Siaran Pers
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK)
Warga Kendeng Temui Rektor Undip ; Akademisi itu Harusnya Jujur
Semarang, 15 Desember 2017
Warga Pegunungan Kendeng hari ini (15/12/2017) kembali melakukan aksi di depan Gubernuran untuk mencari kejelasan terkait rencana pendirian pembangunan pabrik semen dan penambangan di Kabupaten Pati. Di hari kesebelas ini warga yang di dominasi oleh Ibu-Ibu dengan perangkat aksi berupa Caping bertulis tolak pabrik semen, _dunak (wadah untuk membawa nasi)_ yang berisi berbagai hasil bumi serta bendera merah putih tersebut tampak tetap tidak lelah memperjuangkan haknya.
Seperti diketahui bahwa sebelumnya warga menuntut agar Izin Lingkungan PT. Sahabat Mulia Sakti _(anak perusahaan Indocement yang sahamnya dimiliki Heidelberg Cement AG yang berpusat di Jerman)_ tidak di perbarui/ diperpanjang dimana akibat PT. SMS tidak pernah melakukan usaha/kegiatannya selama 3 (tiga) tahun maka menurut peraturan perundang-undangan wajib untuk di perbarui. Izin yang diberikan pada tanggal 8 Desember 2014 tersebut sejatinya wajib diperbarui/diperpanjang per 8 Desember 2017 lalu. Akan tetapi genap 7 (tujuh) hari masih belum ada kejelasan dari pihak pemerintah (Provinsi Jawa Tengah maupun Kabupaten Pati) tentang diperbarui/ diperpanjangnya izin lingkungan PT. SMS atau tidak diperbarui/diperpanjang. Selagipun warga telah melakukan aksi untuk mempertanyakan sekaligus menyatakan penolakan di Semarang sejak Selasa (5/12/2017) hingga hari ini dan di Pati pada Rabu (13/12/2017) lalu.
Selain melakukan aksi di depan Gubernuran, hari ini warga juga berkesempatan untuk bertemu dengan Rektor Universitas Diponegoro (UNDIP) yaitu Prof. Dr. Yos Johan Utama, S.H., M.Hum di Gedung WIdya Puraya Rektorat UNDIP Tembalang. Setelah sebelumnya warga juga bertemu dan beraudiensi dengan Rektor Universitas Katolik Soegijapranata pada Senin (11/12/2017) dan Rektor Universitas Negeri Semarang pada Selasa (12/12/2017), kali ini warga masih dalam agenda mereka yaitu bersilahturahmi, mengadu serta meminta keberpihakan institusi perguruan tinggi yang tergariskan untuk berpihak dengan berpijak pada tri dharma perguruan tinggi yaitu mengabdi pada masyarakat.
Dalam pertemuan tersebut warga menyampaikan keluh kesah dan harapannya terhadap insan intelektual berkaitan dengan persoalan yang sedang mendera warga. Seperti yang disampaikan oleh Ibu Giyem kepada Rektor UNDIP : _"maksud kulo mriki nggeh sowan karo bapak ibu nyuwun tulung ewang-ewangi pikajeng bumi kendeng itu tetep lestari"_, ujarnya. Selain itu, persoalan di Pati muncul, sedikit banyaknya juga karena adanya dokumen AMDAL yang di buat dan di nilai oleh _dulur-dulur_ akademisi tidak terkecuali dari UNDIP, sayangnya kajian akademisi tersebut yang turut menyampaikan adanya penolakan warga sekitar sebanyak 67 persen, Menerima 20 persen dan tidak menjawab 13 persen (mayoritas warga menolak) tetap meloloskan Izin Lingkungan PT. SMS. Belum lagi, dokumen AMDAL diketahui ternyata banyak tidak memasukkan fakta-fakta lapangan yang harus di lindungi. Seharusnya akademisi harus jujur kepada keilmuannya.
Rektor UNDIP yang biasa di sapa Prof Yos tersebut kemudian sempat menanyakan kepada warga dikala Ibu Giyem memperkalkan dirinya yang berasal dari Tambakromo Pati tentang apakah Ibu Giyem betul-betul asli Pati atau bukan. Prof Yos turut menyatakan dalam Bahasa Jawa _“sing ngaku-ngaku iku katah”_ di akhiri dengan tawa dari beliau. Warga kemudian menyatakan bahwa hal tersebut memang sering dipolitisir, untuk itu warga siap membuktikan dan siap pula untuk sumpah. Di akhir Prof Yos juga menyatakan _“terus terang, saya sendiri itu tidak mendalami, data juga kami tidak punya, kami menerima keluh kesahnya, maka akan dilakukan kajian karena kami ini istilahnya guru yang melakukan kajian, semisal di tanyai yang kami bisa berikan sebatas saran, saran di lakukan atau tidak itu tergantung pemerintahnya lagi, jadi prinsipnya kami mengkaji karena ada istilah hukum yaitu harus mendengarkan kedua belah pihak”_. Terkait yang disampaikan tersebut warga menyatakan siap memberikan data. Prof Yos juga sempat mempertanyakan cara yang dilakukan warga apakah cara yang efektif atau bukan, _“soalnya kan capek”_.
Kami sadar betul bahwa perjuangan dalam menyelamatkan ruang hidup dan ruang produksi kami sebagai petani dari berbagai upaya industrialisasi semen dan penambangan batu kapur di sepanjang Peg. Kendeng, membutuhkan peran serta seluruh lapisan masyarakat utamanya adalah insan akademik.
Perguruan Tinggi, sebagai institusi pendidikan, adalah benteng pertahanan utama bagi upaya membangun peradaban kemanusiaan. Disamping itu, Perguruan Tinggi juga sebagai wadah pembelajaran kebajikan dan penganjur kebenaran. Sebagai tempat bagi setiap anak bangsa berproses dan digembleng menjadi manusia seutuhnya guna mengamalkan berbagai disiplin ilmu ditengah-tengah masyarakat guna perbaikan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Tujuan sedulur petani Kendeng bersilahturahmi ke kampus-kampus adalah hendak mengetuk hati nurani segenap civitas akademika untuk turut bersama-sama berjuang dengan rakyat menyelesaikan berbagai persoalan yang saat ini tengah dihadapi rakyat banyak. Berbagai persoalan sengketa agraria, pengalihan fungsi lahan produktif pertanian menjadi lahan industri, telah mencederai azas keadilan dan kemanusiaan. Tidak bisa dipungkiri bahwa insan akademis _“telah turut andil”_ dalam berbagai instrumen aturan guna terealisasinya berbagai proyek investasi, dalam hal ini industri ekstratif yang telah mengeksploitasi sumber daya alam dan telah/sedang/ akan mencerabut kehidupan mayoritas rakyat sebagai petani. Kami hendak menunjukkan realita yang ada di lapangan dimana berbagai pihak telah memanipulasi data dan fakta. Insan Akademik sebagai rujukan berbagai instrumen aturan investasi harusnya tetap mengedepankan asas keadilan dan kemanusiaan. Disiplin ilmu tertentu tidak bisa berdiri sendiri-sendiri. Semua disiplin ilmu saling terkait.
Kami yakin, jika semua elemen masyarakat, terutama kaum intelektual, bangkit berdiri berjuang bersama-sama dengan rakyat yang sedang “tertindas”, maka perjuangan ini akan berhasil dengan tetap mengedepankan cara-cara yang bermartabat. Banyaknya ketidakadilan yang dialami masyarakat kecil (petani) dari berbagai pelosok di Indonesia, adalah signal lampu merah bagi insan akademik untuk terketuk hatinya bangkit berdiri menjadi bagian dari perubahan ke arah yang lebih baik. Terkhusus untuk UNDIP, bahwa selain memegang Tri Dharma Perguruan Tinggi, UNDIP juga harus memegang teguh nilai perjuangan Pangeran Diponegoro yaitu *“Berjuang mempertahankan tanah leluhurnya”* sehingga ketika ada gejolak masalah seperti di Pegunungan Kendeng, sudah seharusnya UNDIP berpihak pada masyarakat yang berdasar pada Tri Dharma Perguruan Tinggi dan berdasar pula dimana *perjuangan Warga Kendeng adalah perjuangan mempertahankan tanah leluhur untuk diwariskan kepada anak cucu berupa bumi yang LESTARI*
0 komentar:
Posting Komentar