Oposisi Dungu
Catatan Pengantar: HarWib
Salah satu watak dasar kapitalisme mutakhir: investasi
modal bisa malang melintang menembus batas-batas negara dan mengabaikan
identitas nasional si pemilik saham.
Seperti air, kapital dalam segala wujud investasinya,
akan mengalir ke lokasi di mana kran hambatan investasi dibuka, dan mengalir ke
sektor yg paling menguntungkan bagi kelanjutan akumulasi kapital.
Indonesia kini sedang menghadapi tekanan terhadap neraca
pembayarannya karena sulitnya pembentukan modal, membengkaknya impor, dan
kewajiban pembayaran cicilan utang dan bunganya. Itu faktor utama yg membuat
nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merosot dalam tahun ini.
Kebijakan Jokowi membuka kran hambatan investasi hanyalah
mengikuti imperatif logika kapitalisme global mutakhir. Tapi para penentangnya
menganggap kepemilikan saham melekat pada identitas kebangsaan si pemilik, dan
nggak pernah mempersoalkan kontradiksi pokok dalam kapitalisme: eksploitasi
buruh dan sumberdaya alam serta konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dan
hambatan mobilitas tenaga kerja antar negara.
Pantes aja demokrasi nggak maju-maju, oposisi modalnya
cuma sentiman kekolotan agama dan nasionalisme usang abad lampau..
___
Kita Perlu Kota
Ramah Manusia, Bukan Ramah Modal: Wawancara Dengan Maryanto
Sebelum berangkat ke Nigeria, Maryanto sempat saya temui
untuk membincangkan perkembangan riset serta berbagi pandangan seputar tema
yang sedang dibahas dalam Equator edisi ini, yakni seni dan politik. Maryanto
merupakan salah satu seniman yang mengikuti program residensi selama dua minggu
di Nigeria, bersama dengan seorang seniman lainnya, Anggun Priambodo.
Pada kesempatan ini, Maryanto menceritakan proses
risetnya seputar politik minyak dengan studi kasus pertambangan minyak di
Bojonegoro. Riset yang dilakukan bersama tim ini merupakan salah satu prosesnya
dalam mempersiapkan karya yang akan ditampilkan dalam BJXIII. Selain
membicarakan persoalan politik minyak, Maryanto juga menyampaikan pandangan
reflektifnya seputar peran seniman di tengah persoalan sosial.
Bisa diceritakan
arah riset tentang politik minyak yang sedang dilakukan?
Aku ingin mengurai kompleksitas persoalan dalam
pengelolaan minyak di Indonesia, dengan mengambil studi kasus di Bojonegoro.
Membicarakan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan privatisasi,
regulasi hingga persoalan distribusi Sumber Daya Alam di masyarakat.
Salah satu keresahan yang menjadi latar belakang dalam
riset ini ialah sejauh mana minyak yang berasal dari perut bumi ini hasilnya
bisa didistribusikan dan dirasakan oleh masyarakat. Dari situlah aku mencari
tau sistem pengelolaan minyak. Awalnya kita percaya sistem pertambangan
dikelola oleh negara, namun negarapun menyerahkan pengelolaan dilakukan oleh
korporasi besar. Aku tidak yakin keuntungannya dirasakan oleh masyarakat. Meski
kita hidup di atas tanah yang kaya, aku yakin kita tidak bisa menikmati
kekayaan tersebut. kompleksitas persoalan itulah yang coba diurai dalam
penelitian ini.
Apa saja unsur-unsur yang membuatnya
jadi kompleks?
Persoalan privatisasi, pembangunan infrastruktur yang
tidak tepat sasaran hingga perubahan sosial dalam masyarakat. Membicarakan
pengelolaan tentu kita tidak bisa mengabaikan persoalan privatisasi. Dalam
konteks privatisasi, masyarakat berada pada posisi paling rendah, karena
persoalan ketrampilan. Semisal Exxon menambang di suatu tempat di tengah
masyarakat, karena skill masyarakat yang terbatas, maka pekerja terampil
tidak diserap dari masyarakat. Ketika ditanya tentang infrastruktur, banyak
yang mengeluh pembangunannya tidak tepat sasaran, karena pembangunan banyak
dikelola oleh broker atau LSM yang tidak paham kebutuhan masyarakat.
Bahkan menurut cerita Pak Kades, perubahan sosial masyarakat setelah
pertambangan masuk tidak terlalu menyenangkan pada tataran pola konsumsi dan
mental.
Perubahan dari masyarakat agraris menjadi pertambangan
membuat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Banyaknya warga yang kaya mendadak
meningkatkan pola konsumsi gadget, motor bahkan prostitusi. Yang jadi
masalah di sini ialah bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan
manusia, tetapi hanya pembangunan fisik.
Memang jalanan menjadi lebih halus, warga tidak kesulitan
mencari air, tetapi pembangunan manusianya menjadi luput dari perhatian.
Bagaimana
persoalan ini dibahas dengan menyandingkan persoalan yang ada di Nigeria?
Harus dicari persamaan dan perbedaannya. Bagaimanapun
juga persoalan dan keresahannya tetap sama, yakni soal bagaimana potensi minyak
dikelola dan diatur dan bagaimana masyarakat menikmati hasil buminya. Itu saja
pertanyaan gampangnya. Lalu di Nigeria kita cari tau bagaimana posisi
masyarakat menghadapi potensi alamnya.
Bagaimana awal
warga memulai penambangan? Bagaimana sistem penambangan minyak rumah tangga
beroperasi dan apa saja masalahnya?
Berdasar cerita warga, penambangan dimulai dengan proses
ritual. Untuk memulai pengeboran, diperlukan sekitar 900 juta rupiah. Oleh
karena itu mereka mengundang investor. Investor tersebut kemudian mengambil
keuntungan bagi hasil. Proses pengelolaan yang dilakukan warga hanya sampai
sebatas minyak mentah. Warga tidak boleh langsung menjual hasil jadi, tetapi
beberapa tetap menjualnya secara sembunyi-sembunyi. Meski di masyarakat juga
sudah berkembang wacana bahwa hasil olahan warga tidak bagus untuk mesin.
Soal proses ritual, warga menjalankan ritual khusus untuk
sumur, karena dianggap sebagai sumber rejeki. Kenaikan ekonomi warga di sekitar
situs penambangan memang sangat drastis. Investasi awal yang memerlukan 900
juta rupiah itu akan balik modal dengan cepat. Walaupun sebenarnya minyak yang
mengalir akan cepat berhenti. Beberapa sumur bahkan sudah berhenti mengalirkan
minyak.
Yang jadi masalah ialah; warga memang banyak mendapatkan
keuntungan ekonomi, akan tetapi percekcokan rumah tangga semakin tinggi.
Tingkat pendidikan juga rendah. Pemahaman mereka tentang lingkungan itu aji
mumpung.
Sejak kapan banyak
mengeksplorasi persoalan SDA dan bagaimana awalnya?
Aku sebenarnya selalu tertarik dengan tema-tema
lingkungan. Karyaku sebelumnya kan tentang lingkungan urban, seperti yang
kubahas dalam Rawalelatu, itu tentang perubahan dari rawa ke wilayah urban dan
industri. Kehidupan warga di pinggiran kota sudah menjadi pemandanganku sejak
kecil. Aku ingat bagaimana listrik baru masuk ke kampungku pada tahun 1985.
Kemudian ada pabrik tekstil. Yang tadinya kampung lalu berubah menjadi
apartemen. Logika awalnya sih mau membicarakan bagaimana kampung
berubah menjadi apartemen. Yang jadi soal ialah karena pembangunan hanya
berpusat pada pembangunan ekonomi, bukan pembangunan masyarakat dan manusianya.
Hanya pendapatan negara yang menjadi perhatian. Arah pembangunan kota juga
harus direncanakan dengan melibatkan masyarakat.
Kita bisa membandingkan apa yang terjadi di kota ini
dengan pola hidup komunitas, semisal komunitas Ciptagelar. Mereka mengelola
semua kebutuhan komunitasnya secara bersama-sama. Dari urusan dasar manusia,
yakni kebutuhan untuk makan hingga pendidikan dan kesenian. Sementara
masyarakat industri yang ada saat ini barangkali bisa mencukupi kebutuhan
dasarnya, tetapi kebutuhan dalam pengembangan diri tidak bisa mereka penuhi.
Seperti yang bisa kita lihat dari masyarakat yang bekerja di pertambangan itu.
Tidak ada kesempatan untuk mengartikulasikan diri, sementara arah pembangunan
kota tidak berorientasi pada manusia dan nilai humanistis. Kita perlu kota yang
ramah manusia, bukan ramah modal.
Pergeseran eksplorasi tema dari urban ke agraris, bisa
diceritakan?
Ketika membicarakan Rawalelatu dalam konteks perubahan sosial, pasti ada yang
rusak, ada menjadi korban. Perubahan dari agraris ke industri, pasti ada sawah
yang dirusak dan pohon-pohon hutan yang ditebang. Pada saat itu, sewaktu masih
banyak drawing, aku penasaran untuk mencari tau seluk-beluk industri
kertas. Aku penasaran dengan proses produksi kertas, lalu aku menemukan kasus
kerusakan alam yang dilakukan oleh APP (Asia Pulp and Paper). Sebagai
perusahaan terbesar se Asia Tenggara, perusahaan ini menghancurkan hutan namun
berdalih punya standar perkebunan. Untuk mendapat standar ramah lingkungan pun
mereka memesannya dari lembaga sertifikasi, namun lembaga tersebut justru
menemukan lebih banyak kerusakan.
Pada dasarnya, ketertarikan ini bermula karena aku banyak
menggunakan media kertas untuk drawing. Lama-lama aku jadi lebih tertarik
untuk mengetahui kasus pengrusakannya. Yang lebih pelik lagi ketika
membicarakan kerusakan yang diakibatkan Freeport di Papua. Aku juga banyak
berbincang dengan teman yang sudah melakukan penelitian terkait dengan
kerusakan yang diakibatkan Freeport. Dari sisi sejarah, berdirinya Freeport
juga berpengaruh terhadap regulasi dan keberadaan industri pertambangan.
Mengapa setelah
Rawalelatu tidak menggunakan tokoh karakter? Bagaimana karakter dalam
Rawalelatu dikembangkan?
Pengembangan tokoh karakter berdasar riset dan observasi
yang dilakukan dari lingkungan tempat aku tinggal, dari orang-orang terdekatku.
Fokus observasi terutama difokuskan pada pola-pola berpikirnya. Karakter
keledai misalnya, kugambarkan sebagai karakter yang berasal dari desa, kemudian
pindah ke Rawalelatu, bekerja sebagai pegawai negeri, konservatif dan
mengutamakan kemapanan. Namun secara umum, karakterisasi dilakukan dalam
konteks kritik dan otokritik dalam membicarakan perubahan sosial. Setelah
Rawalelatu, aku lebih banyak mengeksplorasi landscape yang menyandingkan ironi,
lebih sejarah, arsip dan potret.
Secara umum bisa
dikatakan tema-tema yang dibicarakan selalu berkaitan dengan politik?
Iya. Politik, lingkungan, poskolonial, orba. Jika harus
ditarik benang merahnya, maka setiap tema yang dibahas selalu terkait dengan
perubahan industri. Dalam Space of Exception, aku berbicara bahwa ada satu
bagian dari diriku yang belum tersentuh dan aku sangat menikmati bagian itu.
Ada semacam ruang yang sangat damai, ruang baru. Di dalam ruang pameran, aku
buat tenda biru yang bisa diakses pengunjung untuk menulis atapun merefleksikan
ruang ideal mereka. Ada lampu kecil, ada tempat untuk duduk dan menulis tentang
kedamaianmu. Ada juga yang tidur.
Apa yang dimaksud
dengan ruang damai itu?
Bagiku ruang tidak hanya bisa dimaknai secara fisik,
tetapi juga mental. Di dalam suatu rumah misalnya, terdapat ruang sembahyang
yang disakralkan, ruang kerja atau bahkan ruang tamu, yang pembagiannya tidak
semata secara fisik, namun psikis.
Ketika membicarakan
tema-tema yang terkait dengan orde baru, bagaimana kamu melihat penggunaannya
dalam berkesenian sampai hari ini?
Menuruntuku tergantung sudut pandangnya. Yang menarik
ialah bahwa sejarah itu akan selalu tergantung pada keberpihakan. Berbicara
tentang Suharto, sebenarnya masih banyak yang berpihak pada Suharto. Namun
membicarakan Orde Baru yang berlangsung sangat lama tidak serta merta bisa
dilupakan. Dilihat dari sisi eksploitasi industri, Orde Baru merupakan momen
yang sangat signifikan dalam membuat kerusakan lingkungan. Eksploitasi alam
yang berlangsung masif sampai hari ini itu merupakan akibat dari Orde Baru. Orde
Barulah yang membuat pondasi buruk.
Seperti
fenomena “piye kabare, isih penak jamanku..”
Ya, itu salah satu kegagalan pendidikan kita. Kita
dididik untuk kritis yang arahnya selalu berpikir negatif. Menuruntuku kita
perlu berhenti membaca berita buruk yang disodorkan oleh media. Kita butuh
orang yang bisa lebih melihat harapan dan sisi positif. Ketika melihat kondisi
buruk hari ini lalu ingin kembali ke masa Orde Baru, itu bagiku salah.Warisan
Orde Baru dalam membuka industrialisasi besar-besaran dan membuka ruang
eksploitasi tetap harus dipersalahkan.
Bagaimana posisi
seniman dalam mengambil perannya di masyarakat?
Posisi seniman harus ditanggapi sebagai posisi yang
paling unik sebenarnya. Bukan paling aman. Karena kita bukan praktisi yang bisa
ngasih solusi. Kalau solusipun sifatnya artistik, yang biasanya aneh-aneh dan
nyeleneh. Nah, kebebasan inilah yang harusnya dimanfaatkan oleh seniman untuk
berkarya. Walaupun karya itu tidak menciptakan perubahan sosial secara
langsung, setidaknya bisa menggambarkan atau menginspirasi. Menarik lagi ketika
membicarakan keberpihakan.
Membicarakan keberpihakan bagiku tidak semata memilih
satu dari dua pilihan, tapi harus ada pilihan ketiga. Posisi seniman tuharus
seperti itu.
Ketika membicarakan kerusakan alam, peran seniman saat
ini banyak banget. Bahkan seniman dadakan pun banyak yang tiba-tiba ngomongin
politik. Artinya ini bukan hanya peran seniman, tapi media kreatif. Karena
perubahan yang dibicarakan tidak semata perubahan fisik, tapi kan perubahan
mental, pola pikir. Kita seniman tidak bisa membuat satu sistem atau satu
struktur, tapi melihat sesuatu dari kaca mata khusus yang mungkin tidak terlalu
banyak dipikirkan oleh orang kebanyakan. Di situlah sisi politis seorang
seniman. Bukan hanya peran seniman sih, tapi peran suatu kreatifitas, yang
tidak perlu terbelenggu oleh peran seniman, tapi siapa aja, dan tidak hanya
akses galeri.
Wawancara oleh: Lisistrata
Lusandiana (Tim Riset BJXIII Hacking Conflict)