By
Dianto Bachriadi - 29 March 2019
©eurovia.org
Sidang
Umum PBB pada 17 Desember 2018 akhirnya mengesahkan Deklarasi Hak-hak Petani
dan Kelompok Masyarakat Lainnya yang Bekerja di Pedesaan (UN
Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas, disingkat UN-DROP).
Terbitnya UNDROP menandai perjuangan panjang petani dan berbagai kelompok di
berbagai belahan dunia—yang penghidupannya bergantung pada sumberdaya alam
pedesaan—telah tiba di satu terminal penting.
Melalui
UN-DROP sejumlah hak mereka, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai instrumen
HAM internasional, memperoleh peneguhan dan penegasan kembali untuk dihormati,
dilindungi, dan dipenuhi. Selama ini, hak-hak tersebut lebih sering tidak
dihormati, mudah dilanggar, dan tidak dipenuhi oleh negara akibat berbagai
kepentingan ekonomi besar dan akumulasi modal yang bekerja di pedesaan.
Korporasi mendominasi penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya serta
mengontrol produksi serta perdagangan hasil-hasil pertanian di pedesaan. Negara
memfasilitasi korporasi untuk menguasai sumber-sumber penghidupan di pedesaan,
mengeksploitasi bahkan menyingkirkan kaum tani dan kelompok masyarakat kecil
lainnya.
Pengesahan
UN-DROP tersebut patut membuat bangsa Indonesia bangga. Sebab, gagasan awal
tentang “hak-hak petani” dirumuskan dan disusun oleh sejumlah aktivis dan
kelompok-kelompok tani di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an. Gagasan ini
berawal dari kerja-kerja advokasi demi perbaikan hidup kaum tani di Indonesia
yang lahannya semakin menyempit, semakin sulit mengakses sarana produksi
pertanian, dan semakin berkurangnya kualitas lingkungan serta konflik-konflik
yang mereka hadapi.
Menjelang
masuk tahun 2000 disusunlah formula awal gagasan “hak-hak petani” di
Yogyakarta, yang kemudian dibahas dan disemai ke berbagai daerah di Indonesia.
Gagasan “hak-hak petani” itu dibahas secara serius dan menjadi salah satu
deklarasi yang lahir pada Konferensi Nasional Pembaruan Agraria dan Hak-hak
Petani tahun 2001 di Cibubur. Sejak itu, dokumen deklarasi tersebut
diperjuangkan dan menjadi bahan kampanye internasional kelompok petani yang
tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI), anggota serikat petani
internasional La via Campesina (LVC).
Setelah
proses sosialisasi dan negosiasi panjang, baru pada 2008 LVC mengadopsi
bulat-bulat dokumen Deklarasi Hak-hak Petani yang digagas oleh kelompok petani
Indonesia dan para pendukungnya. LVC dan sejumlah lembaga masyarakat sipil
transnasional kemudian segera mengagendakan advokasi internasional yang lebih
kuat untuk mendorong naskah tersebut masuk ke dalam arena pembahasan resmi di
PBB.
Gagasan
hak-hak kaum tani didesakkan bersamaan dengan berbagai pembahasan tentang
perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan (right to food) di Dewan HAM PBB, yang
kemudian meminta Komite Penasihat Dewan HAM PBB mempelajarinya. Pada 2012,
Komite Penasihat Dewan HAM PBB melaporkan hasil studinya dan menyatakan bahwa
Dewan HAM PBB perlu melahirkan satu deklarasi tersendiri yang terkait dengan
hak-hak petani dan kelompok lainnya yang bekerja di pedesaan.
Perjalanan
panjang kampanye, advokasi, dan lobi internasional para pejuang reforma
agraria, pembela hak-hak kaum tani, buruh tani, nelayan, dan peternak kecil
yang memakan waktu sekitar dua dekade itu, akhirnya membuahkan hasil. Sidang
Dewan HAM PBB pada September 2018 memuat agenda pengesahan UN-DROP. Dari 47
negara anggota Dewan HAM PBB, 33 negara mendukung, 11 negara menyatakan
abstain, dan 3 negara lainnya—Australia, Hungaria, dan Britania Raya—menolak
kehadiran DROP. Deklarasi itu pun kemudian bergulir ke Sidang Umum PBB,
Desember 2018, yang kemudian mengesahkannya sebagai bagian dari instrumen hukum
HAM internasional melalui Resolusi SU-PBB No. A/RES/73/165.
Deklarasi
PBB, meskipun bukan instrumen hukum yang mengikat (legally binding), merupakan
sebentuk pernyataan politik antarbangsa atas hal penting demi keberlangsungan
kehidupan umat manusia yang beradab. Deklarasi PBB menunjukkan adanya kemauan
politik bersama dari komunitas internasional untuk memajukan peradaban dengan
saling menghormati hak asasi dan mendudukan kembali posisi negara untuk
melindungi dan memenuhinya. Karena itu, Deklarasi PBB tetap patut dijadikan
rujukan hukum dalam pembentukan kebijakan negara-negara anggotanya, terlebih bagi negara-negara yang bersetuju dengan isi deklarasi tersebut.
UN-DROP
menegaskan kembali perlunya perlindungan yang lebih baik bagi petani, termasuk
petani tak bertanah (landless, tunakisma) dan buruh tani, nelayan, serta
peternak kecil, tanpa melihat perbedaan latar belakang mereka, agar memperoleh
penghidupan yang lebih baik. UN-DROP menggarisbawahi perlunya reforma agraria
dijalankan sungguh-sungguh dalam rangka pemenuhan hak atas pangan dan mendorong
terciptanya kedaulatan pangan serta peningkatan kesempatan wong cilik di
pedesaan untuk berusaha secara mandiri.
UN-DROP
juga menegaskan perlunya perlindungan terhadap hak-hak petani dalam memelihara,
mengembangkan, dan memuliakan bibit-bibit asli, termasuk untuk mempertukarkan
dan memperjualbelikannya. Tujuannya bukan saja penghormatan kepada pengetahuan
asli dan hak-hak kultural mereka, tetapi juga dalam rangka pemenuhan hak atas
lingkungan dan memajukan keanekaragaman hayati.
Sebagian
besar isi UN-DROP memang hanya menegaskan kembali sejumlah hak yang telah
tercantum dalam berbagai instrumen HAM internasional dan kesepakatan
internasional lainnya. Meskipun demikian ada beberapa jenis hak baru dalam
ranah HAM yang muncul, seperti: hak atas tanah dan teritori, hak atas bibit dan
perlindungan pengetahuan asli yang berkaitan dengan perbenihan, hak atas
keanekaragaman hayati dan melindungi lingkungan, hak atas perangkat produksi
pertanian, hak atas kedaulatan pangan, hak kaum tani dan kelompok lainnya di
pedesaan untuk memperoleh pendapatan yang layak, serta hak-hak mereka untuk
mengembangkan sistem perdagangan yang berbasis pada komunitas.
Pada
saat pengesahan
deklarasi di Sidang Umum PBB, ada 121 negara yang menyatakan setuju.
Sedangkan 54 negara abstain dan 8 negara menyatakan menolak. Sebagian besar
mereka yang menolak adalah negara-negara yang sudah mengambil posisi sama sejak
awal draf deklarasi ini dibahas dan disahkan di Dewan HAM PBB. Alasan-alasannya
berkisar pada argumen bahwa sejumlah hak yang dinyatakan dalam DROP telah
termaktub dengan jelas di sejumlah instrumen HAM internasional. Selain itu, ada
keengganan untuk semakin memperjelas keberadaan “hak-hak kolektif”, selain hak-hak
yang sifatnya individual dalam ranah hukum HAM.
Analisa
yang lebih dalam dari kacamata ekonomi-politik diperlukan untuk melihat posisi
sejumlah negara yang selama ini sering dianggap sebagai kampiun yang
menghormati HAM. Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Australia,
Selandia Baru, dan Britania Raya, misalnya, ternyata konsisten menolak DROP
sejak awal. Patut diduga, dibalik penolakan mereka yang menggunakan berbagai
terminologi dalam diskursus HAM sebagai dalih, ada kepentingan terkait persoalan
kontrol dalam produksi dan dominasi tata niaga barang-barang hasil pertanian di
dunia selama ini.
DROP
memang menekankan perlunya perlindungan atas kegiatan produksi pertanian rakyat
dan pertanian subsistensi, yang menjadi sumber penghidupan sebagian besar
penduduk pedesaan, agar tidak mudah dilibas oleh mesin ekonomi skala besar.
DROP secara implisit juga menekankan hak-hak kaum tani dan kelompok masyarakat
lainnya di pedesaan untuk menahan derasnya gempuran kapital skala besar dan
eksploitasi di pedesaan, serta menekankan hak-hak mereka untuk mengembangkan
alternatif atas sistem yang eksploitatif dan merugikan mereka selama ini.
Instrumen
HAM baru dalam DROP ini diperlukan untuk meningkatkan koherensi serta
perwujudan sejumlah hak asasi—sebagaimana dinyatakan dalam berbagai instrumen
HAM internasional yang lahir lebih dahulu—secara khusus di tengah-tengah
kehidupan kaum tani dan kelompok lainnya di pedesaan yang selama ini terus
dipinggirkan. Kenyataan yang sulit untuk dibantah ialah justru setelah setengah
abad masyarakat dunia memiliki Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya,
serta Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, mayoritas penduduk dunia yang hidup
dalam kemiskinan parah (extreme poverty) dan yang menderita kelaparan ada di
pedesaan. Hak-hak buruh tani pun selama ini tidak terlindungi, karena tidak
terjangkau oleh konvensi-konvensi perburuhan yang umumnya hanya efektif dapat
diterapkan pada pekerja-pekerja di sektor formal.
Statistik
kemiskinan, baik nasional maupun global, memberikan gambaran bahwa daerah-daerah
pedesaan tetap merupakan kantong kemiskinan yang besar. Data global
menunjukkan, hingga 10 tahun yang lalu sekitar 75% penduduk miskin ada di
pedesaan. Jika dilihat lebih komprehensif dengan memasukan aspek kesehatan,
pendidikan, dan standar kehidupan (standard of living) selain pendapatan
sebagai indikator pengukur utama, maka hingga 4 tahun lalu, dari sekitar
1,4 milyar jiwa penduduk miskin di dunia, 85% di antaranya tinggal di pedesaan
(Alkire et al. 2014).
Di
Indonesia, terhitung 61% penduduk yang masuk dalam kategori miskin ada di
pedesaan (BPS 2018). Sementara jumlah penduduk yang berada dalam kondisi
“sangat miskin” (extreme poverty) pada 2017, menurut cara penghitungan Bank
Dunia yang menggunakan garis kemiskinan USD 1.90 per hari, memang dinyatakan
turun cukup signifikan dalam satu setengah dekade belakangan ini. Menurut
Bank Dunia jumlahnya sekarang tinggal sekitar 15,1 juta jiwa (5,7% dari jumlah
penduduk).
Dengan
metodologi baru menghitung angka kemiskinan yang disesuaikan dengan status
perekonomian Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah-bawah (Lower
Middle-Income Country), jumlah penduduk miskin atau yang pengeluaran per
harinya kurang dari USD 3.20 ada sekitar 72,1 juta atau sekitar 27,3% dari
total jumlah penduduk. Tetapi mesti dicatat bahwa Bank Dunia menggunakan nilai
tukar berdasarkan Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity) global yang
nilainya sekitar Rp 5.366 per US dolar. Jika digunakan nilai tukar yang berlaku
di pasar, atau saat ini sekitar Rp 14 ribuan per satu dolar, maka jumlah
penduduk “sangat miskin” paling tidak ada sekitar 16% dari total penduduk.
Dengan menggunakan nilai tukar yang sama, maka lebih dari setengah penduduk
Indonesia, yang saat ini berjumlah sekitar 260 juta, dapat dikategorikan
sebagai penduduk miskin.
Survei
Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 menyatakan ada sekitar 27,7 juta rumah
tangga petani, atau ada sekitar 38% penduduk, yang hidupnya bergantung pada
aktivitas ekonomi pertanian. Aktivitas itu meliputi aktivitas pertanian,
perkebunan, mengusahakan dan mengelola hasil hutan, menangkap ikan, dan
peternakan. Jika tidak menguasai tanah untuk bertani atau beternak, maka
kesempatan kerja lainnya yang tersedia di pedesaan adalah pekerjaan serabutan
(upahan informal) di bidang pertanian atau konstruksi.
Persentase
tenaga kerja informal (buruh serabutan) di sektor pertanian jumlahnya mencapai
88,5% (BPS 2018). Rata-rata pendapatan bersih buruh di sektor pertanian hanya
berkisar 54% dari rata-rata upah minimum yang ditetapkan pemerintah (BPS 2018).
Selain upah yang sangat rendah, buruh-buruh di pedesaan (seperti buruh tani,
buruh harian/lepas di perkebunan, atau kuli-kuli lainnya) juga tidak memiliki
kepastian dan jaminan baik dalam hal upah, kesempatan kerja, maupun keselamatan
kerja.
Ketimpangan
penguasaan tanah yang berkembang sejak masa kolonial dan semakin parah
saat ini menjadi alas pokok dari bertahannya kemiskinan di pedesaan.
Ketimpangan yang makin besar dari waktu ke waktu ditambah dengan gencarnya alih
fungsi lahan pertanian untuk aktivitas non-pertanian, telah mempersempit
kesempatan kerja, dan menyisakan jenis kerja-kerja serabutan (upahan lepas) di
pedesaan. Perhitungan rasio gini penguasaan tanah oleh rumah tangga
tani di Indonesia sejak 1963 hingga sekarang menunjukkan permasalahan yang
menjadi penyebab pokok kemiskinan tersebut tidak pernah diselesaikan secara
sungguh-sungguh.
Sejak
1963 hingga sekarang, kisaran rasio gini ketimpangan penguasaan tanah
berada pada angka 0,52–0,59 (Bachriadi 2017). Artinya, distribusi penguasaan
tanah di Indonesia selalu berada dalam keadaan sangat timpang. Kelompok rumah
tangga petani tak bertanah (landless peasants) tidak dimasukkan dalam
penghitungan ini. Jika mereka dimasukkan sebagai faktor pembagi, maka angka
rasio gini penguasaan tanah di Indonesia sangat mengerikan: berkisar
antara 0,64–0,72.
Selain
struktur penguasaan tanah yang timpang, kaum tani di Indonesia sejak masa Orde
Baru hingga sekarang rata-rata juga hanya menguasai lahan skala kecil: tidak
pernah lebih dari 1 hektar. Sensus Pertanian (SP) dan Survei Pertanian Antar
Sensus (SUTAS) terakhir yang diselenggarakan BPS pada 2013 dan 2018,
menunjukkan bahwa mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem atau
petani yang hanya menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar. Pada waktu sensus
diadakan tahun 2013, jumlahnya sekitar 55%, lima tahun kemudian (2018)
jumlahnya bertambah menjadi 57%. Persentase petani gurem kita terus
meningkat sejak tahun 1960-an. Tahun 1963 dan 1993, misalnya, jumlahnya 44% dan
49% dari total rumah tangga tani (Bachriadi 2017).
Proses de-peasantization atau
berkurangnya jumlah petani dan kegiatan pertanian rakyat di Indonesia sebagai
konsekuensi logis dari industrialisasi, ternyata tidak membawa kelompok-kelompok
masyarakat yang selama ini bekerja di pedesaan—sebagian besar adalah kaum
tani—ke taraf penghidupan yang lebih baik. Sebaliknya, wong cilik di
pedesaan semakin dipinggirkan dengan maraknya penggusuran dan perampasan tanah,
penutupan akses kawasan perairan bagi nelayan kecil, serta beragam konflik
agraria. Begitu pun dengan kriminalisasi terhadap mereka dan para pembelanya
yang tidak pernah berkurang—meskipun rezim otoritarian sering dikatakan sudah
berakhir, dan sekarang adalah era kembalinya demokrasi serta penghormatan pada
hak asasi.
Kehadiran
UN-DROP tentu tidak akan menghentikan semua perlakuan negatif kepada kaum tani
dan kelompok marjinal lainnya yang tinggal di pedesaan. Teks deklarasi PBB
sekali pun hanyalah sebuah teks. Apalagi sifatnya bukan instrumen hukum yang
mengikat (legally binding). Deklarasi UN-DROP hanya akan berarti jika rezim
yang memerintah—apalagi pada pemerintah yang negaranya turut
menandatangani—melakukan langkah-langkah nyata seturut isi teks deklarasi
tersebut.
Satu hal
yang menarik terdapat dalam proses perjuangan pengesahan DROP ini. Sejak awal,
ketika petani dan kelompok masyarakat sipil dari Indonesia dan sekutunya dari
berbagai belahan lain di dunia memperjuangkan DROP, pemerintah Indonesia dan
delegasi tetapnya di PBB tidak terlalu menganggapi usulan masyarakatnya ini.
Justru beberapa negara dari Amerika Tengah dan Selatan serta Afrika yang ada di
Dewan HAM PBB, sejak awal menjadi menyokong utama gagasan hak-hak petani.
Padahal sejak tahun 2007 hingga 2017 Indonesia beberapa kali menjadi anggota
Dewan HAM PBB.
Tahun
2015, misalnya, ketika Dewan HAM PBB memutuskan pembentukan Intergovernmental
Working Group, grup yang dibentuk untuk membahas lebih dalam rancangan UN-DROP.
Empat negara yang menjadi “kelompok penyokong utama” atau “core group of
sponsors” adalah Bolivia, Kuba, Ekuador, dan Afrika Selatan. Sementara
Indonesia, bersama dengan Brasil dan Swiss, “hanya” menjadi kelompok yang
disebut sebagai “friends of the core group”. Ini tentu menarik dibahas di lain
tempat: untuk melihat bagaimana relasi kuasa yang berkembang antara
kelompok-kelompok gerakan sosial dan rezim penguasa di Indonesia dan di
negara-negara yang disebut di atas, terkait dengan prioritas isu hak asasi yang
diperjuangkan di PBB.
Semoga
pemerintah Indonesia pasca Pemilu 2019 dan seterusnya—siapa pun kepala negara
yang akan terpilih—konsisten menyikapi posisi Indonesia sebagai salah satu
penanda tangan UN-DROP. Yakni memberikan perlindungan penuh kepada kaum tani
dan kelompok masyarakat lainnya yang bekerja di pedesaan. Terutama adalah
menjalankan reforma agraria yang sesungguhnya—sebagai dasar penting untuk
menegakkan kedaulatan pangan; bukan reforma agraria “jadi-jadian” seperti yang
dipertontonkan selama satu dasawarsa belakangan ini.
Kyoto, Awal
Februari 2019
0 komentar:
Posting Komentar