Misi mereka satu; memblokir kehadiran PT Semen Indonesia. Kata Sukinah, pabrik itu akan mengubah tanah subur Tegaldowo menjadi tandus.
Tegaldowo sebuah desa di kabupaten Rembang, utara pegunungan karst Kendeng yang membentang di empat kabupaten Jawa Tengah. Sebagai kawasan karst, Kendeng berfungsi sebagai penyimpan air yang memberi hidup ribuan hektar lahan pertanian hijau dan hutan jati. Ratusan ribu petani di wilayah itu menggerakkan roda ekonomi dari kesuburan tanah yang kini terancam oleh pembangunan pabrik semen.
Penolakan Sukinah terhadap kehadiran pabrik semen di desanya berdasar hukum. Tahun 2008 lalu, pemerintah pusat menetapkan karst sebagai wilayah terlarang bagi aktivitas tambang. Namun dua tahun berselang, pemerintah daerah Jawa Tengah mengabaikan larangan tersebut. Mereka menjadikan Kabupaten Grobogan, Rembang, Blora dan Pati – di mana pegunungan karst Kendeng Utara melintas – sebagai kawasan pertambangan mineral logam, bukan logam, batuan dan batubara.
Merasa kesuburan tanah tempat mencari nafkah terancam, Sukinah dan puluhan ibu-ibu memutuskan untuk mendirikan tenda dan menjaganya bergantian, demi menolak pabrik semen yang akan mengeruk kapur penyimpan air Kendeng. Sengaja yang menjaga tenda semuanya perempuan untuk menghindari gesekan dengan aparat, terang Sukinah. Meski tetap saja aparat melakukan kekerasan terhadap ibu-ibu pada hari pertama pendirian tenda. Mereka menyeret, memukul, dan melempar perempuan Tegaldowo.
Sukinah dan kawan-kawan juga sempat mengajukan gugatan ke PTUN Semarang untuk membatalkan izin penambangan PT Semen Indonesia yang diberikan oleh Gubernur Jawa Tengah pada 2012 lalu. Namun pada pertengahan April tahun lalu, PTUN menolak gugatan mereka.
Satu-Satunya Jalan: Semen Kaki
“SAYA ini merasa jengah dengan kehadiran semen. Mondar-mandir ke sana ke mari untuk mencari keadilan tidak ada respons. Hanya di iya-iyakan saja. Pemerintah provinsi sudah tidak peduli dengan keadaan Rembang. Jadi kami berpikir bagaimana cara untuk melawan,” ujar Sukinah.
Sukinah memutuskan bahwa cara terbaik “untuk melawan” adalah memasung kaki dengan semen sebagai simbol nasib petani yang terbelenggu tambang. Bersama delapan ibu-ibu lain dari pegunungan Kendeng, tanggal 11 April dia datang ke Jakarta untuk melakukan aksi tersebut di depan istana selama tujuh hari berturut-turut.
Menurut Sukinah, aksi memasung kaki dengan semen adalah “satu-satunya jalan” yang tersisa untuk “melawan” setelah kalah di pengadilan dan tidak mendapat respons di jalanan.
“Ini bulan Ibu Kartini yang dulu memperjuangkan kaum perempuan. Akhirnya kami menggunakan cara tersebut (menyemen kaki), karena kami pikir semen sudah membelenggu Indonesia seperti itu. Bukankah kalau semen sudah membelenggu Indonesia kita tidak bisa melakukan apa-apa, pangan sulit, bukankah kita akan mati? Makanya, kami pikir itu satu-satunya jalan.”
“Bagaimanapun orang seperti saya inilah yang berhubungan secara langsung dengan semen. Rumah saya dan tambang hanya berjarak 900 meter. Dan tapak pabrik dengan pemukiman desa saya, Tegaldowo, hanya berjarak 3 km.”
Sukinah menyebut ide menyemen kaki sebagai hasil diskusi bersama dulur-dulur Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng. Sukinah bukan satu-satunya perempuan dalam aksi tersebut. Ada delapan “Kartini Kendeng” lain yang berasal dari dua kabupaten berbeda; Pati dan Grobogan.
Sembilan perempuan itu menyuarakan tuntutan yang sama akan keberlanjutan alam dan masa depan pertanian, dengan detail cerita yang berbeda. Sukinah menolak PT Semen Indonesia. Sementara Kartini Kendeng dari Pati melawan izin pendirian pabrik semen PT Sabahat Mulia Sakti, anak perusahaan PT Indocement. Perusahaan tersebut kini tengah mengajukan banding terhadap keputusan PTUN Semarang yang sebelumnya memenangkan gugatan warga.
Para “Kartini Kedeng” itu mulanya berniat akan memasung kaki selama tujuh hari atau sampai Jokowi menemui. Menurut Alexander Herlina, satu-satunya dokter yang bersedia mengawal ibu-ibu Kendeng, aksi tersebut memang beresiko besar. Dia sudah menghubungi kawan-kawan seprofesi, termasuk Bulan Sabit Merah Indonesia. Tidak ada yang menyanggupi.
Sebagai satu-satunya dokter pendamping, Lina hanya menjamin keselamatan Kartini Kendeng selama tiga hari. Dia tidak bisa memastikan kesehatan para perempuan itu jika rencana tujuh hari memasung kaki benar-benar terlaksana.
“Resikonya besar memang.
Semakin tua kelenturan pembuluh darah semakin berkurang. Ini kan ibu-ibu rata-rata umurnya 35-40. Kalau disemen berarti kaki dan tubuh statis, ngga bergerak, padahal tubuh manusia itu dinamis untuk membantu kerja jantung. Tubuh butuh bergerak. Kebutuhan oksigen dan darah yang paling sedikit itu saat tidur, itupun kita masih gerak-gerak ubah posisi kan?”
Lina, yang juga aktif di JMPPK, mengajukan syarat teknis yang harus dipenuhi untuk keamanan kesehatan ibu-ibu: cara berdiri saat proses kaki disemen, bentuk kotak kayu yang mewadahi semen, kaki harus digips, sebagian kaki harus dikeluarkan ke depan sehingga jari kaki menyembul dari kotak kayu depan.
“Saya dapat tekanan dari kawan-kawan seprofesi karena ini bisa membahayakan ibu-ibu petani dan diri saya sendiri. Saya bilang, saya bisa memahami argumentasi kalian, kan saya juga dokter.
Tapi saya ingin mengakomodir keinginan ibu-ibu petani. Saya jadi jembatan. Cara menjembataninya secara teknis harus nurut saran teknis saya.”
“Resiko terbesarnya adalah sumbatan. Apalagi ditambah tekanan psikologis ibu-ibu ini kan, panas-panasan juga.”
Karsupi dan Giyem
KARSUPI, peserta aksi Kartini Kendeng dari Rembang, baru mengetahui rencana menyemen kaki saat tiba di Jakarta.
“Saya dengarnya waktu kumpul di Kontras itu. Di perjalanan belum tahu. Saya ditanyai, ‘Mbak Sup, nanti sampeyan dicor kakinya ya?’ Ya sudah, pokoknya saya mau saja.”
“Saya diajak teman-teman. Dikasih tahunya akan ada aksi aja.”
Sementara Giyem, mengaku tidak punya kekhawatiran ihwal kakinya akan disemen. “Pokoknya saya ikhlas dan rela melakukan apapun untuk aksi ini,” ujar Giyem kepada kami. Namun, saat semen mulai mengering, ternyata posisi jari-jari kakinya lebih rendah daripada tumit. Rasanya sangat menyakitkan saat posisi duduk dan berdiri, kata Giyem. Seperti memakai hak tinggi sepanjang hari. Rasa sakit bertambah saat ia berbaring dengan posisi kaki di bawah, ototnya tertarik.
Ia sempat merasa tak akan kuat jika harus memasung kaki selama seminggu. Tapi Giyem terus menghibur diri: kesakitan yang ia alami sekarang demi anak cucunya kelak. “Tidak apa sakit sekarang, asal nanti anak cucu saya tidak perlu seperti ini.”
“Apa yang saya rasakan saat disemen tadi tidak akan ada apa-apanya dibanding dengan penderitaan anak cucu kami jika pembangunan pabrik semen terus dilanjutkan.”
Ia berusaha tidak mengeluh saat merasakan sakit supaya pasungnya tak perlu dibuka sebelum tuntutan terpenuhi. Meski sudah bertahan untuk tidak mengeluh, Giyem kaget saat mendengar keputusan bahwa semen di kakinya akan dibongkar pada hari kedua. Dia merasa lega tidak harus merasakan sakit selama seminggu. Ia senang bukan kepalang mengetahui aksinya kali ini akhirnya mendapat respons nyata dari presiden.
“Alhamdulillah yo mbak, ora salah milih presiden. Hampir semua orang Kendeng nyoblos Jokowi. Ora salah milih. Pancen ora salah.”
Giyem mengira Jokowi sudah benar-benar bersedia datang menemui mereka.
Pembongkaran di Luar Rencana
TIBA DI JAKARTA, satu hari sebelum memulai aksi, para Kartini Kendeng berkumpul di wisma milik Komisi untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (Kontras), di bilangan Jalan Borobudur, Jakarta pusat. Pada Selasa pagi sesaat setelah mereka tiba, Teten Masduki dan Jaleswari Pramowardhani dari Kantor Staf Presiden datang menemui.
“Kami siap menyelesaikan, membawa ke presiden,” kata Gunretno, salah seorang pendamping ibu-ibu Kendeng, menirukan ucapan Teten dan Dhani saat meminta para ibu untuk membatalkan aksinya.
“Ketika pihak kantor staf Presiden meminta, saya memutuskan tidak berhenti. Kita ingin mengetuk hati masyarakat Indonesia. Ibu-ibu semangat melakukan aksi tiga hari,” ujar Gunretno.
Tapi Gunretno, yang juga merupakan koordinator aksi, kaget saat mendapati Joko Prianto dan kawan-kawan membongkar semua pasung semen. “Rencana awalnya membongkar satu (cor) kaki secara simbolis. Selanjutnya aku tidak mengerti. Aku istirahat, kok ujug-ujug semua dibongkar.”
Pembongkaran satu kaki dipakai sebagai strategi diplomasi: wadah pasung hendak dikirim ke istana untuk diperlihatkan kepada Jokowi.
Ngatemi, berasal dari Pati yang ikut mendampingi sembilan kawannya yang disemen, tidak sepakat jika yang dibongkar hanya satu.
“Nanti akan menimbulkan rasa ngga enak di hati ibu-ibu yang lain. Kan disemennya bareng, jadi harusnya ya dilepas bareng.” Ujarnya.
Ngatemi tak ikut disemen. Beberapa hari sebelum ke Jakarta, ia jatuh dari motor. Dokter Lina tidak mengizinkan Ngatemi ikut menyemen kaki sebab luka di kakinya yang terkena knalpot. Ditunjuk Deni, dari Grobogan, untuk menggantikan Ngatemi. Deni satu-satunya yang masih lajang dari sembilan Kartini Kendeng. Sembilan perempuan itu: Sukinah, Surani, Karsupi, Ngadinah, Ambarwati, Giyem, Murtini dan Sutini, dan Deni.
Menurut Gunretno, pertimbangan awal dari aksi pengecoran kaki adalah mengetuk hati pemerintah menyelesaikan persoalan Kendeng. “Dari sisi medis, dokter menjamin hanya tiga hari. Sebenarnya dokter tidak memperbolehkan. Karena tekad warga, dokter ikut.”
“Setelah (semen) dibongkar Teten menelpon. Aku mendorong, (melalui Teten) supaya Pak Jokowi mau bertemu.”
“Alhamdulillah aku ditelfon. Tapi ini jadi evaluasi. Ini tanggung jawabku.”
Petang itu, pasca semen dibongkar, Teten Masduki dan Pratikno datang menemui ibu-ibu di seberang istana. Mereka berjanji akan mengatur pertemuan dengan Jokowi.
Selain dari istana, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga meminta agar para Kartini Kendeng membongkar semen di kaki mereka.
“Saya sudah mengikuti kasus ini selama bertahun-tahun. Reaksi pertama saat itu adalah, saya meneteskan air mata. Bagi saya, mereka melakukan itu karena memang sudah tak ada jalan lain untuk memperoleh keadilan. Saya mengerti bahwa belenggu semen ini adalah simbol bahwa negara tidak merespons dengan baik. Saya meminta kepada mereka untuk hentikan aksi itu karena takut dampaknya terhadap kesehatan, terutama kesehatan reproduksi mereka,” kata Sandra Moniaga dari Komnas HAM.
“Bagaimana jika presiden tidak memenuhi janjinya?” tanya kami kepada Sandra.
“Saya orang yang hidup di dunia nyata. Saya tidak mau berandai-andai. Kami akan bicarakan dengan kawan-kawan, kami menghormati niat baik pemerintah. Hormati korban. Saya berharap apapun yang terjadi nanti, jangan sampai mereka menyakiti diri sendiri. Saya bilang ke mereka untuk jaga kesehatan dan perjuangan masih panjang. Anak-anak di rumah harus ada yang merawat. Semoga semuanya baik-baik saja,” ujar Sandra, meski tentu saja kondisi warga pegunungan Kendeng tidak “baik-baik saja.”
Eko Cahyono, yang juga ikut membantu advokasi warga Kendeng, bercerita bahwa Gunretno sempat bimbang saat istana meminta Kartini Kendeng menghentikan aksinya. Selain dari istana, tekanan juga muncul dari dari para dokter yang menuding dokter Lina telah melanggar kode etik karena membahayakan ibu-ibu.
“Mas Gun cerita kalau pagi Mas Teten dan Mbak Dhani datang. Mereka bilang khawatir dengan kesehatan ibu-ibu dan juga citra Jokowi. Apalagi presiden akan mengadakan perjalanan ke Eropa (sehingga belum bisa menemui Kartini Kendeng–red). Mereka meminta ibu-ibu menghentikan rencana aksi dan berjanji akan mengatur waktu pertemuan dengan presiden. Karena pertemuan itu, Mas Gun kelihatan bimbang,”
“Dia mempertimbangkan untuk menghentikan aksi hari kedua. Aku mengatakan kepada Kang Gun jika kedatangan Mas Teten adalah langkah politik. Ada kemungkinan pemerintah mengutus Teten untuk menghentikan aksi ibu-ibu. Aku menyarankan kalau aksi hari kedua harus tetap dilakukan.”
“Aku berpikir bahwa aksi ini harus menghasilkan kesepakatan tertulis, dan komitmen Jokowi untuk menyelesaikan masalah krisis ekologi di Jawa Tengah.
Lalu aku menelpon mbak Sandra Moniaga. Bagaimana besok supaya mendesak ada kesepakatan yang bisa dipegang untuk komitmen penyelesaian kasus Kendeng. Kami akan buat surat tertulis, kata mbak Sandra. Setelah itu Mbak Sandra menelpon Kang Gun,” lanjut Eko.
Gunretno bimbang, ia menelpon Sandra untuk minta pendapat. Kepada Gun, Sandra berjanji bersama dengan Komnas Perempuan akan memantau kasus ini dan akan berkoordinasi dengan Teten Masduki agar membuat jadwal pertemuan antara kawan-kawan Kendeng dengan Jokowi.
Saat dikonfirmasi tentang janji tersebut, Sandra membantah telah berjanji untuk membuatkan jadwal bertemu dengan presiden, “Saya hanya mengupayakan. Kita semua sedang berupaya. Saya tak punya kuasa semacam itu untuk bikin janji dengan Presiden.”
Post Scriptum:
Senin, 15 Mei 2016 Gunretno bersama tiga puluh orang dari Pati yang tergabung dalam JMPPK mengadakan aksi tolak pabrik semen di depan kantor Kedutaan Besar Jerman. PT. Indocement, induk perusahaan PT Sahabat Mulia Sakti, berencana mengajukan banding ke PTUN Surabaya saat PTUN Semarang memenangkan gugatan warga Pati. PT Indocement Tunggal Prakasa sebagian sahamnya dimiliki oleh perusahaan Jerman, Heidelberg Cerment AG.
Budiono Hendranata, Direktur PT Sahabat Mulia Sakti, mengatakan mereka tetap akan menargetkan uji coba operasional pabrik di Pati pada 2020. Yusril Ihza Mahendra ditunjuk oleh perseroan untuk menangani banding. Haryanto, Bupati bersama dengan PT. Indocement mengajukan banding ke PTUN Surabaya.
Dua puluh Mei 2016, bertepatan dengan hari Kebangkitan Nasional, JMPPK, setelah long march sejauh dua puluh tiga kilometer, mengadakan aksi di depan DPRD Pati. Tujuannya, memberi masukan kepada DPRD Pati yang hendak merevisi Perda No 5 tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, agar tetap menjadikan wilayah Pati Selatan sebagai kawasan pertanian, bukan tambang.
Hingga tulisan ini diturunkan, Jokowi belum menemui Kartini Kendeng.