dan menghancurkan kelestarian lingkungan.

Saya yakin, kasus serupa banyak terjadi di negeri ini, seiring dengan masifnya eksploitasi sumberdaya alam dan korupsi, yang disertai kekerasan, penyingkiran dan pemenjaraan.

Menyimak kuliah mereka di kelas kemarin, sekalipun menyampaikannya dengan kebahagiaan, namun sejatinya cerita-cerita yang mengalir dari tuturnya seakan menyayat hati, menangis haru, yang sekaligus 'menampar' kita semua. Kampus-kampus kita memerlukan ajaran-ajaran dari lokal demikian, untuk meneguhkan keberpihakan kaum intelektual yang berkemampuan mengabdikan diri untuk warga bangsanya. Mereka telah berbuat untuk kemanusiaan dan ekologi, sementara kita belum banyak.

Ad honorem, Mas Yat dan Kang Gun!

Dukuh Dempok Wuluhan, 20 Nov 2018.

0 komentar:

Posting Komentar