Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Minggu, 30 April 2017

Pertahankan Karst Gombong Selatan dari Ancaman Korporasi Semen dan Tipu–tipu Pemerintahan Neo-Liberal


Siaran Pers 


Pertahankan Karst Gombong Selatan dari Ancaman Korporasi Semen dan Tipu–tipu Pemerintahan Neo-Liberal

Ilustrasi: Pofil batuan Karst "terumbu" di Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK)
Gombong Selatan. Gambar diambil saat ribuan warga melaksanakan aksi tanam pohon di kawasan karst [Foto: Div.Media Perpag]


Hampir setahun sudah Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG) dan masyarakat yang tinggal di sekitar pegunungan karst meminta kepada Pemda Kebumen untuk mengembalikan kawasan lindung KBAK Gombong Selatan yang telah hilang seluas 8,05 km2, namun hingga saat ini pemerintah daerah belum menunjukan keseriusannya kepada masyarakat. Kawasan Bentang Alam Karst atau disingkat KBAK Gombong Selatan sejak tahun 2004 telah dinyatakan sebagai kawasan ecokarst, namun kini telah mengalami pengurangan, sebagaimana tertera pada Pasal 26 Perda RT/RW Nomor 23 Tahun 2012 yang semula luasannya adalah 4.894 hektar, kini mengalami pengurangan seluas 805 hektar hingga menjadi 4089 hektar.
Bermula pada tahun 2012 di saat proses reinventarisasi Kawasan Bentang Alam Karst nasional mulai dilakukan melalui Peraturan Mentri ESDM Nomor 17 Tahun 2012 guna mencabut Keputusan Mentri (Kepmen) ESDM Nomor 1456 Tahun 2000 tentang Pedoman Pengelolaan Kawasan Karst dan Kepmen Nomor 961 Tahun 2003 tentang Penetapan Kawasan Karst Gombong.
Namun di dalam proses reinventarisasi tersebut Bupati Kebumen yang menjabat pada waktu itu telah melakukan penyelewengan dengan mengurangi kawasan karst yang sejatinya secara geologi adalah kawasan lindung, serta mengusulkan kawasan lindung tersebut menjadi kawasan yang dapat dieksploitasi untuk usaha penambangan bahan baku semen, dimana kawasan tersebut sempat dijadikan kawasan IUP izin lingkungan PT Semen Gombong. Padahal sungai – sungai bawah tanah yang mengalir di kawasan karst tersebut merupakan suatu jaringan yang saling terhubung dimana airnya telah menghidupi ratusan ribu warga disekitar Pegunungan Karst. 
Kembalinya Kawasan Lindung Karst Gombong Selatan sangat penting untuk diperjuangkan mengingat maraknya investasi penambangan semen yang sedang gencar - gencarnya dilakukan oleh pemerintah Jokowi/JK, dimana telah membangkitkan keresahan masyarakat di tingkat multi sektoral khususnya di pulau Jawa. Mulai dari beroperasinya kembali pabrik semen di Rembang oleh PT Semen Indonesia yang dipaksakan meskipun Ganjar Pranowo telah berlaku makar dan mengakali putusan Mahkamah Konstitusi dikarenakan pendirian pabrik sudah menghabiskan trillyunan dana investor, hingga beroperasinya kembali pabrik semen Bima di Ajibarang. Saat ini tercatat sudah ada 141 izin penambangan semen berskala nasional siap – siap mengantri untuk ditanda-tangani Izin Amdal-nya oleh masing-masing pemerintah provinsi. Di pulau Jawa sendiri dengan jumlah penduduknya yang terpadat ini sudah ada 73 izin usaha penambangan semen yang siap menunggu untuk di-gol-kan izinnya.
Persaingan industri semen antara perusahaan semen BUMN dengan perusahaan swasta atau asing telah berkontribusi mempercepat proses musnahnya ekosistem karst, padahal di negara – negara lain seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand kawasan karst tetap selalu dipertahankan dengan mempersulit para investor asing untuk mendapatkan izin penambangan bahan baku semen dinegerinya, tetapi malahan di negeri kita sendiri pegunungan karst menjadi lahan yang menggiurkan untuk dikeruk dan di jual keluar negeri dengan alasan meningkatkan ekonomi nasional.
Asosiasi Semen Indonesia pernah menyatakan kebutuhan semen nasional mengalami surplus semenjak tahun 2014, skema ini memang dibuat untuk memenuhi kebutuhan ekspor ke luar negeri, dengan melirik peluang dimana telah ditutupnya 762 pabrik semen di China dan India. Rencana pembangunan yang tidak ramah lingkungan semakin massif dilakukan untuk pembangunan - pembangunan infrastruktur yang bertujuan untuk memprivatisasi kebutuhan massal Rakyat Indonesia, sehingga golongan masyarakat miskin dan para petani yang tengah menghadapi besarnya biaya produksi pertanian yang semakin mencekik akan semakin tersingkir. 
Berbagai upaya pembodohan terus dikembangkanya, isu-isu pro dan kontra pun semakin dibesar-besarkan, dan berbagi cara untuk menjegal perjuangan masyarakat pun dilakukan. Trik–trik usang dengan iming–iming kesejahteraan dan bantuan – bantuan palsu pada warga semakin gencar dilakukan, dan ternyata memang masih banyak sekali warga yang kesadaran sosialnya yang masih sangat rendah dan mudah sekali dininabobokan dengan ilusi–ilusi kesejahteraan oleh tuan–tuan pemilik pabrik semen.
Padahal apa yang bisa diandalkan dari pabrik semen yang sejak awal berdirinya saja sering melakukan upaya intimidasi dan pembodohan dengan melakukan sosialisasi – sosialisasi pada segelintir orang dengan uang dan janji-janji recehan, tanpa ada edukasi yang komprehensif tentang untung-ruginya dampak pertambangan semen. Berbagai mitos–mitos investasi di kemas seindah mungkin agar dapat mengisi kedangkalan cara berfikir orang–orang berwatak individualis yang padahal nantinya mereka juga akan tersingkirkan dari tanah kelahiran untuk menjadi buruh–buruh kasar, padahal pula selama ini tidak ada satu pun perusahaan–perusahaan semen yang sanggup menjamin seutuhnya hak hidup layak bagi masyarakat secara turun – menurun. Namun begitulah kondisi sosial masyarakat di negeri kita ini, materi–materi sesaat serasa lebih indah ketimbang memikirkan masa depan anak cucunya yang bersusah payah menghadapi kelaparan dan kekekurangan air bersih.  
Skema pertumbuhan ekonomi yang barbar tehadap lingkungan tidak dapat diterima oleh masyarakat yang hidup bergantung dari kearifan pegunungan karst. Ekosistem di Kawasan Karst Gombong Selatan sangat memiliki nilai strategis bagi ekonomi berkelanjutan dan kelestarian alam, selain bagi pertanian dan pariwisata Karst Gombong Selatan telah membentuk tradisi kepercayaan masyarakat sekitar dan padat dengan potensi pendidikan dan keilmuan. Memang betul jika Kawasan Karst Gombong Selatan dari dulu sudah ada tambang ilegal, namun pemerintah daerah yang mempunyai wewenang untuk menjaga dan memelihara seharusnya memberdayakan warga penambang ilegal untuk mata pencaharian yang tidak merusak, bukan sengaja kawasan karst dibiarkan rusak supaya nanti akhirnya bisa dijual ke perusahaan semen, bahkan oknum pemda sering menarik pungli pada penambang ilegal.
Pada kenyataannya kegiatan penambangan baik legal maupun ilegal selalu saja menjadi ladang subur bagi para kapitalis birokrat korup yang memanfaatkan kekuasaannya untuk “bisnis mumpungi” dan hanya mengikuti kemauan para komparador yang sudah menguasai negeri ini dengan kekayaan dan kekuasaan.  
Sedikitnya seribu petani masyarakat karst dari desa Sikayu dan aliansi organisasi perjuangan rakyat melakukan aksi menuntut hak masyarakat di kawasan karst dengan kembali mempertanyakan sikap keberpihakan Pemerintah Kabupaten Kebumen yang seharusnya mengayomi dan melindungi warga dari bencana alam dan bencana kekeringan yang kerap menimpa masyarakat Kebumen.
Secara publik sebelumnya Ketua DPRD Kebumen Cipto Waluyo pernah menyepakati pembentukan Pansus untuk mengusut tuntas usulan perubahan kawasan KBAK, namun pansus tersebut sampai saat ini tidak pernah ada realisasinya. Akhirnya PERPAG pun mengikuti rekomendasi lain dari staf kepresidenan dan berbagai pihak dari pemerintah untuk menempuh cara-cara diplomasi antar lingkar Kabupaten, DPRD, Gubernuran, dan ESDM agar tuntutan masyarakat tidak terkesan hanya demo–demo saja. Namun setelah semua upaya itu ditempuh ternyata masyarakat diperlakukan seperti layaknya bola ping–pong yang dimentahkan kesana kemari.  
Bahkan parahnya lagi salah satu staf ahli dari ESDM provinsi Jawa Tengah pernah berkata “KBAK Gombong tidak bisa dirubah lagi, sudah ikhlas-kan saja untuk pabrik semen!” Maka kita menyadari ternyata seperti inilah wajarnya hak–hak rakyat kecil mendapatkan perlakuan di negeri kita ini. Meski pada hasil audiensi terakhir Wakil Ketua DPRD Kebumen telah memerintahkan kepada Bappeda untuk mencabut kembali usulan Bupati tahun 2013 yang menyebabkan hilangnya sebagian Kawasan Karst Gombong, namun PERPAG masih tetap harus melakukan pengawalan ketat, sebelum angin segar ini hanya sebagai bentuk upaya tipu–tipu pada masyarakat seperti yang sudah–sudah.
Maka di dalam momen peringatan Mayday, Hari Bumi, dan Hari Pendidikan, PERPAG yang merupakan persatuan dari seluruh elemen rakyat penyelamat kelestrian alam karst yang berwatak anti penindasan, anti pembodohan, dan anti imperialisme menggelar aksi 2 Mei 2017 untuk menuntut :

1. Cabut surat usulan Bupati Kebumen Nomor 545/057 R tanggal 10 Desember 2013 yang telah menghilangkan kawasan karst lindung seluas 8,05 km2.

2. Segera kembalikan Kawasan Karst Gombong Selatan sesuai Perda RT/RW Pasal 26 ayat (3) yang berlaku saat ini.

3. Hentikan upaya tipu – tipu terhadap rakyat yang memperjuangkan hak-nya untuk hidup layak dari kelestarian Pegunungan Karst Gombong Selatan. 4. Hentikan upaya – upaya pembungkaman dan pembodohan terhadap aspirasi buruh yang melarang aksi pada 1 Mei.

Dan sebagai solidaritas antar kaum tani dan kaum tertindas PERPAG juga menuntut kepada pemerintah untuk :
1. Hentikan Reforma Agraria palsu Jokowi dan jalankan Reforma Agraria Sejati. 
2. Turunkan biaya produksi pertanian seperti pupuk, bibit, dan lainnya.
3. Berikan perlindungan penuh terhadap buruh migran.
4. Hentikan kekerasan dan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
5. Cabut UU Pendidikan Tinggi, hentikan liberalisasi, privatisasi, komersialisasi di sektor pendidikan.

Pada akhirnya PERPAG menyerukan agar seluruh rakyat dari berbagai suku, ras, agama yakni buruh, tani, intelektual, profesional, dan lain-lain untuk menjawab permasalahan rakyat di negeri semi feodal dan semi terjajah oleh neoimperialis dengan: 
1. Meningkatkan semangat juang bagi masyarakat miskin, petani, dan kaum buruh tertindas. 
2. Tingkatkan kekuatan organisasi-organisasi massa dan saling berjejaring dalam gerakan–gerakan global. 
3. Melawan segala bentuk pembodohan dan pembungkaman terhadap aspirasi rakyat. 

Gombong, 1 Mei 2017
Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG) | Narahubung: Adi H Budiawan [Wa-083862369018] 

Senin, 24 April 2017

Penyelamatan Bumi, Pengembalian KBAK [2]

Prof.Dr. H. Sumaryoto [Foto: Doc. Perpag] 

Gombong – Desakan Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) bagi target mengembalikan Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) masih terus bergulir dan makin menguat. Sinyalemen bahwa KBAK Gombong Selatan ini telah dimanipulasi bagi kepentingan korporasi tambang semen; memang mendekati kebenaran faktual. Kawasan yang pada mulanya telah ditetapkan sebagai kawasan lindung Eco-Karst diduga telah direkayasa bagi kepentingan investasi tambang semen.

Secara faktual, penetapan KBAK 48.94 Km persegi sebagaimana tertuang dalam KepMen. ESDM No 961.K/40/MEM/2003, diperkuat dengan penetapan sebagai kawasan lindung Eco-Karst; adalah yang paling jelas dan sesuai dengan kenyataan di lapangan. Tambahan Kep Men No.1456.K./40/MEM/2000 yang menjelaskan karst terbaik kelas I, berkategori terumbu.

Tetapi melalui Kep.Men No 3043.K/40/MEM/2014 dan Permen No.17 Tahun 2012 kini berubah luasan dan letak wilayah karst menjadi 40.89 Km persegi; yang berarti ada penghilangan sekitar 8 Km persegi luasan KBAK. Dalam analisis Perpag dengan mendasarkan fakta di lapangan, KepMen terakhir ini memiliki ketimpangan dan tanpa dasar yang jelas, tanpa lampiran peta penjelasnya. Sedangkan Kep Men 961.K/40/MEM/2003 dan Kep.Men 1456.K/40/MEM/2000 dan regulasi sebelumnya itu tidak atau belum di cabut, yang berarti masih berlaku hingga kini.

Tulisan [1] dapat dibaca [Di Sini]


Konsolidasi Dukungan bagi Pengembalian KBAK

Dukungan terhadap Perpag mengalir secara personal maupun kelembagaan dari kalangan aktivis maupun LSM Lingkungan, pegiat caving, pencinta alam, gerakan Pramuka. Akademisi dan pakar geologi, ahli karstologi, praktisi mitigasi bencana, aktivis dan lembaga bantuan hukum serta kalangan mahasiswa.

Beberapa upaya terus-menerus yang dilakukan Perpag di tingkatan daerah, seperti investigasi ke Bappeda perihal RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) dan DPRD terkait regulasinya, diketahui bahwa perubahan KBAK yang dinilai manipulatif itu dilakukan pada tahun 2011.

“Dasar keluarnya Kepmen (KBAK_Red) perubahan itu adalah adanya Surat Bupati Kebumen”, tutur Wakil Ketua DPRD Miftahul Ulum. Surat Bupati dimaksud masa itu adalah Buyar Winarso melalui surat No. 545/057/R tertanggal 10 Desember 2013 berlandaskan dari usulan permohonan masyarakat Gombong.

Masyarakat Gombong yang mana, itu pertanyaannya. Hal ini menjadikan pertimbangan utama Perpag untuk menginisiasi pengembalian KBAK kepada ketentuan semula sebelum munculnya perubahan penetapan KBAK yang dinilai manipulatif itu. Soal indikasi manipulasi KBAK ini bahkan telah memunculkan wacana internal tersendiri untuk suatu opsi menempuh proses hukum dengan memperkarakannya di Pengadilan Tata Usaha Negara.


Sumaryoto Mendukung Perpag

Sebagaimana diketahui telah cukup banyak para ahli melakukan penelitian dan observasi ilmiahnya di kawasan karst Gombong selatan. Diantaranya pakar karstologi Dr Ko, ahli lingkungan Emil Salim, pakar mitigasi kebencanaan ET Paripurno, dan banyak lagi lainnya. Termasuk secara spesifik dari Masyarakat Speleogie Indonesia.

Kegigihan Perpag selama ini juga tak luput dari perhatian Prof.Dr. H.Sumaryoto yang ditemui kontributor (21/4) di kantornya, Jalan Nangka 1, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Menurut Sumaryoto, putra daerah yang dilahirkan di Banyumudal Buayan ini mencermati bahwa apa yang dilakukan Perpag secara organisasional yang concern pada issue kelestarian lingkungan ini harus didukung. Tak terkecuali oleh kalangan eksekutif dan legislatif daerah.

"Pemerintah tidak boleh memihak pada kepentingan pribadi maupun golongan belaka namun harus berpihak pada keinginan rakyatnya", ucap Prof.Dr. Sumaryoto. Tak ada alasan untuk tidak mendukung perjuangan guna kelestarian lingkungan dan ruang hidup bersama.



Sabtu, 22 April 2017

Siaran Pers: Sumber Kaligede Terancam Rencana Aktifitas Penambangan PT. Indocement Tunggal Prakarsa di Kabupaten Pati

22 Apr 2017

Area persawahan yang mendapatkan irigasi dari sungai Kali Gede, nampak pada latar belakang adalah perbukitan karst sebagai zona imbuhan air
Masyarakat Speleologi Indonesia (Indonesian Speleological Society) Pengurus Daerah Jawa Tengah bekerja sama dengan Pusat Studi Karst Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Yogyakarta telah melakukan kegiatan “Caving di Bumi Kayen – Tambakromo, Kabupaten Pati” pada tanggal 13 s/d 16 April 2017. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan perkumpulan penggiat speleologi dan pecinta alam dari beberapa daerah di Jawa Tengah seperti Semarang Caver Association (SCA), Forum Caving Surakarta (FCS), Pasdapala SMA N 2 Pati serta melibatkan secara aktif masyarakat sekitar. Rangkaian kegiatan antara lain melakukan survei eksokarst dan endokarst, pelacakan hubungan aliran sungai bawah tanah di Gua Pari dengan Mata air di sekitarnya, sosialisasi PERDES tentang pengelolaan sumber daya air dan karst, serta edukasi kepada masyarakat tentang fungsi kawasan karst.
Pelacakan aliran sungai bawah tanah dengan koridor Gua Pari dilatarbelakangi bahwa kawasan karst tersebut termasuk dalam wilayah Ijin Usaha Pertambangan (IUP) Eksplorasi PT Sahabat Mulia Sakti anak perusahaan PT. Indocement Tunggal Prakarsa tetapi tidak masuk dalam Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Sukolilo (Kepmen ESDM No 2641K/40/MEM/2014 tentang Penetapan KBAK Sukolilo). Pada bulan Agustus tahun 2016 KMPA Giri Bahama Fakultas Geografi UMS melakukan kajian potensi eksokarst dan endokarst bersama masyarakat yang mengidentifikasi keberadaan sungai bawah tanah dengan koridor Gua Pari di Dukuh Krukuk, Desa Brati, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati. Kajian ini juga mengamati bahwa di lereng bawah dari Gua Pari terdapat 7 mata air yaitu; Sumber Kali Gede, Kali Cilik, Sumber Agung, Sumber Ronggoboyo 1, Sumber Ronggoboyo 2, Beser 1, dan Beser 2 yang sangat memungkinkan untuk dilakukan pelacakan aliran air sungai bawah tanah.
Kegiatan pelacakan dimulai dengan pengukuran debit pada hari Jumat 14 April 2017 di Gua Pari sebesar 102,76 l/dtk dan 3 mata air dugaan (Sumber kali Gede 499,98 l/dtk, Kali Cilik 79,73 l/dtk serta gabungan aliran Sumber Ronggoboyo 1 dan Sumber Agung 347,38 l/dtk). Hari Sabtu tanggal 15 April 2017 dilakukan injeksi larutan pelacak (tracer) di sungai bawah tanah Gua Pari. Selang 26 menit sejak dilakukan injeksi, zat pelacak tersebut keluar di mata air Kali Gede. Hal ini menunjukkan bahwa sungai bawah tanah di Gua Pari memiliki koneksi dengan mata air Kali Gede atau secara umum dapat dikatakan sungai bawah tanah di Gua Pari keluar melalui mata air Kali Gede.
Injeksi zat pelacak di dalam Gua Pari (kiri) dan kenampakan zat pelacak (tracer) di mata air Kaligede (kanan)
Mengacu pada debit masukan di Gua Pari dan debit keluaran di mata air Kali Gede memiliki nilai yang tidak sebanding, sehingga dapat diasumsikan bahwa mata air Kaligede mendapatkan masukan (suplai) dari aliran lain selain Gua Pari. Enam mata air lain di sekitar Kali Gede berjarak radius maksimal 400 m tidak terhubung dengan Gua Pari, menunjukan bahwa kondisi endokarst di sekitar Gua Pari memiliki banyak sistem aliran sungai bawah tanah yang belum terdeteksi. Lebih jauh mengacu kondisi ini, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui hulu aliran sungai bawah tanah Gua Pari dan sistem-sistem lain di sekitarnya.
Mataair Kali Gede merupakan mata air terbesar diantara 7 mata air yang merupakan salah satu hulu dari anak Sungai Juwana. Peran sungai Kali Gede sangat vital sebagai irigasi pertanian. Hasil wawancara dengan penduduk, lahan sawah yang mendapatkan air dari sungai Kali Gede dapat panen 3 kali setahun, artinya sifat sungai ini adalah parennial atau berair sepanjang tahun. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui daerah lingkupan irigasi dan manfaat dari sungai Kali Gede bagi masyarakat sekitarnya.
Permen ESDM tentang Penetapan KBAK menyebutkan pada Pasal 4 ayat (6) huruf (a) bahwa kriteria bentuk endokarst salah satunya memiliki sungai bawah tanah. Kawasan Gua Pari dan sekitarnya saat ini tidak masuk dalam KBAK Sukolilo, selayaknya diusulkan untuk revisi dan masuk dalam KBAK Sukolilo, dengan memasukan kawasan sekitar Gua Pari ke dalam KBAK. Hasil pelacakan aliran air ini menunjukkan bahwa kawasan ini rentan apabila mengalami kerusakan seperti penambangan batugamping, sehingga keberadan IUP Eksplorasi PT Sahabat Mulia Sakti (PT. Indocement Tunggal Prakarsa) juga perlu ditinjau kembali.
Salam Speleo
Salam Lestari
Narahubung:
Ari Setyawan : 085641217177
www.caves.or.id
Peta yang menunjukkan koneksi antara sungai bawah tanah di Gua Pari dan mata air Kali Gede

Peta yang menunjukkan hubungan keruangan lokasi pelacakan aliran air sungai bawah tanah di Gua Pari, batas IUP PT SMS dan batas KBAK Sukolilo Kecamatan Kayen-Tambakromo Kabupaten Pati.

http://caves.or.id/arsip/2925

Kamis, 13 April 2017

Kawal Implementasi Hasil KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I di Kawasan Karst Watuputih


Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK):

Kawal Implementasi Hasil KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I 

di Kawasan Karst Watuputih

*Ingat: GUA BUKAN SEKEDAR TITIK PETA, NAMUN SISTEM YANG SALING BERKAITAN ANTARA SATU DENGAN YANG LAIN DENGAN MENGGUNAKAN KAJIAN SPELELEOLOGI.

Jakarta, 13 April 2017

"Esok esok, Mbak ayu yuk podo nutu, Pari kang wus tuuuo, Lesung alu wis cemawis, Pancen nyoto Bathari Sri dadi boga...Kok ewo aku kok ewo aku, Kok ewo aku kok ewo aku, Nginteri kok ngono, ela kecer berase...Mbok yo ngati ati, sinau gemi, Mbok yo ngelingono ndek cebloke wineh, Tandang tanduk, tali wondo ojo keno omo, Omo kabur tandur subur loh jinawe..."

Perjuangan panjang masyarakat petani di Pegunungan Kendeng dalam upaya mempertahankan ruang hidup dan kelestarian lingkungan telah sampai pada salah satu titik penting yang ditunggu-tunggu sejak 2 Agustus 2016, yaitu keluarnya hasil Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang diumumkan oleh Kantor Sekretariat Presiden (KSP) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui website masing-masing instansi pada tanggal 12 April 2017. Kami dari Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK) pada dasarnya MENYAMBUT BAIK, MENGAPRESIASI SECARA POSITIF dan MENGUCAPKAN TERIMA KASIH atas hasil-hasil kajian dan rekomendasi para pakar yang telah mendedikasikan waktu, tenaga dan pikirannya selama proses KLHS berlangsung. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Presiden Repubik Indonesia JOKO WIDODO yang telah mendengarkan aspirasi kami terkait polemik pabrik semen di Pegunungan Kendeng yang telah berlangsung dalam kurun 10 tahun terakhir. Dengan memerintahkan perlunya dilakukan KLHS di seluruh wilayah Pegunungan Kendeng.
Sebagai masyarakat petani yang hidup bergantung pada kebaikan alam, hasil KLHS ini sangat menentukan bagi kelangsungan hidup kami dan anak cucu kami mendatang, sehingga kami (dengan segala daya upaya kami) akan terus mengawal proses lanjutan terhadap rekomendasi-rekomendasi yang telah disampaikan dalam KLHS tersebut. Maka sepatutnya dengan adanya keputusan yang mulai berpihak pada Ibu Bumi ini tidak lepas dari perjuangan seluruh sedulur yang telah menyatu dalam keyakinan yang teguh dan tulus untuk Ibu Bumi apapun resikonya,harus bersama-sama bersyukur dalam keheningan, untuk menyatukan energi perdamaian bagi bersatunya kembali semua warga Kendeng khususnya dan seluruh Nusantara untuk semakin utuh mencintai alam. Mari bersama dalam doa agar terjadi pembersihan BATIN agar tidak ada lagi niat-niat jahat untuk memplintir keputusan ini. Semua pihak bersatu tekad melaksanakannya.
Maka dengan ini perlu bersama-sama mengawal hasil KLHS tahap pertama:
1. Kawal Kajian Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) yang akan dimotori oleh badan Geologi dengan mendorong Pemerintah dilibatkannya masyarakat dari berbagai pihak, tidak hanya sebagai pengumpulan data saja, tapi juga dimasukan dalam tim pemrosesan data dan penentuan hasil akhir status kawasan karst Watuputih secara partisipatif. Bahwa dengan banyak temuan data di kawasan karst Watuputih berupa gua (76 lokasi), mata air (136 lokasi), dan sejumlah lubang resapan alami (ponor). Dengan data yang sudah memenuhi kriteria kawasan karst tersebut, seharusnya ESDM segera memutuskan kawasan Watuputih menjadi kawasan KARST.
2. Kawal kajian KLHS tahap dua yang meliputi tujuh kabupaten yaitu Kabupaten Grobogan, Kabupaten Pati, Kabupaten Blora, Kabupaten Rembang, Kabupaten Bojonegoro, Kabupaten Tuban, dan Kabupaten Lamongan dengan mendorong kementerian ESDM melalui Badan Geologi melakukan penelitian di lapangan dengan memperhatikan prinsip KEHATI-HATIAN dan menjunjung tinggi azas KETERBUKAAN dan KEJUJURAN mengingat temuan gua BUKAN SEKEDAR titik peta, namun sistem yang saling berkaitan antara satu dengan yang lain dengan menggunakan kajian speleleologi.
3. Kawal para pihak agar hasil KLHS tahap pertama dipenuhi dan kawal pernyataan pak Teten Masduki (KSP) selama dalam kajian berlangsung, pabrik berhenti operasi selama 6 sampai 12 bulan mendatang. Mengingat adanya 22 Izin Usaha Pertambangan (IUP) di wilayah CAT (data Dinas ESDM Prov Jateng 2017) dan juga izin lingkungan baru dalam surat keputusan nomor 660.1/6 Tahun 2017 pada tanggal 23 Februari 2017 yang dikeluarkan oleh Gubernur Jawa Tengah. Maka kita perlu bersama-sama meminta Pak Joko Widodo memerintahkan kepada Gubernur Jawa Tengah untuk mencabut semua izin-izin di CAT Watuputih.
Perlu diketahui, apapun hasil kajiannya untuk penetapan KBAK dan kawasan lindung nilai kerugian ekonomi, apabila ada usaha pertambangan di kawasan EKOSISTEM CAT Watuputih nilai kerugian dari kegiatan itu adalah Rp. 2,3 Triliyun pertahun . Sedangkan kalau dihitungan 10 tahun saja operasi pabrik semen kerugiannya akan mencapai Rp. 23 Triliyun apalagi PT. Semen Indonesia merencanakan tambangnya di kawasan CAT Watuputih selama 76 tahun. (Dokumen Adendum AMDAL PT. SI)
Tidak hanya hukum, tidak hanya kebenaran dan tidak hanya ilmu pengetahuan yang dipertaruhkan disini, tetapi lebih dari itu adalah bukti cinta pemerintah (Presiden beserta jajarannya) kepada seluruh rakyatnya, bukan hanya kepada sebagian kecil rakyatnya (investor). Mayoritas rakyat Indonesia adalah petani dan nelayan, sudah pada tempatnya bahwa seluruh kebijakkan pembangunan dan investasi tidak boleh mengorbankan rakyat. Apalah artinya pembangunan infrastruktur dan bangunan-bangunan pabrik melimpah jika kita kehilangan "HARGA DIRI" sebagai bangsa yang merdeka.
Sudah saatnya Indonesia menjadi pelopor kemajuan peradaban. Rantai kesalahan pengelolaan sumber daya alam yang tidak berpihak Ibu Bumi di masa lalu, sudah saatnya DIPUTUS. Karena mengingat daya dukung dan daya tampung Jawa sudah tidak lagi layak didirikan pabrik yang membawa dampak besar. Lebih baik Jawa dijadikan LUMBUNG PANGAN NUSANTARA demi terwujudnya KEDAULATAN PANGAN.
Salam Kendeng
Lestari !!!!!!!

Rabu, 12 April 2017

Penambangan di Watuputih Kendeng Direkomendasikan Disetop


Rabu, 12 April 2017 | 19:30
Wilayah Studi KLHS. (Foto: Dok. ksp.go.id)
Tim Pelaksana Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) untuk Kebijakan Pemanfaatan dan Pengelolaan Pegunungan Kendeng mengeluarkan rekomendasi. Isinya bahwa penambangan di Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih tidak bisa dilakukan sampai ada keputusan lebih lanjut.

Seperti dilansir dari Kantor Staf Kepresidenan, Rabu (12/4), keputusan itu dibuat dalam pertemuan di Bina Graha yang dihadiri Kepala Staf Kepresidenan Teten Masduki, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar, Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis dan Media Kementerian BUMN Fajar Hari Sampurno, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, Bupati Rembang Abdul Hafidz, Kepala Badan Geologi Kementerian ESDM Ego Syahria dan Tim Komunikasi Presiden yakni Johan Budi, Ari Dwipayana serta Sukardi Rinakit.
"Kami mendengarkan laporan tim KLHS, yang dibentuk pada 2 Agustus 2016 atas perintah Presiden Jokowi kepada KSP dan Kementerian LHK setelah Presiden menerima para penolak kegiatan penambangan di CAT Watuputih,” kata Teten
Tim KLHS berada di bawah naungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dengan Siti Nurbaya sebagai Ketua Pengarah, dan ketuanya dijabat Drektur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata lingkungan San Afri Awang. Guru besar Institut Pertanian Bogor Soeryo Adiwibowo menjabat Koordinator Tim KLHS yang beranggotakan 15 ahli dari berbagai perguruan tinggi.

Kepala Staf Presiden, Teten Masduki. (Foto: Yudhistira Amran Saleh/kumparan)
Selain TIM KLHS, ada juga Tim Panel Pakar yang dibentuk Kantor Staf Presiden, diketuai Sudharto P. Hadi, mantan rektor Universitas Diponegoro, beranggotakan 11 ahli dari berbagai disiplin keilmuan dan universitas.
Teten memaparkan, proses KLHS pertama ini berlangsung tujuh bulan dan terdapat dinamika selama kajian di lapangan. Selanjutnya, akan ada KLHS kedua untuk seluruh wilayah Pegunungan Kendeng yang melintasi tujuh kabupaten di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
"KLHS ini akan jadi rujukan Kementerian ESDM untuk lakukan penelitian lebih lanjut terhadap kegiatan penambangan di wilayah Kendeng," ungkapnya.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis ini tidak hanya menyangkut mengenai kegiatan PT Semen Indonesia, tapi juga terkait 21 Izin Usaha Pertambangan (IUP) lain.
"Dengan keputusan ini, PT Semen Indonesia harus mengikuti," kata Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Teten Masduki, Kepala Staf Kepresidenan. (Foto: Aprilandika Pratama/kumparan)

https://kumparan.com/indra-subagja/penambangan-di-cekungan-air-tanah-watuputih-kendeng-disetop

Minggu, 09 April 2017

Ekosistem kawasan karst tak tergantikan

00:40 WIB - Minggu, 09 April 2017
Ditulis oleh: Islahuddin | Rahadian P. Paramita


Keterangan Gambar : Goa Jomblang yang terletak di perbukitan karst pesisir selatan Gombong, Jawa Tengah hingga kawasan karst Pegunungan Sewu Kabupaten Pacitan, Jawa Timur © Shutterstock / Michail Vorobyev

Banyak alasan karst harus dilestarikan. Daya dukung lingkungan harus diperhatikan demi keberlanjutan pencapaian keadilan sosial, ekonomi, dan lingkungan.

Karst adalah bagian dari ekosistem. Tangki raksasa penyimpan air bawah tanah. Tempat tinggalnya berbagai jenis flora dan fauna langka. Kawasan mineral tak terbarukan. Wilayah kunci untuk mengetahui sistem hidrologi kawasan.
Karst juga menjadi tempat mempelajari masa lalu, karena manusia prasejarah begitu intens dengan karst dengan meninggalkan bukti-bukti kehidupan dalam bentuk gambar dalam tembok-tembok goa, gerabah dan keramik kuno, candi, dan bangunan lain.

Begitu pentingnya kawasan karst, pada 1997, World Commision Protected Area (WCPA)--komisi yang bernaung di bawah International Union for Conservation of Nature (IUCN)--mendorong perlindungan ekosistem karst di seluruh dunia dengan acuan:

Karst sebagai habitat flora dan fauna langka; Karst sebagai kawasan mineral langka (tidak terbarukan) dan memiliki bentang alam yang unik; Karst sebagai bagian penting kawasan prasejarah dan sejarah kebudayaan.

Karst juga kawasan penting untuk penelitian berbagai disiplin ilmu pengetahuan; Karst sebagai wilayah religi dan spiritual; Karst sebagai wilayah perkebunan dan industri khusus; Karst sebagai kawasan kunci untuk mempelajari hidrologi kawasan; dan Karst sebagai tempat rekreasi dan wisata.

Dalam paparan riset A.B. Rodhial Falah, Fredy Chandra, dan Petrasa Wacana, Karst Jawa Sebagai Ruang Hidup dan Ancamannya, disebutkan bahwa luas kawasan karst di Indonesia mencapai 154.000 km2 (15,4 juta hektare) dengan distribusi merata di seluruh wilayah nusantara, dari Pulau Sumatera hingga Papua.

Dari sejumlah kawasan itu, sebagian besar selama ini telah menyediakan sejumlah mata air bagi kehidupan masyarakat sekitar. Bahkan satu kawasan karst, bisa memberikan 30 mata air. Eksploitasi kawasan karst tanpa kendali, berpotensi merusak ekosistem makhluk hidup di kawasan itu.

Dalam banyak literatur, karst diartikan sebagai bentang alam khas dengan bentuk hamparan/bukit batuan gamping yang dicirikan oleh drainase permukaan yang langka. Pada bagian atas yang sebagian besar telah mengalami pelapukan (solum) terdapat tanah yang tipis dan hanya setempat-setempat.

Di kawasan kars juga bisa ditemukan cekungan-cekungan tertutup (doline), serta keberadaan sistem drainase bawah permukaan yang lebih dominan dibandingkan dengan sistem aliran permukaannya.

Menurut Dr. Cahyo Rahmadi, Peneliti Pusat Penelitian Biologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), istilah karst mengadopsi bahasa Yugoslavia/Slovenia, yakni "krst/krast": terdiri dari batuan dan oak yang merupakan nama suatu kawasan di perbatasan Yugoslavia dengan Italia Utara, dekat Kota Trieste.

Istilah itu diperkirakan pertama kali digunakan pada 1774 oleh para pembuat peta di Austria untuk menandai wilayah kawasan yang didominasi oleh hamparan batu gamping. Selanjutnya istilah karst dipakai untuk penyebutan kawasan berbatuan gamping di seluruh dunia yang memiliki spesifikasi dan keunikan yang relatif sama.

Proses karsifikasi atau proses pelarutan, adalah proses korosi batuan secara kimia oleh air pada batuan gamping, gipsum, batu garam atau batuan lain yang mudah larut. Unsur ini bertanggung jawab terhadap terbentuknya fenomena karst baik di permukaan maupun bawah permukaan bumi.

Cahyo yang juga Ketua Indonesian Speleological Society menjelaskan, air hujan dan karbondioksida akan melarutkan batu gamping sehingga di permukaan terbentuk aneka jenis bukit dan lembah. Di bawah permukaan pun berkembang sistem pergoaan dan sungai bawah tanah.

"Proses karsifikasi ini berlangsung selama jutaan tahun sehingga menghasilkan bentangan alam kawasan karst dalam berbagai bentuk," kata Cahyo kepada Beritagar.id saat ditemui seusai acara pembahasan karst Indonesia di Hotel Santika, Slipi, Jakarta, Minggu (26/3/2017).

Pola air dan penjernihan air di kawasan kars, menurut Cahyo, memiliki sistem hidrologi yang rumit sekaligus khas, "Melibatkan banyak unsur dalam karst itu sendiri."




Kawasan karst yang menopang kehidupan

Kawasan karst, bukan melulu soal bukit gamping dan sungai di bawahnya, namun merupakan sebuah ekosistem yang kompleks. Beragam makhluk hidup tergantung dari keberadaannya, tidak terkecuali manusia.

Cahyo yang meneliti biologi goa dan konservasi karst, serta taksonomi amblypygi, menemukan belasan jenis spesies baru dan memberinya nama. Tahun ini, Cahyo berencana merilis nama spesies baru dari temuan penelitiannya untuk jenis laba-laba goa.

Menurutnya, kawasan karst memiliki keberagaman flora dan fauna yang merupakan unsur penting dalam kehidupan. Dari hasil penelitian LIPI setidaknya terdapat 100 spesies di kawasan goa. Dalam kurun 16 tahun terakhir telah ditemukan sedikitnya 30 spesies baru yang langka dan mempunyai tingkat endemisitas sangat tinggi.

Lebih lanjut ia menjelaskan, kawasan karst di lapisan permukaan bumi ditandai dengan terbentuknya bukit-bukit, lembah-lembah terjal, atau cekungan. Cekungan-cekungan atau lembah ini dapat menampung air hujan dan berfungsi sebagai telaga.

Sungai di kawasan karst banyak yang terputus alirannya--tidak punya muara dan bertemu laut--karena "hilang" dan masuk ke bawah tanah. Aliran air yang "menghilang" dari permukaan ini, adalah indikasi keberadaan sistem perairan bawah tanah.

Saat musim hujan, air hujan akan lebih banyak masuk ke dalam rongga-rongga atau celah yang langsung menuju ke sungai bawah tanah. Sedangkan lapisan di bawah tanah mengalami pelarutan yang menyebabkan terbentuknya ruangan-ruangan, lorong sungai bawah tanah, dikenal dengan goa atau sistem pergoaan.

Goa yang cukup besar, memungkinkan manusia untuk masuk ke dalamnya. 
Namun tidak semua goa dapat dimasuki dengan mudah. Keberadaan goa tersebut, mencerminkan kompleksitas sistem perairan bawah tanah.

Kehadiran kelelawar sebagai pemangsa serangga, berperan penting untuk mengendalikan populasi serangga yang berpotensi menimbulkan wabah penyakit

Kompleksitas kawasan karst membuatnya jadi habitat berbagai satwa--secara langsung atau tidak--berperan penting bagi manusia. Sarang burung walet di kawasan karst dapat dimanfaatkan. Kelelawar yang hidup di goa-goa karst merupakan pengendali alamiah hama pertanian maupun penyerbukan berbagai jenis tanaman.

Dari sekian banyak fungsi karst bagi kehidupan, Cahyo lebih intens pada penelitian goa dan spesies serta fungsinya dalam sistem kehidupan. Salah satu fokus kajiannya adalah kelelawar. Goa merupakan habitat kelelawar.
Kehadiran kelelawar sebagai pemangsa serangga, berperan penting untuk mengendalikan populasi serangga yang berpotensi menimbulkan wabah penyakit. Misalnya penyebaran penyakit malaria dan arthropods penyebar penyakit ternak.

Dia menuturkan, penelitian ahli kelelawar LIPI, Sigit Wiantoro, menyatakan, tujuh dari sembilan famili kelelawar hidup bergantung pada ekosistem goa.
Di Jawa terdapat 14 spesies kelelawar, dan 85 persen di antaranya merupakan kelelawar pemakan serangga. Sisanya pemakan buah dan nektar.

Bila dikonversi, satu ekor kelelawar pemakan serangga mampu memakan tujuh gram serangga. Adapun satu koloni bisa mencapai 20 ton serangga per malam.

"Rata-rata berat kelelawar itu empat gram dan bisa bisa memakan 3/4 serangga dari berat tubuhnya. Bisa dibayangkan berapa jumlah serangga yang dimakan kelelawar bila diasumsikan berat serangga sekitar 0.0003 gram," ujar Cahyo.

Dalam penelitiannya, Cahyo menemukan jutaan kelelawar di Goa Ngerong, Tuban, Jawa Timur. Perannya penting bagi lingkungan, seperti mengendalikan populasi hama, dan membantu penyerbukan tumbuhan seperti bakau (mangrove) dan buah-buahan.

Selain itu, menurut Cahyo, kelelawar pemakan buah tidak kalah penting dalam membantu proses regenerasi hutan. Cahyo mengutip hasil penelitian Vermaullen & Whitten pada 1999, bahwa tumbuhan beringin 94-100 persen bijinya disebarkan oleh kelelawar, sedangkan sisanya oleh burung dan monyet.

Secara tidak langsung, keberadaan hutan bakau sebagai pencegah abrasi juga butuh peran kelelawar pemakan madu yang membantu proses penyerbukan. Kawasan karst--selain penampung air--memiliki peran lingkungan yang lebih besar bagi spesies lain.

Eksokars yang membentuk atol di Kepulauan Wayag, Rajaampat, Provinsi Papua Barat. Di daerah ini banyak terdapat hasil karstifikasi pada batugamping
© Ethan Daniels /Shutterstock


Daya dukung alam kerap diremehkan

Banyak alasan kenapa karst harus dilestarikan. Namun fungsi ekonomi alam, tak jarang menggempur perhatian terhadap hal kecil. Misalnya tentang persoalan air, yang merupakan kebutuhan hidup utama, dianggap enteng karena mengandalkan solusi lain.

Ini berlaku di pegunungan Kendeng Utara yang membentang dari Kabupaten Kudus, Jawa Tengah hingga Kabupaten Tuban Jawa Timur. Kawasan ini merupakan kawasan karst dengan kekayaan sumber mata air dan goa-goa. Saat ini, sedang berhadapan dengan isu pembangunan pabrik semen.

Salah satunya milik perusahaan plat merah, PT Semen Indonesia (PTSI). Belakangan, kajian Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di kawasan pembangunan pabrik PT Semen Indonesia di Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih, Rembang, Jawa Tengah, menyatakan tidak ditemukan aliran air sungai bawah tanah di kawasan itu.

Penelitian dilakukan pada 15-24 Februari 2017, dan telah diklarifikasi kembali pada 8 dan 9 Maret 2017. Hasilnya lalu dikirimkan ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, per 24 Maret 2017. Kajian ini menjadi bahan untuk Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) yang menentukan nasib pabrik semen PTSI di Rembang.

Pasalnya, bila di bawah kawasan itu ditemukan jaringan sungai bawah tanah, dipastikan hasil KLHS merekomendasikan tidak boleh ada aktivitas pertambangan di atasnya. Kawasan tersebut mesti dilindungi. Namun kajian ESDM menyatakan lain, meski hingga tulisan ini diterbitkan hasil resmi KLHS belum dirilis.

Sementara hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) untuk izin pabrik semen di karst Rembang menyebut adanya lima jenis kelelawar endemik, 22 jenis burung--empat di antaranya dilindungi--serta satu spesies mamalia endemik.



Bila eksploitasi terhadap kawasan karst yang juga membentang di tiga daerah itu memengaruhi kuantitas dan kualitas air dari alam, maka dampaknya tak hanya mengganggu ekosistem lingkungan, juga perekonomian warga.
Di Kabupaten Rembang, Pati dan Blora, sumber air bersih untuk berbagai keperluan rumah tangga masih mengandalkan sumber-sumber alam. Khususnya di Blora, sekitar 60 persen rumah tangga mengandalkan air dari sumur bor pompa dan sumur terlindung. Ironisnya, di Pati maupun Rembang harus mengandalkan air isi ulang.

Konsumsi air minum dari air kemasan bermerek dan isi ulang pada rumah tangga di tiga kabupaten tersebut, masing-masing mencapai 46,48 persen di Rembang; 37,61 persen di Pati; dan 30,96 persen di Blora.

Bila dinilai dengan rupiah, rumah tangga di Kabupaten Rembang rata-rata mengeluarkan Rp140 ribu per bulan untuk air minum dari air kemasan bermerek dan air isi ulang. Sedangkan di Kabupaten Pati mencapai Rp127 ribu per bulan. Di Kabupaten Blora, konsumsinya paling tinggi, mencapai 170 ribu per bulan.

Angka pengeluaran ini akan bertambah, bila daya dukung alam untuk menyediakan air menurun. Sedangkan air leding meteran yang biasanya disediakan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum), layanannya belum diakses banyak warga. Selama 37 tahun PDAM Rembang berdiri, hingga kini hanya diakses 2,67 persen rumah tangga.

Belum lagi menghitung nilai ekonomi air bagi pertanian, peternakan, atau perkebunan di kawasan tersebut.

Berkaca dari kasus Tuban, Jawa Timur, pada 2014, sebesar 40 persen dari total PAD (Pendapatan Asli Daerah) Tuban yang mencapai Rp 260 miliar, disumbang oleh pabrik semen PT Semen Indonesia. Lalu pada 2016, perusahaan menyumbang PAD Rp100 miliar berupa pajak galian, pajak penerangan jalan umum, PBB, retribusi air bawah tanah, dari total PAD Kabupaten Tuban sebesar Rp300 miliar.

Bupati Tuban, H. Fathul Huda, mengakui angka kemiskinan masih berkisar 16-17 persen, dengan pertumbuhan ekonomi mencapai angka 6 persen. Adapun angka kemiskinan nasional sekitar 11 persen, sedangkan pertumbuhan ekonominya sekitar 5 persen. Pertumbuhan ekonomi Tuban memang lebih baik dari rata-rata nasional, namun kemiskinannya masih lebih buruk.




Mengundang murka alam

Pengelolaan sumber daya alam di Indonesia, perlu dikendalikan agar semua pihak yang ingin mengambil keuntungan, mempertimbangkan kelestariannya. Daya dukung alam harus bisa dipertahankan, di tengah populasi manusia yang terus bertambah.

Bila mengabaikan hal itu, Garrett Hardin (1968) pernah meramalkan apa yang dia sebut "The Tragedy of Commons". Tragedi yang terjadi karena tidak ada keseimbangan hak-hak dan wewenang antara pemerintah pusat dan daerah, serta masyarakat lokal dalam mengelola dan memanfaatkan sumber daya alam.

Sumber daya yang dimiliki bersama (common resurces), perlu pembatasan dalam pemanfaatannya. Tidak satu pihakpun yang boleh mengeksploitasinya secara semena-mena, atau serakah dengan menguasai sumber daya tersebut. 
Karena itu perlu institusi yang mengaturnya, agar bisa dinikmati bersama-sama.

Tragedi terjadi saat tak ada aturan--atau aturan yang ada tidak mengendalikan keserakahan pihak tertentu--dalam pemanfaatan sumber daya alam. Akhirnya, eksploitasi terjadi tanpa memperhitungkan keterbatasan daya dukung alam terhadap kehidupan, baik manusia maupun flora dan fauna dalam ekosistem.

Air tanah, adalah salah satu contoh kasus dalam tragedi ini. Tak ada satu pihakpun yang boleh mengklaim air sebagai miliknya, namun warga boleh memanfaatkannya seusai aturan dari negara. Bila ada pihak yang serakah, akan ada sebagian warga yang tak kebagian air karena cadangannya menipis, atau terkena instrusi air laut.

Kearifan untuk menghindar dari murka alam raya, sebenarnya bisa ditemukan dalam pesan petani pemrotes pendirian pabrik semen di Rembang. Bagian samping kotak 25 x 25 cm persegi yang digunakan mencor kaki mereka dengan semen, tertulis kalimat yang ditulis menggunakan huruf aksara Jawa kuno.

Tulisan tersebut berbunyi "Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili." Bila diterjemahkan secara bebas, artinya "Ibu bumi sudah memberi, ibu bumi disakiti, ibu bumi akan mengadili." Syair pendek berjudul 
"Ibu Bumi" itu, kerap dinyanyikan para pemrotes sepanjang aksi menyemen kaki.

Masyarakat lokal jangan sampai menanggung konsekuensi dari eksploitasi sumber daya alam di sekitarnya, sementara saat mengambil keputusan mereka terpinggirkan. Kondisi seperti ini, tidak hanya menimbulkan masalah lingkungan, namun berpotensi memicu keresahan sosial, ekonomi, dan politik.

Paradigma pembangunan berkelanjutan, tak bisa ditawar dalam eksploitasi alam untuk pembangunan. Pembangunan untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tidak boleh mengorbankan kebutuhan generasi mendatang. Daya dukung alam harus diperhatikan demi pencapaian keadilan sosial, berkelanjutan secara ekonomi, maupun untuk lingkungan.

Sumber: Beritagar.Id