Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Kamis, 26 Oktober 2017

Sejumlah Akademisi Laporkan Temuan Pelanggaran Hukum Pabrik Semen Rembang

26-10-2017


Jakarta – LEI,  sejumlah akademisi yang tergabung dalam Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari diwakili oleh Suraya Afif, PhD., Franky Butar-Butar, M.Dev., dan Wahyu Nugroho, SH., MH. menyampaikan Laporan Temuan Pelanggaran Hukum Dan Pengabaian Atas Rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis Tahap I atas  hasil kunjungan lapangan terkait dengan perkembangan yang terjadi di Pati dan Rembang, sehubungan dengan operasi pertambangan semen di berbagai titik di Pegunungan Kendeng.
Laporan itu di latar belakangi pada bulan Agustus 2016, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membantuk Tim Pelaksana Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang berkelanjutan. Hasil laporan ini telah disampaikan ke presiden lewat Kantor Staff  Kepresidenan pada bulan April 2017.

Laporan ini adalah merupakan tahap pertama (lihat gambar 1) dari kajian KLHS yang rencananya akan dilakukan untuk semua landscape Pegunungan Kendeng terkait kegaitan pertambangan yang sedang dan akan berlangsung. Kajian KLHS I ini fokusnya adalah di sekitar ekosistem kars Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2017).
Hasil rekomendasi dari hasil tim KLHS I dan juga yang telah disampaikan dalam rapat yang dipimpin Kepala Kantor Staff Presiden (KSP), bapak Teten Masduki pada tanggal 12 April 2017 adalah untuk menghentikan semua kegiatan penambangan baik yang telah berijin maupun “illegal” yang dilakukan di wilayah CAT Watuputih sampai selesainya kajian lanjutan yang dilakukan di bawah koordinasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Namun, pasca keputusan tersebut, dari hasil pantuan JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Kendeng) di lapangan ternyata aktivitas pertambangan tidak juga berhenti. Serta tidak ada tanda pemerintah daerah, baik pada tingkat provinsi dan kabupaten melakukan upaya untuk melakukan penegakan hukum untuk mendukung kesepakatan yang telah disepakati di pertemuan yang diselenggarakan di Bina Graha, tanggal 12 April tersebut di atas. JMPPK terus melaporkan bahwa kegiatan pertambangan ternyata terus berlangsung terlepas sudah adanya ketentuan yang menunda pelaksanaanya.
Situasi tersebut di atas, telah mendorong sejumlah akademisi yang bergabung dalam Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari (AAKL) dengan beragam latar belakang ilmu dan dari berbagai perguruan tinggi, merasa terpanggil dan secara relawan untuk berupaya untuk memahami, mempelajari, serta merekam baik hasil pantuan yang telah disampaikan oleh JMPPK dan memantau perkembangan hukum terkait kasus yang berjalan di peradilan. Untuk itu pada Selasa dan Rabu, 3-4 Oktober 2017, sejumlah akademisi melakukan kunjungan lapangan ke Pati dan Rembang untuk berdiskusi dengan wakil-wakil masyarakat dan melihat sendiri kondisi lapangan terkait dengan aktivitas pertambangan di lokasi CAT Watuputih. Laporan ini bertujuan untuk mengangkat sejumlah temuan yang diperoleh dari hasil kunjungan lapangan tersebut.

SEJUMLAH TEMUAN POKOK  ALIANSI AKADEMISI UNTUK KENDENG LESTARI

1) Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Tahap I tentang Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan Kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih dan Sekitarnya, Kabupaten Rembang. menjadi dokumen 1 sekaligus kerja institusi yang harus dihormati, karena tim ini bekerja atas mandat Presiden Republik Indonesia.
2) Sejak awal, rencana pendirian pabrik semen di kawasan Rembang dan Pati ditolak oleh warga. Kasus ini bergulir ke jalur peradilan, PTUN, yang kemudian berakhir di Mahkamah Agung melalui Putusan Peninjauan Kembali (PK) tertanggal 5 Oktober 2016. Putusan ini telah inkracht, atau berkekuatan hukum tetap. Warga masyarakat, sebagai penggugat, memegang bukti putusan tersebut sebagai landasan untuk menghentikan proses operasi pertambangan.
3) Namun, Gubernur Jawa Tengah menggunakan tafsir yang menyimpang, dengan cara menerbitkan kembali SK Ijin Lingkungan atas dasar AMDAL Addendum, yang dari pandangan kami bertentangan dengan Putusan Majelis PK Mahkamah Agung Nomor 99/TUN/2016. Atas dasar ini, mengapa JMPPK tetap tidak dapat menerima dan tetap berpegangan pada Putusan PK MA yang memerintahkan cabut SK Ijin Lingkungan, bukan untuk terbitkan kembali dengan sejumlah alasan yang tidak mendasar.
4) Namun karena tidak puas dengan keputusan MA di atas, PT Semen Indonesia mengajukan kembali PK kedua, pada tanggal April 2017 ke Mahkamah Agung, dan hasilnya, PK atas PK yang diajukan PT Semen Indonesia tersebut tidak diterima berdasarkan Putusan Nomor 91PK/TUN/2017 tertanggal 20 Juni 2017. Artinya, posisi warga yang tergabung dengan JMPPK menjadi lebih kuat secara hukum, karena putusannya inkracht dan memiliki kekuatan eksekutorial untuk membatalkan Ijin Lingkungan.
5) Izin lingkungan yang dibatalkan MA itu berjudul “Izin Lingkungan Penambangan dan Pendirian Pabrik Semen PT. Semen Gresik di Kabupaten Rembang, Provinsi Jawa Tengah”, sementara berkaitan dengan dokumen AMDAL Addendum, kami justru mempertanyakan atas dasar apa dan kewenangan apa Gubernur Jawa Tengah bisa menafsirkan putusan lembaga peradilan, khususnya atas Putusan PK Mahkamah Agung? Dalam putusan tersebut, sama sekali tidak menyinggung “bisa dilakukan addendum”, karena PT Semen Indonesia yang diberikan ijin lingkungan oleh Gubernur Jawa Tengah memiliki kesalahan fatal.
6) Kunjungan Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari ke Pati menunjukkan adanya fakta sumber air dan/atau sungai bawah tanah yang ditemukan dalam di Gua Pari, Sukolilo, Pati yang memiliki keberadaan sungai bawah tanah. Kawasan ini dahulunya ditetapkan sebagai kawasan kars oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Pati berdasarkan Perda Nomor 5 Tahun 2011 Tentang RTRW Kabupaten Pati. Berdasarkan Pasal 41 Perda Nomor 5 tahun 2011, kawasan kars termasuk kawsan suaka alam pelestarian alam dan cagar budaya. Sedangkan dalam pasal 42 ayat (1) menyebutkan kawasan kars ini diantaranya :
  1. Kecamatan Sukolilo dengan luas kurang lebih 1.682,00 Ha (seribu enam ratus delapan puluh dua koma nol nol hektar);
  2. Kecamatan Kayen dengan luas kurang lebih 569,50 Ha (lima ratus enam puluh sembilan koma lima puluh hektar);
  3. Kecamatan Tambakromo dengan luas kurang lebih 11,05 Ha (sebelas koma nol lima hektar);
Sedangkan dalam ayat 2 butir (a) menyebutkan dengan jelas larangan melakukan penambangan didalam kawasan kars lindung.
Selanjutnya pada tahun 2014, keluar Keputusan Menteri Energi dan Sumber daya Mineral Republik Indonesia Nomor 2641K/40/MEM/2014 tentang Penetapan Kawasan bentang Alam Karst Sukolilo yang menetapkan luasan kawasan karst Sukolilo Kabupaten Pati menjadi 71,80 Km, meliputi kecamatan Sukolilo, Kayen dan Tabakromo.
Kawasan dimana terdapat lokasi gua-gua ini masuk dalam wilayah KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst). Namun berdasarkan Keputusan menteri Energi dan Sumberdaya Mineral RI Nomor 2641K/40/MEM/2014, kawasan luasan KBAK tersebut dikurangi sehingga Gua Pari beserta sumber air/sungai bawah tanah itu justru dikecualikan dalam KBAK, berdasarkan Permen 2014.
7) Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari juga mengunjungi lokasi kawasan kars di Rembang, atau tepatnya yang berdekatan dengan desa Tegaldowo. Hasil kunjungan kami menemukan kegiatan tambang di kawasan kars ternyata tidak berhenti sesuai dengan rekomendasi KLHS I.
8) Pemkab Rembang dan Pemprov Jawa Tengah nampaknya tidak merasa memiliki kewajiban untuk mengikuti hasil keputusan KLHS I. Nampaknya mereka beralasan bahwa semua ijin yang dikeluarkan telah sesuai dengan hasil kajian KLHS yang mereka buat sendiri tahun 2012 (informasi diperoleh dari salah satu penasehat Gubernur).
Hingga saat ini kami sendiri belum pernah mengetahui keberadaan kajian ini dan kalaupun benar ada kajian ini, maka seharusnya kajian ini dapat diakses publik terutama oleh Tim kajian KLHS I. Pemprov Jawa Tengah beranggapan bahwa semua IUP/Ijin Usaha Pertambangan yang mereka keluarkan di kawasan Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih tidak melanggar hukum. Sementara kami beranggapan sebaliknya.
Keputusan yang dihasilkan dari hasil rekomendasi KLHS I seharusnya mengikat pemkab Rembang dan Pemprov Jawa Tengah. Sebelum ada keputusan yang dihasilkan dari kajian lanjutan yang dilakukan kementerian ESDM maka semua aktivitas pertambangan wilayah CAT Watuputih harusnya dihentikan dulu.

REKOMENDASI AAKL

Berdasarkan hasil temuan dari kunjungan lapangan Aliansi Akademisi untuk Kendeng Lestari (AAKL) menyampaikan sejumlah usulan rekomendasi sebagai berikut:
  1. Meminta Presiden RI, bapak Joko Widodo, agar memanggil semua pihak terkait untuk taat dengan hasil keputusan KLHS I.
  2. Meminta Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan untuk memerintahkan divisi terkait dengan penindakan hukum untuk melakukan investigasi ke lapangan dan memastikan pihak-pihak lain terkait dengan ijin dan aktivitas tambang di kawasan CAT Watuputih untuk mematuhi hasil keputusan yang diusulan oleh tim KLHS I.
  3. Kembali mengingatkan bersama, bahwa penyelamatan pegunungan Kendeng harus dilakukan secara sungguh-sungguh, termasuk mempertimbangkan segala dampak sosial ekonomi budaya yang begitu luas di tengah masyarakat. Pula KLHS sebagai awal dari upaya kesungguhan politik Presiden harus tetap dihormati, dijaga, sekaligus ditegakkan secara baik.

ALIANSI AKADEMISI UNTUK KENDENG LESTARI (AAKL)

  1. Al Hanif, PhD (Ketua Sepaham Indonesia, Ketua CHRM2 Universitas Jember)
  2. Dr. Herlambang P. Wiratraman (Ketua Pusat Studi Hukum HAM FH Unair)
  3. Suraya Afif, PhD. (Antropolog, UI)
  4. Dr. Bambang Widjojanto, LLM. (Pengajar FH Usakti, Jakarta)
  5. Dr. Rikardo Simarmata (Ketua Djojodigoeno Institute for Adat Law, FH UGM)
  6. Haidar Adam, LLM. (Pusat Studi Hukum HAM dan Departemen HTN FH Unair)
  7. Iman Prihandono, PhD (Ahli Hukum Bisnis dan HAM, HRLS FH Unair)
  8. Syukron Salam, MH. (Peneliti Sosio-Legal, FH Univ. Semarang)
  9. Dr. Harry Supriyono (Pengajar Hukum Lingkungan FH UGM)
  10. Eko Cahyono, M.Si (Direktur Eksekutif Sajogyo Institute/Fak.Ekologi Manusia – IPB)
  11. Dr. Satyawan Sunito (Direktur Pusat Studi Agraria IPB)
  12. Amira Paripurna, PhD. (Dosen Hukum Pidana FH Unair)
  13. Dr. Eko Teguh Paripurno (Pusat Studi Manajemen Bencana/PSMB, UPN “Veteran”
    Yogyakarta)
  14. Dr Imam Koeswahyono (Pusat Studi Hukum Agraria, FH Univ. Brawijaya)
  15. Donny Danardono, MA. (Pusat Studi Lingkungan, FH Unika Sugijapranata)
  16. Sri Lestari Wahyuningroem, PhD. (Departemen Ilmu Politik, FISIP UI)
  17. Muhammad Taufiqurrohmam, M.Hum. (FIB Unsoed)
  18. Muhammad Al Fayyadl (PP. Nurul Jadid, Kraksaan Probolinggo, Koordinator Nasional FNKSDA)
  19. Roy Murtadho (Redaktur Islam Bergerak dan FNKSDA)
  20. Prof. Dr. Riwanto Tirtosudarmo (Pusat Kajian Masyarakat dan Budaya LIPI/Lembaga
    Ilmu Pengetahuan Indonesia)
  21. Dr. Ahmad Redi (Direktur Eksekutif Pusat Studi Ketatanegaraan Universitas
    Tarumanagara).
  22. Muchtar Said, MH. (Fakultas Hukum Universitas NU Jakarta dan Pustokum)
  23. Dr. Andri G Wibisana (Pengajar Hukum Lingkungan Fak. Hukum UI)
  24. Dr. W. Riawan Tjandra (Pengajar Hukum Administrasi Fak. Hukum Univ. Atmajaya
    Yogjakarta)
  25. Dian Noeswantari, MPAA. (Pusat Studi HAM Universitas Surabaya)
  26. Dr. Zainal A. Mochtar (Pusat Kajian Anti Korupsi/Pukat dan Dosen FH UGM)
  27. Wahyu Nugroho, SH., MH. (Dosen Hukum Lingkungan Fakultas Hukum USAHID
    Jakarta)
  28. Arizal Mutahir, M.A. (Sosiologi Unsoed)
  29. Hariyadi, Ph.D. (Sosiologi Unsoed)
  30. Luthfi Makhasin, Ph.D. (Politik Unsoed).

PERWAKILAN AAKL UNTUK PERTEMUAN DI BINA GRAHA, JAKARTA (25/10/2017)

Dr. Herlambang P. Wiratraman
Suraya Afif, PhD.
Prof. Dr. Riwanto Tirtosudarmo
Dr. Ahmad Redi
Dr. Andri G Wibisana
Franky Butar-Butar, M.Dev.
Wahyu Nugroho, SH., MH.

Sumber: LegalEraIndonesia 

Rabu, 25 Oktober 2017

Tinjau Lapangan Para Akademisi Kuatkan Alasan Pegunungan Kendeng Harus Terjaga (Bagian 1)

October 25, 2017 | Tommy Apriando, Pati

Truk mengangkut galian tambang untuk diolah jadi semen. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Ratusan kendi cokelat dari tanah liat berjejer di dinding kayu pada sebuah rumah limasan. Kayu jati tua mendominasi bangunan itu. Kendi-kendi berisi air dari sumber mata air di Pegunungan Kendeng, Pati, Jawa Tengah.
Sebuah bangunan rumah terbuat dari batuan bata di bawahnya dan kayu Jati tua di bagian atas. Mereka menyebutnya Omah Kendeng atau Rumah Kendeng. Foto-foto sejarah perjuangan masyarakat Kendeng menjaga sumber air dari ancaman pabrik semen, ikut terpajang di dinding. Ada pula seperangkat alat musik kulintang dan berbagai produk hasil pertanian, tersusun rapi di dalamnya.
Hari itu, Selasa (3/10/17), terik mentari menyengat kulit. Aplikasi smartphone menunjukkan angka 34 derajat celcius. Puluhan akademisi lintas ilmu dari berbagai perguruan tinggi seperti Universitas Airlangga Surabaya, Universitas Gajah Mada, Universitas Indonesia, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta, serta beberapa kampus lain, bersama puluhan warga yang tergabung di Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) berkumpul di tengah Omah Kendeng.
“Bersama warga, para akademisi  kuliah lapangan. Meninjau lokasi yang terancam pertambangan pabrik semen di Pegunungan Kendeng di Pati dan Rembang,” kata Herlambang P. Wiratraman, pakar hukum tata negara dan hak asasi manusia dari Universitas Airlangga Surabaya.
Pukul 11.00 siang, para akademisi dan warga memulai perjalanan menuju salah satu sumber air yang digunakan puluhan ribu warga untuk pertanian, ternak dan kebutuhan harian. Perjalanan membutuhkan waktu 15 menit dari Omah Kendeng.
Ketika tiba di lokasi, Eko Teguh Paripurno dari UPN Veteran Yogyakarta, menjelaskan soal batu gamping dan hidrologi di kawasan karst.
“Sungai bawah tanah ini mengalirkan air untuk warga, lahan pertanian dan ternak. Hilangnya karst makan berpotensi menghilangkan sumber air di Goa Wareh ini,” katanya.
Bambang Sutikno, warga Wukirsari, Tambakrono, mewakili JMPPK mengatakan, goa itu, ada puluhan pipa plastik menyedot air, mengalir ke rumah-rumah penduduk di kawasan lebih tinggi dari aliran sungai.
Kala kemarau, air tak pernah habis. Wisata goa itu telah memberikan pendapatan bagi masyarakat sekitar dari membuka warung, jasa parkir, dan sumber air terus terjaga.
“Sejauh ini goa dan sumber air selamat dari ancaman kerusakan pertambangan pabrik semen. Ancaman tambang batu kapur saat ini ada di Kayen dan Tambakromo, Pati,” kata Bambang.
Dari Goa Wareh, mereka bergerak ke Goa Pari dan sumber air Kali Gede di Kayen. Tiba di mulut goa, warga bersama puluhan akademisi ingin membuktikan ada sungai bawah tanah. Lokasi goa ada di kawasan izin pertambangan PT. Sahabat Mulia Sakti, anak perusahaan PT. Indocement Tbk.
Dengan tangga, para akademisi masuk ke dalam goa sekitar 10 meter, untuk ke sungai bawah tanah. Herlambang, melihat langsung deras air mengalir di Goa Pari. Dia bahkan berjalan sembari membungkuk menyusuri sungai.

Para akademisi dan warga Kendeng ke Goa Wareh. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia 
Berdasarkan penelitian UPN Veteran Yogyakarta dan beberapa speleolog membuktikan, ada aliran sungai bawah tanah Goa Pari  mengalir hingga sumber air Kali Gede, berjarak sekitar 100 meter. Jika sumber air Kali Kede hilang, ribuan hektar lahan pertanian kesulitan air.
Aliran sungai bawah tanah maupun mata air itu senyatanya dalam IUP PT. SMS, hanyalah satu dari sekian banyak fakta lapangan yang tak terakomodir dalam Kepmen Energi dan Sumber Daya Mineral 2014. Ia juga tak terakomodir dalam dokumen Amdal SMS.
Herlambang bilang, terjadi cacat hukum, kekeliruan, penyalahgunaan, dan ketidakbenaran maupun pemalsuan data, dokumen dan informasi hingga bertentangan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
“Ada sungai bawah tanah di Goa Pari yang mengalir ke Kali Gede. Di dokumen Amdal Goa Pari dan sungai bawah tanah tidak disebutkan,” katanya.
Bambang menambahkan, kronologi perusahaan semen masuk mulai 2006,  yaitu PT. Semen Gresik (Persero) Tbk di Sukolilo, namun berhasil digagalkan lewat penolakan konsisten warga baik jalur PTUN maupun non litigasi. Semen Gresik mundur pada 2013.
Pada 2014, SMS masuk ke Pati dan menyasar Kayen dan Tambakromo. Warga semangat menyelamatkan Pegunungan Kendeng. Proses litigasi berjalan, pada 6 Maret 2017, Mahkamah Agung memutus kasasi. Warga tengah mempersiapkan Peninjauan Kembali.
“Kami tak akan kendur memperjuangan sumber air dan Gunung Kendeng,” kata Bambang.
Proses kasasi warga dikalahkan, pertimbangan putusan Mahkamah Agung Nomor 4 K/TUN/2017 menyatakan,  lokasi tambang pabrik semen SMS di luar Kawasan Bentang Alam Kars (KBAK) Sukolilo. Obyek sengketa tak bertentangan tata ruang wilayah nasional, tata ruang Jawa Tengah dan Pati hingga sudah sesuai peraturan.
Andri G Wibisana, Pakar Hukum Lingkungan dari Universitas Indonesia ikut ke lapangan. Dia mengatakan, pertimbangan putusan kasasi yaitu izin berdasarkan asumsi atau kajian sesat, dan manipulatif.
Sebenarnya, meskipun benar di luar KBAK, ada aturan RTRW nasional pemerintah memastikan tak ada kegiatan mengakibatkan kerusakan di kawasan lindung. Secara substantif, putusan MA keliru, karena basis kajian penuh kebohongan.
“Seharusnya pijakan berdasarkan Kajian Lingkungan Hidup Strategis, dan gubernur wajib patuh dan mengikuti KLHS, sesuai Pasal 15 PP Nomor 46/2016 tentang KLHS,” katanya.
Data JMPPK,  KBAK Sukolilo khusus Pati pada 2005 ditetapkan seluas 118,02 kilometer persegi, menyusut pada Kepmen ESDM tahun 2014 menjadi hanya 71,80 kilometer persegi. Ada penyusutan KBAK yang tidak diketahui alasan seluas 46,22 kilometer.
“Penyusutan itu kemudian jadi lokasi pabrik dan penambangan PT. SMS.”
Penyusutan itu bertentangan dengan klasifikasi KBAK sebagaimana Permen ESDM No. 17/2012 karena sebenarnya lokasi yang menyusut sesuai fakta terkategori KBAK ditandai banyak mata air, ponor, gua bahkan sungai bawah tanah. Hal ini, sama sekali tidak dipertimbangkan putusan kasasi padahal hal itu sangat mempengaruhi.
Mongabay mengkonfirmasi perusahaan dengan menghubungi Budiono Hendranata, Direktur Utama SMS, namun belum direspon. Surat elektronik ke perusahaan juga belum berbalas. (Bersambung)
Warga mengajak akademisi membuktika sungai bawah tanah di Goa Pari, Kayen, Pati. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Sumber: Mongabay.Co.Id 

Rabu, 18 Oktober 2017

Karst, Kerusakan Lingkungan, dan Kelangsungan Hidup

Okt 18, 2017 | Oleh:  Maritsa Zuchrufa*




Pegunungan Karst merupakan pegunungan yang memiliki beragam kekayaan alam. Selain memiliki bentang alam eksotis, flora dan fauna langka. Karst yang merupakan batuan kapur berfungsi sebagai daerah resapan dan sumber air, kaya bahan tambang, serta kaya akan peninggalan sejarah (Fardhani, Kompas, 30 Juni 2015). Jika karst dikelola dengan salah, hal itu dapat mengakibatkan kekeringan, konflik sosial budaya, dan kehilangan biodivitas unik yang belum diteliti (ICH, Kompas, 15 Desember 2015). Jika terus dibiarkan, dampaknya yang cukup serius dalam pertambangan karst akan terjadi, terutama bagi petani yang mengandalkan pengairan melalui sungai-sungai yang mengalir dari pegunungan karst. Oleh karena itu, pertambangan pada pegunungan karst berpotensi merusak kekayaan alam yang ada sehingga tidak jarang terjadi berbagai penolakan dari masyarakat sekitar tambang.
Lebih jauh, pertambangan merupakan permasalahan yang erat kaitannya dengan isu pencemaran lingkungan atau perusakan alam. Tidak jarang kasus pertambangan juga memicu konflik dengan warga di sekitar area tambang. Ini disebabkan warga sekitar tambang terancam terkena dampak negatif dari proses pertambangan tersebut. Meskipun tidak dapat dipungkiri bahwa tambang juga dapat membawa dampak positif bagi warga di sekitar area pertambangan, seperti penyerapan tenaga kerja, pengembangan masyarakat, dan sebagainya . Namun, tidak jarang terdapat masyarakat yang mendukung operasi tambang karena merasa diuntungkan dengan adanya operasi tambang tersebut.
(Sumber: https://www.tambang.co.id/wp-content/uploads/2014/09/Kapur-680×400.jpg)
Di pulau Jawa banyak terjadi aktivitas pertambangan karst di pegunungan kapur, tersebar di wilayah Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Munculnya berbagai aksi penolakan adanya pertambangan gunung karst di berbagai daerah, salah satunya pada kasus penambangan karst di pegunungan Kendeng oleh PT Semen Indonesia. Sebagian masyarakat sekitar tambang yang tergabung dalam kelompok adat Sedulur Sikep atau lebih dikenal dengan Masyarakat Samin, merasa operasi tambang di Pegunungan Kendeng akan merugikan masyarakat setempat (AIK & GSA, Kompas, 28 April 2015). Pertambangan di pegunungan Kendeng dirasa akan merugikan masyarakat sekitar terutama petani yang mengandalkan pengairan sawah melalui sungai yang berasal dari pegunungan kendeng. Masalah ini diungkapkan dalam wawancara Harian Nasional Kompas kepada salah satu warga Rembang yang turut menggugat dan menyatakan akan terus menolak rencana penambangan semen di wilayahnya, baik PT Semen Indonesia maupun pabrik semen lain, atau penambangan batu gamping yang beroperasi karena dianggap akan merugikan masyarakat sekitar terutama para petani dan peternak (AIK & GSA, Kompas, 28 April 2015).
Bertolak dari permasalahan di atas, terdapat warga yang mendukung operasi tambang di pegunungan Kendeng karena dianggap lebih menguntungkan bagi masyarakat sekitar. Berdasarkan wawancara kompas pada salah satu warga yang mendukung operasi tambang di pegunungan Kendeng menjelaskan bahwa masyarakat sekitar sebagian besar mendukung operasi tambang tersebut, sedangkan masyarakat yang menolak hanya sebagian mengatasnamakan warga sekitar pabrik semen (Nurdin, Kompas.com, 13 Desember 2016).
Sumber: http://www.mongabay.co.id/wp-content/uploads/2017/03/semen1-Aksi-cok-semen-dilakukan-sebagai-bentuk-protes-atas-diamnya-pemerintah-menyelesaikan-konflik-warga-Kendeng-Ayat-S-Karokaro-1.jpg
Terlepas dari permasalahan mengenai warga yang mendukung dan menolak operasi tambang di pegunungan Kendeng, dampak ekologis pertambangan karst telah diungkapkan salah satu Profesor Riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Yayuk Rahayuningsih, peneliti kelompok hewan pada ekosistem karst dalam wawancara Kompas (Mulyadi, Kompas.com, 29 Agustus 2012). Yayuk menegaskan bahwa terjadi hubungan yang saling mempengeruhi antara ekosistem karst dengan ekosistem di lingkungan sekitar. Lebih jauh, Yayuk menjelaskan mengenai hewan-hewan yang hidup di pegunungan karst seperti kelelawar dan burung walet merupakan hewan pemakan serangga yang menjadi pengendali hama pertanian (Mulyadi, Kompas.com, 29 Agustus 2012). Terganggunya proses pertanian dapat mengganggu aktivitas ekonomi para petani. Dengan demikian pertambangan karst dapat menimbulkan masalah sosial baru bagi para petani di sekitar area tambang.
Dampak negatif dari adanya pertambangan juga dirasakan oleh warga Desa Karangkembang Kecamatan Babat Kabupaten Lamongan. Masyarakat setempat mengalami Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) akibat debu hasil pertambangan Gunung Pegat di Desa Gajah, Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro. Secara geografis, Desa Karangkembang memang terletak di samping jalan raya yang dilewati truk pengangkut batu kapur hasil tambang sehingga debu-debu yang beterbangan dari truk-truk tersebut langsung dirasakan oleh warga setempat. Akibatnya, rumah-rumah warga di sekitar jalan raya menjadi kotor dan warga banyak yang mengalami ISPA. Tidak hanya itu, beberapa warga juga mengalami batuk-batuk dan sakit mata, terutama anak-anak (Ardiyanto, Lamongantimes.com, 10 Oktober 2015).
Adanya dampak negatif yang dirasakan warga Desa Karangkembang dari pertambangan Gunung Pegat memicu munculnya konflik antara warga setempat dengan pihak perusahaan tambang. Hal ini menyebabkan warga melakukan aksi demonstrasi menuntut ganti rugi atas dampak pertambangan yang dirasakan warga setempat. Sebaliknya, dampak negatif dari pertambangan Gunung Pegat tidak secara langsung dirasakan oleh warga Desa Gajah Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro. Secara tata ruang wilayah desa Gajah berada sekitar 100 meter dari jalan raya sehingga warga setempat tidak merasakan dampak dari adanya debu-debu batuan kapur hasil pertambangan yang dimuat oleh truk-truk pengangkut hasil tambang yang berlalu lalang. Selain itu Desa Gajah juga mendapat kompensasi atas adanya pertambangan di Daerah Mereka, sehingga pertambangan merupakan hal yang menguntungkan bagi warga setempat. Kondisi ini memicu terjadinya konflik antara warga Desa Karangkembang dengan warga Desa Gajah. Terjadi perdebatan antara pendemo dengan salah satu warga Desa Gajah yang meminta pendemo melakukan aksi di daerahnya sendiri karena menolak desanya dijadikan ajang demo (Surya, 11 Oktober 2015).

Gambar operasi tambang Gunung Pegat Desa Gajah (Dokumentasi oleh Maritsa Zuchrufa)
Lebih jauh, lubang bekas galian tambang berpotensi menimbulkan bencana. Hal ini dapat dilihat pada kasus yang terjadi di Kabupaten Gresik, Jawa Timur. Pertengahan Mei 2017 diberitakan enam santri Pondok Pesantren (PP) Mambaus Sholihin Kecamatan Manyar, meninggal karena tenggelam di kubangan bekas galian tambang PT Semen Gresik yang sebelumnya juga merenggut dua korban jiwa. Hal ini diperjelas dengan adanya peta rawan longsor yang dikeluarkan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Jawa Timur (Abdalla, NUOnline, 15 Juni 2017). Hal ini menunjukkan permasalahan yang cukup serius mengenai dampak pertambangan karst. Tidak hanya berdampak secara sosial ekonomi masyarakat sekitar tambang, tetapi juga resiko bencana yang dapat terjadi setiap saat.
Berbagai kasus pertambangan di atas dapat menunjukkan banyaknya permasalahan yang timbul akibat pertambangan karst, baik masalah sosial terkait konflik antara pendukung dan penolak tambang, hingga risiko terhadap bencana. Hal ini perlu mendapat perhatian khusus dari pemerintah mengenai aturan pengelolaan pegunungan karst. Pemerintah perlu selektif dalam menilai pegunungan karst yang dapat dimanfaatkan untuk pertambangan dan tidak. Di samping itu, perlu adanya pengawasan dari pemerintah maupun masyarakat sekitar tambang agar pelaksanaan pertambangan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan sehingga mengurangi risiko atau dampak negatif yang akan ditimbulkan. (Editor: Ranny Rastati) 
Referensi
Abdalla, Achmad Faiz MN. “Persoalan Bekas Tambang Kapur di Gresik”, NUOnline, 15 Juni 2017, http://www.nu.or.id/post/read/78888/persoalan-bekas-tambang-kapur-di-gresik (diakses 29 Agustus 2017)
AIK, & GSA. “Pabrik Semen: Walhi dan Warga Ajukan Banding”, Kompas, 28 April 2015, p. 14.
Ardiyanto. “Akibat Debu Penambangan Batu Kapur, Warga Terserang ISPA”, Lamongantimes.com, 10 Oktober 2015, http://www.lamongantimes.com/baca/127544/20151010/190826/akibat-debu-penambangan-batu-kapur-warga-terserang-ispa/ (diakses 16 Agustus 2017)
Fardhani, Aziz. “Pecinta Alam: Peduli Karst, Peduli Lingkungan sosial”, Kompas, 30 Juni 2015, p. 35.
ICH. “Karst: Jangan Ulangi Kesalahan di Gambut”, Kompas, 15 Desember 2015, p. 14.
Mulyadi, Agus. “Aktivitas Tambang Pada Karst Menyusutkan Keanekaragaman Hayati”, Kompas.com, 29 Agustus 2012, http://nasional.kompas.com/read/2012/08/29/22553220/Aktivitas.Tambang.Pada.Karst.Menyusutkan.Keanekaragaman.Hayati (diakses 28 Agustus 2017)
Nurdin, Nazar. “Dinilai Bermanfaat, Warga Sekitar Dukung Pabrik Semen Rembang”, Kompas. 13 Desember 2016, http://regional.kompas.com/read/2016/12/13/17133451/dinilai.bermanfaat.warga.sekitar.dukung.pabrik.semen.rembang(diakses 29 Agustus 2017)
Surya. “Puluhan Pendemo Bersitegang dengan Warga Baureno”, Surya, 11 Oktober 2015, http://surabaya.tribunnews.com/2015/10/11/puluhan-pendemo-bersitegang-dengan-warga-baureno (diakses 16 Agustus 2017)
______________________________________________
Maritsa Zuchrufa, Mahasiswa Sosiologi, Universitas Brawijaya Malang. Penulis telah menyelesaikan program magang di PMB LIPI periode 17 Juli-8 September 2017 di bawah bimbingan Wahyudi Akmaliah, M.Si. Tulisan ini adalah bagian dari skripsi penulis yang telah dipresentasikan di seminar intern PMB LIPI pada 23 Agustus 2017
Sumber: LIPI 

Selasa, 17 Oktober 2017

Banyu Buthek Documentary | YouTube


Selasa, 10 Oktober 2017

Seribu Mahasiswa Turun Kejalan Kecam Kekerasan dan Desak Bupati Cabut Ijin PLTPB Baturaden

10 Oktober, 2017


Aksi seribu mahasiswa se-Purwokerto 10 Oktober 2017 di alun-alun Purwokerto mengecam kekerasan aparat terhadap warga yang menolak proyek PLTPB Baturaden oleh PT. SAE. [foto:ahmed]

Mahasiswa se-Purworkerto melakukan aksi turun kejalan untuk mengecam tindak kekerasan dan penangkapan terhadap warga yang tergabung dalam Aliansi Selamatkan Slamet pada hari Senin 9 Oktober 2017 kemarin. Aksi yang diikuti oleh seribu mahasiswa tersebut juga ditujukan untuk mendesak dihentikannya proyek Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTBP) serta dicabutnya ijin PT. Sejahtera Alam Energy (PT.SAE) karena telah merugikan masyarakat dan merusak kawasan lereng Gunung Slamet.
Dalam aksi yang di pusatkan di alun-alun Purwokerto tersebut massa mengecam Bupati dan Kapolres Banyumas yang menggunakan cara-cara kekerasan dalam menghadapi tuntutan rakyat. Massa mendesak agar Kapolres Banyumas melepaskan warga yang ditangkap serta bertanggungjawab atas korban yang mengalami luka-luka ataupun mengalami tindak kekerasan.
Aksi juga diisi dengan press conference dari Aliansi Selamatkan Slamet dan kesaksian dari korban kekerasan aparat. Sasongko dari perwakilan desa yang juga korlap di aksi Selamatkan Slamet (9/10) menyampaikan bahwa dia orang yang diseret pertama kali.  Dia diseret-seret hingga bajunya robek. Dan dipukul hingga lebam dibagian dahi. Korban lain, Marsha Azka juga ditangkap dan ditarik serta dipukul oleh aparat hingga bagian telinganya luka. Dia pun menjelaskan mengapa dirinya ikut aksi karena melihat langsung dampak dari PLTPB. Keruhnya air membuat warga harus menggunakan air galon selama seminggu berturut-turut. Bahkan turunnya babi ke warga dan menyerang warga. .
Tim advokasi yang diwakili Lembaga Bantuan Hukum Jogja menyampaikan penangkapan yang dilakukan aparat tidak ada dasar hukumnya. Lalu, tindakan kekerasan terhadap massa aksi akan ditindak lanjuti dan korban akan segera melakukan pelaporan.
Berdasarkan data yang disampaikan Aliansi Selamatkan Slamet pembangunan proyek PLTPB Baturaden telah merampas tanah dan hutan milik rakyat yang selama ini menjadi sandaran hidup. Selain itu, akibat dari aktifitas proyek PLTPB tersebut, terjadi kerusakan lingkungan yang mengganggu kehidupan rakyat. Lebih dari 7 Desa di Banyumas mengalami krisis air bersih. Begitu pula dengan ancaman satwa dari lereng Gunung Slamet yang terusir karena aktivitas pembangunan PTLPB oleh PT. SAE. []
Sumber: MRB-Media.Com 

KRONOLOGI | Oknum Aparat Injak-injak Wartawan di Banyumas, Kapolda Janji Menindak Pelaku

Selasa, 10 Oktober 2017 14:46
Laporan Wartawan Tribun Jateng Rahdyan Trijoko Pamungkas



JUMPA PERS - Kapolda Jateng Irjen Pol Condro Kirono (tengah), bersama Kadiv Humas Mabes Polri (kiri) Irjen Pol Setyo Wasito, dan Karopenmas Divhumas Polri Brigjen Pol Rikwanto melakukan jumpa pers terkait dugaan penganiayaan terhadap wartawan saat meliput aksi tolak bangunan PLTB Gunung Slamet di depan kantor Bupati Banyumas. Jumpa pers digelar di Akpol, Selasa 10 Oktober 2017. tribunjateng/rahdyan trijoko pamungkas

Kekerasan Terhadap Wartawan

TRIBUNJATENG.COM, SEMARANG - Polri akan menindak aparat yang diduga melakukan kekerasan terhadap wartawan saat meliput aksi tolak proyek pembangunan PLTB Gunung Slamet di depan kantor Bupati Banyumas.
Kapolda Jawa Tengah, Irjen Pol Condro Kirono mengatakan kejadian berawal adanya unjuk rasa oleh kelompok masyarakat dan mahasiswa terkait penolakan pembangunan PLTPB (Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi) di Gunung Slamet.
Unjuk rasa dimulai hari Senin (9/10) pukul 09.30 hingga pukul 18.00.
"Sesuai UU harus dilanjutkan besok pagi. Pada pukul 18.00 sudah diingatkan untuk dapat membubarkan diri. Sudah disampaikan melalui dialog dan mediasi aksi mundur pukul 19.00," kata Kapolda Jateng saat jumpa pers di gedung pertemuan Akpol, Selasa (10/10/2017).
Sejumlah wartawan melakukan unjukrasa di pendopo Kabupaten Banyumas, Selasa 10 Oktober 2017
Sejumlah wartawan melakukan unjukrasa di pendopo Kabupaten Banyumas, Selasa 10 Oktober 2017 (tribunjateng/khoirul muzaki)
Lanjutnya, pukul 19.00 telah disampaikan dapat membubarkan diri.
Namun saat itu para peserta demo belum juga membubarkan diri.
Kemudian pada pukul 20.00 juga diminta untuk membubarkan diri.
"Hingga pukul 22.00 dimana, mereka (pendemo) sudah mulai membangun tenda. Maka dilakukan negosiasi untuk membubarkan diri. Dan karena tidak bubar maka dibubarkan secara paksa," tuturnya.
Akibat pembubaran tersebut terjadi kontak fisik antara petugas pengamanan dan pengunjuk rasa.
Hal tersebut mengakibatkan luka-luka demonstrans dan wartawan.
"Kami atas nama Polda Jawa Tengah dan Polri meminta maaf atas kejadian tadi malam, Senin (9/10) yang mengakibatkan mahasiswa maupun jurnalis mengalami luka-luka," ujarnya.
Di samping itu, Kapolda telah perintahkan Kapolres Banyumas yang sedang melaksanakan Apel Kasatwil untuk kembali ke Markas Komandonya melakukan pengecekan dan melihat bagaimana Standar Operasional Prosedur (SOP) saat pembubaran.
"Direktur Intelejen dengan timnya bersama Kabid Propam ke Banyumas untuk melihat prosedurnya seperti apa," jelasnya.
Dikatakannya, apabila terjadi kesalahan prosedur, disiplin, dan kode etik akan memproses anggotanya yang salah dalam penanganan.
Hingga saat ini Kapolres Banyumas telah menerima keterangan dari empat korban penganiayaan.
"Secara menyeluruh nanti Kabid Propam, dan Kabid Intel untuk mengecek," ujarnya.
Ia menuturkan akan intens menangani kasus tersebut. Selain itu pihaknya juga akan menanggung biaya wartawan yang saat ini dirawat di rumah sakit.
"Saya perintahkan untuk menginventarisir barang-barang milik wartawan maupun peserta demo yang rusak," tegasnya. (*)
Sumber: TribunNews.Com 

Wartawan MetroTV Dianiaya Oknum Polisi di Banyumas Saat Liputan Demo

Selasa 10 Oktober 2017 - 11:19



Jurnalis. (Foto: Thinkstock)

Darbe Tyas, wartawan MetroTV yang tengah meliput unjuk rasa penolakan proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Baturraden di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, menjadi korban kekerasan. Saat itu petugas Satpol PP dan polisi tengah membubarkan massa, karena memang sudah malam.

Peristiwa pada Senin (9/10) pukul 22.00 WIB, itu menjadi ricuh ketika pembubaran paksa terjadi. Darbe yang mengabadikan peristiwa itu malah dipukul petugas

"Saat itu, sekitar pukul 22.00 WIB, saya bersama Darbe, Aulia El Hakim dari Satelit Pos, dan Maulidin Wahyu dari Radar Banyumas meliput pembubaran paksa unjuk rasa di depan Kantor Bupati Banyumas oleh anggota Polres dan Satpol PP," kata wartawan Suara Merdeka, Agus Wahyudi di Purwokerto, Kabupaten Banyumas, Selasa (10/10) seperti dilansir antara.

Menurut Agus, wartawan lainnya, fotografer Suara Merdeka, Dian Aprilianingrum lebih dulu mengabadikan pembubaran paksa yang dilakukan secara brutal itu juga mengalami kekerasan psikis karena kameranya dirampas oleh oknum aparat meskipun yang bersangkutan telah mengatakan sebagai wartawan.

Lebih lanjut, Agus mengatakan saat dia bersama tiga wartawan lainnya berhasil mendokumentasikan pembubaran paksa tersebut, sejumlah oknum polisi serta Satpol PP berusaha merampas alat kerja mereka seperti telepon pintar dan kamera.

Bahkan, kata dia, oknum-oknum aparat meminta wartawan untuk menghapus seluruh gambar yang ada dalam kamera dan ada pula oknum yang akan membanting alat kerja wartawan serta membawanya pergi.

"Penghalangan untuk tidak boleh meliput juga sempat dilontarkan oknum aparat kepada Maulidin Wahyu Aulia El Hakim saat memasuki halaman Pendapa Si Panji untuk menyaksikan dari dekat tindakan represif aparat kepada puluhan pengunjuk rasa yang mengalami kekerasan fisik dan diangkut memakai kendaraan Dalmas untuk diamankan," katanya.

Akan tetapi nahas, kata dia, Darbe yang sedang mengambil gambar justru dipukul, diinjak-injak, dan ditendang oleh sekitar 10 aparat.

Padahal saat terdorong hingga tersungkur, Darbe telah menyampaikan jika dia adalah wartawan sembari menunjukkan kartu identitas persnya Setelah mengalami kekerasan fisik lebih kurang selama 10 menit di sudut gerbang pendapa sebelah barat, Darbe yang sudah tidak berdaya ditolong oleh Wahyu dan Dian.

"Jika helm yang dipakai Darbe sampai lepas, kemungkinan besar akan mengalami kondisi yang lebih parah," kata Agus.

Ia mengatakan kejadian yang dialami Darbe bermula saat wartawan Metro TV itu berupaya melindungi Dian yang terancam menjadi sasaran pengeroyokan oleh aparat.

Akan tetapi Darbe justru diarak oleh sejumlah anggota polisi dan Satpol PP ke arah gerbang pendapa yang selanjutnya dianiaya.

"Aksi tersebut berhenti, setelah Dian berteriak histeris. Sebelumnya, Dian telah berulang kali berteriak bahwa yang diarak tersebut adalah wartawan Metro TV, namun tidak diindahkan," katanya.

Selain mengalami luka di beberapa bagian tubuh, kata dia, kacamata dan kartu identitas pers milik Darbe juga dirampas oknum aparat.

Ia menduga tindakan tersebut dilakukan karena Darbe paling banyak mengabadikan momen kekerasan terhadap massa pengunjuk rasa.

"Oleh karena khawatir terjadi sesuatu, kami bersama sejumlah sukarelawan dari masyarakat mengantar Darbe ke rumah sakit untuk memeriksakan kondisi kesehatannya," tutup Agus.

Kumparan (kumparan.com) sudah mengontak Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Setyo Wasisto meminta konfirmasi. Setyo meminta waktu karena kasus ini tengah diklarifikasi.

Sumber: Kumparan.Com 

Senin, 09 Oktober 2017

Bupati Banyumas Minta Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi Baturraden Distop

SENIN, 9 OKTOBER 2017

Kirim Pengajuan Permohonan ke Gubernur PURWOKERTO-Keresahan warga lereng Gunung Slamet, khususnya yang terkena dampak air keruh di Sungai Prukut hingga ke Curug Cipendok ditanggapi serius Bupati Banyumas Ir H Achmad Husein. 

Bupati meminta agar proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) Baturraden dihentikan sementara. Langkah bupati itu ditindaklanjuti dengan pembuatan surat kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, sebagai wakil pemerintahan pusat di daerah yang memiliki kewenangan terhadap proyek tersebut. 

Pengajuan surat tertanggal 5 Oktober 2017 itu sehubungan dengan banyaknya tuntutan masyarakat terdampak pembangunan konstruksi PLTP Baturraden yang dikelola oleh PT Sejahtera Alam Energy (SAE) sekaligus dikarenakan keruhnya beberapa aliran sungai yang menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat antara lain sungai prukut, sungai logawa dan sungai mengaji.


DOK/Radar Banyumas 

“Kami mohon kepada Bapak Gubernur sebagai wakil Pemerintahan Pusat di daerah yang memiliki kewenangan terhadap proyek dimaksud, agar berkenan mengevaluasi dan menghentikan sementara proyek tersebut sampai dengan adanya solusi untuk mengatasi pencemaran air sungai dan terciptanya kondusifitas sosial masyarakat terdampak,” tulisnya. 

Bupati berharap surat rekomendasi itu segera mendapat perhatian serta dapat segera disetujui. Mengingat sungai-sungai tersebut merupakan tempat yang dijadikan sebagai sumber kehidupan bagi masyarakat setempat. 

Diberitakan sebelumnya, tragedi air keruh kembali terjadi di wilayah Kecamatan Cilongok. Hal itu diduga disebabkan akibat adanya proyek PLTP Baturraden yang sedang mengeksplorasi Hutan Gunung Slamet. 
Oleh sebab itu, warga terdampak mendesak agar proyek itu dihentikan. Kepala Dusun (Kadus) I Desa Panembangan, Galih Prasetya mengatakan, warga kesulitan air bersih dan harus pergi ke tempat teman atau saudara di desa Gununglurah dan Sokawera untuk sekedar mandi dan minum. Sedangkan untuk mencuci piring, terpaksa ke Desa Sambirata karena ada sebagian mata air yang tidak terlalu keruh. 

“Sejak ada pembangunan PLTP Baturraden oleh PT SAE, setiap hujan air keruh. Bahkan hujan kecil langsung berdampak ke PAM dengan air yang sangat keruh. Dari dulu tidak pernah terjadi seperti ini,” kata dia. 

Direktur PT SAE, Bregas H Rochadi mengakui adanya air keruh di sungai Prukut dan curug Cipendok. Namun ia belum bisa memastikan apakah itu dampak proyek PTLPB atau bukan. 

“Kami masih investigasi, sampai sore ini lagi ditelusuri. Jadi belum diketahui apakah itu karena pekerjaan yang kami lakukan atau bukan. Nanti setelah data masuk semua, kami beri kabar, ” kata dia .Namun terkait keruhnya air di warga desa terdampak, jika pun ternyata bukan diakibatkan pekerjaan yang sedang dilakukan PT.SAE, ia menyatakan PT. SAE tetap akan mengusahakan air kembali jernih. (why/ttg)

Sumber: RadarBanyumas.Co.Id