“Kepentingan bisa berubah jahat, merubah problem dan
issue jadi komoditas baru; begitu lah mereka membangun pasar kompromi”
Menyedihkan, saat membaca
rilis media mainstreaming paska aksi
protes Perpag [Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong] pada sidang Andal
[Analisis Dampak Lingkungan] pt Semen Gombong di BLH Provinsi Jateng (29/10)
lalu. Pasti tak seluruh 307 yang ikut aksi; mengetahui utuh kabar gebrakan aksi
pertamanya ini.
Kabar itu melansir pelintiran bahwa Dokumen Andal pt Semen
Gombong ini telah dikritisi oleh segenap unsur masyarakat, baik yang menerima
maupun yang menolak operasionalisasi pabrik; sehingga proses uji kelayakan
dokumen Andal pt Semen Gombong ini dianggap sebagai “seterbuka-terbukanya”
proses uji kelayakan sebuah pabrik di Jateng.
Muatan inti dalam semua pemberitaan
itu adalah upaya sistemik terselubung guna membentuk opini bahwa penolakan
terhadap rencana operasionalisasi
pabrik, sebagaimana diperjuangkan Perpag; telah diakomodasikan sebagai masukan
masyarakat yang tinggal di kawasan bentang alam karst setempat.
Sedangkan inti penolakan
masyarakatnya terpinggirkan...
Membangun Logika Perlawanan
Eksploitasi batuan karst
secara besar-besaran oleh kekuatan korporasi tambang semen di wilayah ini,
jelas akan berdampak serius dan tak mungkin lagi diperbaharui dengan teknologi
super tinggi apa pun. Dari pengalaman aksi pertamanya, Perpag yang telah berdebat
dalam misi penolakan operasionalisasi pabrik; mendapati kenyataan bahwa justru
kekritisian visionernya ini telah disulap-magic
jadi legitimasi sosial seiring pembangunan tapak dan operasional pabrik.
Perdebatan mengenai
bagaimana mengatasi dampak dari industri besar mengambil bahan baku semen, mobilisasi alat
berat, penggunaan bahan peledak, kebutuhan listrik, air, penyerapan tenaga
kerja, panas tungku bakar dalam proses produksi; hingga royalti daerah bahkan
penyediaan Corporate Social Responbility [CSR]
pun jadi komoditas bahasan para ahli itu. Tim ahli, pakar, konsultan, akademisi;
adalah idiom-idiom struktural dalam perangkat opersionalisasi industrinya. Shahih
menurut kepentingan eksploitasinya yang cuma mengenal hukum akumulasi
keuntungan.
Pada gilirannya, issue teknologi
ramah lingkungan jadi sihir baru untuk mengatasi problem-problem dan segala
kekhawatiran berbagai fihak itu. Kekhawatiran terhadap ancaman ekologi dasar
dimuseumkan sebagai mitos, sembari menciptakan mitos baru bernama teknologi
ramah lingkungan itu. Para “ahli” memperdebatkannya sambil mabuk impian yang
tak ada di bumi pijakan akalnya.
0 komentar:
Posting Komentar