oleh Della Syahni, Jakarta
di 29 May 2017
Memperingati Hari Anti Tambang (Hatam), setiap 29 Mei,
sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak Pemerintah Indonesia memulai
langkah meninggalkan industri pertambangan sebagai tumpuan ekonomi negara. Dari
berbagai sisi, tambang jelas lebih banyak menimbulkan kerugian dibanding
keuntungan.
Benny Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)
mengatakan, pertambangan menimbulkan persoalan paling rumit dalam
agraria.
“Semua protes terkait permasalahan agraria selalu dijawab pemerintah ‘untuk kepentingan negara’ seperti protes pangan tergerus tambang,” katanya di Jakarta, dalam diskusi Jatam.
Benny menyoroti, empat hal menyebabkan tambang makin
menghancurkan sumber pangan di Indonesia. Pertama, pemerintah masih
sangat bergantung industri ekstraktif yang mengeruk kekayaan alam dan membuat
lahan pertanian makin sempit.
Kedua, pengelolaan industri ekstraktif oleh korporasi
dengan izin negara, merampas hak-hak masyarakat lokal. Ketiga, marak
korupsi sektor agraris, mulai pemberian izin hingga penggunaan aparat negara
untuk menghadapi rakyat dalam konflik agraria.
“Ironis, dengan semangat desentralisasi yang mestinya memberi daerah kuasa mengontrol sumber daya alam, malah jadi ajang eksploitasi.”
Keempat, pembangunan infrastruktur untuk pertambangan
praktis berimbas pada daerah lain di sekitar wilayah tambang. Terjadi
perampasan ruang kelola rakyat secara paksa.
Benny mencontohkan, kasus warga Surokonto Wetan, Kendal,
jadi korban tukar guling lahan PT. Semen Indonesia di Rembang. “Itu tanah sudah
digarap warga. Tanpa tranparansi, tanpa sosialisasi diambil Perhutani untuk
tukar guling.”
Dalam setiap kasus yang didampingi KontraS, pertambangan
selalu hadir dari sisi yang ditutupi dari warga.
“Kalaupun ada sosialisasi hanya memberitahu tambang masuk, tanpa masyarakat punya pilihan,” kata Rivanlee, mewakili KontraS.
Dari sisi administratif, UU Mineral dan Batubara, kata
Bondan Adriyanu dari Greenpeace, lebih berpihak pada pengusaha dan korporasi.
Berbagai dampak pertambangan terutama kontaminasi tanah, erosi, keasaman air,
longsor dan debu belum jadi pertimbangan.
“Logam berat misal yang masuk UU hanya besi, mangan. Merkuri tak ada,” ucap Benny.
Dengan begitu, kata Bondan, saat dimintai tanggungjawab
seringkali perusahaan tambang berdalih merek a tak menyalahi UU. Belum lagi
efisiensi batubara, misal untuk pembangkit listrik hanya 30%.
“Sisanya dibakar.”
Alat berat milik penambang
emas ilegal sedang mengeruk Sungai Pamong Besar, Sangir, Solok Selatan. Foto:
Vinolia
Data Dirjen Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral (ESDM) juga mencatat nyaris semua desa di Jawa, sudah teraliri
listrik. Program 35.000 megawatt gagasan Presiden Joko Widodo, sebagian besar
dibangun di Jawa.
“Masyarakat belakangan juga sering mengeluhkan listrik mahal. Jadi listrik ini buat siapa? Murahnya di mana?”
Belakangan, dampak PLTU batubara juga makin parah. Di
Jakarta, misal, udara makin pengap diduga karena PLTU terdekat, salah satu di
Bekasi nyala 24 jam. PLTU dengan klaim teknologi paling bersih sekalipun,
seperti PLTU Jepara tetap menyisakan ISPA bagi masyarakat sekitar.
“Jadi, bersihnya di mana?” tanya Bondan.
Masyarakat pesisir juga kerap jadi sasaran aktivitas
hilir tambang batubara. Data Kiara 2016, 18 pesisir di Indonesia telah
jadi tambang. Penambangan dan pembangkit listrik di pesisir pantai Indonesia,
cenderung menghilangkan ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat pesisir.
“Padahal, penambangan pesisir jelas dilarang,” kata Rosiful Amirudin dari Kiara.
Krimininalisasi warga juga banyak terjadi ketika
masyarakat pesisir mempertahankan mata pencaharian mereka.
“Perlawanan masyarakat Jepara terhadap tambang pasir besi, misal, membuat dua perempuan dikriminalisasi,” katanya.
Lama dan primitif
Tambang batubara di Indonesia termasuk paling lama dan
paling primitif. Khalisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, tak hanya soal
usia, praktik pertambangan seringkali merampas tanah-tanah rakyat, daya rusak
besar, dan akrab dengan polusi dan pencemaran.
Narasi paling buruk dari tambang batubara di Indonesia
yakni 27 anak meninggal di lubang-lubang tambang perusahaan di Kalimantan
Timur.
“Padahal kewajiban jelas, ada jaminan reklamasi, dana pasca tambang. Perusahaan wajib menutup lubang tambang,” kata Alin, panggilan akrabnya.
Laporan 81 perusahaan ke Dinas Pertambangan Kaltim,
hingga Desember 2016, ada 314 lubang bekas tambang batubara. Temuan Dinas
Pertambangan dua kali lipat. Hingga Agustus lalu, ada 632 lubang tambang
diperoleh dari pemotretan dari udara lewat satelit Landsat.
Bekas tambang terbanyak di Kutai Kartanegara, ada 264
lubang. Di Samarinda, 164 lubang, Kutai Timur 86, Paser 46, Kutai Barat 36,
Berau 24, dan Penajam Paser Utara, satu lubang.
Alasan pembangunan sering menjadi argumen pro tambang,
kata Alin, berbanding terbalik dengan tujuan pembangunan untuk meningkatkan
perekonomian.
“Biaya lingkungan, kesehatan tak pernah dihitung dalam politik anggaran. Argumentasi pertumbuhan ekonomi terbantahkan dengan kerugian dampak tambang.”
Pada sisa masa pemerintahan Jokowi, katanya, mestinya
presiden gunakan waktu untuk perbaikan, evaluasi dan melihat alternatif ekonomi
selain industri ekstraktif.
Senada dengan Alin, Ki Bagus Hadikusuma dari Jaringan
Advokasi Tambang (Jatam) mengataka,n momen Hatam jadi waktu tepat bagi Presiden
membuktikan apa yang disampaikan pada korban lumpur Lapindo dua tahun silam.
“Tepat Hatam dua tahun lalu presiden mengatakan negara harus hadir untuk warga semburan lumpur Lapindo. Kini, sudah 11 tahun lumpur Lapindo, di mana negara?” katanya.
Pertanian warga sangat subur walau di musim kemarau.
Mereka tinggal di kaki Pegunungan Kendeng yang berlimpah air. Kawasan ini
terancam tambang dan pabrik semen. Foto: Tommy Apriando
BalasHapusBosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di fansbetting / WA : +855963156245^_^
dengan hanya minimal deposit 50.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.70%