Saya banyak belajar kearifan dari keduanya.. Herlambang P. Wiratraman
Foto: Wawan Dwi/Jawa Pos Radar Jember
RadarJember
RadarJember
Mengenal mas Yateno, Ketua Organisasi Petani Wongsorejo
Banyuwangi (OPWB) yang baru saja pula terpilih sebagai Ketua Umum Paguyuban
Petani Jawa Timur (Papanjati). Bicara apa adanya, selalu kritis, kerap
meledak-ledak bila ada ketidakadilan persis di depan mukanya.
Ia pernah 'diculik' di stasiun Banyuwangi, saat hendak
naik kereta ke Surabaya ketika membawa bukti-bukti soal penembakan di awal
tahun 2000. Beruntung ada Cak Munir (alm) yang bekerja keras memaksa Polres
mengakui penahanannya, sehingga ia pun berhasil dikeluarkan.
Sepertinya, sejak peristiwa itu, mas Yateno tak lagi
mengenal kata takut, sakit, karena hidupnya berikut keluarganya sudah
berpuluh-puluh tahun teraniaya. Empat kali ganti Bupati, yang diterima hanya
penindasan!
Mbah Musinem, bapaknya, pernah bercerita penderitaan yang
dialami semasa hidupnya untuk membesarkan anak-anaknya. Hampir 20 tahun
mengenalnya, ia tak berubah, tetap teguh pendirian memperjuangkan hak-hak warga
kampung untuk tetap bisa bertani, sekolah dan menikmati kesejahteraan
sosialnya.
Kisahnya, bisa disimak dari video berikut: "Prahara
Tanah Bongkoran"
Tak jauh beda. Kang Gunretno. Namanya mungkin lebih
dikenal, karena selama ini memimpin perlawanan melalui JMPPK (Jaringan
Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng). Dengan bahasa Jawa, ia menuturkan segala
bentuk perjuangan, melalui kearifan-kearifan sosial-lokal sebagai Sedulur Sikep. Aksi cor semen,
revitalisasi kebudayaan gunung, ritual sosial dipertahankan, sebagai basis
keyakinan warga untuk tetap bertahan menghadapi tambang-tambang yang merusak
Pegunungan Karst Kendeng.
Di berbagai kesempatan, termasuk dalam kuliah kelas lalu,
syahdu melantunkan tembang Ibu Bumi. “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani,
ibu bumi kang ngadili”.
Gunretno, pula Gunarti, Gunarto, saudara-saudaranya
memang punya kultur perlawanan panjang nan menyejarah. Mereka, meyakini bentuk
perlawanan terhadap sebuah otoritas yang menindas dapat dilakukan tanpa
kekerasan.
Mengutip profilnya di Kompas, "Seperti digambarkan
orang-orang di sekelilingnya, Gunretno tak pernah bisa tinggal diam tiap kali
terjadi ketidakberesan. Padahal, sering kali apa yang diperjuangkannya justru
bukan demi kepentingan Komunitas Sedulur Sikep."
[Baca: Gunretno, Jembatan Sedulur Sikep.]
Baik mas Yateno dan kang Gunretno, telah sama-sama saling
berkunjung. Mereka kembali dipertemukan melalui agenda Kuliah Bersama Rakyat
(KBR) II, di FH Unair (14/11/2018) dan di FH UNEJ (15/11/2018). Bagi saya,
keduanya merupakan manusia-manusia dengan jiwa petarung, pemikir, dan sekaligus
pencerah bagi kehidupan sosial di sekitarnya. Mereka, menempatkan hukum dan
Negara Hukum secara terhormat, bukan seperti lawan-lawannya yang kerap
memanipulasi hukum, mempermainkan warganya, dan menghancurkan kelestarian
lingkungan.
Saya yakin, kasus serupa banyak terjadi di negeri ini,
seiring dengan masifnya eksploitasi sumberdaya alam dan korupsi, yang disertai
kekerasan, penyingkiran dan pemenjaraan.
Menyimak kuliah mereka di kelas kemarin, sekalipun
menyampaikannya dengan kebahagiaan, namun sejatinya cerita-cerita yang mengalir
dari tuturnya seakan menyayat hati, menangis haru, yang sekaligus 'menampar'
kita semua. Kampus-kampus kita memerlukan ajaran-ajaran dari lokal demikian,
untuk meneguhkan keberpihakan kaum intelektual yang berkemampuan mengabdikan
diri untuk warga bangsanya. Mereka telah berbuat untuk kemanusiaan dan ekologi,
sementara kita belum banyak.
Ad honorem, Mas Yat dan Kang Gun!
Dukuh
Dempok Wuluhan, 20 Nov 2018.
Source: Herlambang P Wiratraman
0 komentar:
Posting Komentar