Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Selasa, 27 November 2018

Aktivis Penolak Tambang Disebut Dibungkam dengan Pasal PKI

CNN Indonesia | Selasa, 27/11/2018 09:04 WIB

Ilustrasi spanduk penolakan terhadap tambang. (Agust Supriadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut putusan Mahkamah Agung yang memperberat hukuman aktivis penolak tambang yang dituding menyebarkan ajaran komunisme sebagai pembungkaman terhadap aktivis atau SLAPP (Strategic Lawsuits Against Public Participation). Ada sejumlah kelemahan dalam putusan itu, salah satunya adalah pemeriksaan bukti rekaman video yang tak sesuai prosedur.

Sebelumnya, aktivis lingkungan Heri Budiawan alias Budi Pego menolak aktivitas tambang PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI). Karena dituding membiarkan bendera yang identik dengan PKI di salah satu aksi demonya, Budi dipidanakan. Di tingkat Pengadilan Negeri Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Budi dijatuhi pidana penjara sepuluh bulan. Namun, putusan Kasasi MA memperberatnya menjadi empat tahun penjara.


"Peristiwa yang dialami Heri Budiawan dapat dikatakan sebagai bentuk dari SLAPP, karena menggunakan instrumen hukum pidana untuk membungkam aktivitas dalam penolakan tambang emas," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara melalui siaran persnya, Senin (27/11).
Sementara, Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) melindungi para pembela HAM dan aktivis lingkungan. "Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata," demikian bunyi pasal itu.

Dikutip dari situs Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kasus Budi Pego ini bermula dari kegiatan industri pertambangan di Bukit Tumpang Pitu, Banyuwangi, yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI) dari sejak tahun 2012.


Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi
Akibatnya, terjadi bencana lumpur pada 2016, kerusakan pantai dan karang di Pantai Pulau Merah, petani dan nelayan mengalami penurunan pendapatan, dan anjloknya pariwisata. 

Warga Sumberagung, Banyuwangi, dan sekitarnya, kemudian memasang spanduk "tolak tambang" di sepanjang pantai Pulau Merah, Sumberagung, hingga kantor Kecamatan Pesanggaran, 4 April 2017. Satu hari pascaaksi, muncul pernyataan dari aparat, di dalam spanduk penolakan warga terdapat logo yang diduga mirip palu arit. Padahal, dari keterangan warga tak satupun spanduk dengan logo semacam itu.

Empat orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal 107 huruf a, UU Nomor 27 tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Pasal itu menyebut soal penyebaran dan pengembangan komunisme, marxisme, leninisme, yang lekat dengan PKI.

Salah satu tersangka, yakni Budi Pego, Budi Pego, divonis 10 bulan penjara di PN Banyuwangi, 23 Januari 2018. PT Jatim kemudian menguatkan putusan itu, dan diperberat oleh MA menjadi empat tahun penjara.

Anggara menyebut ada sejumlah kelemahan dalam putusan tersebut. Pertama, tidak tepatnya definisi penyebaran ajaran dalam putusan. Menurut dia, Budi Pego tak melakukan , jika memang melakukan pemasangan spanduk yang ada logo palu arit itu.

"ICJR memandang jika frasa 'menyebarkan' dalam rumusan delik Pasal 107a KUHP tersebut adalah terkait dengan sebuah upaya atau tindakan yang sifatnya dilakukan melalui propaganda yang dinyatakan secara terus-menerus dan berulang dengan kesadaran penuh untuk menanamkan pengaruh dari ajaran Komunisme/Marxisme-leninisme," urainya.

Situasi lokasi penambangan ilegal emas yang telah ditinggalkan para penambang di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Pulau Buru, Maluku, 2011.
Situasi lokasi penambangan ilegal emas yang telah ditinggalkan para penambang di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Pulau Buru, Maluku, 2011. (ANTARA FOTO/Jimmy Ayal)
Kedua, bukti elektronik yang dihadirkan dalam persidangan berupa video aksi demonstrasi penolakan tambang emas PT. BSI tidak dilakukan berdasarkan tahapan dan prosedur pemeriksaan bukti elektronik (digital evidence) yang semestinya.

Padahal, kata Anggara, bukti video harus melalui tahap konfirmasi atau dikuatkan dengan keterangan ahli digital forensik terkait keaslian informasi, keutuhan video. Pemeriksaan itu sendiri harusnya dilakukan dengan empat tahapan digital forensic, yakni pengumpulan, pemeliharaan, analisis, dan presentasi.

"Bukti perekaman lambang palu arit dalam bentuk video yang dihadirkan di persidangan pada dasarnya tidak dilakukan oleh otoritas yang berwenang dan tidak layak menjadi alat bukti yang sah di pengadilan," ucapnya.

Ketiga, kata Anggara, MA memiliki kecenderungan untuk melampaui kewenangannya. Seharusnya, lanjut dia, MA tidak memiliki kewenangan untuk melihat kembali bukti-bukti yang sudah diperiksa dalam tahap judex factie atau pemeriksaan fakta. Padahal, kewenangan MA adalah judex juris atau pemeriksaan berkas.
"Atas dasar catatan diatas, ICJR mendorong agar Budi Pego untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK), sebagai langkah untuk dapat memperoleh keadilan," tandas Anggara. (sur)

Sumber: CNN Indonesia 

Selasa, 20 November 2018

Yateno dan Gunretno



Saya banyak belajar kearifan dari keduanya.. Herlambang P. Wiratraman
Foto: Wawan Dwi/Jawa Pos Radar Jember
RadarJember

Mengenal mas Yateno, Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) yang baru saja pula terpilih sebagai Ketua Umum Paguyuban Petani Jawa Timur (Papanjati). Bicara apa adanya, selalu kritis, kerap meledak-ledak bila ada ketidakadilan persis di depan mukanya.
Ia pernah 'diculik' di stasiun Banyuwangi, saat hendak naik kereta ke Surabaya ketika membawa bukti-bukti soal penembakan di awal tahun 2000. Beruntung ada Cak Munir (alm) yang bekerja keras memaksa Polres mengakui penahanannya, sehingga ia pun berhasil dikeluarkan.

Sepertinya, sejak peristiwa itu, mas Yateno tak lagi mengenal kata takut, sakit, karena hidupnya berikut keluarganya sudah berpuluh-puluh tahun teraniaya. Empat kali ganti Bupati, yang diterima hanya penindasan!

Mbah Musinem, bapaknya, pernah bercerita penderitaan yang dialami semasa hidupnya untuk membesarkan anak-anaknya. Hampir 20 tahun mengenalnya, ia tak berubah, tetap teguh pendirian memperjuangkan hak-hak warga kampung untuk tetap bisa bertani, sekolah dan menikmati kesejahteraan sosialnya.

Kisahnya, bisa disimak dari video berikut: "Prahara Tanah Bongkoran" 


Tak jauh beda. Kang Gunretno. Namanya mungkin lebih dikenal, karena selama ini memimpin perlawanan melalui JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng). Dengan bahasa Jawa, ia menuturkan segala bentuk perjuangan, melalui kearifan-kearifan sosial-lokal sebagai Sedulur Sikep. Aksi cor semen, revitalisasi kebudayaan gunung, ritual sosial dipertahankan, sebagai basis keyakinan warga untuk tetap bertahan menghadapi tambang-tambang yang merusak Pegunungan Karst Kendeng.

Di berbagai kesempatan, termasuk dalam kuliah kelas lalu, syahdu melantunkan tembang Ibu Bumi. “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili”.

Gunretno, pula Gunarti, Gunarto, saudara-saudaranya memang punya kultur perlawanan panjang nan menyejarah. Mereka, meyakini bentuk perlawanan terhadap sebuah otoritas yang menindas dapat dilakukan tanpa kekerasan.
Mengutip profilnya di Kompas, "Seperti digambarkan orang-orang di sekelilingnya, Gunretno tak pernah bisa tinggal diam tiap kali terjadi ketidakberesan. Padahal, sering kali apa yang diperjuangkannya justru bukan demi kepentingan Komunitas Sedulur Sikep." 


Baik mas Yateno dan kang Gunretno, telah sama-sama saling berkunjung. Mereka kembali dipertemukan melalui agenda Kuliah Bersama Rakyat (KBR) II, di FH Unair (14/11/2018) dan di FH UNEJ (15/11/2018). Bagi saya, keduanya merupakan manusia-manusia dengan jiwa petarung, pemikir, dan sekaligus pencerah bagi kehidupan sosial di sekitarnya. Mereka, menempatkan hukum dan Negara Hukum secara terhormat, bukan seperti lawan-lawannya yang kerap memanipulasi hukum, mempermainkan warganya, dan menghancurkan kelestarian lingkungan.

Saya yakin, kasus serupa banyak terjadi di negeri ini, seiring dengan masifnya eksploitasi sumberdaya alam dan korupsi, yang disertai kekerasan, penyingkiran dan pemenjaraan.

Menyimak kuliah mereka di kelas kemarin, sekalipun menyampaikannya dengan kebahagiaan, namun sejatinya cerita-cerita yang mengalir dari tuturnya seakan menyayat hati, menangis haru, yang sekaligus 'menampar' kita semua. Kampus-kampus kita memerlukan ajaran-ajaran dari lokal demikian, untuk meneguhkan keberpihakan kaum intelektual yang berkemampuan mengabdikan diri untuk warga bangsanya. Mereka telah berbuat untuk kemanusiaan dan ekologi, sementara kita belum banyak.

Ad honorem, Mas Yat dan Kang Gun!

Dukuh Dempok Wuluhan, 20 Nov 2018.

Senin, 19 November 2018

RTRW Jateng hilangkan 878 Ribu Hektare Lahan Pertanian


November 19, 2018

Ilustrasi lahan pertanian, pixabay.com 

Serat.id – Perubahan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Dan Wilayah (RTRW)  provinsi Jawa Tengah justru semakin mempersempit lahan pertanian. Terbukti hasil revisi RTRW Jateng tahun ini justru menghilangkan 878.239 hektare.
“Perubahan tersebut dapat dilihat perbandingannya dalam Pasal 73 dan 74 Perda lama yang menyebutkan luas lahan pertanian berjumlah 990.652 hektare untuk lahan basah, dan 955.587 hektar untuk lahan kering,” kata anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), DPRD Jateng, Benny Karnadi, kepada serat.id, senin 19, november 2018.
Menurut dia, pengurangan itu menunjukkan luas total lahan pertanian di Jateng awalnya 1.946.239 hektare berkurang menjadi  1.025.000 hektare, sesuai pada pasal 74A yang menyebut luasan lahan pertanian kering dan basah.
“Artinya, selisih luasan lahan pertanian seluas 878.239 hektare telah hilang dari substansi Perda baru,” ujar Benny menjelaskan.
Ia mengaku DPRD Jateng telah menyampaikan kepada Gubernur rincian perubahan Perda itu, termasuk selisih dalam KLHS revisi RTRW Jateng yang  menyebutkan rencana alih fungsi lahan seluas 314.512,03 hektare  dari lahan pertanian, kebun, dan ladang yang akan beralih fungsi seluas  214.385,45 hektare.
“Sedangkan ada sekitar 663.853,55 hektare merupakan cek kosong lahan yang tidak jelas peruntukannya, dan siap untuk dipergunakan oleh kabupaten dan kota di Jawa Tengah,”  katanya.
Selain itu dalam perda RTRW yang direvisi menyebutkan turunan industrialisasi berupa penambahan produksi energi listrik yang direncanakan dalam RTRW perubahan Jawa Tengah. Hal itu tercantum dalam Pasal 27, meliputi pembangunan PLTA di 51 waduk. Alokasi pembangunan PLTU Batubara di 10 Kabupaten dan Kota, alokasi PLTPB di 10 Kabupaten dan Kota, maupun alokasi pembangunan PLTS di dua wilayah unggulan.

Koordinator aliansi masyarakat sipil untuk penataan ruang Jawa Tengah, Ivan Wagner, menyatakan adanya pengurangan lahan pertanian dalam Perda RTRW menunjukan ada kepentingan industri yang diakomodir.

Menurut dia, dari awalnya 990 ribu hektare lahan basah dan 955 ribu hektare lahan kering  dengan total 1,94 juta hektare.  Namun dan pasal 74A justru menyatakan lahan pertanian lahan basah dan kering hanya seluas 1.025.000 hektare.

Ia menilai pasal itu jelas upaya penghancuran  dan membuat krisis pangan di Jateng semakin parah, padahal data sudah menunjukkan Jateng defisit penyediaan bahan pangan hingga 10,27 juta ton per tahun.
“Jadi yang menjadi hama bagi petani itu bukan hanya tikus atau wereng, namun RTRW ini hama yg utama bagi petani,” kata Ivan.
Ia minta agar Mendagri dan kementerian tata ruang meninjau ulang Raperda RTRW Jateng  itu. (*) M. SHOFI TAMAM

Sumber: Serat.Id 

Darurat: Puluhan Polisi Diturunkan, Gunung Talang Kembali Memanas


Puluhan Polisi Diturunkan, Gunung Talang Kembali Memanas
November 18, 2018

Ribuan massa kembali turun kejalan menghadang pergerakan PT. Hitay Daya Energi. (Img/W/Red)

Solok, SUMBAR – Ribuan massa kembali turun kejalan menghadang pergerakan PT. Hitay Daya Energi yang akan melakukan eksplorasi energi panas bumi di Gunung Talang, Kab. Solok, Sumatera Barat, pada Sabtu, (17/11).

Massa yang mengatasnamakan diri mereka sebagai masyarakat salingka Gunung Talang ini, berkumpul untuk menghadang kedatangan pihak perusahaan. Jumat, (16/11), sore, dua truk kendaraan milik kepolisian lengkap dengan puluhan personil terpantau oleh masyarakat berada di kantor Walinagari (Desa) Batu Bajanjang, Kec. Lembang Jaya, Kab. Solok, Sumatera Barat.

Masyarakat menduga kedatangan personil kepolisian ini untuk membekingi pihak perusahaan saat akan dilaksanakannya mediasi antara pihak pro dan kontra akan proyek Geothermal ini. Hal ini disampaikan beberapa masyarakat kepada eranusantara.com, Sabtu, siang dilokasi.
“Kami siap siaga, polisi ini datang untuk membeking perusahaan yang akan melakukan mediasi bersama masyarakat. Pihak pro dan kontra rencananya akan melakukan mediasi terkait Geothermal ini,” ungkap mereka.

Eranusantara.com – Massa yang mengatasnamakan diri mereka sebagai masyarakat salingka Gunung Talang. (Img/W/Red)

Hal senada disampaikan oleh direktur LBH Padang melalui wadirnya, Indira Suryani, kepada eranusantara.com, melalui telpon selularnya Sabtu, sore.
“Kedatangan kepolisian sudah terpantau sejak Senin, lalu. Intel mereka yang berkeliaran sudah tercium oleh masyarakat. Puncaknya, Jumat, sore, dua truk milik Polda Sumbar berada di Batu Bajanjang. Kemudian Sabtu, (17/11), pagi, ada tambahan dua truk shabara beserta personilnya mendatangi lokasi. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar masyarakat yang masih traoma atas tindakan anarkis pihak kepolisian beberapa waktu lalu,” ungkap Indira.
Atas kejadian ini, LBH Padang mengecam keras tindakan yang dilakukan pihak Kepolisian ini. Menurutnya, polisi yang seharusnya memberi rasa aman terhadap masyarakat, malah melakukan hal sebaliknya, sementara mereka digaji oleh uang rakyat.
“Polisi seharusnya bertugas untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat, bukan malah sebaliknya. Keberadaan mereka di Batu Bajanjang saat ini, menimbulkan rasa was-was bagi masyarakat. Kami sangat menyayangkan, padahal mereka digaji dari hasil pajak rakyat,” tuturnya.
Indira juga mengatakan, LBH juga sudah menyurati Polda Sumbar untuk menanyakan beberapa hal atas kedatangan kepolisian ke Batu Bajanjang, termasuk sumber dana yang digunakan saat mengirim puluhan personilnya ke Batu Bajanjang.
“Tadi siang LBH sudah mengirimkan surat ke Polda Sumbar untuk meminta klarifisi. Pertama kami meminta apa dasar hukum yang digunakan untuk menurunkan pasukannya ke Batu Bajanjang. Kemudian kami manayakan, dari mata anggaran mana mereka mengambilkan anggarannya. Tak hanya itu, kami juga meminta laporan keuangan Polda Sumbar serta menanyakan personil dari kesatuan mana yang diturunkan ke Batu Bajanjang ini,” tegasnya.
Sumber: EraNusantara 

URGENT:
Seruan Solidaritas Gunung Talang
oleh: @selamatkan_talang


Saat ini kondisi Gunung Talang kembali mencekam dikarenakan datangnya 2 mobil dari anggota kepolisian korps brimob ke lokasi pembangunan projek geotermal yang ditenggarai akan membekingi PT. Hitay Daya Energi memaksa melakukan eksplorasi geotermal di lahan pertanian masyarakat.
ã…¤
Pada 16 Oktober 2018, Komnas HAM telah melakukan mediasi atas pengaduan masyarakat namun tidak terdapat titik temu apapun dengan perusahaan dan kementrian ESDM. Saat itu, pengadu meminta kementrian ESDM untuk membuktikan surat persetujuan masyarakat atas lahan pertanian masyarakat seluas 27.000 Ha yang telah ditetapkan sebagai izin panas bumi. Selain itu, pihak ESDM tidak mampu memberikan kajian ataupun laporan evaluasi terhadap geotermal yang bermasalah dibeberapa wilayah lainnya sehingga masyarakat akan tetap mempertahankan lahan pertaniannya dari pembangunan geotermal yg berpotensi merusak tanah dan lingkungan di Gunung Talang.
ã…¤
Mari bersama-sama membantu masyarakat salingka gunung talang untuk mempertahankan tanah dan lingkungannya dari pembangunan geotermal dengan mengirimkan sms untuk mendesak kepolisian untuk berhenti membekingi perusahaan yang rentan akan menimbulkan kekerasan terhadap masyarakat sebagaimana yang terjadi pada Maret 2018 di Gunung Talang, dengan sms di bawah ini:
ã…¤
Yth. Bapak Presiden RI Bapak Kapolri Bapak Kapolda
ã…¤
Hentikan segala intimidasi dan ancaman kekerasan terhadap masyarakat salingka gunung talang Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat dalam proyek geotermal Gunung Talang-Bukit Kili. Tarik mundur semua aparat yg berada di lokasi dan hentikan pembekingan terhadap PT Hitay Daya Energi.
ã…¤
Silahkan dikirim ke nomor dibawah ini:
Presiden: 08122600960
Kapolri : 082299911987
Kapolda: 0811148586
Kapolres: 081321609999
ã…¤
#SelamatkanTalang
#SaveGunungTalang
#TalangMelawan #Indonesia
#IndonesiaDaruratAgraria

Kita Perlu Kota Ramah Manusia, Bukan Ramah Modal


Oposisi Dungu
Catatan Pengantar: HarWib

Salah satu watak dasar kapitalisme mutakhir: investasi modal bisa malang melintang menembus batas-batas negara dan mengabaikan identitas nasional si pemilik saham.

Seperti air, kapital dalam segala wujud investasinya, akan mengalir ke lokasi di mana kran hambatan investasi dibuka, dan mengalir ke sektor yg paling menguntungkan bagi kelanjutan akumulasi kapital.

Indonesia kini sedang menghadapi tekanan terhadap neraca pembayarannya karena sulitnya pembentukan modal, membengkaknya impor, dan kewajiban pembayaran cicilan utang dan bunganya. Itu faktor utama yg membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merosot dalam tahun ini.

Kebijakan Jokowi membuka kran hambatan investasi hanyalah mengikuti imperatif logika kapitalisme global mutakhir. Tapi para penentangnya menganggap kepemilikan saham melekat pada identitas kebangsaan si pemilik, dan nggak pernah mempersoalkan kontradiksi pokok dalam kapitalisme: eksploitasi buruh dan sumberdaya alam serta konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dan hambatan mobilitas tenaga kerja antar negara.

Pantes aja demokrasi nggak maju-maju, oposisi modalnya cuma sentiman kekolotan agama dan nasionalisme usang abad lampau..
___

Kita Perlu Kota Ramah Manusia, Bukan Ramah Modal: Wawancara Dengan Maryanto


Sebelum berangkat ke Nigeria, Maryanto sempat saya temui untuk membincangkan perkembangan riset serta berbagi pandangan seputar tema yang sedang dibahas dalam Equator edisi ini, yakni seni dan politik. Maryanto merupakan salah satu seniman yang mengikuti program residensi selama dua minggu di Nigeria, bersama dengan seorang seniman lainnya, Anggun Priambodo.
Pada kesempatan ini, Maryanto menceritakan proses risetnya seputar politik minyak dengan studi kasus pertambangan minyak di Bojonegoro. Riset yang dilakukan bersama tim ini merupakan salah satu prosesnya dalam mempersiapkan karya yang akan ditampilkan dalam BJXIII. Selain membicarakan persoalan politik minyak, Maryanto juga menyampaikan pandangan reflektifnya seputar peran seniman di tengah persoalan sosial.

Bisa diceritakan arah riset tentang politik minyak yang sedang dilakukan?

Aku ingin mengurai kompleksitas persoalan dalam pengelolaan minyak di Indonesia, dengan mengambil studi kasus di Bojonegoro. Membicarakan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan privatisasi, regulasi hingga persoalan distribusi Sumber Daya Alam di masyarakat.
Salah satu keresahan yang menjadi latar belakang dalam riset ini ialah sejauh mana minyak yang berasal dari perut bumi ini hasilnya bisa didistribusikan dan dirasakan oleh masyarakat. Dari situlah aku mencari tau sistem pengelolaan minyak. Awalnya kita percaya sistem pertambangan dikelola oleh negara, namun negarapun menyerahkan pengelolaan dilakukan oleh korporasi besar. Aku tidak yakin keuntungannya dirasakan oleh masyarakat. Meski kita hidup di atas tanah yang kaya, aku yakin kita tidak bisa menikmati kekayaan tersebut. kompleksitas persoalan itulah yang coba diurai dalam penelitian ini.

Apa saja unsur-unsur yang membuatnya jadi kompleks?

Persoalan privatisasi, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran hingga perubahan sosial dalam masyarakat. Membicarakan pengelolaan tentu kita tidak bisa mengabaikan persoalan privatisasi. Dalam konteks privatisasi, masyarakat berada pada posisi paling rendah, karena persoalan ketrampilan. Semisal Exxon menambang di suatu tempat di tengah masyarakat, karena skill masyarakat yang terbatas, maka pekerja terampil tidak diserap dari masyarakat. Ketika ditanya tentang infrastruktur, banyak yang mengeluh pembangunannya tidak tepat sasaran, karena pembangunan banyak dikelola oleh broker atau LSM yang tidak paham kebutuhan masyarakat. Bahkan menurut cerita Pak Kades, perubahan sosial masyarakat setelah pertambangan masuk tidak terlalu menyenangkan pada tataran pola konsumsi dan mental.
Perubahan dari masyarakat agraris menjadi pertambangan membuat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Banyaknya warga yang kaya mendadak meningkatkan pola konsumsi gadget, motor bahkan prostitusi. Yang jadi masalah di sini ialah bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan manusia, tetapi hanya pembangunan fisik.
Memang jalanan menjadi lebih halus, warga tidak kesulitan mencari air, tetapi pembangunan manusianya menjadi luput dari perhatian.

Bagaimana persoalan ini dibahas dengan menyandingkan persoalan yang ada di Nigeria?

Harus dicari persamaan dan perbedaannya. Bagaimanapun juga persoalan dan keresahannya tetap sama, yakni soal bagaimana potensi minyak dikelola dan diatur dan bagaimana masyarakat menikmati hasil buminya. Itu saja pertanyaan gampangnya. Lalu di Nigeria kita cari tau bagaimana posisi masyarakat menghadapi potensi alamnya.

Bagaimana awal warga memulai penambangan? Bagaimana sistem penambangan minyak rumah tangga beroperasi dan apa saja masalahnya?

Berdasar cerita warga, penambangan dimulai dengan proses ritual. Untuk memulai pengeboran, diperlukan sekitar 900 juta rupiah. Oleh karena itu mereka mengundang investor. Investor tersebut kemudian mengambil keuntungan bagi hasil. Proses pengelolaan yang dilakukan warga hanya sampai sebatas minyak mentah. Warga tidak boleh langsung menjual hasil jadi, tetapi beberapa tetap menjualnya secara sembunyi-sembunyi. Meski di masyarakat juga sudah berkembang wacana bahwa hasil olahan warga tidak bagus untuk mesin.

Soal proses ritual, warga menjalankan ritual khusus untuk sumur, karena dianggap sebagai sumber rejeki. Kenaikan ekonomi warga di sekitar situs penambangan memang sangat drastis. Investasi awal yang memerlukan 900 juta rupiah itu akan balik modal dengan cepat. Walaupun sebenarnya minyak yang mengalir akan cepat berhenti. Beberapa sumur bahkan sudah berhenti mengalirkan minyak.

Yang jadi masalah ialah; warga memang banyak mendapatkan keuntungan ekonomi, akan tetapi percekcokan rumah tangga semakin tinggi. Tingkat pendidikan juga rendah. Pemahaman mereka tentang lingkungan itu aji mumpung.

Sejak kapan banyak mengeksplorasi persoalan SDA dan bagaimana awalnya?

Aku sebenarnya selalu tertarik dengan tema-tema lingkungan. Karyaku sebelumnya kan tentang lingkungan urban, seperti yang kubahas dalam Rawalelatu, itu tentang perubahan dari rawa ke wilayah urban dan industri. Kehidupan warga di pinggiran kota sudah menjadi pemandanganku sejak kecil. Aku ingat bagaimana listrik baru masuk ke kampungku pada tahun 1985. Kemudian ada pabrik tekstil. Yang tadinya kampung lalu berubah menjadi apartemen. Logika awalnya sih mau membicarakan bagaimana kampung berubah menjadi apartemen. Yang jadi soal ialah karena pembangunan hanya berpusat pada pembangunan ekonomi, bukan pembangunan masyarakat dan manusianya. Hanya pendapatan negara yang menjadi perhatian. Arah pembangunan kota juga harus direncanakan dengan melibatkan masyarakat.

Kita bisa membandingkan apa yang terjadi di kota ini dengan pola hidup komunitas, semisal komunitas Ciptagelar. Mereka mengelola semua kebutuhan komunitasnya secara bersama-sama. Dari urusan dasar manusia, yakni kebutuhan untuk makan hingga pendidikan dan kesenian. Sementara masyarakat industri yang ada saat ini barangkali bisa mencukupi kebutuhan dasarnya, tetapi kebutuhan dalam pengembangan diri tidak bisa mereka penuhi. Seperti yang bisa kita lihat dari masyarakat yang bekerja di pertambangan itu. Tidak ada kesempatan untuk mengartikulasikan diri, sementara arah pembangunan kota tidak berorientasi pada manusia dan nilai humanistis. Kita perlu kota yang ramah manusia, bukan ramah modal.

Pergeseran eksplorasi tema dari urban ke agraris, bisa diceritakan?
Ketika membicarakan Rawalelatu dalam konteks perubahan sosial, pasti ada yang rusak, ada menjadi korban. Perubahan dari agraris ke industri, pasti ada sawah yang dirusak dan pohon-pohon hutan yang ditebang. Pada saat itu, sewaktu masih banyak drawing, aku penasaran untuk mencari tau seluk-beluk industri kertas. Aku penasaran dengan proses produksi kertas, lalu aku menemukan kasus kerusakan alam yang dilakukan oleh APP (Asia Pulp and Paper). Sebagai perusahaan terbesar se Asia Tenggara, perusahaan ini menghancurkan hutan namun berdalih punya standar perkebunan. Untuk mendapat standar ramah lingkungan pun mereka memesannya dari lembaga sertifikasi, namun lembaga tersebut justru menemukan lebih banyak kerusakan.

Pada dasarnya, ketertarikan ini bermula karena aku banyak menggunakan media kertas untuk drawing. Lama-lama aku jadi lebih tertarik untuk mengetahui kasus pengrusakannya. Yang lebih pelik lagi ketika membicarakan kerusakan yang diakibatkan Freeport di Papua. Aku juga banyak berbincang dengan teman yang sudah melakukan penelitian terkait dengan kerusakan yang diakibatkan Freeport. Dari sisi sejarah, berdirinya Freeport juga berpengaruh terhadap regulasi dan keberadaan industri pertambangan.

Mengapa setelah Rawalelatu tidak menggunakan tokoh karakter? Bagaimana karakter dalam Rawalelatu dikembangkan?

Pengembangan tokoh karakter berdasar riset dan observasi yang dilakukan dari lingkungan tempat aku tinggal, dari orang-orang terdekatku. Fokus observasi terutama difokuskan pada pola-pola berpikirnya. Karakter keledai misalnya, kugambarkan sebagai karakter yang berasal dari desa, kemudian pindah ke Rawalelatu, bekerja sebagai pegawai negeri, konservatif dan mengutamakan kemapanan. Namun secara umum, karakterisasi dilakukan dalam konteks kritik dan otokritik dalam membicarakan perubahan sosial. Setelah Rawalelatu, aku lebih banyak mengeksplorasi landscape yang menyandingkan ironi, lebih sejarah, arsip dan potret.

Secara umum bisa dikatakan tema-tema yang dibicarakan selalu berkaitan dengan politik?

Iya. Politik, lingkungan, poskolonial, orba. Jika harus ditarik benang merahnya, maka setiap tema yang dibahas selalu terkait dengan perubahan industri. Dalam Space of Exception, aku berbicara bahwa ada satu bagian dari diriku yang belum tersentuh dan aku sangat menikmati bagian itu. Ada semacam ruang yang sangat damai, ruang baru. Di dalam ruang pameran, aku buat tenda biru yang bisa diakses pengunjung untuk menulis atapun merefleksikan ruang ideal mereka. Ada lampu kecil, ada tempat untuk duduk dan menulis tentang kedamaianmu. Ada juga yang tidur.

Apa yang dimaksud dengan ruang damai itu?

Bagiku ruang tidak hanya bisa dimaknai secara fisik, tetapi juga mental. Di dalam suatu rumah misalnya, terdapat ruang sembahyang yang disakralkan, ruang kerja atau bahkan ruang tamu, yang pembagiannya tidak semata secara fisik, namun psikis.

Ketika membicarakan tema-tema yang terkait dengan orde baru, bagaimana kamu melihat penggunaannya dalam berkesenian sampai hari ini?

Menuruntuku tergantung sudut pandangnya. Yang menarik ialah bahwa sejarah itu akan selalu tergantung pada keberpihakan. Berbicara tentang Suharto, sebenarnya masih banyak yang berpihak pada Suharto. Namun membicarakan Orde Baru yang berlangsung sangat lama tidak serta merta bisa dilupakan. Dilihat dari sisi eksploitasi industri, Orde Baru merupakan momen yang sangat signifikan dalam membuat kerusakan lingkungan. Eksploitasi alam yang berlangsung masif sampai hari ini itu merupakan akibat dari Orde Baru. Orde Barulah yang membuat pondasi buruk.

Seperti fenomena “piye kabare, isih penak jamanku..”

Ya, itu salah satu kegagalan pendidikan kita. Kita dididik untuk kritis yang arahnya selalu berpikir negatif. Menuruntuku kita perlu berhenti membaca berita buruk yang disodorkan oleh media. Kita butuh orang yang bisa lebih melihat harapan dan sisi positif. Ketika melihat kondisi buruk hari ini lalu ingin kembali ke masa Orde Baru, itu bagiku salah.Warisan Orde Baru dalam membuka industrialisasi besar-besaran dan membuka ruang eksploitasi tetap harus dipersalahkan.

Bagaimana posisi seniman dalam mengambil perannya di masyarakat?

Posisi seniman harus ditanggapi sebagai posisi yang paling unik sebenarnya. Bukan paling aman. Karena kita bukan praktisi yang bisa ngasih solusi. Kalau solusipun sifatnya artistik, yang biasanya aneh-aneh dan nyeleneh. Nah, kebebasan inilah yang harusnya dimanfaatkan oleh seniman untuk berkarya. Walaupun karya itu tidak menciptakan perubahan sosial secara langsung, setidaknya bisa menggambarkan atau menginspirasi. Menarik lagi ketika membicarakan keberpihakan.
Membicarakan keberpihakan bagiku tidak semata memilih satu dari dua pilihan, tapi harus ada pilihan ketiga. Posisi seniman tuharus seperti itu.

Ketika membicarakan kerusakan alam, peran seniman saat ini banyak banget. Bahkan seniman dadakan pun banyak yang tiba-tiba ngomongin politik. Artinya ini bukan hanya peran seniman, tapi media kreatif. Karena perubahan yang dibicarakan tidak semata perubahan fisik, tapi kan perubahan mental, pola pikir. Kita seniman tidak bisa membuat satu sistem atau satu struktur, tapi melihat sesuatu dari kaca mata khusus yang mungkin tidak terlalu banyak dipikirkan oleh orang kebanyakan. Di situlah sisi politis seorang seniman. Bukan hanya peran seniman sih, tapi peran suatu kreatifitas, yang tidak perlu terbelenggu oleh peran seniman, tapi siapa aja, dan tidak hanya akses galeri.

Wawancara oleh: Lisistrata Lusandiana (Tim Riset BJXIII Hacking Conflict)
 Sumber: BiennaleJogja 

Sabtu, 17 November 2018

S.O.S. Gunung Talang


Pemerintah dan sebuah konsorsium milik Turki memaksakan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (geotermal) di Kabupaten Solok, Sumatera Barat, dengan mengerahkan aparat bersenjata.


Secara teori, panas bumi termasuk energi ramah lingkungan. Setidaknya tiga negara di sungai Rhein seperti Jerman, Perancis, atau Swiss meyakini demikian. Namun karakter Indonesia yang vulkanis, membuat panas bumi berada di dataran-dataran tinggi (pegunungan) seperti Gunung Talang, Karaha Bodas di Jawa Barat, Gunung Slamet di Jawa Tengah atau Gunung Rajabasa di Lampung Selatan.

Dataran tinggi atau gunung berarti sumber tangkapan air (catchment area). Dan tak perlu lulus ITB atau ITS untuk meramalkan dampaknya bagi pertanian dan kehidupan ribuan warga di bawahnya. Ini dibuktikan di Gunung Slamet


Fakta inilah yang menakutkan warga Gunung Talang yang menggantungkan hidupnya dari pertanian dan mereka buktikan dengan aneka hasil bumi
__________


SERUAN SOLIDARITAS.....

Gunung Talang dalam bahaya

Saat ini kondisi Gunung Talang kembali mencekam dikarenakan datangnya 2 mobil dari anggota kepolisian korps brimob ke lokasi pembangunan projek geotermal yang ditenggarai akan membekingi PT. Hitay Daya Energi memaksa melakukan eksplorasi geotermal di lahan pertanian masyarakat.

Pada 16 Oktober 2018, Komnas HAM telah melakukan mediasi atas pengaduan masyarakat namun tidak terdapat titik temu apapun dengan perusahaan dan kementrian ESDM. Saat itu, pengadu meminta kementrian ESDM untuk membuktikan surat persetujuan masyarakat atas lahan pertanian masyarakat seluas 27.000 Ha yang telah ditetapkan sebagai izin panas bumi.

Selain itu, pihak ESDM tidak mampu memberikan kajian ataupun laporan evaluasi terhadap geotermal yang bermasalah dibeberapa wilayah lainnya sehingga masyarakat akan tetap mempertahankan lahan pertaniannya dari pembangunan geotermal yg berpotensi merusak tanah dan lingkungan di Gunung Talang.

Mari bersama-sama membantu masyarakat salingka gunung talang untuk mempertahankan tanah dan lingkungannya dari pembangunan geotermal dengan mengirimkan sms untuk mendesak kepolisian untuk berhenti membekingi perusahaan yang rentan akan menimbulkan kekerasan terhadap masyarakat sebagaimana yang terjadi pada Maret 2018 di Gunung Talang dengan sms di bawah ini.

Yth. Bapak Presiden RI
Bapak Kapolri
Bapak Kapolda
Hentikan segala intimidasi dan ancaman kekerasan terhadap masyarakat salingka gunung talang Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat dalam proyek geotermal Gunung Talang-Bukit Kili. Tarik mundur semua aparat yg berada di lokasi dan hentikan pembekingan terhadap PT Hitay Daya Energi.

Silahkan dikirim ke nomor dibawah ini:
Presiden: 08122600960
Kapolri : 082299911987
Kapolda: 0811148586
Kapolres: 081321609999

Release:DandhyDwiLaksono 

Jumat, 09 November 2018

Aksi Jemput Paksa Warnai Kesepakatan Pengajuan Luasan Kawasan Karst Kebumen

Muhamad Ridlo
09 Nov 2018, 22:00 WIB

Perwakilan Pemda dan DPRD Kebumen serta masyarakat melihat langsung Kali Sirah, sungai yang mengalir dari mata air Gua Pucung (Liputan6.com/Perpag/Muhamad Ridlo)

Kebumen - Hari yang ditunggu sejak demonstrasi menolak pabrik semen dan penambangan pegunungan karst Gombong Selatan, 25 Oktober 2018 lalu, itu pun tiba. Sejak pagi, ratusan warga pun telah berkumpul di Balai Desa Sikayu Kecamatan Buayan, Kebumen, Jawa Tengah.

Hari ini mereka menunggu perwakilan Pemda Kebumen dan DPRD Kebumen untuk melakukan pertemuan lanjutan sekaligus kunjungan lapangan ke sejumlah situs gua dan mata air pegunungan karst. Akan tetapi, hingga waktu yang dijadwalkan, pukul 08.30 WIB, rombongan yang ditunggu tak tampak batang hidungnya.

Warga justru memperoleh kabar, pukul 09.40 WIB, rombongan Pemda Kebumen yang diwakili oleh Bappeda dan Dinas Perkim LH justru tiba di desa Banyu Mudal. Perwakilan Pemda enggan hadir di Desa Sikayu sebagaimana nota kesepakatan tertanggal 25 Oktober 2018 usai demonstrasi warga penolak pabrik semen.

Padahal, nota kesepakatan itu, sudah ditandatangani oleh Pemda, Bappeda, DPRD, dan Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong Selatan (Perpag) sebagai penolak pabrik semen. Disebut, pertemuan lanjutan bakal digelar di Desa Sikayu.

Namun, rombongan Pemda dan DPRD ingkar kesepakatan. Mereka justru bertahan di desa Banyu Mudal, yang bukan merupakan lokasi yang hendak ditinjau.
"Perwakilan Pemda tetap tidak mau datang ke Desa Sikayu dan hanya mengeluarkan jawaban-jawaban yang tidak menemukan titik temu," ucap Ketua Perpag Kebumen, Samtilar.
Pukul 10.15 WIB, 15 orang perwakilan masyarakat yang jenuh dengan jawaban diplomatis perwakilan Pemda lantas menghubungi para pemuda yang ada di Desa Sikayu untuk menjemput perwakilan Pemda.

Akhirnya sekitar 100 orang menjemput "paksa" utusan Pemda Kebumen tersebut. Setelah didatangi seratusan lebih orang, akhirnya Pemda dan DPRD mau datang ke Desa Sikayu.

Kepala Desa Sikayu, Teguh Priyatin langsung menyambut dengan sejumlah poin penting soal Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong Selatan. Dia menolak ada penambangan dalam bentuk apa pun di wilayah Sikayu.
"Jangankan penambangan besar, penambangan desa saja tidak kami izinkan, imbauan kepada masyarakat untuk mengawal agenda ini dengan kondusif pungkasnya," ucap dia, dikutip dari keterangan tertulis Perpag Kebumen, lembaga yang didirikan untuk melindungai pegunungan Karst dan menolak pabrik semen.
Sumber: Liputan6.Com 

PERPAG GOMBONG: GEOPARK TIDAK MENJAMIN KAWASAN TERSEBUT BEBAS DARI PERTAMBANGAN

NOVEMBER 9, 2018
Peninjauan ke lapangan untuk melihat langsung kondisi air yang dimanfaatkan oleh warga di Gombong Selatan, 8/11/2018 (dok. KM)
KEBUMEN (KM) – Pertemuan Pemerintah Daerah Kabupaten Kebumen, DPRD Kebumen dan Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG) perihal peninjauan kembali luasan wilayah Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) di Gombong Selatan dilakukan di Balai Desa Sikayu, Kamis 8/11.
Hal ini dilakukan dalam rangka menindaklanjuti nota tuntutan masyarakat Desa Sikayu, Desa Karang Sari, Desa Negoroji dan beberapa masyarakat desa lainnya terkait soal kelanjutan kesepakatan pasca aksi demonstrasi yang dilakukan pada 25 Oktober lalu yang berisi peninjauan dan pengajuan kembali luasan wilayah KBAK.
Pertemuan tersebut dihadiri Pemerintah Daerah Kebumen yang diwakili oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (BAPPEDA) dan Dinas Perumahan, Pemukiman dan Lingkungan Hidup (PERKIM LH).
Dalam pertemuan itu, Kepala Desa Sikayu Teguh Priyatin menyampaikan tidak akan ada izin penambangan di KBAK Gombong Selatan.
“Tidak akan ada penambangan unsur apapun di wilayah Sikayu, jangankan penambangan besar, penambangan desa saja tidak kami izinkan,” tegasnya.
Ketua ORMAS PERPAG Haji Samtilar menuding BAPPEDA, sebagai perwakilan PEMDA, tidak beritikad baik.
“Perwakilan dari PEMDA [awalnya] tidak mau langsung datang ke Sikayu tetapi malah datang ke Desa Banyu Mudal. Harapan kami dari masyarakat untuk mengkaji ulang bersama-sama antara PEMDA, DPRD dan masyarakat terkait luasan wilayah KBAK Gombong Selatan karena selama ini kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah jarang sekali melibatkan masyarakat. Untuk agenda kali ini kami mengharapkan PEMDA dan DPRD meninjau langsung ke Gua Pucung karena aliran air yang ada di bawahnya, termasuk Kali Sirah, sumber airnya berasal dari Gua Pucung,” katanya.
BAPPEDA Kebumen mengatakan bahwa kawasan tersebut akan dijadikan geopark nasional.
“Kami sudah mengajukan kawasan geopark untuk menjadi wilayah kawasan lindung internasional. Kami sudah menyampaikan kepada Mas Nanang (PERPAG) silahkan ajukan nama untuk mengawal terbentuknya kawasan geopark nasional, khususnya untuk wilayah Karang Sambung sampai ujung selatan wilayah kecamatan Ayah,” paparnya.
Namun hal tersebut langsung disanggah oleh perwakilan dari PERPAG Nanang.
“Kami bukan anti terhadap geopark tetapi yang akan kita bicarakan adalah untuk meninjau dan mengajukan kembali luasan KBAK. Yang nyatanya kita juga sama melihat beberapa fakta di daerah lain yang dijadikan wilayah geopark. Kita ambil contoh saja kawasan Gunung Sewu. Di sana sudah ditetapkan sebagai wilayah geopark bahkan terdapat museum karst tetapi kenapa di Wonogiri ada izin pertambangan? Artinya geopark tidak menjamin kawasan tersebut bebas dari pertambangan. Ada dua hal penting yang harus kita sepakati hari ini yaitu kapan akan diadakannya peninjauan dan penyelidikan KBAK Gombong Selatan? Kedua kami meminta komitmen dari pemerintah daerah untuk benar-benar berpihak kepada masyarakat,” harapnya.
Perwakilan Komisi A DPRD Kebumen Supriyanti mengatakan, hasil mediasi dengan ESDM berkaitan dengan luasan KBAK yang tadinya 48 km bergeser menjadi 40 km.
“Itu juga sudah kami diskusikan dengan badan geologi dari Bandung untuk pengajuan kembali harus diajukan oleh daerah yang artinya PEMDA Kebumen harus mengawal pengajuan kembali kepada pihak PEMPROV Jawa Tengah. Harapan kami tidak ada tanya jawab tapi insya Allah hari ini kami siap untuk kunjungan lapangan langsung ke wilayah karst,” katanya
Pertemuan ini diahiri oleh penandatanganan nota kesepakatan yang berisi PEMDA Kebumen akan mengajukan surat kepada Pemprov Jawa Tengah terkait peninjauan kembali luasan wilayah KBAK Gombong Selatan paling lama bulan November tahun 2018.
Perwakilan Komisi A dan BAPPEDA kemudian melakukan peninjauan ke lapangan untuk melihat langsung kondisi air yang dimanfaatkan oleh warga yang berada di Kali Sirah, Goa Winong, Gua Candi, Gua Jebloskan dan terahir di Gua Jumbleng.
Namun, sejumlah anggota Komisi A yang hadir ada yang pamit awal dengan alasan rapat. Sebelumnya, mereka sendiri telah menyampaikan permintaan maaf karena beberapa anggota Komisi A tidak hadir lantaran ada rapat paripurna pada hari itu juga. Peninjauan langsung ke lokasi hanya dihadiri oleh tiga anggota DPRD Komisi A yakni Supriyati, Qoriah Dwi Puspa, dan Eni Handayani, serta anggota BAPPEDA Laila Nur Tsani, Hans, dan Sukadin. Sementara perwakilan Dinas PERKIM LH yakni Siti Durhotul dan Septio B.
Reporter: Evie
Editor: HJA
Sumber: KupasMerdeka.Com