Selasa, 03 November 2015

Mengasah Nalar Maju Gerakan Penyelamat Karst Gombong [1]

“Kepentingan bisa berubah jahat, merubah problem dan issue jadi komoditas baru; begitu lah mereka membangun pasar kompromi”

Menyedihkan, saat membaca rilis media mainstreaming paska aksi protes Perpag [Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong] pada sidang Andal [Analisis Dampak Lingkungan] pt Semen Gombong di BLH Provinsi Jateng (29/10) lalu. Pasti tak seluruh 307 yang ikut aksi; mengetahui utuh kabar gebrakan aksi pertamanya ini.

Kabar itu melansir pelintiran bahwa Dokumen Andal pt Semen Gombong ini telah dikritisi oleh segenap unsur masyarakat, baik yang menerima maupun yang menolak operasionalisasi pabrik; sehingga proses uji kelayakan dokumen Andal pt Semen Gombong ini dianggap sebagai “seterbuka-terbukanya” proses uji kelayakan sebuah pabrik di Jateng.

Muatan inti dalam semua pemberitaan itu adalah upaya sistemik terselubung guna membentuk opini bahwa penolakan terhadap rencana  operasionalisasi pabrik, sebagaimana diperjuangkan Perpag; telah diakomodasikan sebagai masukan masyarakat yang tinggal di kawasan bentang alam karst setempat.         
Sedangkan inti penolakan masyarakatnya terpinggirkan...

Membangun Logika Perlawanan

Eksploitasi batuan karst secara besar-besaran oleh kekuatan korporasi tambang semen di wilayah ini, jelas akan berdampak serius dan tak mungkin lagi diperbaharui dengan teknologi super tinggi apa pun. Dari pengalaman aksi pertamanya, Perpag yang telah berdebat dalam misi penolakan operasionalisasi pabrik; mendapati kenyataan bahwa justru kekritisian visionernya ini telah disulap-magic jadi legitimasi sosial seiring pembangunan tapak dan operasional pabrik.

Perdebatan mengenai bagaimana mengatasi dampak dari industri besar  mengambil bahan baku semen, mobilisasi alat berat, penggunaan bahan peledak, kebutuhan listrik, air, penyerapan tenaga kerja, panas tungku bakar dalam proses produksi; hingga royalti daerah bahkan penyediaan Corporate Social Responbility [CSR] pun jadi komoditas bahasan para ahli itu. Tim ahli, pakar, konsultan, akademisi; adalah idiom-idiom struktural dalam perangkat opersionalisasi industrinya. Shahih menurut kepentingan eksploitasinya yang cuma mengenal hukum akumulasi keuntungan.

Pada gilirannya, issue teknologi ramah lingkungan jadi sihir baru untuk mengatasi problem-problem dan segala kekhawatiran berbagai fihak itu. Kekhawatiran terhadap ancaman ekologi dasar dimuseumkan sebagai mitos, sembari menciptakan mitos baru bernama teknologi ramah lingkungan itu. Para “ahli” memperdebatkannya sambil mabuk impian yang tak ada di bumi pijakan akalnya.   

       

0 komentar:

Posting Komentar