Jumat, 03 Mei 2019

Sexy Killers : Masyarakat Sebagai Anak Tiri Pertambangan? [2]


oleh Jalal* - 3 May 2019

  • ·         Pertambangan sepanjang sejarahnya adalah sektor yang penuh kontroversi. Sektor yang menghadirkan banyak sekali masalah bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitar tambang.
  • ·         Wacana tentang pertambangan berkelanjutan semakin komprehensif, mencakup ekonomi, sosial dan lingkungan yang saling memengaruhi dan dampak tiga fungsi seharusnya kepada ketika sebuah pertambangan telah berhenti beroperasi.
  • ·         Sayangnya secara umum aspek sosial dalam pertambangan kinerjanya memang masih rendah bila merujuk pada 6 kriteria Deanna Kemp dan John Owen dalam makalah Social Performance Gaps in the Global Mining Industry.
  • ·         IIED dan WBCSD menyebutkan sangat tampak bahwa kehidupan masyarakat pascatambang belumlah mendapat perhatian yang memadai.
  • ·         Artikel opini ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan opini.

***
“Viewing social performance through a purely social licence lens  provides no incentive for companies to obtain a more detailed,  operationally useful understanding of community needs and issues,  or of ‘out-bound’, company-induced social risk.”  Deanna Kemp dan John Owen
  
Perkembangan Mutakhir Wacana Pertambangan Berkelanjutan

 Setelah publikasi Botin di tahun 2009 itu, perkembangan wacana pertambangan keberlanjutan terus menguat. Di antaranya mewujud dalam prinsip yang dirumuskan oleh International Council on Mining and Metals (ICMM), standar pelaporan berkelanjutan Mining and Metals Sector Disclosure (MMSD) yang dibuat oleh Global Reporting Initiative (GRI), serta upaya untuk menjelaskan keterkaitan sektor pertambangan dengan Sustainable Development Goals (SDGs).

ICMM didirikan pada tahun 2001. Kini beranggotakan 27 perusahaan pertambangan dan metal, organisasi ini menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan industri pertambangan dan metal yang aman, adil dan berkelanjutan. Laman muka dari website-nya menyatakan komitmen “Only by mining with principles can the mining and metals industry contribute to sustainable development and protect the planet.” ICMM pertama kali membuat Kerangka Pembangunan Berkelanjutan atau ICMM Principles di tahun 2003 sebagai respons atas seluruh isu keberlanjutan yang diidentifikasi pada projek Mining, Metals, and Sustainable Development.

Pada tahun 2015, rumusan ICMM Principles diperbarui menjadi sepuluh prinsip sebagai berikut:
“1. Apply ethical business practices and sound systems of corporate governance and transparency to support sustainable development; 2. Integrate sustainable development in corporate strategy and decision-making processes; 3. Respect human rights and the interests, cultures, customs and values of employees and communities affected by our activities; 4. Implement effective risk-management strategies and systems based on sound science and which account for stakeholder perceptions of risks; 5. Pursue continual improvement in health and safety performance with the ultimate goal of zero harm; 6. Pursue continual improvement in environmental performance issues, such as water stewardship, energy use and climate change; 7. Contribute to the conservation of biodiversity and integrated approaches to landuse planning; 8. Facilitate and support the knowledge-base and systems for responsible design, use, re-use, recycling and disposal of products containing metals and minerals; 9. Pursue continual improvement in social performance and contribute to the social, economic and institutional development of host countries and communities; And, 10. Proactively engage key stakeholders on sustainable development challenges and opportunities in an open and transparent manner. Effectively report and independently verify progress and performance.”

Film dokumenter Sexy Killer yang menceritakan tentang industri batubara dari hulu ke hilir, dan dampaknya terhadap lingkungan, sosial, ekonomi sampai kesehatan masyarakat. Foto : watchdoc

Setiap prinsip tersebut kemudian diuraikan lebih jauh dengan butir-butir ekspektasi tindakan dan kinerja yang perlu dicapai. Prinsip-prinsip yang diajukan ICMM ini jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan apa yang diajukan di dalam pustaka sebelum tahun 2010-an. Hal yang sama juga bisa dilihat pada dokumen MMSD yang dikeluarkan GRI untuk laporan keberlanjutan versi keempatnya, atau G4. Di situ dapat dilihat bahwa GRI menginginkan perusahaan pertambangan untuk melaporkan secara komprehensif dalam kategori ekonomi, lingkungan dan sosial, yang jumlah total indikatornya melampaui 100.

Pada masing-masing kategori terdapat aspek-aspek spesifik pertambangan yang harus dilaporkan, di antaranya melalui penekanan tertentu, bahkan ada aspek khusus yang diciptakan. Dalam kategori ekonomi kinerja ekonomi dan kehadiran di pasar menjadi penekanan. Dalam kategori ekonomi, yang ditekankan adalah material, keanekaragaman hayati, emisi, serta limbah cair dan padat. Kategori sosial dibagi ke dalam empat subkategori, yaitu praktik ketenagakerjaan, HAM, Masyarakat, serta Tanggung Jawab atas Produk. Selain menekankan pelaporan pada aspek seperti K3, kebebasan berserikat, dan masyarakat lokal; kategori ini juga membuat aspek-aspek baru, yaitu: tanggap bencana, pertambangan rakyat dan skala kecil, pemukiman kembali, rencana penutupan tambang, dan pengelolaan matarial yang baik.

Cakupan yang sangat komprehensif juga ditunjukkan ketika lembaga-lembaga terkemuka dan para pakar menunjukkan bagaimana tambang bisa merisikokan dan memberi kontribusi terhadap pencapain SDGs. SDGs adalah kesepakatan global tentang bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan akan diwujudkan oleh seluruh negara yang menandatanganinya antara tahun 2016-2030. Sebagai formalitas atas keberlanjutan, maka setiap sektor industri, termasuk pertambangan, sangat penting untuk melihat bagaimana dirinya dapat berkontribusi pada pencapaian SDGs di tingkat daerah dan nasional.

Mapping Mining to the Sustainable Development Goals: An Atlas yang dipublikasikan oleh Columbia Center on Sustainable Investment, SDSN, UNDP dan WEF di tahun 2016 serta SDG Industry Matrix: Energy, Natural Resources, & Chemicals yang dibuat oleh UNGC dan KPMG di tahun 2017 adalah dua di antara beberapa publikasi tentang sektor pertambangan dan SDGs yang paling menonjol. Di dalamnya, ke-17 Tujuan SDGs dipetakan menunjukkan apa saja yang telah dan bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan.

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali yang menggunakan batubara menyebabkan emisi dan pencemaran udara. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Kinerja Sosial yang Rendah

 Hal yang paling jelas terlihat dari seluruh diskusi tentang pertambangan berkelanjutan adalah bahwa pemahaman atasnya semakin komprehensif. Bukan saja soal ekonomi, sosial dan lingkungan yang diuraikan dengan makin terperinci dan digambarkan sifat hubungannya yang saling memengaruhi, namun juga terkait dengan harus berjalannya ketiga fungsi itu secara baik di masyarakat ketika sebuah pertambangan telah berhenti beroperasi.

Ini menunjukkan bahwa salah satu hal paling penting sebagai penanda apakah pertambangan itu memang berkelanjutan adalah apakah kehidupan di tempat tersebut terus mengalami perbaikan jauh setelah perusahaan tambang meninggalkan lokasi. Kondisi inilah yang seharusnya menjadi aspirasi dan pemandu operasi seluruh perusahaan tambang. Karenanya, perencanaan pascatambang yang dibuat sedini dan sekomprehensif mungkin adalah kunci pertambangan berkelanjutan.

Tetapi, bagaimana aspirasi itu bisa diwujudkan dalam waktu segera apabila ternyata secara umum aspek sosial dalam pertambangan kinerjanya memang masih rendah? Ruang perbaikan yang sangat besar itulah yang ditemukan ketika di tahun 2018 Deanna Kemp dan John Owen mencoba merumuskan apa yang terjadi selama ini dalam pengelolaan sosial pertambangan lewat makalah ringkas Social Performance Gaps in the Global Mining Industry.

Ada enam hal yang menurut Kemp dan Owen yang membuat kinerja sosial, terutama yang terkait dengan masyarakat, menjadi rendah, yaitu “1. There is a focus on risks to mining from the community; rather than on risks to the community from mining; 2. The ‘social licence to operate’ approach limits understanding of social issues; 3. There is an assumption that doing ‘good deeds’ equates to social responsibility, 4. Community relations and public relations are conflated and confused; 5. There is limited understanding of the value of social performance activities; 6. Social performance capacity within companies is at perilously low levels.”

Butir pertama menunjukkan bahwa cara berpikir kebanyakan perusahaan tambang memang masih melihat masyarakat sebagai faktor risiko, sementara mereka gagal melihat dirinyalah yang membawa risiko ke kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang diketahui oleh siapapun yang pernah membuat AMDAL dengan benar untuk perusahaan tambang, ada banyak dampak sosial negatif yang timbul karena pertambangan. Namun, setelah AMDAL disahkan, kebanyakan perusahaan kemudian mengalihkan pandangannya, tidak lagi melihat aktivitasnya yang membawa risiko dan dampak, melainkan masyarakatkah yang menjadi risiko terhadap mereka.

Fatria, salah satu perempuan Wowanii, yang berjuang menolak tambang.
Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Dukungan masyarakat untuk operasi (social license to operate) adalah hal yang sangat penting bagi perusahaan tambang. Namun, bila itu menjadi satu-satunya tujuan, maka beragam isu sosial lain bisa tak tergarap dengan benar. Salah satu yang paling menonjol adalah bahwa menjelang penutupan operasi, perusahaan tambang makin merasa tidak membutuhkan masyarakat, dan perhatian mereka atas kehidupan masyarakat pascatambang sangat menurun.

Kebanyakan perusahaan tambang menyamakan tindakan karitatif (charity) dengan pengembangan masyarakat (community development), bahkan CSR secara keseluruhan. Padahal, sebagai tanggung jawab perusahaan atas seluruh dampak yang ditimbulkannya, CSR sangatlah luas. Reduksi CSR menjadi sekadar tindakan karitatif sangat menonjol, bahkan di kalangan mereka yang bertitel manajer atau direktur CSR di pertambangan. Demikian juga kekacauan terkait pengertian hubungan dengan masyarakat (community relations) dengan pembinaan hubungan dengan seluruh pemangku kepentingan. Di Indonesia, di mana public relations diterjemahkan dengan humas (hubungan masyarakat), kekacauan itu semakin menjadi-jadi.

Terakhir, walau sudah jauh berkurang dibandingkan satu hingga hingga dua dekade lampau, penghargaan atas apa yang dilakukan oleh mereka yang mengurusi aspek sosial di pertambangan memang masih kurang. Ada banyak perusahaan pertambangan yang memberlakukan para pengelola sosial itu sebagai orang-orang yang menghabiskan uang perusahaan semata.

Di sisi lain, para pengelola itu juga tidak atau belum fasih dalam menjelaskan manfaat pengelolaan sosial terhadap kelancaran operasi dan kinerja keuangan perusahaan tambang secara keseluruhan. Hal ini, sangat boleh jadi, terkait dengan pemahaman yang salah atas CSR. Hingga sekarang, sebagian besar perusahaan melihat CSR sebagai cost center belaka, sehingga menganggapnya sebagai ‘fungsi’ yang tak perlu diurus dengan serius. Akibatnya, sumberdaya yang disediakan biasanya seadanya saja, dan pengembangan kapasitasnya tidak diprioritaskan.
Biasanya, perusahaan tambang tidak berani terlampau mengabaikan masyarakat ketika ada di tahapan konstruksi dan operasi. Mereka tahu bahwa keamanan operasi adalah prasyarat agar mereka bisa bekerja dengan baik. Tetapi, menjelang akhir operasi, kebutuhan perusahaan atas hubungan yang baik dengan masyarakat tiba-tiba menurun.

Apalagi, di perusahaan-perusahaan yang menetapkan sumberdaya finansial untuk pengembangan masyarakat dan pengelolaan sosial lainnya sebagai fungsi dari besaran produksi. Begitu produksi menurun menjelang penutupan, turun pula urusan dengan masyarakat. Hal ini sebetulnya juga terlihat dari literatur tentang pascatambang yang baru-baru ini saja memasukkan pertimbangan sosial secara komprehensif.

Rahmawati memperlihatkan foto anaknya yang meninggal di lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim/Mongabay Indonesia

Pascatambang yang (Hampir) Melupakan Masyarakat

Ketika di tahun 2002 IIED dan WBCSD mengeluarkan sebuah dokumen berjudul Mining for the Future dengan salah satu apendiksnya berjudul Mine Closure Working Paper, sangat tampak bahwa kehidupan masyarakat pascatambang belumlah mendapat perhatian yang memadai. Terdapat 7 isu penting yang dibahas pada dokumen tersebut, yaitu manajemen air, infrastruktur pertambangan, pekerjaan tambang bawah tanah, pekerjaan tambang terbuka, limbah bebatuan dan ore, tailing, serta mitigasi sosio-ekonomi. Kondisi masyarakat hanya mendapatkan perhatian selintasan saja.

Menurut dokumen tersebut, ada dua isu penting terkait dengan mitigasi sosio-ekonomi pascatambang, yaitu itu ketenagakerjaan dan masyarakat lokal. Tujuan dari pengelolaan isu ketenagakerjaan disebutkan untuk memastikan mereka mendapatkan pekerjaan baru dan relokasi ke tempat baru dengan lancar. Yang dapat dilakukan untuk tujuan itu adalah memberi bantuan pencarian kerja dan tempat tinggal baru, bantuan keuangan, konseling, serta pelatihan.

Terkait dengan masyarakat lokal, tujuan pengelolaan isunya adalah stabilitas ekonomi, kesehatan yang baik, serta ketersediaan fasilitas pendidikan. Untuk tujuan tersebut, yang dapat dilakukan adalah perencanaan pembangunan wilayah sejak awal, membangun perusahaan-perusahaan lokal yang mandiri, membangun yayasan atau menyediakan dana perwalian untuk menjamin layanan esensial, dan relokasi pendatang.

Berselang tiga tahun, laporan bersama dari UNDP dan UNEP bertajuk Mining for Closure: Policies and Guidelines for Sustainable Mining Practice and Closure of Minesditerbitkan. Para penulisnya menjelaskan bahwa publikasinya bertujuan sebagai “a recipe for stimulating debate and public accountability of mining legacies and operations. Through applying the basic principles and guidelines, not only will mining become environmentally and socially more sustainable, it may also result in more democracy, increased wellbeing and security of those directly and indirectly affected.” Dokumen tersebut, walaupun menyatakan hendak menginklusikan secara eksplisit keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam rencana penutupan tambang, ternyata tidak cukup memberikan ruang bagi diskusi tentang keberlanjutan sosial.

Pada tahun 2008 muncul buku terkenal Mine Closure Handbook. Tujuan buku tersebut diterbitkan dinyatakan sebagai berikut: “The handbook provides general guidelines for mine closure planning. Decisions on closure strategy should always be ultimately based on a case-specific assessment, taking into consideration the full diversity of characteristics and requirements at each mine site.” Buku tersebut disunting oleh P. M. Heikkenen, P. Noras dan R. Salminen. Hal yang sangat menonjol dari buku tersebut adalah hampir tidak adanya pembahasan tentang aspek manusia di dalam penutupan tambang. Kecuali pembahasan singkat tentang berbagai regulasi terkait, isi buku tersebut adalah tentang aspek teknis penutupan tambang.

Surayah mengaku lebih sering sakit termasuk cucunya setelah PLTU Celukan Bawang beroperasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Di tahun 2011, Pemerintah Australia mengeluarkan sebuah dokumen bertajuk A Guide to Leading Practice Sustainable Development in Mining. Bab terakhir pada dokumen tersebut adalah tentang rehabilitasi dan penutupan tambang. Masyarakat menjadi salah satu dari sembilan isu yang dibahas, dan pesan kunci terkait masyarakat adalah “Community engagement at the earliest possible time is essential. The goal should be community ownership as the community will inherit the project eventually. Community liaison or advisory groups established specifically for the mining project can help the operation focus its engagement program.” Pesan tersebut tentu saja penting. Namun tidak menjelaskan tujuan yang dari pascatambang untuk masyarakat secara memuaskan.

Mine Closure: Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry adalah dokumen yang juga dikeluarkan oleh Pemerintah Australia, mengikuti dokumen terdahulu. Terbit di tahun 2016, menaruh isu masyarakat di bagian akhir bab Sustainable Development and Closure. Isi bagian tersebut adalah seputar bagaimana melakukan pembinaan hubungan dengan masyarakat dalam penutupan tambang dan social license to operate sebagai modal penting dalam penutupan tambang.

Kalau seluruh pustaka tersebut dan yang lain diperhatikan, aspek sosial dari pertambangan tampak sangat menonjol pada fase operasi, sedikit pada fase konstruksi, dan hampir-hampir tidak ada pada fase eksplorasi. Agaknya, hingga baru-baru ini, perhatian terhadap masyarakat di sekitar tambang seperti mengikuti kurva lonceng fase pertambangan: tak ada atau sangat sedikit di awal, naik dengan pesat ketika masuk operasi, kemudian menurun untuk menghilang di fase penutupan dan pascatambang.

Di tahun 2012, Lamb dan Coakes menyimpulkan dalam artikel mereka, Effective Social Planning for Mine Closure, bahwa pada praktiknya “Planning for closure from a social perspective appears to be one of the last considerations in the project cycle: with many companies afraid that engagement with stakeholders in relation to closure planning will raise stakeholder expectations about final land use options that may not be feasible.”

Hal tersebut sesungguhnya sangat mengecewakan, dan membahayakan pertambangan sendiri. Masyarakat yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pascatambang sangat boleh jadi akan melakukan tindakan yang mereka anggap perlu untuk memastikan keberlangsungan hidup mereka. Sudah banyak kasus yang menunjukkan masyarakat yang tahu bahwa mereka masih tergantung pada industri pertambangan—tak soal apakah mereka merupakan penduduk asli atau pendatang—kemudian menyandera perusahaan tambang dengan keharusan untuk menopang hidup mereka setelah perusahaan tidak lagi beroperasi.

Agaknya, kalau industri pertambangan sudah cukup lama mengenal istilah social license to operate—yang oleh Kemp dan Owen dinyatakan tidak memadai sebagai pemandu pengelolaan sosial itu—perlu kesadaran bahwa ada juga semacam social license to leave yang diperlukan perusahaan apabila mereka hendak meninggalkan masyarakat di penghujung masa operasinya.

Bagian berikutnya dari seri tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang aspek sosial pascatambang itu, lalu membicarakan bagaimana perwujudannya di Indonesia.

***
*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis.

0 komentar:

Posting Komentar