Kamis, 02 Mei 2019

Sexy Killers : Pertambangan dan/atau Pembangunan Berkelanjutan? [1]

oleh Jalal* - 2 May 2019

  • Pertambangan sepanjang sejarahnya adalah sektor yang penuh kontroversi. Sektor yang menghadirkan banyak sekali masalah bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitar tambang.
  • Adanya perdebatan wacana penghentian total pertambangan di dunia melihat dampak kerusakan lingkungan atau mendorong pertambangan yang berkelanjutan ramah lingkungan
  • Karena hasil tambang tetap dibutuhkan dunia, berkembang konsep pertambangan berkelanjutan dengan berbagai persyaratan dan indikatornya, seperti efisiensi ekonomi, dampak sosial masyarakat dan lingkungan
  • R.G. Eggert dalam bukunya menekankan aspek lingkungan justru menjadi bagian sangat penting dalam konsep keberlanjutan pertambangan

***

”….pertanyaannya bukan setuju atau tidak setuju pertambangan, melainkan bagaimana cara menambang agar dapat tercapai pembangunan berkelanjutan.”
Otto Soemarwoto

Tambang: Sebuah Pedang Bermata Dua

Pertambangan sepanjang sejarahnya adalah sektor yang penuh kontroversi. Di satu sisi ia menyediakan sumber energi dan materi penting yang menjadikan kemajuan umat manusia menjadi mungkin. Hasil tambang dan turunannya terdapat pada semua produk yang dimanfaatkan manusia modern. Di sisi lain, pertambangan juga dikenal sebagai sektor yang menghadirkan banyak sekali masalah bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitar tambang.

Lantaran sifatnya yang kerap ditemukan di lokasi-lokasi terpencil, pertambangan banyak dilakukan di kawasan yang sensitif secara ekologi; selain juga bersisian, bersinggungan, atau bahkan berada di dalam kawasan yang dihuni oleh masyarakat-masyarakat tradisional. Apabila dikelola dengan benar, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan bisa diminimalkan, selain juga membawa dampak sosial dan ekonomi yang positif seperti peluang bisnis, peluang kerja, pembangunan infrastruktur, peningkatan pendapatan daerah dan nasional, dan kemajuan-kemajuan lain yang dapat dinikmati oleh masyarakat.

Di sisi lain, pengelolaan yang buruk menghasilkan kerusakan lingkungan yang parah. Lubang-lubang bekas tambang dengan air asamnya merupakan gambaran yang bisa dilihat di seluruh bagian dunia. Penggusuran penduduk secara paksa, serta konflik dengan masyarakat adalah dampak pertambangan yang banyak dilaporkan. Demikian juga, kekayaan dari pertambangan yang seharusnya bisa dinikmati oleh negara dan warganya banyak yang hilang lantaran korupsi.

Sayangnya, harus diakui bahwa kinerja buruk pertambangan dalam pengelolaan lingkungan, sosial dan ekonomi masih sangat banyak terjadi, kalau bukan malah merupakan gambaran dominan. Karenanya, secara umum pertambangan memang dikenal sebagai sektor yang tidak baik. Film Sexy Killers—yang pada saat tulisan ini dibuat sudah diklik lebih dari 20 juta kali di YouTube, plus entah berapa ratus acara menonton bersama—menggambarkan sisi buruk pertambangan batubara yang sudah lama diketahui secara luas. Dalam dunia yang sedang berharap-hadapan dengan perubahan iklim, tambang dan pembangkit listrik tenaga batubara memang tidak popular.

Film dokumenter Sexy Killer yang menceritakan tentang industri batubara dari hulu ke hilir, dan dampaknya terhadap lingkungan, sosial, ekonomi sampai kesehatan masyarakat. Foto : watchdoc

Alih-alih memperbaiki praktik dan kinerjanya yang buruk, sejumlah besar perusahaan pertambangan malah kemudian melakukan tindakan-tindakan yang kosmetikal untuk memberi kesan positif kepada publik, sambil terus mempertahankan cara beroperasi yang membawa dampak negatif. Tentu saja, hal yang demikian bukan saja menghambat perbaikan industri pertambangan, melainkan juga membuat publik dan para pakar skeptis atas kemungkinan perubahan itu.

Salah satu pakar dalam bidang ini, Stuart Kirsch, menulis artikel bertajuk Sustainable Mining di dalam jurnal Dialectical Anthopology Vol.34/1 2010, dengan membeberkan bukti-bukti kuat soal keburukan pertambangan.
Dia menyatakan “The mining industry moves more earth than any other human endeavor. Yet mining companies regularly claim to practice sustainable mining. Progressive redefinition of the term sustainability has emptied out the concept of its original reference to the environment. Mining companies now use the term to refer to corporate profits and economic development that will outlast the life of a mining project. The deployment of corporate oxymorons like sustainable mining is one of the key strategies corporations use to conceal harm and neutralize critique.”
Berbeda dengan pendirian tersebut, The Plundered Planet: Why We Must—and How We Can—Manage Nature for Global Prosperity, buku karya Paul Collier yang terbit 3 tahun sebelum artikel Kirsch memang dimulai dengan menyediakan gambaran suram tentang sektor pertambangan di Afrika. Namun kemudian meyakinkan pembacanya bahwa pertambangan yang berkelanjutan itu bukan saja mungkin, melainkan sangat penting bagi kemakmuran dan keberlanjutan dunia.

Buku tersebut sangatlah popular dan menjadikan sentimen positif terhadap isu ini sangat menguat. Dengan semakin banyaknya jumlah manusia, kebutuhan materi dan energi yang berasal dari pertambangan—material dasar, material turunan, serta hasil pemanfaatan kembali—jelas juga akan meningkat. Karenanya, memastikan bahwa pertambangan yang berkontribusi positif pada pembangunan berkelanjutan, sebagaimana yang diserukan Collier, adalah keniscayaan.

PLTU di dekat pemukiman warga di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Warga terkena dampak buruk asap batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Tafsir Awal atas Keberlanjutan Pertambangan

Pada tahun 2005, dua tahun sebelum seruan Collier, tiga orang praktisi pertambangan, Vasudevan Rajaram, Subijoy Dutta, dan Krishna Parameswaran menyunting sebuah buku bunga rampai, Sustainable Mining Practices—A Global Perspective. Buku tersebut menjelaskan seluruh konsep dan praktik pertambangan yang berkelanjutan yang telah dilakukan pada saat itu.
Secara konseptual, buku tersebut menyajikan perdebatan tentang apakah pertambangan mungkin dinyatakan berkelanjutan, mengingat pertambangan adalah sektor yang mengambil materi yang tak terbarukan. Kalau pendiriannya bahwa apapun yang memanfaatkan materi tak terbarukan itu mustahil dinyatakan berkelanjutan, maka perdebatannya tentu sudah selesai.

Tetapi, dalam dunia keberlanjutan, memang dikenal paradigma  complementarity versus substitutability. Kalau yang pertama mengasumsikan bahwa seluruh bentuk sumberdaya harus tersedia karena sifatnya yang saling melengkapi, yang kedua berpendirian bahwa sesungguhnya beragam sumberdaya itu bisa saling menggantikan, setidaknya sampai batas-batas tertentu.

Karena ternyata istilah pertambangan berkelanjutan tetap dipergunakan, itu berarti paradigma substitutability-lah yang dianut. Buku tersebut menyatakan eksistensi pertambangan berkelanjutan dengan mengacu pada tiga kesepakatan yang dirumuskan oleh Douglas Yearley, yaitu: 
 “ 1. Integrated approaches to decision making on a full, life-cycle basis that satisfy obligations to shareholders and that are balanced and supported by sound science and social, environmental and economic analysis within a framework of good governance; 2. Consideration of the needs of current and future generations; and 3. Establishment of meaningful relationships with key constituencies based on mutual trust and a desire for mutually beneficial outcomes, including those inevitable situations that require informed trade-offs.”    
Tentu, kesepakatan tersebut tidak memuaskan bagi mereka yang melihat bahwa pertimbangan pertama menyatakan “…satisfy obligations to shareholders…” walaupun ada pernyataan diimbangi dan didukung oleh ilmu pengetahuan dan analisis ekonomi, sosial dan lingkungan. Bagaimanapun pernyataan itu seperti memberikan bobot yang sama antara kepentingan pemilik modal dengan keseluruhan kepentingan lainnya. Butir kedua yang menggunakan kata consideration juga kerap dipandang tidak memadai, lantaran kata tersebut tidak merujuk pada hasil—seperti misalnya dalam definisi pembangunan berkelanjutan, yang menjamin generasi mendatang untuk bisa memenuhi kebutuhannya—melainkan hanya pada proses.

Lebih jauh daripada perdebatan konseptual, ketika membicarakan isu-isu apa saja yang masuk ke dalam pertambangan berkelanjutan, buku tersebut menyebutkan tentang reklamasi, penutupan tambang, dan pascatambang sebagai isu pertama. Jelas bahwa para penulisnya memahami bahwa keberlanjutan pertambangan sangat ditentukan oleh kondisi lingkungan, masyarakat, dan ekonomi yang ada setelah pertambangan berhenti beroperasi.

Batubara, di tambang timbulkan masalah lingkungan dan kesehatan warga, di hilir, antara lain, pembangkit batubara, juga ciptakan beragam masalah. Apakah para calon pemimpin daerah, tak ada yang peka masalah rakyat ini? Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Aspirasi tentang Lingkungan dan Masyarakat

Di tahun 2009, J. A. Botin menyunting bunga rampai Sustainable Management of Mining Operations. Botin kembali menegaskan bahwa yang dimaksud dengan pertambangan yang berkelanjutan bukanlah operasinya yang terus-menerus di satu tempat, karena di tempat tersebut material yang diambilnya pasti akan habis atau tidak lagi ekonomis untuk diambil. R. G. Eggert, yang menulis bab ketiga buku tersebut, What Sustainability and Sustainable Development Mean for Mining, menjelaskan bahwa ada empat prinsip pertambangan berkelanjutan: “1. Facilitate the creation of mineral wealth; 2. Ensure that mineral development occurs in an economically (socially) efficient manner; 3. Distribute the surpluses from mining fairly; and 4. Sustain the benefits of mining even after a mine closes.”

Berbeda dengan rumusan Yearley, Eggert menegaskan pentingnya efisiensi ekonomi dan sosial dalam menghasilkan mineral dari pertambangan. Eggert juga menekankan tentang distribusi surplus dari pertambangan secara adil, selain menegaskan bahwa manfaat pertambangan harus terus bisa dirasakan setelah pertambangan selesai.

Prinsip keempat tersebut semakin mengokohkan pentingnya penutupan dan pascatambang sebagai bagian penting dari keberlanjutan pertambangan.  Rumusan prinsip dari Eggert tersebut agaknya jauh lebih bisa diterima dibandingkan dengan yang sebelumnya diajukan Yearley. Hanya saja, prinsip itu malah tidak disebut sama sekali soal aspek lingkungan secara eksplisit.
Lingkungan, oleh Eggert kemudian dimunculkan dalam salah satu di antara tujuh pertanyaan untuk menguji keberlanjutan pertambangan. Ketujuh pertanyaan tersebut—yang dikutip Eggert dari publikasi International Institute for Sustainable Development di tahun 2002—adalah: “1. Engagement: Are engagement processes in place and working effectively? 2. People: Will people’s well-being be maintained or improved? 3. Environment: Is the integrity of the environment assured over the longer term? 4. Economy: Is the economic viability of the project or operation assured, and will the economy of the community and beyond be better off as a result? 5. Traditional and Non-Market Activities: Are traditional and non-market activities in the community and surrounding area accounted for in a way that is acceptable to the local people? 6. Institutional Arrangements and Governance: Are rules, incentives, programs, and capacities in place to address project or operational consequences? And, 7. Synthesis and Continuous Learning: Does a full synthesis show that the net result will be positive or negative in the long term, and will there be periodic reassessments?”

Dengan demikian, sesungguhnya aspek lingkungan jelas menjadi bagian sangat penting dalam konsep keberlanjutan pertambangan, yaitu dengan memastikan terjaganya integritas (daya dukung dan daya tampung) lingkungan. Ketika berbicara tentang masyarakat, pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan jelas menyatakan bahwa pertambangan yang berkelanjutan adalah pertambangan yang minimal memertahankan kesejahteraan masyarakat, kalau bukan malah yang meningkatkan kesejahteraan masyarakat, kondisi ekonomi masyarakatnya harus meningkat, dan aktivitas tradisional masyarakat bisa terus terjaga.

Tetapi, hal itu adalah aspirasi di tingkat yang abstraksinya sangat tinggi. Prinsip dan pertanyaan panduan tentu masih sangat jauh dari strategi, program, eskekusi, dan kinerja. Bagian kedua dari seri tulisan ini akan menunjukkan tentang bagaimana tafsir yang lebih mutakhir atas pertambangan berkelanjutan, dan bagaimana isu kesejahteraan masyarakat ditempatkan.

Dua orang anak berjalan di kawasan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) Cirebon I di Desa Kanci, Astanajapura, Cirebon, Jabar, pada awal Maret 2017. Menurut Greenpeace, PLTU berbahan batubara berpengaruh pada kesehatan karena mencemari udara karena asapnya mengandung polutan berbahaya. Foto : Donny Iqbal/Mongabay Indonesia

Artikel ini merupakan bagian pertama dari tiga tulisan opini.
* Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis.

1 komentar:

  1. The Ringtonington Racecourse - Tithronic's Classic
    Tithronic's titanium dab tool Classic offers titanium pry bar the ultimate in titanium frame glasses a timeless racing experience that we are 2020 edge titanium sure to please many. The course was designed columbia titanium jacket by the Tithronic Group in

    BalasHapus