Dec 27, 2017
(Anatomi, Eskalasi dan Resolusi)
oleh: Sri Bintang Pamungkas dan Anggalih Bayu
Puing rumah
warga yang tergusur. Dokumentasi oleh Fildzah
Husna Amalina, 7 Desember 2017.
“Hati kami sudah terlanjur terluka oleh pendekatan pemerintah dan pihak
investor yang salah sejak awal. Mereka tidak menggunakan cara-cara persuasif.
Bahkan kami yang tinggal di selatan jalan Daendles, dari Trisik sampai timur
Sungai Serang, diperlakukan seperti layaknya “Gepeng” (gelandangan dan
pengemis-pen) yang harus disingkirkan.”
(Martono, Ketua WTT)[1]
Tulisan ini akan menelisik konflik mega proyek pembangunan bandara New
Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, yang
dari hari ke hari semakin eksalatif. Resistensi politik rakyat, khususnya
rakyat yang tergabung dalam wahana Tri Tunggal (WTT) Paguyuban Petani Lahan
Pantai (PPLP), tak bias dihindarkan lagi. Tanpa takaran dialog memadai,
kerasnya kebijakan yang bersikukuh merealisasikan proyek, semakin menyulut
resistensi politik rakyat. Resistensi rakyat pun bermanifestasi menjadi konflik
terbuka hingga berujung kekerasan. Malang tak dapat ditolak, konflik kekerasan
pun menjadi penanda proses demokratisasi, dimana rakyat mengambil posisi tawar
yang tegas terhadap dominasi para elit penguasa dan pengusaha berikut
aktor-aktornya di tingkat basis.
Tulisan ini berupaya memetakan konflik yang telah berlangsung sekitar lima
tahun belakangan, upaya pemerintah yang setengah hati dalam penyelesaian
konflik dan justru semakin membuat isu ini semakin ekskalatif. Dengan mengacu
pada pemetaan konflik Paul Wehr[2], bagian pertama tulisan akan
mengilustrasikan konteks situasi yang melatarbelakangi konflik. Berbagai pihak
yang terlibat (baik yang langsung dan tidak langsung, serta yang terkait upaya
perdamaian) dan isu-isu atau persoalan utama sebagai obyek konflik pun turut
terpapar di bagian ini.
Pada bagian kedua, secara historis tulisan
akan mengetengahkan eskalasi konflik itu sampai situasi terkini.
Pada
bagian ketiga, tulisan akan memapar berbagai peluang bagi resolusi
konflik.
Pada bagian keempat, tulisan akan mengakhiri uraian dengen
memberikan beberapa catatan kritis, tanpa mengabaikan pembacaan atas peristiwa
termutakhir seputar peta politik paska terpilihnya bupati baru di Kabupaten
Kulon Progo. selain ditempuh melalui kajian pustaka dan penelusuran pemberitan
dari sejumlah media massa, tulisan juga dilengkapi dengan hasil wawancara
penulis dengan sejumlah narasumber yang terkait dalam konflik pembangunan
Bandara di Kulon Progo.
Prahara yang Berkepanjangan
Awal mula ada rencana pembangunan bandara di Kulon Progo sebenarnya sudah
ada isunya ketika pemerintahan bupati periode sebelumnya yaitu pada saat Pak
Hasto menjabat sebagai Bupati Kulon Progo. Pada penghujung 2011 mulai muncul
isu akan dibangunya bandara baru di Kulon Progo. Pada tahun 2012 isu
pembangunan bandara di Kulon Progo semakin santer terdemgar, dan mulai
menimbulkan pertentangan di masyarakat (pro dan kontra).
Setidaknya 5 tahun belakangan ini masyarakat Kulon Progo di Kecamatan Temon
kabupaten Kulon Progo mengalami pergolakan, karena disebabkan oleh adanya
pembangunan bandara baru di Kulon Progo, yang nantinya akan menggantikan
bandara lama yaitu Bandara Adisutjipto sebagai bandara komersil. Sedikitnya ada
lima desa yang terdampak pemabangunan bandara di Kulon Progo yaitu Desa
Palihan, Glagah, Sindutan, Kebonrejo, dan Desa Jangkaran. Dari lima desa itu
ada dua desa yang memang terkena dampak paling luas yaitu Desa Palihan dan
Glagah.
Berikut ini adalah kronologi terjadinya konflik yang terjadi antara
pemerintah dengan masyarakat terdampak pembangunan bandara:
Kronologi
Konflik Pembangunan NYIA. Sumber: Riset oleh Penulis.
Pembangunan bandara di Kabupaten Kulon Progo lebih tepatnya di Kecamatan
Temon merupakan hasil pengkajian pemilihan tempat sebelumnya, yang kemudian
pilihan jatuh di Kulon Progo. Pengkajian tersebut berkaitan dengan kelayakan
lokasi penerbangan.Pemerintah berdalih kenapa perlunya pembangunan Bandara
Internasional baru di Daerah Istimewa Yogyakarta (PT. Angkaa Pura I 2015),
yaitu:
Pertama, Kapasitas terminal Bandara Adisutjipto tidak mampu
lagi menampung pesawat yang take off and landing. Adapun daya
tampung Bandara Adisutjipto adalah 1,2 s.d 1,5 juta, sedangkan jumlah per 2014
sudah mencapai 6,2 juta penampung. Kapasitas area parkir pesawat (apron) hanya
menampung 7+1 (apron baru).
Kedua, transportasi udara yang baru di Yogyakarta memang
dirasa perlu. Mengingat Yogyakarta sebagai destinasi para wisatawan baik
mancanegara maupun lokal, memerlukan jasa transportasi yang efektif, efisiensi,
dan nyaman. Transportasi udara menjadi pilihan para pelancong dalam berpergian
antar negara dan antar kota. Selain itu pembangunan bandara baru juga untuk
memenuhi kebutuhan jasa penerbangan baik domestik maupun non-dosmetik,
mengingat akan kebutuhan konsumen yang setiap tahun mengalami peningkatan.
Ketiga, Bandara Adisutjipto adalah milik Pangkalan TNI AU
yang sebenaranya bukan untuk komersil, sehingga tidak jarang ketika TNI AU
mengadakan latihan pesawat penerbangan domestik terganggu sehingga adanya delay atau
penundaan baik ketika pesawat mau turun maupun terbang.
Akan tetapi pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kulon Progo
menemui resistensi dari masyaralat khususnya petani, sehingga yang rencananya
pembangunan bandara akan dimulai awal tahun 2016 akhirnya belum juga dapat direalisasikan.
Hambatan sosial menjadi faktor utama, yaitu adanya masyarakat yang menolak
pembangunan bandara di Kulon Progo ini.
Penolakan pembangunan bandara dilakukan oleh mereka yang benar-benar
menolak adanya bandara yaitu kelompok Wahana Tri Tunggal (WTT), dan masyarakat
yang mendukung (pro) namun dengan mengajukan beberapa persyaratan yang mereka
ajukan. Di antara syarat yang harus dipenuhi yaitu masalah ketenagakerjaan,
ganti rugi lahan milik masyarakat, kompensasi Pakualaman Ground, dan relokasi gratis.
Namun dari tiga syarat yang diajukan oleh masyarakat yang pro bersyarat, ada
satu yang belum bisa disepakati dari pihak PT. Angkasa Pura I yaitu mengenai
relokasi gratis.
Anatomi Konflik Mega Proyek Bandara Kulon Progo
Berpijak pada paparan panjang di atas, uraian berikut akan mendiskripsikan
hasil analisis mengenai berbagai faktor penyebab munculnya konflik. Menurut
hemat penulis, setidaknya ada tiga faktor penyebab konflik yang beroperasi
dalam mega proyek pembangunan Bandara di Kulon Progo ini.
Pertama, akar konflik yang nampak menyolok adalah persoalan
tanah atau agraria. Persoalan status tanah Pakualam Ground itu mencuat setelah
munculnya kontroversi penambangan pasir besi di wilayah pesisir Pantai Kulon
Progo. Di satu sisi Pakualaman mengklaim bahwa sejumlah tanah di wilayah itu
merupakan Pakualam Ground. Di sisi lainnya, warga merasa berhak
pula atas tanah pesisir yang telah mereka kelola selama 20 tahun, hingga
menjadi lahan pertanian yang subur seperti saat ini. Warga pun menuntut
sertifikasi tanah lahan pesisir itu.
Menyoal keberadaan tanah Sultan Ground (SG) maupun Pakualaman
Ground (PAG) memang memicu polemik publik yang berkepanjangan hingga
saat ini. Terjadi dualism penerapan hukum tanah untuk kasus di DIY: di satu
sisi mengacu pada pemberlakuan Rijksblad Kasultanan Yogyakarta
№16/1918 dan Rijksblad Pakualaman №18/1918 dan di sisi lainnya
mengacu pada pemberlakuan UUPA No 5/1960.[3] Dualisme pelaksanaan hukum itu jelas
bertentangan dua asas hukum. Pertama, ketentuan hukum yang lebih tinggi
menghapus ketentuan hukum yang lebih rendah (lex superior derrogat legi
inferiori). Kedua, hukum yang datangnya lebih dahulu dapat dihapuskan oleh
hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi priori).[4] Persoalan agraria di DIY ini
semakin terasa kompleks sejak berlangsungnya otonomidaerah, terutama saat
mengemukanya kembali polemik RUUK dalam lima tahun terakhir.
Kedua, terkait dengan akar persoalan agraria di atas,
persoalan kedua ini adalah soal timpangnya kekuasaan dalam desentralisasi.
Kekuasaan yang timpang di tingkat lokal akan berakibat pada dua hal: pertama,
pola dan mekanisme perumusan kebijakan publik (baik di tingkat provinsi maupun
kabupaten) yang bias pada kepentingan elit penguasa; dan kedua, hasil kebijakan
itu praktis akan mendorong optimalisasi penguasaan sumber-sumber ekonomi
produktif oleh elit-elit lokal tersebut.
Ketiga, padu padan kedua persoalan di atas, akhirnya mengemuka dan terkuak
ketika hadir pihak ketiga, yaitu investor asing yang hendak menginvestasikan
modalnya secara langsung dari hulu hinga hilirnya pembangunan. Konflik yang
semula berada di dalam sekam, akhirnya mengemuka sebagai konflik terbuka,
bahkan telah berujung pada konflik kekarasan. Dalam pusaran persoalan yang
saling berkelit berkelindan itulah yang menyebabkan para warga pesisir merasa
tidak mendapatkan rasa keadilan. Lahan penghidupan sebagai sumber kesejahteran
terancam terenggut dengan cara-cara yang tidak adil dan manusiawi. Dalam
konteks inilah, Dom Helder Camara, pernah mengatakan bahwa bekerjanya
ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi merupakan sumber utama apa yang
disebutnya sebagai spiral kekerasan.[5]
Dari paparan faktor-faktor penyebab konflik yang terkait dengan mega proyek
penambangan pasir besi di atas, kita bisa membedakannya kedalam kategori
berikut: pertama, persoalan agraria teridentifikasi sebagai akar
konflik (yang memiliki kaitan erat dengan sejarah panjang persoalan agraria di
DIY); kedua, ketimpangan kekuasaan dalam desentralisasi
terkategorikan sebagai pendorong munculnya konflik; dan ketiga,
keterlibatan investor asing dalam pembangunan bandara tersebut merupakan pemicu
konflik.
Eskalasi Konflik
Pembangunan bandara baru di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa
Yogyakarta, telah dimulai, ditandai dengan peletakan batu merah pertama oleh
Presiden Joko Widodo dalam satu seremoni bertajuk “Babat Alas Nawung Kridha”.
Menurut pemerintah, Pembangunan bandara di lahan seluas 587 hektare tersebut
harus segera dilaksanakan, sebab perencanaannya sudah tujuh tahun. Dengan
berdalih kehadiran bandara tersebut sudah sangat dibutuhkan untuk menggantikan
peran Bandara Adisutjipto yang yang kapasitasnya sudah tidak mampu menampung
pertumbuhan pergerakan penumpang dan pesawat lantaran keterbatasan lahan.
Kapasitas maksimal terminal penumpang di bandara Adisutjipto yang memiliki luas
15 ribu meter persegi tersebut, hanya sekitar 1,2 juta penumpang per tahunnya.
Begitupun dengan fasilitas lainnya seperti, apron (area parkir pesawat) yang
berkapasitas hanya delapan pesawat, dan landasan pacu (runway) sepanjang 2.250
meter, dinilai sudah tidak mampu lagi untuk menambah pergerakan pesawat dan
melayani pesawat berbadan besar. Padahal pada 2016, jumlah pergerakan penumpang
di bandara Adisutjipto telah mencapai 7,2 juta penumpang.
Dalam perencanaan, Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo akan
dibangun secara bertahap. Pada tahap pertama, terminal penumpang yang akan
dibangun yaitu seluas 130.000 meter persegi yang mampu menampung hingga 15 juta
penumpang per tahunnya. Dengan landasan pacu sepanjang 3.250 meter dan area
parkir pesawat berkapasitas hingga 35 pesawat. Pembangunan tahap I ini
ditargetkan selesai pada Maret 2019. Pada tahap II dilakukan pengembangan
lanjutan terminal penumpang menjadi 195 ribu meter persegi, yang mampu
menampung hingga 20 juta penumpang per tahun. Landasan pacu pun diperpanjang
menjadi 3.600 meter dan area parkir pesawat dikembangkan menjadi berkapasitas
hingga 45 pesawat, sehingga dapat melayani pesawat berbadan besar, misalnya,
Boeing 747–400. Namun, dalam proses pembangunan Bandara Internasional
Yogyakarta tidak terlepas dari perlawanan dan gugatan dari warga setempat yang
merasa dirugikan. Sebelumnya masyarakat setempat telah memenangkan gugatan di
PTUN, akan tetapi kemudian pihak pemerintah mengajukan kasasi dan memenangkan
gugatan. Dengan bermodalkan hal tersebut pemerintah terus berusaha melanjutkan
pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta. Pemerintah sendiri menyiapkan
tiga skema ganti untung yaitu pembayaran tunai, relokasi dan pemberian tanah
PAG ke warga terdampak.
Namun, melihat dari proses
pembangunan dan pemilihan lokasi di Kecamatan Temon,Kulonprogo ini. Kami telah
menemukan beberapa permasalahan yang dihimpun dari berbagai sumber :
1. Adanya ancaman bencana
dan kerusakan lingkungan hidupmenyebabkan wilayah yang dipilih tidak tepat
untuk dijadikan lokasi pembangunan Bandara Internasional. Perpres Nomor 28
tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali menyebutkan; Kabupaten Kulonprogo jadi
salah-satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawa bencana alam geologi
(pasal 46 Ayat 9 huruf d). Selain itu, menilik perda Provinsi DIY, sepanjang
pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami
(pasal 51 huruf g). Bahkan, Perda Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012
Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogopun lebih detail menyatakan bahwa kawasan
rawan tsunami salah-satunya meliputi Kecamatan Temon (Pasal 39 ayat 7 huruf a).
Penataan ruang berbasis mitigasi
bencana dengan menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung geologi.
Senyatanya adalah ikhtiar untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan
kehidupan makhluk hidup. Apalagi, secara geografis Indonesia berada di lingkaran
rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Masterplan
Pengurangan Resiko Bencana Tsunami (2012). Sebetulnya sudah memetakan kawasan
utama yang punya resiko dan probabilitas tsunami tinggi. Kawasan tersebut
antara lain kawasan Selat Sunda dan Jawa bagian Selatan. Gempa bumi yang besar
yang terjadi di zona penunjaman di Jawa bagian Selatan dikhawatirkan akan
memicu tsunami yang dapat menimpa salah-satunya daerah pantai diselatan
Provinsi DIY (Kabupaten Kulonprogo). Kemudian, potensi bencana tsunami di
Kecamatan Temon diamini oleh Dr. Eko Teguh PAripurno, Ketua Pusat Studi
Manajemen Bencana UPN Yogyakarta. Menurutnya, Temon merupakan daerah rawan
gempa yang dapat memicu tsunami.
Terlebih blok Jogja termasuk blok
yang belum pernah mengalami gempa besar. Karena gempa (2006) lalu bukan dari
blok Jogja, tapi patahan Opak. Sehingga, jika berbicara mengenai potensi
terjadinya gempa dan tsunami di calon lokasi Bandara Internasional Kulonprogo
cukup besar. Bahkan, berdasarkan Peta Bahaya Tsunami Wilayah Kulonprogo yang
diterbitkan InaTews bekerjasama dengan DLR, Lapan, LIPI dan Bakosurtanal
(2012). Menunjukkan bahwa lokasi tapak bandara rawan bahaya tsunami tinggi
seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar dan bahaya rendah
seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat mencapai ketinggian mencapai 6 meter dan
terjangan mencapai 2 Kilometer. Tsunami dapat hadir 33–40 setelah gempa.
Beberapa paparan karakter bahaya tsunami tersebut maka kawasan tapak mempunyai
indeks ancaman tinggi sampai rendah, dengan rata-rata sedang. Sedangkan, pada
tapak terjadi perubahan indeks penduduk terpapar pada saat ini rendah (16
Jiwa/km2, kurang dari 500 Jiwa/km2 dan akan berubah menjadi tinggi (16.468
jiwa/km2, lebih dari 1000 jiwa/km2) pada saat bandara beroperasi.
2. Adanya indikasi
kejanggalan dalam proses studi AMDAL dan proses perumusan kebijakan
yang menyebabkan munculnya kebijakan yang dapat dikatakan muncul secara
sepihak. Rencana studi amdal yang terlambat ini dianggap menjadikan proses
pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) ini menjadi cacat
hukum. Dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Harry Supriyono
menyatakan bahwa Studi Amdal seharusnya dilakukan sebelum penerbitan IPL (Izin
Penetapan Lahan) bandara. Harry mengatakan dasar Amdal harus ada sebelum IPL
yakni UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk
Kepentingan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 tentang
Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam
aturan itu dijelaskan bahwa studi kelayakan lahan yang berwujud Amdal harus
sudah ada sebelum adanya pembebasan lahan. Proses rencana pembangunan bandara
di Kulon Progo sudah sampai pembayaran ganti rugi, tapi studi Amdal baru mau
dilakukan. Proses yang sudah dilakukan sudah cacat hukum
Direktur Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, mengungkapkan dalam sebuah proyek
pembangunan sudah semestinya ada instrumen pencemaran lingkungan hidup.
Termasuk dalam hal pencegahan pencemaran lingkungan akibat dampak pembangunan
bandara Kulon Progo. Amdal menjadi bagian keluarnya kelayakan lingkungan. Jika
studi kelayakan lingkungan tidak ada, izin pembangunan harusnya tidak bisa
dikeluarkan. Sebelumnya, IPL proyek pembangunan NYIA dengan Nomor 68/KEP/2015,
telah dikeluarkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 2015. Maret
2015, warga Kulon Progo menggugatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Menang di
tingkat gugatan, warga kalah di tingkat kasasi yang disidangkan Mahkamah Agung.
3. Proses kompensasi yang
dijanjikan kepada warga terdampak senyatanya justru dapat menimbulkan
marginalisasi bagi warga setempat. Masih belum jelasnya mekanisme
kompensasi menimbulkan kesimpangsiuran bagi warga terdampak, padahal
kesepakatan pembangunan Bandara telah diteken. Adanya upaya relokasi dengan
ganti tanah dari PAG (Paku Alaman Ground) dengan sistem magersari dianggap
menimbulkan ketidakadilan. Penghageng Kawedanan Kaprajan Kadipaten Paku Alaman
KPH Suryo Adi Negoro mengatakan Kadipaten Paku Alaman telah menyiapkan lahan
seluas 15 hektare untuk digunakan sebagai tempat relokasi bagi warga yang
terkena dampak pembangunan bandara. Warga diperbolehkan menempati tanah
tersebut akan tetapi tidak boleh dijual. Adapun tanah yang disiapkan untuk
relokasi masih berupa tanah lapang dan ada beberapa bangunan. Nantinya, Pemkab
Kulonprogo memiliki kewajiban untuk membangun perumahan sebagai tempat relokasi
warga di lahan tersebut. Sejatinya, tanah yang disiapkan untuk tempat relokasi
adalah tanah milik kadipaten Paku Alaman yang awalnya direncanakan untuk
perumahan. Akantetapi, karena dirasa dibutuhkan oleh warga maka pembangunan
tersebut dibatalkan. Penjelasan dari Paku Alaman menyatakan bahwa tanah
relokasi bersifat status sewa, model penyewaan 20 tahun dan diperpanjang bertujuan
untuk mempermudah pengadministrasian dan inventarisasi dari kadipaten Paku
Alaman. Adapun untuk sertifikasi tanah relokasi tersebut diserahkan sepenuhnya
kepada PT Angkasa Pura. Adanya model kompensasi dengan relokasi tanpa
memberikan hak milik bagi warga terdampak ini justru terkesan memarginalkan
warga terdampak dan justru terkesan “mengkomersialkan” dengan menarik sewa
tanah bagi warga yang mau tinggaal di tempat relokasi yang telah disediakan.
Padahal, lahan yang terdampak pembangunan bandara adalah mayoritas adalah milik
warga terdampak. Ancaman yang muncul dari pembangunan ini tidak hanya hilangnya
lapangan pekerjaan, namun juga indikasi marginalisasi petani.
Resolusi
Konflik
Setelah seluruh elemen dari anatomi
konflik dan eskalasinya telah terpapar di atas, tulisan akan mendedahkan
beberapa tawaran skenario resolusi terkait mega proyek Pembangunan Bandara di
Kulon Progo. Akan terlalu ambisius untuk memapar detil konflik berdurasi 5
tahun lebih hanya dalam secarik kertas kecil ini. Sebelum menawarkan beberapa
skenario resolusi konflik, terlebih dulu, penulis akan memberikan beberapa
catatan penting sebagai entry point untuk resolusi tersebut. Beberapa catatan
penting adalah sebagai berikut:
Pertama, terilustrasikan dalam paparan di atas bahwa mega proyek pembangunan
bandara di Kulon Progo merupakan grand design dari Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Provinsi DIY yang tak bisa diganggu gugat oleh pihak
manapun, termasuk masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh proyek
tersebut. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo diposisikan sebagai ujung tombak
untuk mengurusi “warga yang berontak” dan “investor yang sudah mengantongi
kontrak”. Tak teragukan lagi, lintasan jalur dari bebadan ekskutif itu dari
pusat hingga daerah tidak menunjukkan situasi konfliktual yang berarti,
setidaknya yang manifes.
Kedua, kevakuman persaingan kekuatan politik di tingkat DPRD rupanya menunjukkan
gelagat serupa dengan jejalur lintas eksekutif di atas. “Keanggunan” dan
“kekompakan” Nampak hendak lebih ditonjolkan para wakil rakyat, ketimbang
berperan sebagai kekuatan oposan eksekutif. Inikah warna yang mungkin hendak
ditunjukkan Yogya agar tak terlihat carut-marut di mata Pemerintah Pusat? Tentu
akan menjadi perdebatan panjang nantinya
Ketiga, termarginalkanya sebagai “anak bawang”, warga pesisir pantai
terombang-ambingkan oleh kekuatan yang sepenuhnya terpolarisasi di satu kubu
(pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, DPRD DIY, DPRD
Kulon Progo, dan tentunya investor). Peta politik nampaknya tidak tengah ingin
menunjukkan warnanya yang menarik, lantaran telah terjadi homogenisasi kekuatan
politik.
Keempat, peta kekuatan oligarkis telah berhasil membuka peluang lebar-lebar bagi
pintu masuknya investor, melalui berbagai “pintu rahasia” yang warga tak akan
pernah bisa mengaksesnya. Terloloskannnya Kontrak Karya, lolosnya Kerangka
Acuan Andal telah memberikan gambaran jelas tentang absennya pemikiran tentang
transparansi, akuntabilitas, dan segenap aspek dalam tata kelola demokratis dan
partisipatoris di kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Melihat pada berbagai catatan
tersebut di atas, berikut ini penulis mencoba menawarkan langkah menuju
tercapainya resolusi dalam konflik mega proyek pembangunan Bandara Kulon Progo.
Tawaran langkah itu adalah sebagai berikut:
Pertama, bangun dan buka kanal-kanal dialog seluasnya bagi warga, terutama warga
yang paling terdampak langsung oleh proyek pembangunan bandara, guna menampung
seluruh kekawatiran, kecemasanm, maupun harapan yang mereka miliki. Dalam
konteks proyek bandara tersebut, merangkul kembali warga yang terlanjur kecewa,
karena terabaikan tentu bukanlah urusan yang mudah untuk dilakukan. Namun tak
ada pilihan yang paling strategis bagi pemerintah daerah kecuali untuk menata
ulang pola pendekatan maupun pola perumusan kebijakan publik yang selama ini
abai pada warga.
Kedua, buka pula ruang-ruang bagi dialog strategis multi-pihak dan stakeholder
tentang rencana pengembangan wilayah, peningkatan daya saing ekonomi daerah,
maupun upaya membangun system kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal.
Kendati sangat terlambat, namun pilihan langkah ini bisa disebut sebagai
“merebut momentum” untuk tata kelola yang lebih demokratis dan partisipatoris.
Ketiga pemerintah perlu untuk segera merumuskan mekanisme kompensasi yang pasti
dan diharapkan benar-benar menguntungkan bagi warga terdampak apabila memang
pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta adalah kebutuhan yang mendesak
bagi pembangunan nasional.
Keempat, mendorong pemerintah untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan kepada
publik tentang rancangan mitigasi bencana dan ancaman kerusakan lingkungan
hidup akibat dampak pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta beserta
penanganannya. Dengan catatan bahwa pembangunan Bandara Internasional
Yogyakarta merupakan kebutuhan mendesak dalam pembangunan nasional.
Kelima, mendorong pemerintah untuk untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan
kepada publik tentang rancangan pendampingan dan pemberdayaan warga terdampak,
pembangunan daerah yang terpadu, meningat dalih dari pembangunan Bandara
Internasional Yogyakarta di Kulonprogo adalah dalam rangka meningkatkan
pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan serta peningkatan daya saing
menghadapi pasar global.
Catatan
Kaki
[1] Transkrip wawancara dengan Martono pada
26 Januari 2017
[2] Pauh Wehr. 2002. Using Conflict
Theory. Cambridge University Press, Jul 15, 2002-Political Science. P
219
[3] Hendro Prabowo, Pluralisme Hukum dan
Penguasaan Tanah di DIY dalam Mimbar Hukum, hlm. 64. Diunduh dari i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2940.
[4] Jawahir Thontowi, Kepemimpinan yang
Demokratis dan Penguasaan Tanah dalam Heru Nugroho, Interpretasi Kritis
Keistimewaan Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS, hlm.61.
[5] Lambang Triyono, Kata Pengantar dalam
Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar;
2000,hlm.xi-xiii.
Referensi
Buku:
Camara, Dom Helder. 2000.Spiral Kekerasan; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Endiarto, Agoes Soesilo. 2012. Implikasi
Pemindahan Bandara Adi Sutjipto bagi Pemkab Sleman. Yogyakarta: Disampaikan
dalam Diskusi Panel Relokasi Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada tanggal 5
Juni 2012 di Fisipol UGM
Heru Nugroho.2005. Interpretasi Kritis Keistimewaan
Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS
Martono. (2015). Penolakan Paguyuban Wahana
Tri Tunggal. Kulonprogo, Yogyakarta.
Pauh Wehr. 2002. Using Conflict Theory. Cambridge
University Press, Jul 15, 2002-Political Science
Triyono, Lambang dan Najib Azca (ed). Potret Retak
Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia; Yogyakarta: CSPS Books, 2004.
Triyono. 2012. Pembangunan New International
Airport Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo. Yogyakarta: Disampaikan dalam
Diskusi Panel Relokasi Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2012
di Fisipol UGM
Utsman, S. (2007). Anatomi Konflik dan
Solidaritas Masyarakat Petani.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumber: Medium.Com