- Hari Anti Tambang #HATAM2019 dan Peringatan 13 Tahun Kejahatan Lumpur Lapindo #PeoplePower
Bekukan Seluruh Kantor ESDM untuk Hentikan
Perluasan Perusakan dan Pengungsian Sosial – Ekologis
(Jakarta, 28 Mei 2019) Sejumlah organisasi masyarakat
sipil yakni Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Greenpeace Indonesia, Koalisi
Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Enter Nusantara, Ranita, JPIC OFM
Indonesia, dan Walhi Jakarta melakukan aksi segel di pagar utama Kantor
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta.
Aksi segel menggunakan perangkat aksi gembok raksasa ini
merupakan bagian dari peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) 2019 yang
diinspirasi dari salah satu tragedi bencana industri tambang pada 29 Mei 2006,
tiga belas tahun lalu. Tiap 29 Mei peristiwa kelam ini diperingati sekaligus
dijadikan momentum untuk melakukan kritik atas praktik buruk industri tambang
di Indonesia selama ini.
Bencana Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur
merupakan salah satu situs tragedi pengungsian sosial-ekologis, di mana 640
hektar lahan di sepuluh desa, 10.426 rumah terendam lumpur panas dan memaksa
22.214 warganya mengungsi. Tidak hanya kasus Lapindo, potret warga yang
tergusur dan dipaksa mengungsi juga terjadi di industri pertambangan lainnya,
di berbagai daerah di Indonesia.
Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, terdapat satu desa
masyarakat adat Dayak Basap dipaksa pindah, menjauh dari wilayah adatnya yang
ditambang oleh Kaltim Prima Coal. Sementara di Pulau Romang, Maluku, 3.954
warganya direncanakan direlokasi ke pulau lain akibat tempat tinggalnya
dijadikan konsesi tambang emas PT Gemala Borneo Utama.
Begitu juga 12.000 jiwa terpaksa mengungsi dan 30 orang
tewas akibat bencana banjir di lima kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu akibat
rusaknya kawasan hulu Sungai Bengkulu oleh aktivitas pertambangan batubara.
Potret-potret tersebut adalah bukti-bukti bahwa investasi
berbasis komoditas tambang sebagai investasi yang rakus lahan, rakus air, sarat
akan pelanggaran hak asasi manusia, serta jauh dari kata keberlanjutan
lingkungan. Daya rusak industri pertambangan selama ini telah berhasil
menciptakan pengungsi-pengungsi sosial-ekologis, yakni mereka yang ruang
hidupnya dirampas dan dirusak, sehingga tak lagi melanjutkan kehidupannya
dengan normal seperti semula; mereka yang dipaksa hidup berdampingan dengan
krisis; serta mereka yang hidup tanpa adanya jaminan keselamatan akibat
prasyarat keselamatan hidupnya tak terpenuhi – dihancurkan oleh industri
tambang.
Daya rusak tambang tidak hanya berhenti pada penghancuran
sosial – ekologis, namun juga merusak bentang politik Indonesia. Seperti yang
disampaikan melalui film documenter Sexy Killers yang ditonton lebih dari 25
juta penonton di kanal youtube dan kemudian viral, demokrasi Indonesia yang
sangat bertumpu pada politik elektoral dengan biaya besar, menjadi pintu masuk
bagi pemodal politik, terutama pelaku industri berbasis lahan skala luas:
pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan properti. Para oligark industri
ekstraktif ini yang kemudian menunggangi bentang politik Indonesia melalui
momen-momen politik elektoral seperti Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan
Legislatif, dan Pemilihan Presiden. Rezim yang dihasilkan oleh proses politik
elektoral yang sudah dibajak ini yang kemudian menjadi pangkal persoalan, mulai
dari perusakan lingkungan hingga perampasan ruang hidup, lalu memaksa rakyat
menjadi pengungsi di tanahnya sendiri.
Wajar saja dalam kasus industri batubara misalnya
Pemerintah Indonesia tidak bisa lepas dari kecanduan energi kotor batubara
mulai tambang hingga PLTU batubara, karena politik dibajak oleh kepentingan
sesaat batu bara, ujar Ahmad Ashov Birry, Jubir Gerakan Bersihkan Indonesia dan
sekaligus aktivis Trend Asia ini.
Menurut catatan JATAM, hanya dalam kurun waktu tidak
sampai sepuluh tahun (2001-2010) jumlah IUP melambung drastis dari 750 izin
menjadi lebih dari 10.000 izin pada tahun 2011 bersamaan dengan Pilkada dan
Pemilu dan terkait dengan biaya politiknya, meskipun saat ini jumlahnya disebut
berkurang karena ada penertiban dan penataan izin namun luasan keseluruhan
konsesi tambang dan ditambah lagi oleh WK Migas ini mencakup 44 persen daratan
dan perairan Indonesia.
diantara jumlah itu 3211 adalah izin pertambangan
batubara. Pertambangan batu bara menjadi ancaman besar bagi ketahanan pangan
Indonesia. Laporan tersebut memperkirakan bahwa 1,7 juta ton beras di Indonesia
hilang setiap tahunnya akibat pertambangan batu bara. Bahkan ke depannya,
jumlah tersebut akan bertambah hingga 6 juta ton produksi beras yang hilang,
karena konsesinya berada dikawasan pertanian padi. Menurut data Jatam, hampir
sepersepuluh lahan di Indonesia dialokasikan untuk pertambangan batu bara dan
sebanyak 80 persen lahan tersebut sudah ditambang.
Catatan lain dari data base JATAM, 6,3 juta hektar
tambang masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung; masih
terdapat piutang PNBP sebesar Rp 26,2 triliun dimana 21,8 berupa DHPB/Royalti
dari 5 (lima) Perusahaan PKP2B Generasi I dan sisanya Rp 4,3 triliun dari
PKP2B, KK dan IUP; dan sebanyak 75% IUP tak membayar jaminan reklamasi dan
pasca tambang.
Greenpeace Indonesia mencatat bahwa pemerintah Indonesia
dalam beberapa tahun terakhir bahkan telah melanggar komitmennya sendiri dalam
tata kelola tambang batu bara dan sektor energi. Sementara di dalam Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) pemerintah menargetkan
penurunan target produksi batu bara secara bertahap hingga mencapai 406 juta
ton, realisasinya malah naik menjadi sekitar 530 juta ton di tahun 2019. Hal
ini berkelindan dengan kebijakan di sektor kelistrikan yang terus melakukan
ekspansi PLTU batu bara dan transisi ke energi bersih dan terbarukan yang
setengah hati. Hasilnya adalah kerusakan lingkungan, dampak sosial, ekonomi,
dan kesehatan dan praktik korupsi yang kian masif seperti yang terjadi pada
kasus PLTU Riau 1. Konflik kepentingan dan korupsi politik yang nyata juga
terus berlangsung seperti keterlibatan Menko Kemaritiman Luhut Binsar
Pandjaitan di dalam bisnis pertambangan dan PLTU batu bara melalui grup bisnis
Toba Sejahtra.
Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat bahwa proyek
tambang telah merenggut hak konstitusional masyarakat pesisir dan pulau-pulau
kecil yang terdampak. Pada saat yang sama, masyarakat kehilangan lingkungan
pesisir yang sehat dan bersih karena telah hancur oleh aktivitas tambang. Jika
dilihat dari perspektif kerawanan, pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki
tingkat kerawanan yang tinggi, hal ini dapat disebabkan karena persoalan krisis
iklim atau akibat pembangunan serta industri yang ekstraktif, yang tidak berwawasan
lingkungan. Proyek tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil sangat mengancam
ekosistem pulau termasuk masyarakat yang tinggal didalamnya.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk
Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan hingga akhir 2018, KIARA mencatat bahwa
terdapat 26 titik area pertambangan yang berada di wilayah pesisir Indonesia
yang tersebar di 23 provinsi dengan total konsesi sebanyak 1895 Hektar Area
(Ha). Lebih dari 35 ribu keluarga nelayan yang terdampak dari proyek tersebut.
“Data kami mencatat bahwa akibat proyek pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat masif ini, setidaknya ada 6081 desa pesisir yang kawasan perairannya telah tercemari oleh limbah pertambangan. Jika proyek destruktif ini tidak segera dihentikan, maka akan semakin banyak desa-desa pesisir yang hancur dan menjadi tempat terakhir pembuangan limbah dan ini akan semakin merusak keberlangsungan lingkungan alam Indonesia. Kami mendesak pemerintah untuk membekukan kantor ESDM karena menjadi sumber permasalahan hulu hilir perusakan lingkungan seperti segala bentuk pertambangan yang merusak lingkungan dan alam, untuk berbenah dan tidak melanggengkan izin industri ekstraktif dan beralih untuk menggunakan energi bersih yang adil dan terbarukan” tutup Susan Herawati.
Politik elektoral yang menghabiskan uang rakyat begitu
besar ini juga menghancurkan upaya-upaya warga dalam menjaga dan menyelamatkan
sumber penghidupannya, mulai dari kampung, lahan-lahan pangan, sumber air, dan
hutan. Dapat dipastikan, siapapun rezim pemerintahan yang dihasilkan akan
bekerja untuk memenuhi kepentingan para pemodal politiknya.
Kementerian ESDM
merupakan salah satu simpul birokrasi pemerintahan terpenting dalam
melanggengkan oligarki ekstraktif di Indonesia. Kantor kementerian inilah yang
selama ini berfungsi menyediakan perangkat kebijakan dan perizinan yang
diterbitkan baik oleh pemerintah pusat maupun Kepala Daerah untuk memfasilitasi
ekspansi industri ekstraktif di Indonesia. Kantor-kantor pengurus publik inilah
yang harusnya bertanggung jawab atas segala permasalahan perampasan dan
perusakan ruang hidup rakyat oleh industri ekstraktif.
ill: Merdeka
Pada peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) tahun ini para
aktivis dan warga korban mendesak pembekuan Kantor ESDM baik pusat maupun
daerah, sebab fungsi, wewenang dan instrumen perizinan yang diterbitkannya
adalah sumber perusakan dan pelayan kepentingan korporasi, baik pelayan perbankan/keuangan
maupun industri pertambangan. Selain di Jakarta, HATAM 2019 disuarakan dan
dirayakan dengan bentuk yang beragam di 18 titik, yaitu di Dairi (Sumatera
Utara), Bengkulu, Sumatera Selatan, Bogor, Jakarta, Karawang, Yogyakarta,
Porong, Banyuwangi, Kupang, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Bandung, Maros,
Palu serta Maluku Utara.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan “pembekuan kantor-kantor ESDM ini diperlukan sehingga Indonesia mempunyai satu masa transisi untuk mempertimbangkan kembali arah industrialisasi dan strategi penganggaran pendapatan dan belanja publik, sebagai bentuk tanggung-jawab atas krisis ekologis dan pengungsian sosial di seluruh kepulauan dan perairan Indonesia, yang didorong terutama oleh industri ektraktif”.
“Industrialisasi harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi warga negara/angkatan kerja dan bagi penerapan keadilan sosial, pendapatan negara tidak boleh dibangkitkan dengan mengorbankan syarat-syarat keselamatan warga negara dan alam jangka panjang tambahnya”.
“Pembekuan kantor-kantor ESDM ini harus diikuti dengan penyusunan skenario transisi, mulai dari penyelamatan ekonomi Indonesia dari ketergantungan ekonomi tambang, pemulihan ruang hidup warga, penegakan hukum, maupun peralihan dari energi fosil ke energi bersih –terbarukan- yang adil. Selama pembekuan ini berlangsung, aparat negara harus menjaga dan memastikan bahwa wewenang legislasi/penerbitan izin ESDM berhenti. Pembekuan ini dilakukan untuk menjaga agar objek vital nasional sesungguhnya, yakni seluruh daratan kepulauan dan perairan indonesia, tidak mengalami perusakan lebih lanjut", tutup Merah Johansyah.
Narahubung / Wakil Koalisi
Aksi:
·
Merah Johansyah (JATAM) – 081347882228
·
Ahmad Ashov Birry (Trend Asia / BI) –
08111757246
·
Fikerman Saragih (KIARA) – 082365967999
·
Bondan (Greenpeace Indonesia) – 08118188182
·
Irfan (KMPLHK Ranita) - 081212741164
·
Hasan Sibon (Walhi Jakarta) – 081818196671
·
Azka (Enter Nusantara) – 082118436250
·
JPIC OFM Indonesia (Rian Safio/081297287925)
BalasHapusBosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
hanya di fansbetting / WA : +855963156245^_^
dengan hanya minimal deposit 50.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
dapatkan juga bonus rollingan 0.70%