Kamis, 28 Maret 2019

Diteror Saat Meliput Tambang Emas Liar di Pulau Buru


OlehFRANSISKUS PATI HERIN
28 Maret 2019 06:03 WIB

KOMPAS/ FRANS PATI HERIN | Eksploitasi emas secara ilegal di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku, yang dimulai November 2011, kian tidak terkendali, seperti terpantau pada Kamis (5/2/2015). Selain merusak lingkungan karena penggunaan merkuri berlebihan untuk proses penambangan, eksploitasi secara ilegal itu juga menyebabkan ratusan petambang tewas karena tertimpa tanah di lubang-lubang penambangan.

Cerita tentang tambang emas liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku, sudah saya ketahui sebelum mulai bertugas di Maluku pada 4 Januari 2014. Gunung Botak dikesankan seram. Gara-gara emas, tempat yang dulunya semerbak wangi minyak kayu putih itu berubah menjadi medan pembunuhan, perampokan, dan longsor yang menewaskan petambang.

Belum lagi isu prostitusi, transaksi narkoba, serta penggunaan merkuri dan sianida untuk pengolahan emas. Bikin saya penasaran ingin ke sana.
Saya lalu mengumpulkan sejumlah informasi sekunder tentang Gunung Botak sambil mencari koneksi untuk masuk ke sana. Beberapa teman jurnalis yang saya ajak mengatakan tidak berani. Petambang dan orang-orang yang mengambil untung dari aktivitas tambang liar yang mulai beroperasi sejak Oktober 2011 itu menganggap wartawan sebagai ancaman. Mereka tidak segan bertindak nekat. Wartawan yang masuk ke sana bisa celaka!

Penelusuran informasi itu akhirnya mempertemukan saya dengan Yusthinus T Malle, pakar logam berat yang juga Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, pada 17 Oktober 2014. Di ruangan kerjanya, Yusthinus menerima saya setelah kami berkomunikasi via telepon. Dalam pertemuan itu, ia menuturkan bahwa dirinya sudah meneliti pencemaran merkuri di Gunung Botak.

Air bekas pengolahan tambang emas tradisional di Gunung Botak yang menggunakan merkuri.

Penelitian itu dilakukan pertengahan 2014 bersama mahasiswa. Menurut Yusthinus, penelitian itu tidak mendapat dukungan dana dari pihak mana pun, termasuk kampus. Dana diperoleh dari hasil menggelar bazar, patungan para mahasiswa, serta uang pribadi Yusthinus. Pendek kata, penelitian ini murni, bukan pesanan.

Hasil penelitian, sejumlah perairan berikut sedimennya, baik di sungai maupun di teluk Pulau Buru, telah tercemar merkuri. Menurut dia, saya wartawan pertama yang diberi data itu. Informasi ini saya olah menjadi artikel dan terbit keesokan harinya, Sabtu (18/10/2014), dengan judul ”Teluk Kayeli di Buru Tercemar Merkuri”. Berita itu sempat heboh.

ARSIP KOMPAS
Berita ”Teluk Kayeli di Buru Tercemar Merkuri”

Dalam berita itu saya sempat menyinggung tragedi Minamata di Jepang akibat penggunaan merkuri. Merkuri merupakan logam berat yang dapat menyebabkan kerusakan dalam tubuh hingga menimbulkan mutasi genetika. Bayi yang lahir dari ibu yang terpapar merkuri dalam konsentrasi tinggi dapat mengalami cacat fisik dan mental. Yusthinus mewanti-wanti potensi ancaman ini.

Namun, beberapa pertanyaan saya belum terjawab lewat penelitian itu. Apakah ada sumber pangan yang tercemar merkuri? Apakah warga atau petambang telah terpapar merkuri dengan konsentrasi tinggi?
”Tahun depan sudah ada hasil itu. Nanti kita ketemu lagi,” kata Yusthinus yang membuat saya semakin penasaran.
Saya pun berjanji akan menemuinya kembali. Pada Februari 2015 akhirnya saya mendapatkan koneksi untuk masuk ke Gunung Botak. Berangkatlah saya dari Ambon, berlayar tujuh jam ke Namlea, ibu kota Kabupaten Buru. Pelayaran dilakukan malam hari.

“Hasil penelitian, sejumlah perairan berikut sedimennya, baik di sungai maupun teluk Pulau Buru, telah tercemar merkuri.”

Setelah mendarat, saya langsung menuju Gunung Botak yang menempuh jalan darat beraspal sejauh 50 kilometer. Jangan bayangkan jalannya mulus seperti di kota. Rute yang harus saya lalui rusak berat dan beberapa kali harus melewati sungai. Kami, termasuk kendaraan yang kami naiki, harus menumpang rakit agar bisa menyeberang sungai.

Kurang dari 10 kilometer menuju kaki Gunung Botak, nuansa tambang liar mulai terasa. Sejumlah mobil bergardan ganda danmotor trail tampak hilir mudik membawa material tambang. Kaki Gunung Botak ramai seperti pasar. Tampak berjejer kios penjual kebutuhan pokok, pembeli emas, jasa pengiriman uang, dan warung makan. Semuanya dalam bangunan darurat beratap terpal. Lalu, di mana tempat penggalian material emas?

Tempat penggalian itu berada di puncak Gunung Botak yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dari kaki gunung. Cara untuk mencapai puncak harus menggunakan motor trail atau motor biasa yang dilengkapi ban trail. Belum lagi harus melewati beberapa pos yang dijaga aparat.

Mereka meminta sejumlah uang.


KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Lokasi tambang liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku, yang beroperasi selama tujuh tahun terakhir telah bebas dari petambang liar. Pada Rabu (17/10/2018), Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa memimpin penyisiran di lokasi itu.

Saat ke sana, saya didampingi seorang aparat dengan pengamanan tertutup. Kamis (5/2/2015) siang, saya tiba di puncak Gunung Botak. Belum dua menit, tiba-tiba terdengar teriakan petambang yang melihat tebing runtuh. Tebing itu berada 30 meter dari tempat saya berdiri.

Di bawah tebing, puluhan petambang yang sedang menggali material lari berhamburan. Sayang, seorang di antaranya terlambat menghindar sehingga terkubur longsoran. Setelah longsor berhenti, para petambang yang sebelumnya berlarian kembali menuju titik longsor untuk menyelamatkan kawan mereka. Selama tiga menit menggali longsoran, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan si petambang.

Longsor semacam itu terjadi hampir setiap hari dengan korban jiwa tidak terhitung lagi. Ada yang jasadnya berhasil ditemukan. Namun, banyak juga yang hilang dan dibiarkan karena terkubur material pada kedalaman lebih dari 10 meter.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Eksploitasi emas secara ilegal di Gunung Botak kian tak terkendali seperti yang terpantau pada Kamis (5/2/2015). Sejumlah informasi menyebutkan, lebih dari 1.000 petambang tewas di tempat itu sejak aktivitas penambangan mulai dikerjakan pada November 2011.

Berdasarkan informasi intelijen yang saya peroleh dari sebuah lembaga, sejak Oktober 2011 hingga November 2015, sebanyak 1.087 petambang meninggal terbunuh dan 572 petambang tewas serta hilang akibat tertimbun longsoran.

Sekitar 1,5 jam saya berada di sana, lalu kembali dan menuliskan cerita itu. Keesokan harinya, Jumat (6/2/2015), foto saya terpilih sebagai foto utama halaman muka Kompas. Tentu saja saya merasa senang karena lewat pemberitaan itu, Gunung Botak mulai menjadi perhatian nasional.
Di balik semua itu, pertanyaan yang pernah saya utarakan kepada Yusthinus kembali hadir di benak. Sudah seberapa parah kondisi lingkungan di sana, terutama pangan dan warga, sebab berton-ton merkuri dibuang setiap hari ke sungai.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Ratusan hektar pohon sagu di kawasan Anahoni, sekitar lokasi bekas tambang emas ilegal Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku, yang menjadi titik pengolahan emas menggunakan merkuri dan sianida, tercemar dan mati seperti terlihat pada Senin (12/9/2016). Hingga Senin (19/9/2016), kawasan itu belum juga ditata pemerintah kendati anggaran perbaikan lingkungan sudah dikucurkan sejak Desember 2015.

Wawancara Presiden

Ancaman keselamatan warga akibat penggunaan merkuri kemudian diingatkan oleh Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat menghadiri acara penanaman padi di Pulau Buru. Seusai sambutan, wartawan diperbolehkan mewawancarai Presiden. Melihat langkah saya yang menghampiri Presiden, seorang aparat berusaha menghalangi saya. Saya masih ingat betapa paniknya wajah orang itu. Kenapa dia menghalangi saya?

Dia tahu saya wartawan Kompas. Dia juga tahu saya pernah menulis dugaan keterlibatan oknum aparat dalam melanggengkan penambangan liar di Gunung Botak. Adu cepat terjadi dalam kerumunan itu, tetapi dia gagal menghalau saya. Saya kemudian bisa berdiri paling depan, berhadapan dengan Presiden. Saya lalu menyampaikan dugaan keterlibatan aparat itu. Dengan tegas, Presiden mengatakan, 
”Saya minta Kapolda segera menutup tambang liar.”
Melihat langkah saya yang menghampiri Presiden, seorang aparat berusaha menghalangi saya.
Perlakuan yang tidak mengenakkan itu saya laporkan kepada Mas Suhartono, yang di Kompas menyandang inisial HAR. Kebetulan, Mas HAR yang sehari-hari bertugas meliput di Istana Presiden ikut dalam rombongan Presiden saat itu. Mas HAR menyarankan saya segera pulang ke Ambon malam itu.
”Cepat pulang, ya. Ini bahaya,” ujarnya sebelum kembali ke Ambon dengan helikopter bersama rombongan.
Malam itu juga saya pulang naik kapal ke Ambon. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sepanjang perjalanan saya memilih tidak tidur.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Kondisi sebagian besar Gunung Botak di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, telah hancur akibat penambangan emas secara liar, seperti terlihat pada Minggu (8/11/2015). Lebih dari 1.000 orang tewas akibat kecelakaan kerja dan dibunuh sesama petambang serta banyak warga setempat terpapar merkuri yang digunakan untuk mengolah hasil tambang. Perintah Presiden Joko Widodo agar tambang itu ditutup belum dilaksanakan.

Heboh nasional

Saya mencoba menghubungi Yusthinus, Jumat (6/11/2015). Saya teringat pertemuan kami hampir satu tahun lalu. Kala itu, dia mengatakan, penelitian terkait dengan kontaminasi merkuri pada pangan dan manusia akan dibuka tahun depan. Memang belum ada kepastian kapan waktunya, tetapi apa salahnya jika saya coba bertanya.

Yusthinus menjawab telepon saya. Dalam perbincangan kami, ia mengungkapkan kandungan merkuri sudah ditemukan pada ikan, siput, udang, dan tubuh manusia. Konsentrasinya berpuluh-puluh kali lipat. Saya wartawan pertama yang mendapatkan data itu.

Namun, Yusthinus tampaknya sedang sibuk sehingga pembicaraan kami tidak bisa berlangsung lama. Saya lalu mencari warung kopi untuk membuat desain tulisan. Sambil mencoret-coret, saya membatin, ”Ini belum kuat untuk tayang di harian Kompas. Paling-paling jadi berita kecil atau malah tidak dimuat.”

Dalam perbincangan kami, ia mengungkapkan kandungan merkuri sudah ditemukan pada ikan, siput, udang, dan tubuh manusia. Konsentrasinya berpuluh-puluh kali lipat.

Namun, sekitar pukul 16.00 WIT atau batas waktu mendaftarkan calon berita ke redaksi, saya nekat mendaftarkan artikel itu. Setelah rapat redaksi, editor Desk Nusantara, Mbak Yovita Arika atau Mbak Ika, menghubungi saya. Kata dia, tulisan itu menjadi headline halaman muka. Saya kaget. Tentu standar tulisan halaman satu harus sempurna. Saya pun diminta melengkapi datanya.

Selesai ditelepon Mbak Ika, saya kembali menelepon Yusthinus. Dua panggilan awal tak diangkat. Saya telepon lagi berulang-ulang sampai akhirnya dijawab. Ia menuturkan bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit menunggui istrinya yang melahirkan.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Gumpalan emas hasil penghancuran batuan dengan menggunakan tromol dan air raksa yang didapatkan dari berkarung-karung tanah yang digali dari Gunung Botak di Kabupaten Buru, Maluku. Proses ini membuat kerusakan yang sangat masif serta pencemaran logam berat merkuri yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Foto diambil Rabu (11/11/2015).

Saya lalu meminta waktu bertemu di rumah sakit. Syukurnya, Yusthinus membolehkan. Kopi belum selesai diminum, saya bergegas menuju Rumah Sakit Sumber Hidup yang di Ambon lazim disebut Rumah Sakit Gereja Protestan Maluku itu.

Di depan ruang instalasi gawat darurat, saya bertemu Yusthinus. Saya menjelaskan, tulisan yang saya ajukan ternyata dijadikan prioritas untuk diberitakan Kompas sehingga saya memerlukan tambahan data. Jawaban Yusthinus sempat membuat saya terdiam.

Katanya, ia ingin hasil penelitian itu dipublikasikan dulu di jurnal internasional sebelum dipublikasikan di media massa. Lagi pula saat itu dirinya tidak membawa data yang dibutuhkan.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Petambang emas skala kecil di Gunung Botak, Buru, Maluku, Rabu (11/11/15), menunjukkan kemasan 1 kilogram merkuri yang dijual bebas. Merkuri itu dijual Rp 300.000 per kilogram atau jauh lebih murah daripada merkuri legal produk impor seharga Rp 2 juta per kilogram. Merkuri murah itu diduga kuat diperoleh dari pengolahan batu sinabar yang juga ditambang dari daerah tersebut. Paparan logam berat merkuri berisiko bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Saya kembali memohon sambil menjelaskan betapa pentingnya data itu untuk menguatkan tulisan. Lewat artikel berbasis data, efeknya akan lebih kuat. Setelah berpikir sejenak, Yusthinus mengajak saya ke sebuah warung kopi di depan rumah sakit itu. Tiba di sana, dia menelepon tiga mahasiswanya agar segera membawa data penelitian itu ke warung kopi tersebut.

Sekitar pukul 20.00 mereka tiba. Tiga laptop dibuka. Semua data dikeluarkan. Saya catat selama hampir satu jam. Setelah itu, akhirnya kami bubar. Saya pulang ke indekos untuk menyusun artikel, Yusthinus kembali ke rumah sakit menemani istrinya yang melahirkan secara sesar. Sementara para mahasiswa tadi masih melanjutkan minum kopi saat saya beranjak. Keesokan harinya, pada headline halaman depan Kompas terpampang judul ”Warga Buru Terpapar Merkuri”. Berita itu menghebohkan.

Berita ”Warga Buru Terpapar Mekuri” yang keluar sebagai berita utama di halaman depan harian Kompas.

Ditawari mobil

Pagi itu, telepon genggam saya berulang kali berdering, termasuk dari beberapa nomor yang tidak terdaftar di kontak saya. Salah satu penelepon, misalnya, meminta saya tidak menulis lagi tentang merkuri. Dia berjanji akan memberikan kepada saya dua mobil baru.
”Tinggal sodara pilih, Innova atau Avanza,” katanya. Telepon itu saya matikan.
Memang banyak petambang dan oknum aparat kaya raya dari tambang Gunung Botak. Mereka membeli mobil seperti membeli kacang goreng. Dari hasil menambang satu bulan, mereka bisa mendapatkan uang hampir Rp 1 miliar. Itu baru satu orang. Sementara petambang di sana diperkirakan lebih dari 20.000 orang.

Salah satu penelepon, misalnya, meminta saya tidak menulis lagi tentang merkuri. Dia berjanji akan memberikan kepada saya dua mobil baru. ’Tinggal sodara pilih, Innova atau Avanza,’ katanya. Telepon itu saya matikan.
Tak lama nomor baru kembali memanggil. Rupanya dari orang berbeda. Baru saja selesai menekan tombol menjawab panggilan langsung terdengar nada ancaman. Si penelepon mengancam akan menyusahkan saya. Dia menyebutkan merek sepeda motor saya, nomor pelat nomor polisi, alamat indekos, sampai tempat saya biasa nongkrong dan beli makan malam. Tidak meleset. Saya lalu menjawab begini, ”Kalau se tuangala, baru beta taku se (Kalau kamu Tuhan, maka saya takut).”
Selama di Maluku, saya belajar bahwa kita tak boleh kalah dari orang-orang seperti ini. Kita harus balik mengancam. Kendati saya bukan asli Maluku, selama bertugas di Maluku saya mengenal sejumlah tokoh dari etnis yang cukup disegani di Maluku. 
”Betabapa angkat orang Kei, se mau apa? (Bapa angkat saya orang Kei, kamu mau apa?),” saya balik mengancam. Dia sendiri akhirnya mematikan telepon itu.
NOEL FILKOSTIQ
Fransiskus Pati Herin, wartawan harian Kompas yang bertugas di Maluku dan Maluku Utara, saat meliput di lokasi tambang liar Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, Selasa (26/3/2019).

Kepala Desk Nusantara Mas Banu Astono menyapa saya pagi itu. Dia bilang begini, ”Frans, menarik kalau kamu bisa menggambarkan kondisi terakhir.”

Saya mengartikan bahwa ini adalah perintah secara tidak langsung agar saya kembali ke Gunung Botak. Saya mencari koneksi dan saya putuskan untuk berangkat malam itu.

Jadi target operasi

Berita di harian Kompas sudah tersebar pula ke telinga mereka yang berada di Gunung Botak. Pengamanan diperketat saat saya tiba di puncak Gunung Botak, Minggu (8/11/2015). Menyamar sebagai kaki tangan bos tambang, saya dikawal oleh aparat.

Begini kata dia, ’Mas Frans, berita Mas Frans membuat banyak aparat di Jakarta marah. Mas sekarang jadi TO (target operasi). Mas harus segera keluar dari Pulau Buru.’

Keesokan harinya foto yang saya kirim menjadi foto utama harian Kompas didampingi tulisan berjudul ”Ada Aparat Berjaga di Gunung Botak”. Saya ingin menunjukkan bahwa praktik ilegal itu dalam kawalan aparat.

Berita pagi itu semakin heboh. Tiba-tiba pengamat militer yang juga motivator, Aqua Dwipayana, menelepon saya. Begini kata dia, 
”Mas Frans, berita Mas Frans membuat banyak aparat di Jakarta marah. Mas sekarang jadi TO (target operasi). Mas harus segera keluar dari Pulau Buru.”
ARSIP KOMPAS
Berita ”Ada Aparat Berjaga di Gunung Botak” yang keluar di halaman depan harian Kompas.

Selanjutnya, telepon beruntun masuk, termasuk dari pimpinan kantor yang meminta saya keluar dari Namlea. Pesan singkat, baik berisi dukungan maupun ancaman, berdatangan dari banyak nomor. Anehnya, selama beberapa jam, jaringan internet di Namlea terputus. Saya bingung kenapa seperti itu. Entahlah.

Saya pulang malam itu dikawal seorang anggota TNI atas perintah Panglima Kodam XVI/Pattimura Mayor Jenderal Doni Monardo. Tiba pagi hari di Ambon, saya diminta segera ke Makassar untuk mengamankan diri. Anggota TNI tadi mengantar saya sampai ke Bandara Pattimura, Ambon. Selama di ”pengungsian”, saya terus menulis tentang Gunung Botak. Selama 10 hari, tulisan saya menghiasi halaman muka harian Kompas. Tambang ilegal itu pun akhirnya ditutup.

Naik podium juara

Karya tulisan ataupun foto yang saya hasilkan dari liputan di Gunung Botak cukup banyak. Berdasarkan penelusuran pada Pusat Informasi Kompas, selama periode Januari 2014 hingga Maret 2019 diperoleh 118 karya saya yang terkait dengan Gunung Botak, baik artikel maupun foto yang terbit di harian Kompas. Itu belum termasuk tulisan pada kanal Kompas.id.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Kondisi bekas tambang emas liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku, seperti terpantau pada Selasa (26/3/2019). Tambang liar itu terakhir kali ditutup pada Oktober 2018. Kepala Kepolisian Daerah Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa bersama sejumlah pejabat lintas kementerian meninjau Gunung Botak sekaligus membicarakan langkah lanjutan seusai penutupan.

Suatu hari, saya menerima informasi bahwa Indonesian Mining Association (IMA) menggelar lomba karya jurnalistik artikel dan foto.
Saya ikut mengirimkan beberapa karya. Pada awal Januari 2019, saat dalam perjalanan dari Ambon ke Seram dengan kapal laut, saya menerima kabar bahwa saya diundang menghadiri Anugerah Jurnalistik IMA di Bandung, Jawa Barat, karena karya foto saya masuk nominasi.

Hasilnya, foto saya diumumkan sebagai pemenang pertama lomba itu, Sabtu (19/1/2019).

Saya tidak menyangka mendapat penghargaan ini sebab tujuan saya meliput bukan demi meraih penghargaan. Kerja saya, meski dengan segenap kemampuan, masih jauh dari sempurna. Minim pengalaman, minim jam terbang.

Saya hanyalah wartawan kampung yang ingin mengangkat isu-isu dari kampung. Isu dari pelosok Pulau Buru yang ditanggapi serius oleh pusat kekuasaan yang terpaut 2.000 kilometer dari Jakarta itu sudah cukup membuat saya bahagia. Setidaknya karya jurnalistik saya bermanfaat.
Hingga detik ini, saya selalu bangga menjadi wartawan kampung.

KOMPAS/ HERU SRI KUMORO
Fransiskus Pati Herin, wartawan harian Kompas yang bertugas di Maluku dan Maluku Utara, meraih peringkat pertama kategori foto dalam acara Anugerah Jurnalistik Indonesian Mining Association di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (19/1/2019).

Source: Kompas.Id 

0 komentar:

Posting Komentar