Selasa, 28 Mei 2019

Kantor Kementerian ESDM DISEGEL Rakyat.



Bekukan Seluruh Kantor ESDM untuk Hentikan Perluasan Perusakan dan Pengungsian Sosial – Ekologis


(Jakarta, 28 Mei 2019) Sejumlah organisasi masyarakat sipil yakni Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Greenpeace Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Enter Nusantara, Ranita, JPIC OFM Indonesia, dan Walhi Jakarta melakukan aksi segel di pagar utama Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta.

Aksi segel menggunakan perangkat aksi gembok raksasa ini merupakan bagian dari peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) 2019 yang diinspirasi dari salah satu tragedi bencana industri tambang pada 29 Mei 2006, tiga belas tahun lalu. Tiap 29 Mei peristiwa kelam ini diperingati sekaligus dijadikan momentum untuk melakukan kritik atas praktik buruk industri tambang di Indonesia selama ini.

Bencana Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur merupakan salah satu situs tragedi pengungsian sosial-ekologis, di mana 640 hektar lahan di sepuluh desa, 10.426 rumah terendam lumpur panas dan memaksa 22.214 warganya mengungsi. Tidak hanya kasus Lapindo, potret warga yang tergusur dan dipaksa mengungsi juga terjadi di industri pertambangan lainnya, di berbagai daerah di Indonesia.
Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, terdapat satu desa masyarakat adat Dayak Basap dipaksa pindah, menjauh dari wilayah adatnya yang ditambang oleh Kaltim Prima Coal. Sementara di Pulau Romang, Maluku, 3.954 warganya direncanakan direlokasi ke pulau lain akibat tempat tinggalnya dijadikan konsesi tambang emas PT Gemala Borneo Utama.
Begitu juga 12.000 jiwa terpaksa mengungsi dan 30 orang tewas akibat bencana banjir di lima kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu akibat rusaknya kawasan hulu Sungai Bengkulu oleh aktivitas pertambangan batubara.

Potret-potret tersebut adalah bukti-bukti bahwa investasi berbasis komoditas tambang sebagai investasi yang rakus lahan, rakus air, sarat akan pelanggaran hak asasi manusia, serta jauh dari kata keberlanjutan lingkungan. Daya rusak industri pertambangan selama ini telah berhasil menciptakan pengungsi-pengungsi sosial-ekologis, yakni mereka yang ruang hidupnya dirampas dan dirusak, sehingga tak lagi melanjutkan kehidupannya dengan normal seperti semula; mereka yang dipaksa hidup berdampingan dengan krisis; serta mereka yang hidup tanpa adanya jaminan keselamatan akibat prasyarat keselamatan hidupnya tak terpenuhi – dihancurkan oleh industri tambang.

Daya rusak tambang tidak hanya berhenti pada penghancuran sosial – ekologis, namun juga merusak bentang politik Indonesia. Seperti yang disampaikan melalui film documenter Sexy Killers yang ditonton lebih dari 25 juta penonton di kanal youtube dan kemudian viral, demokrasi Indonesia yang sangat bertumpu pada politik elektoral dengan biaya besar, menjadi pintu masuk bagi pemodal politik, terutama pelaku industri berbasis lahan skala luas: pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan properti. Para oligark industri ekstraktif ini yang kemudian menunggangi bentang politik Indonesia melalui momen-momen politik elektoral seperti Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Legislatif, dan Pemilihan Presiden. Rezim yang dihasilkan oleh proses politik elektoral yang sudah dibajak ini yang kemudian menjadi pangkal persoalan, mulai dari perusakan lingkungan hingga perampasan ruang hidup, lalu memaksa rakyat menjadi pengungsi di tanahnya sendiri.
Wajar saja dalam kasus industri batubara misalnya Pemerintah Indonesia tidak bisa lepas dari kecanduan energi kotor batubara mulai tambang hingga PLTU batubara, karena politik dibajak oleh kepentingan sesaat batu bara, ujar Ahmad Ashov Birry, Jubir Gerakan Bersihkan Indonesia dan sekaligus aktivis Trend Asia ini.

Menurut catatan JATAM, hanya dalam kurun waktu tidak sampai sepuluh tahun (2001-2010) jumlah IUP melambung drastis dari 750 izin menjadi lebih dari 10.000 izin pada tahun 2011 bersamaan dengan Pilkada dan Pemilu dan terkait dengan biaya politiknya, meskipun saat ini jumlahnya disebut berkurang karena ada penertiban dan penataan izin namun luasan keseluruhan konsesi tambang dan ditambah lagi oleh WK Migas ini mencakup 44 persen daratan dan perairan Indonesia.

diantara jumlah itu 3211 adalah izin pertambangan batubara. Pertambangan batu bara menjadi ancaman besar bagi ketahanan pangan Indonesia. Laporan tersebut memperkirakan bahwa 1,7 juta ton beras di Indonesia hilang setiap tahunnya akibat pertambangan batu bara. Bahkan ke depannya, jumlah tersebut akan bertambah hingga 6 juta ton produksi beras yang hilang, karena konsesinya berada dikawasan pertanian padi. Menurut data Jatam, hampir sepersepuluh lahan di Indonesia dialokasikan untuk pertambangan batu bara dan sebanyak 80 persen lahan tersebut sudah ditambang.

Catatan lain dari data base JATAM, 6,3 juta hektar tambang masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung; masih terdapat piutang PNBP sebesar Rp 26,2 triliun dimana 21,8 berupa DHPB/Royalti dari 5 (lima) Perusahaan PKP2B Generasi I dan sisanya Rp 4,3 triliun dari PKP2B, KK dan IUP; dan sebanyak 75% IUP tak membayar jaminan reklamasi dan pasca tambang.

Greenpeace Indonesia mencatat bahwa pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bahkan telah melanggar komitmennya sendiri dalam tata kelola tambang batu bara dan sektor energi. Sementara di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) pemerintah menargetkan penurunan target produksi batu bara secara bertahap hingga mencapai 406 juta ton, realisasinya malah naik menjadi sekitar 530 juta ton di tahun 2019. Hal ini berkelindan dengan kebijakan di sektor kelistrikan yang terus melakukan ekspansi PLTU batu bara dan transisi ke energi bersih dan terbarukan yang setengah hati. Hasilnya adalah kerusakan lingkungan, dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan dan praktik korupsi yang kian masif seperti yang terjadi pada kasus PLTU Riau 1. Konflik kepentingan dan korupsi politik yang nyata juga terus berlangsung seperti keterlibatan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di dalam bisnis pertambangan dan PLTU batu bara melalui grup bisnis Toba Sejahtra.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat bahwa proyek tambang telah merenggut hak konstitusional masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdampak. Pada saat yang sama, masyarakat kehilangan lingkungan pesisir yang sehat dan bersih karena telah hancur oleh aktivitas tambang. Jika dilihat dari perspektif kerawanan, pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, hal ini dapat disebabkan karena persoalan krisis iklim atau akibat pembangunan serta industri yang ekstraktif, yang tidak berwawasan lingkungan. Proyek tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil sangat mengancam ekosistem pulau termasuk masyarakat yang tinggal didalamnya.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan hingga akhir 2018, KIARA mencatat bahwa terdapat 26 titik area pertambangan yang berada di wilayah pesisir Indonesia yang tersebar di 23 provinsi dengan total konsesi sebanyak 1895 Hektar Area (Ha). Lebih dari 35 ribu keluarga nelayan yang terdampak dari proyek tersebut.
“Data kami mencatat bahwa akibat proyek pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat masif ini, setidaknya ada 6081 desa pesisir yang kawasan perairannya telah tercemari oleh limbah pertambangan. Jika proyek destruktif ini tidak segera dihentikan, maka akan semakin banyak desa-desa pesisir yang hancur dan menjadi tempat terakhir pembuangan limbah dan ini akan semakin merusak keberlangsungan lingkungan alam Indonesia. Kami mendesak pemerintah untuk membekukan kantor ESDM karena menjadi sumber permasalahan hulu hilir perusakan lingkungan seperti segala bentuk pertambangan yang merusak lingkungan dan alam, untuk berbenah dan tidak melanggengkan izin industri ekstraktif dan beralih untuk menggunakan energi bersih yang adil dan terbarukan” tutup Susan Herawati.
Politik elektoral yang menghabiskan uang rakyat begitu besar ini juga menghancurkan upaya-upaya warga dalam menjaga dan menyelamatkan sumber penghidupannya, mulai dari kampung, lahan-lahan pangan, sumber air, dan hutan. Dapat dipastikan, siapapun rezim pemerintahan yang dihasilkan akan bekerja untuk memenuhi kepentingan para pemodal politiknya. 
Kementerian ESDM merupakan salah satu simpul birokrasi pemerintahan terpenting dalam melanggengkan oligarki ekstraktif di Indonesia. Kantor kementerian inilah yang selama ini berfungsi menyediakan perangkat kebijakan dan perizinan yang diterbitkan baik oleh pemerintah pusat maupun Kepala Daerah untuk memfasilitasi ekspansi industri ekstraktif di Indonesia. Kantor-kantor pengurus publik inilah yang harusnya bertanggung jawab atas segala permasalahan perampasan dan perusakan ruang hidup rakyat oleh industri ekstraktif.

ill: Merdeka

Pada peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) tahun ini para aktivis dan warga korban mendesak pembekuan Kantor ESDM baik pusat maupun daerah, sebab fungsi, wewenang dan instrumen perizinan yang diterbitkannya adalah sumber perusakan dan pelayan kepentingan korporasi, baik pelayan perbankan/keuangan maupun industri pertambangan. Selain di Jakarta, HATAM 2019 disuarakan dan dirayakan dengan bentuk yang beragam di 18 titik, yaitu di Dairi (Sumatera Utara), Bengkulu, Sumatera Selatan, Bogor, Jakarta, Karawang, Yogyakarta, Porong, Banyuwangi, Kupang, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Bandung, Maros, Palu serta Maluku Utara.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan “pembekuan kantor-kantor ESDM ini diperlukan sehingga Indonesia mempunyai satu masa transisi untuk mempertimbangkan kembali arah industrialisasi dan strategi penganggaran pendapatan dan belanja publik, sebagai bentuk tanggung-jawab atas krisis ekologis dan pengungsian sosial di seluruh kepulauan dan perairan Indonesia, yang didorong terutama oleh industri ektraktif”.
“Industrialisasi harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi warga negara/angkatan kerja dan bagi penerapan keadilan sosial, pendapatan negara tidak boleh dibangkitkan dengan mengorbankan syarat-syarat keselamatan warga negara dan alam jangka panjang tambahnya”.
“Pembekuan kantor-kantor ESDM ini harus diikuti dengan penyusunan skenario transisi, mulai dari penyelamatan ekonomi Indonesia dari ketergantungan ekonomi tambang, pemulihan ruang hidup warga, penegakan hukum, maupun peralihan dari energi fosil ke energi bersih –terbarukan- yang adil. Selama pembekuan ini berlangsung, aparat negara harus menjaga dan memastikan bahwa wewenang legislasi/penerbitan izin ESDM berhenti. Pembekuan ini dilakukan untuk menjaga agar objek vital nasional sesungguhnya, yakni seluruh daratan kepulauan dan perairan indonesia, tidak mengalami perusakan lebih lanjut", tutup Merah Johansyah.
Narahubung / Wakil Koalisi Aksi:
·         Merah Johansyah (JATAM) – 081347882228
·         Ahmad Ashov Birry (Trend Asia / BI) – 08111757246
·         Fikerman Saragih (KIARA) – 082365967999
·         Bondan (Greenpeace Indonesia) – 08118188182
·         Irfan (KMPLHK Ranita) - 081212741164 
·         Hasan Sibon (Walhi Jakarta) – 081818196671
·         Azka (Enter Nusantara) – 082118436250
·         JPIC OFM Indonesia (Rian Safio/081297287925)

1 komentar:



  1. Bosan tidak tahu mau mengerjakan apa pada saat santai, ayo segera uji keberuntungan kalian
    hanya di fansbetting / WA : +855963156245^_^
    dengan hanya minimal deposit 50.000 kalian bisa memenangkan uang jutaan rupiah
    dapatkan juga bonus rollingan 0.70%

    BalasHapus