Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Sabtu, 30 Maret 2019

Aliansi Masyarakat Peduli Karst Menolak Semen


Mar 30th, 2019



Senin, 25 Maret 2019, Aliansi Masyarakat Peduli Karst melakukan aksi menolak pembangunan pabrik semen yang ada di Kutai Timur dan Berau. Ratusan massa aksi dari Aliansi Masyarakat Peduli Karst ini terdari dari 56 organisasi mahasiswa dan organisasi kedaerahan lainnya, dengan 6 tuntutan massa yang disuarakan pada aksi di depan kantor gubernur, yaitu: 1) Tolak pembangunan pabrik semen di Kalimantan Timur. 2) Tolak segala bentuk eksploitasi yang merusak alam. 3) Berikan hak atas tanah untuk mengembangkan ekonomi terbarukan yang ramah lingkungan. 4) Tolak RPJMD, R2WP3K, RT/RW Kalimantan Timur. 5) Tolak segala bentuk kriminalisasi gerakan. 6) Cabut semua IUP yang ada di Karst Sangkulirang Mangkalihat.

Sebelum memulai aksinya, ratusan massa aksi berkumpul di depan Museum Samarendah pukul 09:00 WITA. Pukul 10:45, massa aksi melakukan long march dari Taman Samarendah menuju titik aksi di depan kantor gubernur Kalimantan Timur dengan membawa bendera organisasi. Ketika melewati depan kantor DPD RI Kaltim, massa aksi melakukan jalan mundur sebagai wujud kemunduran berpikir dari gubernur yang menggadaikan kekayaan alam yang dimiliki Kaltim kepada pemilik modal. Setelah sampai di depan kantor gubernur, massa yang dipimpin oleh korlap secara bergantian melakukan orasi politik mewakili setiap organisasi yang tergabung di dalam aliansi AMPK.
Ketua senat fakultas hukum UNTAG Samarinda, dalam orasinya mengatakan bahwa jangan sampai kawasan karst yang merupakan sumber air akan menjadi sumber air mata jika pembangunan pabrik semen terjadi di diwasan Karst Sangkulirang Mangkalihat karena akan menghancurkan sumber air petani dan masyarakat disana.
Dilanjut oleh Rifki dari Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia yang mengatakan bahwa pabrik semen akan menyerap tenaga kerja itu merupakan logika yang salah, dan kalau mau belajar dari kasus penolakan pabrik semen yang ada di Kendeng, warga disana berjuang selama 10 tahun dan sampai saat ini pembangunan semen tetap berlanjut, jadi kita harus menyadarkan masyarat Kaltim secara luas tentang konsekuensi yang ditimbulkan dari pembangunan pabrik semen.
Perwakilan dari HMI cabang Balikpapan yang ikut bersolidaritas ke Samarinda, dalam orasinya menyampaikan penolakan terhadap pabrik semen yang akan dibangun di kawasan karst Sangkulirang Mangkalihat dan Biduk-Biduk. Kalimantan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia tetapi nyatanya banyak konflik agraria yang terjadi karena banyaknya alih fungsi lahan menjadi pertambangan batu bara dan perkebunan sawit. Ini ditambah lagi dengan rencana pembangunan pabrik semen banyak rakyat yang terampas lahannya untuk kepentingan segelintir orang.
HMI Kaltara lewat perwakilannya mengatakan bahwa janji kampanye Isran Noor dengan jargon “Kaltim Berdaulat” nyatanya yang berdaulat harii ini adalah korporasi-korporasi perusak lingkungan.
Perwakilan mahasiswa Kutim yang terdampak langsung oleh pabrik semen berorasi dengan tegas mereka menolak adanya pabrik semen karena akan merusak pariwisata disana yang baru akan dikembangkan. Mereka menuntut agar memajukan sektor pariwisata yang lebih menjaga kelestarian alam dalam pendapatnya.
Ditengah orasi orasi politik yang disampaikan, ada sebuah truk kontainer yang melintas jalan dibajak oleh beberapa mahasiswa yang terlibat massa aksi, ini sekaligus mencerminan gaya organisasi yang tidak mampu mengorganisir anggotanya sendiri, dan penyakit heroisme yang menjangkiti mahasiswa.
Setelah beberapa perwakilan organisasi menyampaikan orasi politik secara bergantian. Massa aksi meminta agar Isran Noor sebagai gubernur Kaltim datang dan menemui massa. Karena terlalu lama menunggu dan tidak dihiraukan oleh gubernur, massa yang sebelumnya sudah memanas mencoba merobohkan gerbang yang ada di kantor gubernur dan akhirnya berhasil roboh berhadap-hadapan langsung dengan aparat dan saling dorong. Sekitar pukul 13:22 salah seorang massa aksi terkena pukulan di bagian kepala hingga bocor, dan terjadi pelemparan batu dan tanaman yang dicabut oleh massa aksi. Sementara itu dari pihak jurnalis yang terkena lemparan batu tidak terima dan terjadi keributan antara mahasiswa dengan beberapa jurnalis. Ada dua orang dari massa yang diamankan oleh aparat dan menerima kekerasan fisik. Salah satu diantaranya perempuan perwakilan dari GMKI, dia diseret oleh polwan kehalaman kantor gubernur dan tidak hanya mengalami kekerasan fisik namun aparat juga merampas atribut organisasi miliknya
Kericuhan ini mengakibatkan korban berjatuhan dari mahasiswa dan aparat. Salah seorang aparat terkena lemparan batu yang mengakibakan luka di bagian kepala, namun dari mahsiswa juga ada yang terluka di bagian kepala, memar di bahu dan lengan, serta memar di bagian rusuk karena terkena pukulan dari aparat yang mengakibatkan setidaknya sembilan orang menjadi korban. Selain itu beberapa mahasiswa ada yang jatuh pingsan dan sesak nafas.
Pihak kantor gubernur dan kepolisian berdialog dengan Humas aksi dan bersepakat menunggu 30 menit dari pukul 14:00. Ternyata sampai pukul 15;00 gubernur tetap tidak mau untuk menemui massa. Korlap meminta kepada ketua masing-masing organisasi untuk melakukan konsolidasi dengan humas aksi terkait kelanjutan aksi. Konsolidasi menghasilkan kesepakatan massa harus masuk ke kantor gubernur, kemudian terjadi lagi dorong-dorongan antara massa dan aparat kepolisian. Tidak adanya kejelasan dari gubernur akhirnya disepakati untuk menghentikan aksi dan melakukan konferensi pers.
Beberapa jurnalis sempat menolak untuk meliput konfresni pers karena insiden pelemparan batu yang mengenai salah satu wartawan. Setelah humas dan korlap meminta maaf atas insiden yang terjadi akhrinya konfrensi pers diliput. Seluruh organisasi hadir dalam konfrensi pers melalui perwakilannya.
Perlu diketahui dalam penyampaian orasi perwakilan organisasi, bahwa pembangunan pabrik semen, batu bara, perkebunan kelapa sawit dan perampasan lahan rakyat yang terjadi di Indonesia merupakan konsekuensi logis dari akumulasi primitif di negeri kapitalisme terbelakang, dan semakin tinggi kapitalisme mengkonsolidasi kekuatannya maka praktik perampasan lahan dan penghancuran alam semacam itu akan sering terjadi. Penguasaan negara borjuis ditangan kapitalis birokrat hanya memperkuat agenda penguasaan sumber-sumber daya alam yang merupakan buah kebijakan pemerintah di negri kapitalisme terbelakang yang menghamba pada kepentingan imperialisme global. Dan dalam beberapa orasi masih memuat sentimen rasis seperti investor asing, cina. Seolah hanya menyalahkan investor dari negara imperialis dan membenarkan investor dalam negri yang sebenarnya sama-sama memiliki watak penindas memperkaya diri sendiri dengan merusak alam, contoh sederhananya adalah perusahaan Lapindo yang dimiliki Abu Rizal Bakrie yang menenggelamkan beberapa kecamatan. Dilain hal masih ada yang berharap pada pemerintah bahwa persoalan ini dapat diselesaikan dengan membangun sektor pariwisata, seolah itu akan mensejahteraka dan menyelamatkan rakyat dari ketimpangan hari ini. Harapan agar pemerintah mensejahterakan rakyat dengan sektor pariwisata tidak bisa dibenarkan, karena persoalan pariwisata ini tidak terlepas dengan kepentingan kapitalis birokrat dengan pemodal untuk menumpuk kapital dalam penguasaan industri pariwisata, berharap pemerintah menjaga kelestarian alam yang tidak akan mungkin terjadi dibawah tatanan sistem kapitalisme yang selalu membutuhkan lahan baru untuk dieksploitasi demi menumpuk kapital.
Persoalan ini senada dengan penyampaian Aswin dari LSK dalam orasi terakhir sebelum evaluasi aksi. Aswin mengatakan bahwa hari ini pemerintah tidak sama sekali berpihak kepada rakyat. Semua janji lapangan pekerjaan, pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan untuk rakyat hanyalah dalih bagi penguasa dan pemodal untuk mengeruk dan terus menumpuk kapital karena nyata dibalik kekayaan kaltim masih banyak yang hidup miskin sedangkan kekayaan tersentral di beberapa orang saja. Persekongkolan antara elit politik dan pemodal membuat rakyat semakin sengsara, dan persoalan ekspansi dan eksploitasi ini tidak terlepas dari sistem ekonomi politik yang ada hari ini yakni sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme dengan watak eksploitasi, ekspansi, dan akumulasinya kan terus memiskinkan rakyat dan menghancurkan ruang hidup, ini konsekuensi logisnya. Maka dari itu untuk menunjukkan kerpada rakyat  bahwa pemerintah tidak berkepentingan dalam mensejahterakan rakyat maka tugas kita hari ini adalah mendorong gerakan rakyat yang lebih maju dengan tidak memisahkan antara petani, buruh, mahasiswa dan sektor rakyat lainnya, mendorong kesadaran rakyat dengan kerja-kerja politik, dengan praktek-praktek yang revolusioner dan tentunya dengan kepemimpinan partai revolusioner.
Setelah itu, dilakukan evaluasi aksi. Dalam evaluasi, ada organisasi yang menyayangkan atas kericuhan yang terjadi dan tidak terpimpinnya massa dalam aksi sehingga substansi dari apa yang diperjuangkan tidak tersampaikan kepada mayarakat. Disepakati oleh aliansi bahwa setelah 7×24 jam, jika tidak ada sikap resmi dari gubernur maka akan melakukan konsolidasi lanjutan untuk aksi selanjutnya yang lebih besar. Semua sepakat bahwa selama 7×24 jam ini akan diisi dengan kampanye kepada masyarakat tentang dampak jika pabrik semen didirikan,  dan nahaya-bahaya yang mengancam Kalimantan Timur. Pukul 17:00 masa membubarkan diri dan berjalan beriringan kembali menuju taman Samarendah.
Memperjuangkan lingkungan untuk keselamatan bumi dan manusia tidak bisa dilakukan satu dus hari saja, perjuangan ini akan menjadi perjuangan yang panjang. Maka dari itu, untuk kami mengajak seluruh gerakan rakyat, petani, buruh, nelayan, kaum miskin kota, mahasiswa untuk bersolidaritas dan bergabung menguatkan barisan menolak industri perusak lingkungan dan berbagai bentuk penindasan. (pa)

Jumat, 29 Maret 2019

Yang Penting, Tapi Tak Disambut Gempita: Deklarasi PBB tentang Hak-Hak Petani


By Dianto Bachriadi - 29 March 2019


©eurovia.org

Sidang Umum PBB pada 17 Desember 2018 akhirnya mengesahkan Deklarasi Hak-hak Petani dan Kelompok Masyarakat Lainnya yang Bekerja di Pedesaan (UN Declaration on the Rights of Peasants and Other People Working in Rural Areas, disingkat UN-DROP). Terbitnya UNDROP menandai perjuangan panjang petani dan berbagai kelompok di berbagai belahan dunia—yang penghidupannya bergantung pada sumberdaya alam pedesaan—telah tiba di satu terminal penting.

Melalui UN-DROP sejumlah hak mereka, sebagaimana ditegaskan dalam berbagai instrumen HAM internasional, memperoleh peneguhan dan penegasan kembali untuk dihormati, dilindungi, dan dipenuhi. Selama ini, hak-hak tersebut lebih sering tidak dihormati, mudah dilanggar, dan tidak dipenuhi oleh negara akibat berbagai kepentingan ekonomi besar dan akumulasi modal yang bekerja di pedesaan. Korporasi mendominasi penguasaan tanah dan sumber daya alam lainnya serta mengontrol produksi serta perdagangan hasil-hasil pertanian di pedesaan. Negara memfasilitasi korporasi untuk menguasai sumber-sumber penghidupan di pedesaan, mengeksploitasi bahkan menyingkirkan kaum tani dan kelompok masyarakat kecil lainnya.

Pengesahan UN-DROP tersebut patut membuat bangsa Indonesia bangga. Sebab, gagasan awal tentang “hak-hak petani” dirumuskan dan disusun oleh sejumlah aktivis dan kelompok-kelompok tani di Indonesia sejak akhir tahun 1990-an. Gagasan ini berawal dari kerja-kerja advokasi demi perbaikan hidup kaum tani di Indonesia yang lahannya semakin menyempit, semakin sulit mengakses sarana produksi pertanian, dan semakin berkurangnya kualitas lingkungan serta konflik-konflik yang mereka hadapi.

Menjelang masuk tahun 2000 disusunlah formula awal gagasan “hak-hak petani” di Yogyakarta, yang kemudian dibahas dan disemai ke berbagai daerah di Indonesia. Gagasan “hak-hak petani” itu dibahas secara serius dan menjadi salah satu deklarasi yang lahir pada Konferensi Nasional Pembaruan Agraria dan Hak-hak Petani tahun 2001 di Cibubur. Sejak itu, dokumen deklarasi tersebut diperjuangkan dan menjadi bahan kampanye internasional kelompok petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia (SPI), anggota serikat petani internasional La via Campesina (LVC).

Setelah proses sosialisasi dan negosiasi panjang, baru pada 2008 LVC mengadopsi bulat-bulat dokumen Deklarasi Hak-hak Petani yang digagas oleh kelompok petani Indonesia dan para pendukungnya. LVC dan sejumlah lembaga masyarakat sipil transnasional kemudian segera mengagendakan advokasi internasional yang lebih kuat untuk mendorong naskah tersebut masuk ke dalam arena pembahasan resmi di PBB.

Gagasan hak-hak kaum tani didesakkan bersamaan dengan berbagai pembahasan tentang perlindungan dan pemenuhan hak atas pangan (right to food) di Dewan HAM PBB, yang kemudian meminta Komite Penasihat Dewan HAM PBB mempelajarinya. Pada 2012, Komite Penasihat Dewan HAM PBB melaporkan hasil studinya dan menyatakan bahwa Dewan HAM PBB perlu melahirkan satu deklarasi tersendiri yang terkait dengan hak-hak petani dan kelompok lainnya yang bekerja di pedesaan.

Perjalanan panjang kampanye, advokasi, dan lobi internasional para pejuang reforma agraria, pembela hak-hak kaum tani, buruh tani, nelayan, dan peternak kecil yang memakan waktu sekitar dua dekade itu, akhirnya membuahkan hasil. Sidang Dewan HAM PBB pada September 2018 memuat agenda pengesahan UN-DROP. Dari 47 negara anggota Dewan HAM PBB, 33 negara mendukung, 11 negara menyatakan abstain, dan 3 negara lainnya—Australia, Hungaria, dan Britania Raya—menolak kehadiran DROP. Deklarasi itu pun kemudian bergulir ke Sidang Umum PBB, Desember 2018, yang kemudian mengesahkannya sebagai bagian dari instrumen hukum HAM internasional melalui Resolusi SU-PBB No. A/RES/73/165.

Deklarasi PBB, meskipun bukan instrumen hukum yang mengikat (legally binding), merupakan sebentuk pernyataan politik antarbangsa atas hal penting demi keberlangsungan kehidupan umat manusia yang beradab. Deklarasi PBB menunjukkan adanya kemauan politik bersama dari komunitas internasional untuk memajukan peradaban dengan saling menghormati hak asasi dan mendudukan kembali posisi negara untuk melindungi dan memenuhinya. Karena itu, Deklarasi PBB tetap patut dijadikan rujukan hukum dalam pembentukan kebijakan negara-negara anggotanya, terlebih bagi negara-negara yang bersetuju dengan isi deklarasi tersebut.

UN-DROP menegaskan kembali perlunya perlindungan yang lebih baik bagi petani, termasuk petani tak bertanah (landless, tunakisma) dan buruh tani, nelayan, serta peternak kecil, tanpa melihat perbedaan latar belakang mereka, agar memperoleh penghidupan yang lebih baik. UN-DROP menggarisbawahi perlunya reforma agraria dijalankan sungguh-sungguh dalam rangka pemenuhan hak atas pangan dan mendorong terciptanya kedaulatan pangan serta peningkatan kesempatan wong cilik di pedesaan untuk berusaha secara mandiri.

UN-DROP juga menegaskan perlunya perlindungan terhadap hak-hak petani dalam memelihara, mengembangkan, dan memuliakan bibit-bibit asli, termasuk untuk mempertukarkan dan memperjualbelikannya. Tujuannya bukan saja penghormatan kepada pengetahuan asli dan hak-hak kultural mereka, tetapi juga dalam rangka pemenuhan hak atas lingkungan dan memajukan keanekaragaman hayati.

Sebagian besar isi UN-DROP memang hanya menegaskan kembali sejumlah hak yang telah tercantum dalam berbagai instrumen HAM internasional dan kesepakatan internasional lainnya. Meskipun demikian ada beberapa jenis hak baru dalam ranah HAM yang muncul, seperti: hak atas tanah dan teritori, hak atas bibit dan perlindungan pengetahuan asli yang berkaitan dengan perbenihan, hak atas keanekaragaman hayati dan melindungi lingkungan, hak atas perangkat produksi pertanian, hak atas kedaulatan pangan, hak kaum tani dan kelompok lainnya di pedesaan untuk memperoleh pendapatan yang layak, serta hak-hak mereka untuk mengembangkan sistem perdagangan yang berbasis pada komunitas.

Pada saat pengesahan deklarasi di Sidang Umum PBB, ada 121 negara yang menyatakan setuju. Sedangkan 54 negara abstain dan 8 negara menyatakan menolak. Sebagian besar mereka yang menolak adalah negara-negara yang sudah mengambil posisi sama sejak awal draf deklarasi ini dibahas dan disahkan di Dewan HAM PBB. Alasan-alasannya berkisar pada argumen bahwa sejumlah hak yang dinyatakan dalam DROP telah termaktub dengan jelas di sejumlah instrumen HAM internasional. Selain itu, ada keengganan untuk semakin memperjelas keberadaan “hak-hak kolektif”, selain hak-hak yang sifatnya individual dalam ranah hukum HAM.

Analisa yang lebih dalam dari kacamata ekonomi-politik diperlukan untuk melihat posisi sejumlah negara yang selama ini sering dianggap sebagai kampiun yang menghormati HAM. Negara-negara seperti Amerika Serikat (AS), Australia, Selandia Baru, dan Britania Raya, misalnya, ternyata konsisten menolak DROP sejak awal. Patut diduga, dibalik penolakan mereka yang menggunakan berbagai terminologi dalam diskursus HAM sebagai dalih, ada kepentingan terkait persoalan kontrol dalam produksi dan dominasi tata niaga barang-barang hasil pertanian di dunia selama ini.

DROP memang menekankan perlunya perlindungan atas kegiatan produksi pertanian rakyat dan pertanian subsistensi, yang menjadi sumber penghidupan sebagian besar penduduk pedesaan, agar tidak mudah dilibas oleh mesin ekonomi skala besar. DROP secara implisit juga menekankan hak-hak kaum tani dan kelompok masyarakat lainnya di pedesaan untuk menahan derasnya gempuran kapital skala besar dan eksploitasi di pedesaan, serta menekankan hak-hak mereka untuk mengembangkan alternatif atas sistem yang eksploitatif dan merugikan mereka selama ini.

Instrumen HAM baru dalam DROP ini diperlukan untuk meningkatkan koherensi serta perwujudan sejumlah hak asasi—sebagaimana dinyatakan dalam berbagai instrumen HAM internasional yang lahir lebih dahulu—secara khusus di tengah-tengah kehidupan kaum tani dan kelompok lainnya di pedesaan yang selama ini terus dipinggirkan. Kenyataan yang sulit untuk dibantah ialah justru setelah setengah abad masyarakat dunia memiliki Kovenan Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, serta Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik, mayoritas penduduk dunia yang hidup dalam kemiskinan parah (extreme poverty) dan yang menderita kelaparan ada di pedesaan. Hak-hak buruh tani pun selama ini tidak terlindungi, karena tidak terjangkau oleh konvensi-konvensi perburuhan yang umumnya hanya efektif dapat diterapkan pada pekerja-pekerja di sektor formal.

Statistik kemiskinan, baik nasional maupun global, memberikan gambaran bahwa daerah-daerah pedesaan tetap merupakan kantong kemiskinan yang besar. Data global menunjukkan, hingga 10 tahun yang lalu sekitar 75% penduduk miskin ada di pedesaan. Jika dilihat lebih komprehensif dengan memasukan aspek kesehatan, pendidikan, dan standar kehidupan (standard of living) selain pendapatan sebagai indikator pengukur utama, maka hingga 4 tahun  lalu, dari sekitar 1,4 milyar jiwa penduduk miskin di dunia, 85% di antaranya tinggal di pedesaan (Alkire et al. 2014).

Di Indonesia, terhitung 61% penduduk yang masuk dalam kategori miskin ada di pedesaan (BPS 2018). Sementara jumlah penduduk yang berada dalam kondisi “sangat miskin” (extreme poverty) pada 2017, menurut cara penghitungan Bank Dunia yang menggunakan garis kemiskinan USD 1.90 per hari, memang dinyatakan turun cukup signifikan dalam satu setengah dekade belakangan ini.  Menurut Bank Dunia jumlahnya sekarang tinggal sekitar 15,1 juta jiwa (5,7% dari jumlah penduduk).

Dengan metodologi baru menghitung angka kemiskinan yang disesuaikan dengan status perekonomian Indonesia sebagai negara berpenghasilan menengah-bawah (Lower Middle-Income Country), jumlah penduduk miskin atau yang pengeluaran per harinya kurang dari USD 3.20 ada sekitar 72,1 juta atau sekitar 27,3% dari total jumlah penduduk. Tetapi mesti dicatat bahwa Bank Dunia menggunakan nilai tukar berdasarkan Paritas Daya Beli (Purchasing Power Parity) global yang nilainya sekitar Rp 5.366 per US dolar. Jika digunakan nilai tukar yang berlaku di pasar, atau saat ini sekitar Rp 14 ribuan per satu dolar, maka jumlah penduduk “sangat miskin” paling tidak ada sekitar 16% dari total penduduk. Dengan menggunakan nilai tukar yang sama, maka lebih dari setengah penduduk Indonesia, yang saat ini berjumlah sekitar 260 juta, dapat dikategorikan sebagai penduduk miskin.

Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) 2018 menyatakan ada sekitar 27,7 juta rumah tangga petani, atau ada sekitar 38% penduduk, yang hidupnya bergantung pada aktivitas ekonomi pertanian. Aktivitas itu meliputi aktivitas pertanian, perkebunan, mengusahakan dan mengelola hasil hutan, menangkap ikan, dan peternakan. Jika tidak menguasai tanah untuk bertani atau beternak, maka kesempatan kerja lainnya yang tersedia di pedesaan adalah pekerjaan serabutan (upahan informal) di bidang pertanian atau konstruksi.

Persentase tenaga kerja informal (buruh serabutan) di sektor pertanian jumlahnya mencapai 88,5% (BPS 2018). Rata-rata pendapatan bersih buruh di sektor pertanian hanya berkisar 54% dari rata-rata upah minimum yang ditetapkan pemerintah (BPS 2018). Selain upah yang sangat rendah, buruh-buruh di pedesaan (seperti buruh tani, buruh harian/lepas di perkebunan, atau kuli-kuli lainnya) juga tidak memiliki kepastian dan jaminan baik dalam hal upah, kesempatan kerja, maupun keselamatan kerja.

Ketimpangan penguasaan tanah yang berkembang sejak masa kolonial dan  semakin parah saat ini menjadi alas pokok dari bertahannya kemiskinan di pedesaan. Ketimpangan yang makin besar dari waktu ke waktu ditambah dengan gencarnya alih fungsi lahan pertanian untuk aktivitas non-pertanian, telah mempersempit kesempatan kerja, dan menyisakan jenis kerja-kerja serabutan (upahan lepas) di pedesaan. Perhitungan rasio gini penguasaan tanah oleh rumah tangga tani di Indonesia sejak 1963 hingga sekarang menunjukkan permasalahan yang menjadi penyebab pokok kemiskinan tersebut tidak pernah diselesaikan secara sungguh-sungguh.

Sejak 1963 hingga sekarang, kisaran rasio gini ketimpangan penguasaan tanah berada pada angka 0,52–0,59 (Bachriadi 2017). Artinya, distribusi penguasaan tanah di Indonesia selalu berada dalam keadaan sangat timpang. Kelompok rumah tangga petani tak bertanah (landless peasants) tidak dimasukkan dalam penghitungan ini. Jika mereka dimasukkan sebagai faktor pembagi, maka angka rasio gini penguasaan tanah di Indonesia sangat mengerikan: berkisar antara 0,64–0,72.

Selain struktur penguasaan tanah yang timpang, kaum tani di Indonesia sejak masa Orde Baru hingga sekarang rata-rata juga hanya menguasai lahan skala kecil: tidak pernah lebih dari 1 hektar. Sensus Pertanian (SP) dan Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) terakhir yang diselenggarakan BPS pada 2013 dan 2018, menunjukkan bahwa mayoritas petani Indonesia adalah petani gurem atau petani yang hanya menguasai tanah kurang dari 0,5 hektar. Pada waktu sensus diadakan tahun 2013, jumlahnya sekitar 55%, lima tahun kemudian (2018) jumlahnya bertambah menjadi 57%. Persentase petani gurem kita terus meningkat sejak tahun 1960-an. Tahun 1963 dan 1993, misalnya, jumlahnya 44% dan 49% dari total rumah tangga tani (Bachriadi 2017).

Proses de-peasantization atau berkurangnya jumlah petani dan kegiatan pertanian rakyat di Indonesia sebagai konsekuensi logis dari industrialisasi, ternyata tidak membawa kelompok-kelompok masyarakat yang selama ini bekerja di pedesaan—sebagian besar adalah kaum tani—ke taraf penghidupan yang lebih baik. Sebaliknya, wong cilik di pedesaan semakin dipinggirkan dengan maraknya penggusuran dan perampasan tanah, penutupan akses kawasan perairan bagi nelayan kecil, serta beragam konflik agraria. Begitu pun dengan kriminalisasi terhadap mereka dan para pembelanya yang tidak pernah berkurang—meskipun rezim otoritarian sering dikatakan sudah berakhir, dan sekarang adalah era kembalinya demokrasi serta penghormatan pada hak asasi.

Kehadiran UN-DROP tentu tidak akan menghentikan semua perlakuan negatif kepada kaum tani dan kelompok marjinal lainnya yang tinggal di pedesaan. Teks deklarasi PBB sekali pun hanyalah sebuah teks. Apalagi sifatnya bukan instrumen hukum yang mengikat (legally binding). Deklarasi UN-DROP hanya akan berarti jika rezim yang memerintah—apalagi pada pemerintah yang negaranya turut menandatangani—melakukan langkah-langkah nyata seturut isi teks deklarasi tersebut.

Satu hal yang menarik terdapat dalam proses perjuangan pengesahan DROP ini. Sejak awal, ketika petani dan kelompok masyarakat sipil dari Indonesia dan sekutunya dari berbagai belahan lain di dunia memperjuangkan DROP, pemerintah Indonesia dan delegasi tetapnya di PBB tidak terlalu menganggapi usulan masyarakatnya ini. Justru beberapa negara dari Amerika Tengah dan Selatan serta Afrika yang ada di Dewan HAM PBB, sejak awal menjadi menyokong utama gagasan hak-hak petani. Padahal sejak tahun 2007 hingga 2017 Indonesia beberapa kali menjadi anggota Dewan HAM PBB.

Tahun 2015, misalnya, ketika Dewan HAM PBB memutuskan pembentukan Intergovernmental Working Group, grup yang dibentuk untuk membahas lebih dalam rancangan UN-DROP. Empat negara yang menjadi “kelompok penyokong utama” atau “core group of sponsors” adalah Bolivia, Kuba, Ekuador, dan Afrika Selatan. Sementara Indonesia, bersama dengan Brasil dan Swiss, “hanya” menjadi kelompok yang disebut sebagai “friends of the core group”. Ini tentu menarik dibahas di lain tempat: untuk melihat bagaimana relasi kuasa yang berkembang antara kelompok-kelompok gerakan sosial dan rezim penguasa di Indonesia dan di negara-negara yang disebut di atas, terkait dengan prioritas isu hak asasi yang diperjuangkan di PBB.

Semoga pemerintah Indonesia pasca Pemilu 2019 dan seterusnya—siapa pun kepala negara yang akan terpilih—konsisten menyikapi posisi Indonesia sebagai salah satu penanda tangan UN-DROP. Yakni memberikan perlindungan penuh kepada kaum tani dan kelompok masyarakat lainnya yang bekerja di pedesaan. Terutama adalah menjalankan reforma agraria yang sesungguhnya—sebagai dasar penting untuk menegakkan kedaulatan pangan; bukan reforma agraria “jadi-jadian” seperti yang dipertontonkan selama satu dasawarsa belakangan ini.

Kyoto, Awal Februari 2019


Kamis, 28 Maret 2019

Diteror Saat Meliput Tambang Emas Liar di Pulau Buru


OlehFRANSISKUS PATI HERIN
28 Maret 2019 06:03 WIB

KOMPAS/ FRANS PATI HERIN | Eksploitasi emas secara ilegal di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku, yang dimulai November 2011, kian tidak terkendali, seperti terpantau pada Kamis (5/2/2015). Selain merusak lingkungan karena penggunaan merkuri berlebihan untuk proses penambangan, eksploitasi secara ilegal itu juga menyebabkan ratusan petambang tewas karena tertimpa tanah di lubang-lubang penambangan.

Cerita tentang tambang emas liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku, sudah saya ketahui sebelum mulai bertugas di Maluku pada 4 Januari 2014. Gunung Botak dikesankan seram. Gara-gara emas, tempat yang dulunya semerbak wangi minyak kayu putih itu berubah menjadi medan pembunuhan, perampokan, dan longsor yang menewaskan petambang.

Belum lagi isu prostitusi, transaksi narkoba, serta penggunaan merkuri dan sianida untuk pengolahan emas. Bikin saya penasaran ingin ke sana.
Saya lalu mengumpulkan sejumlah informasi sekunder tentang Gunung Botak sambil mencari koneksi untuk masuk ke sana. Beberapa teman jurnalis yang saya ajak mengatakan tidak berani. Petambang dan orang-orang yang mengambil untung dari aktivitas tambang liar yang mulai beroperasi sejak Oktober 2011 itu menganggap wartawan sebagai ancaman. Mereka tidak segan bertindak nekat. Wartawan yang masuk ke sana bisa celaka!

Penelusuran informasi itu akhirnya mempertemukan saya dengan Yusthinus T Malle, pakar logam berat yang juga Ketua Jurusan Kimia Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pattimura, pada 17 Oktober 2014. Di ruangan kerjanya, Yusthinus menerima saya setelah kami berkomunikasi via telepon. Dalam pertemuan itu, ia menuturkan bahwa dirinya sudah meneliti pencemaran merkuri di Gunung Botak.

Air bekas pengolahan tambang emas tradisional di Gunung Botak yang menggunakan merkuri.

Penelitian itu dilakukan pertengahan 2014 bersama mahasiswa. Menurut Yusthinus, penelitian itu tidak mendapat dukungan dana dari pihak mana pun, termasuk kampus. Dana diperoleh dari hasil menggelar bazar, patungan para mahasiswa, serta uang pribadi Yusthinus. Pendek kata, penelitian ini murni, bukan pesanan.

Hasil penelitian, sejumlah perairan berikut sedimennya, baik di sungai maupun di teluk Pulau Buru, telah tercemar merkuri. Menurut dia, saya wartawan pertama yang diberi data itu. Informasi ini saya olah menjadi artikel dan terbit keesokan harinya, Sabtu (18/10/2014), dengan judul ”Teluk Kayeli di Buru Tercemar Merkuri”. Berita itu sempat heboh.

ARSIP KOMPAS
Berita ”Teluk Kayeli di Buru Tercemar Merkuri”

Dalam berita itu saya sempat menyinggung tragedi Minamata di Jepang akibat penggunaan merkuri. Merkuri merupakan logam berat yang dapat menyebabkan kerusakan dalam tubuh hingga menimbulkan mutasi genetika. Bayi yang lahir dari ibu yang terpapar merkuri dalam konsentrasi tinggi dapat mengalami cacat fisik dan mental. Yusthinus mewanti-wanti potensi ancaman ini.

Namun, beberapa pertanyaan saya belum terjawab lewat penelitian itu. Apakah ada sumber pangan yang tercemar merkuri? Apakah warga atau petambang telah terpapar merkuri dengan konsentrasi tinggi?
”Tahun depan sudah ada hasil itu. Nanti kita ketemu lagi,” kata Yusthinus yang membuat saya semakin penasaran.
Saya pun berjanji akan menemuinya kembali. Pada Februari 2015 akhirnya saya mendapatkan koneksi untuk masuk ke Gunung Botak. Berangkatlah saya dari Ambon, berlayar tujuh jam ke Namlea, ibu kota Kabupaten Buru. Pelayaran dilakukan malam hari.

“Hasil penelitian, sejumlah perairan berikut sedimennya, baik di sungai maupun teluk Pulau Buru, telah tercemar merkuri.”

Setelah mendarat, saya langsung menuju Gunung Botak yang menempuh jalan darat beraspal sejauh 50 kilometer. Jangan bayangkan jalannya mulus seperti di kota. Rute yang harus saya lalui rusak berat dan beberapa kali harus melewati sungai. Kami, termasuk kendaraan yang kami naiki, harus menumpang rakit agar bisa menyeberang sungai.

Kurang dari 10 kilometer menuju kaki Gunung Botak, nuansa tambang liar mulai terasa. Sejumlah mobil bergardan ganda danmotor trail tampak hilir mudik membawa material tambang. Kaki Gunung Botak ramai seperti pasar. Tampak berjejer kios penjual kebutuhan pokok, pembeli emas, jasa pengiriman uang, dan warung makan. Semuanya dalam bangunan darurat beratap terpal. Lalu, di mana tempat penggalian material emas?

Tempat penggalian itu berada di puncak Gunung Botak yang berjarak lebih kurang 3 kilometer dari kaki gunung. Cara untuk mencapai puncak harus menggunakan motor trail atau motor biasa yang dilengkapi ban trail. Belum lagi harus melewati beberapa pos yang dijaga aparat.

Mereka meminta sejumlah uang.


KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Lokasi tambang liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku, yang beroperasi selama tujuh tahun terakhir telah bebas dari petambang liar. Pada Rabu (17/10/2018), Kepala Polda Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa memimpin penyisiran di lokasi itu.

Saat ke sana, saya didampingi seorang aparat dengan pengamanan tertutup. Kamis (5/2/2015) siang, saya tiba di puncak Gunung Botak. Belum dua menit, tiba-tiba terdengar teriakan petambang yang melihat tebing runtuh. Tebing itu berada 30 meter dari tempat saya berdiri.

Di bawah tebing, puluhan petambang yang sedang menggali material lari berhamburan. Sayang, seorang di antaranya terlambat menghindar sehingga terkubur longsoran. Setelah longsor berhenti, para petambang yang sebelumnya berlarian kembali menuju titik longsor untuk menyelamatkan kawan mereka. Selama tiga menit menggali longsoran, akhirnya mereka berhasil menyelamatkan si petambang.

Longsor semacam itu terjadi hampir setiap hari dengan korban jiwa tidak terhitung lagi. Ada yang jasadnya berhasil ditemukan. Namun, banyak juga yang hilang dan dibiarkan karena terkubur material pada kedalaman lebih dari 10 meter.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Eksploitasi emas secara ilegal di Gunung Botak kian tak terkendali seperti yang terpantau pada Kamis (5/2/2015). Sejumlah informasi menyebutkan, lebih dari 1.000 petambang tewas di tempat itu sejak aktivitas penambangan mulai dikerjakan pada November 2011.

Berdasarkan informasi intelijen yang saya peroleh dari sebuah lembaga, sejak Oktober 2011 hingga November 2015, sebanyak 1.087 petambang meninggal terbunuh dan 572 petambang tewas serta hilang akibat tertimbun longsoran.

Sekitar 1,5 jam saya berada di sana, lalu kembali dan menuliskan cerita itu. Keesokan harinya, Jumat (6/2/2015), foto saya terpilih sebagai foto utama halaman muka Kompas. Tentu saja saya merasa senang karena lewat pemberitaan itu, Gunung Botak mulai menjadi perhatian nasional.
Di balik semua itu, pertanyaan yang pernah saya utarakan kepada Yusthinus kembali hadir di benak. Sudah seberapa parah kondisi lingkungan di sana, terutama pangan dan warga, sebab berton-ton merkuri dibuang setiap hari ke sungai.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Ratusan hektar pohon sagu di kawasan Anahoni, sekitar lokasi bekas tambang emas ilegal Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku, yang menjadi titik pengolahan emas menggunakan merkuri dan sianida, tercemar dan mati seperti terlihat pada Senin (12/9/2016). Hingga Senin (19/9/2016), kawasan itu belum juga ditata pemerintah kendati anggaran perbaikan lingkungan sudah dikucurkan sejak Desember 2015.

Wawancara Presiden

Ancaman keselamatan warga akibat penggunaan merkuri kemudian diingatkan oleh Presiden Joko Widodo dalam sambutannya saat menghadiri acara penanaman padi di Pulau Buru. Seusai sambutan, wartawan diperbolehkan mewawancarai Presiden. Melihat langkah saya yang menghampiri Presiden, seorang aparat berusaha menghalangi saya. Saya masih ingat betapa paniknya wajah orang itu. Kenapa dia menghalangi saya?

Dia tahu saya wartawan Kompas. Dia juga tahu saya pernah menulis dugaan keterlibatan oknum aparat dalam melanggengkan penambangan liar di Gunung Botak. Adu cepat terjadi dalam kerumunan itu, tetapi dia gagal menghalau saya. Saya kemudian bisa berdiri paling depan, berhadapan dengan Presiden. Saya lalu menyampaikan dugaan keterlibatan aparat itu. Dengan tegas, Presiden mengatakan, 
”Saya minta Kapolda segera menutup tambang liar.”
Melihat langkah saya yang menghampiri Presiden, seorang aparat berusaha menghalangi saya.
Perlakuan yang tidak mengenakkan itu saya laporkan kepada Mas Suhartono, yang di Kompas menyandang inisial HAR. Kebetulan, Mas HAR yang sehari-hari bertugas meliput di Istana Presiden ikut dalam rombongan Presiden saat itu. Mas HAR menyarankan saya segera pulang ke Ambon malam itu.
”Cepat pulang, ya. Ini bahaya,” ujarnya sebelum kembali ke Ambon dengan helikopter bersama rombongan.
Malam itu juga saya pulang naik kapal ke Ambon. Khawatir terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, sepanjang perjalanan saya memilih tidak tidur.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Kondisi sebagian besar Gunung Botak di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, telah hancur akibat penambangan emas secara liar, seperti terlihat pada Minggu (8/11/2015). Lebih dari 1.000 orang tewas akibat kecelakaan kerja dan dibunuh sesama petambang serta banyak warga setempat terpapar merkuri yang digunakan untuk mengolah hasil tambang. Perintah Presiden Joko Widodo agar tambang itu ditutup belum dilaksanakan.

Heboh nasional

Saya mencoba menghubungi Yusthinus, Jumat (6/11/2015). Saya teringat pertemuan kami hampir satu tahun lalu. Kala itu, dia mengatakan, penelitian terkait dengan kontaminasi merkuri pada pangan dan manusia akan dibuka tahun depan. Memang belum ada kepastian kapan waktunya, tetapi apa salahnya jika saya coba bertanya.

Yusthinus menjawab telepon saya. Dalam perbincangan kami, ia mengungkapkan kandungan merkuri sudah ditemukan pada ikan, siput, udang, dan tubuh manusia. Konsentrasinya berpuluh-puluh kali lipat. Saya wartawan pertama yang mendapatkan data itu.

Namun, Yusthinus tampaknya sedang sibuk sehingga pembicaraan kami tidak bisa berlangsung lama. Saya lalu mencari warung kopi untuk membuat desain tulisan. Sambil mencoret-coret, saya membatin, ”Ini belum kuat untuk tayang di harian Kompas. Paling-paling jadi berita kecil atau malah tidak dimuat.”

Dalam perbincangan kami, ia mengungkapkan kandungan merkuri sudah ditemukan pada ikan, siput, udang, dan tubuh manusia. Konsentrasinya berpuluh-puluh kali lipat.

Namun, sekitar pukul 16.00 WIT atau batas waktu mendaftarkan calon berita ke redaksi, saya nekat mendaftarkan artikel itu. Setelah rapat redaksi, editor Desk Nusantara, Mbak Yovita Arika atau Mbak Ika, menghubungi saya. Kata dia, tulisan itu menjadi headline halaman muka. Saya kaget. Tentu standar tulisan halaman satu harus sempurna. Saya pun diminta melengkapi datanya.

Selesai ditelepon Mbak Ika, saya kembali menelepon Yusthinus. Dua panggilan awal tak diangkat. Saya telepon lagi berulang-ulang sampai akhirnya dijawab. Ia menuturkan bahwa dirinya sedang berada di rumah sakit menunggui istrinya yang melahirkan.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Gumpalan emas hasil penghancuran batuan dengan menggunakan tromol dan air raksa yang didapatkan dari berkarung-karung tanah yang digali dari Gunung Botak di Kabupaten Buru, Maluku. Proses ini membuat kerusakan yang sangat masif serta pencemaran logam berat merkuri yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan manusia. Foto diambil Rabu (11/11/2015).

Saya lalu meminta waktu bertemu di rumah sakit. Syukurnya, Yusthinus membolehkan. Kopi belum selesai diminum, saya bergegas menuju Rumah Sakit Sumber Hidup yang di Ambon lazim disebut Rumah Sakit Gereja Protestan Maluku itu.

Di depan ruang instalasi gawat darurat, saya bertemu Yusthinus. Saya menjelaskan, tulisan yang saya ajukan ternyata dijadikan prioritas untuk diberitakan Kompas sehingga saya memerlukan tambahan data. Jawaban Yusthinus sempat membuat saya terdiam.

Katanya, ia ingin hasil penelitian itu dipublikasikan dulu di jurnal internasional sebelum dipublikasikan di media massa. Lagi pula saat itu dirinya tidak membawa data yang dibutuhkan.

KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Petambang emas skala kecil di Gunung Botak, Buru, Maluku, Rabu (11/11/15), menunjukkan kemasan 1 kilogram merkuri yang dijual bebas. Merkuri itu dijual Rp 300.000 per kilogram atau jauh lebih murah daripada merkuri legal produk impor seharga Rp 2 juta per kilogram. Merkuri murah itu diduga kuat diperoleh dari pengolahan batu sinabar yang juga ditambang dari daerah tersebut. Paparan logam berat merkuri berisiko bagi lingkungan dan kesehatan manusia.

Saya kembali memohon sambil menjelaskan betapa pentingnya data itu untuk menguatkan tulisan. Lewat artikel berbasis data, efeknya akan lebih kuat. Setelah berpikir sejenak, Yusthinus mengajak saya ke sebuah warung kopi di depan rumah sakit itu. Tiba di sana, dia menelepon tiga mahasiswanya agar segera membawa data penelitian itu ke warung kopi tersebut.

Sekitar pukul 20.00 mereka tiba. Tiga laptop dibuka. Semua data dikeluarkan. Saya catat selama hampir satu jam. Setelah itu, akhirnya kami bubar. Saya pulang ke indekos untuk menyusun artikel, Yusthinus kembali ke rumah sakit menemani istrinya yang melahirkan secara sesar. Sementara para mahasiswa tadi masih melanjutkan minum kopi saat saya beranjak. Keesokan harinya, pada headline halaman depan Kompas terpampang judul ”Warga Buru Terpapar Merkuri”. Berita itu menghebohkan.

Berita ”Warga Buru Terpapar Mekuri” yang keluar sebagai berita utama di halaman depan harian Kompas.

Ditawari mobil

Pagi itu, telepon genggam saya berulang kali berdering, termasuk dari beberapa nomor yang tidak terdaftar di kontak saya. Salah satu penelepon, misalnya, meminta saya tidak menulis lagi tentang merkuri. Dia berjanji akan memberikan kepada saya dua mobil baru.
”Tinggal sodara pilih, Innova atau Avanza,” katanya. Telepon itu saya matikan.
Memang banyak petambang dan oknum aparat kaya raya dari tambang Gunung Botak. Mereka membeli mobil seperti membeli kacang goreng. Dari hasil menambang satu bulan, mereka bisa mendapatkan uang hampir Rp 1 miliar. Itu baru satu orang. Sementara petambang di sana diperkirakan lebih dari 20.000 orang.

Salah satu penelepon, misalnya, meminta saya tidak menulis lagi tentang merkuri. Dia berjanji akan memberikan kepada saya dua mobil baru. ’Tinggal sodara pilih, Innova atau Avanza,’ katanya. Telepon itu saya matikan.
Tak lama nomor baru kembali memanggil. Rupanya dari orang berbeda. Baru saja selesai menekan tombol menjawab panggilan langsung terdengar nada ancaman. Si penelepon mengancam akan menyusahkan saya. Dia menyebutkan merek sepeda motor saya, nomor pelat nomor polisi, alamat indekos, sampai tempat saya biasa nongkrong dan beli makan malam. Tidak meleset. Saya lalu menjawab begini, ”Kalau se tuangala, baru beta taku se (Kalau kamu Tuhan, maka saya takut).”
Selama di Maluku, saya belajar bahwa kita tak boleh kalah dari orang-orang seperti ini. Kita harus balik mengancam. Kendati saya bukan asli Maluku, selama bertugas di Maluku saya mengenal sejumlah tokoh dari etnis yang cukup disegani di Maluku. 
”Betabapa angkat orang Kei, se mau apa? (Bapa angkat saya orang Kei, kamu mau apa?),” saya balik mengancam. Dia sendiri akhirnya mematikan telepon itu.
NOEL FILKOSTIQ
Fransiskus Pati Herin, wartawan harian Kompas yang bertugas di Maluku dan Maluku Utara, saat meliput di lokasi tambang liar Gunung Botak, Pulau Buru, Maluku, Selasa (26/3/2019).

Kepala Desk Nusantara Mas Banu Astono menyapa saya pagi itu. Dia bilang begini, ”Frans, menarik kalau kamu bisa menggambarkan kondisi terakhir.”

Saya mengartikan bahwa ini adalah perintah secara tidak langsung agar saya kembali ke Gunung Botak. Saya mencari koneksi dan saya putuskan untuk berangkat malam itu.

Jadi target operasi

Berita di harian Kompas sudah tersebar pula ke telinga mereka yang berada di Gunung Botak. Pengamanan diperketat saat saya tiba di puncak Gunung Botak, Minggu (8/11/2015). Menyamar sebagai kaki tangan bos tambang, saya dikawal oleh aparat.

Begini kata dia, ’Mas Frans, berita Mas Frans membuat banyak aparat di Jakarta marah. Mas sekarang jadi TO (target operasi). Mas harus segera keluar dari Pulau Buru.’

Keesokan harinya foto yang saya kirim menjadi foto utama harian Kompas didampingi tulisan berjudul ”Ada Aparat Berjaga di Gunung Botak”. Saya ingin menunjukkan bahwa praktik ilegal itu dalam kawalan aparat.

Berita pagi itu semakin heboh. Tiba-tiba pengamat militer yang juga motivator, Aqua Dwipayana, menelepon saya. Begini kata dia, 
”Mas Frans, berita Mas Frans membuat banyak aparat di Jakarta marah. Mas sekarang jadi TO (target operasi). Mas harus segera keluar dari Pulau Buru.”
ARSIP KOMPAS
Berita ”Ada Aparat Berjaga di Gunung Botak” yang keluar di halaman depan harian Kompas.

Selanjutnya, telepon beruntun masuk, termasuk dari pimpinan kantor yang meminta saya keluar dari Namlea. Pesan singkat, baik berisi dukungan maupun ancaman, berdatangan dari banyak nomor. Anehnya, selama beberapa jam, jaringan internet di Namlea terputus. Saya bingung kenapa seperti itu. Entahlah.

Saya pulang malam itu dikawal seorang anggota TNI atas perintah Panglima Kodam XVI/Pattimura Mayor Jenderal Doni Monardo. Tiba pagi hari di Ambon, saya diminta segera ke Makassar untuk mengamankan diri. Anggota TNI tadi mengantar saya sampai ke Bandara Pattimura, Ambon. Selama di ”pengungsian”, saya terus menulis tentang Gunung Botak. Selama 10 hari, tulisan saya menghiasi halaman muka harian Kompas. Tambang ilegal itu pun akhirnya ditutup.

Naik podium juara

Karya tulisan ataupun foto yang saya hasilkan dari liputan di Gunung Botak cukup banyak. Berdasarkan penelusuran pada Pusat Informasi Kompas, selama periode Januari 2014 hingga Maret 2019 diperoleh 118 karya saya yang terkait dengan Gunung Botak, baik artikel maupun foto yang terbit di harian Kompas. Itu belum termasuk tulisan pada kanal Kompas.id.

KOMPAS/FRANSISKUS PATI HERIN
Kondisi bekas tambang emas liar Gunung Botak di Pulau Buru, Maluku, seperti terpantau pada Selasa (26/3/2019). Tambang liar itu terakhir kali ditutup pada Oktober 2018. Kepala Kepolisian Daerah Maluku Inspektur Jenderal Royke Lumowa bersama sejumlah pejabat lintas kementerian meninjau Gunung Botak sekaligus membicarakan langkah lanjutan seusai penutupan.

Suatu hari, saya menerima informasi bahwa Indonesian Mining Association (IMA) menggelar lomba karya jurnalistik artikel dan foto.
Saya ikut mengirimkan beberapa karya. Pada awal Januari 2019, saat dalam perjalanan dari Ambon ke Seram dengan kapal laut, saya menerima kabar bahwa saya diundang menghadiri Anugerah Jurnalistik IMA di Bandung, Jawa Barat, karena karya foto saya masuk nominasi.

Hasilnya, foto saya diumumkan sebagai pemenang pertama lomba itu, Sabtu (19/1/2019).

Saya tidak menyangka mendapat penghargaan ini sebab tujuan saya meliput bukan demi meraih penghargaan. Kerja saya, meski dengan segenap kemampuan, masih jauh dari sempurna. Minim pengalaman, minim jam terbang.

Saya hanyalah wartawan kampung yang ingin mengangkat isu-isu dari kampung. Isu dari pelosok Pulau Buru yang ditanggapi serius oleh pusat kekuasaan yang terpaut 2.000 kilometer dari Jakarta itu sudah cukup membuat saya bahagia. Setidaknya karya jurnalistik saya bermanfaat.
Hingga detik ini, saya selalu bangga menjadi wartawan kampung.

KOMPAS/ HERU SRI KUMORO
Fransiskus Pati Herin, wartawan harian Kompas yang bertugas di Maluku dan Maluku Utara, meraih peringkat pertama kategori foto dalam acara Anugerah Jurnalistik Indonesian Mining Association di Bandung, Jawa Barat, Sabtu (19/1/2019).

Source: Kompas.Id 

Selasa, 12 Maret 2019

Warga Kendeng Kirim 'Supersemar' untuk Ganjar

CNN Indonesia | Selasa, 12/03/2019 03:04 WIB

Ilustrasi (CNN Indonesia/Safir Makki)

Jakarta, CNN Indonesia -- Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JMPPK) memberikan surat "Supersemar" kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Surat itu meminta Ganjar untuk segera menjalankan rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) sesuai dengan instruksi Presiden Joko Widodo pada Agustus 2016 lalu.
"Kami sengaja memberikan Supersemar alias Surat Super Seko Semar kepada Pak Ganjar selaku Gubernur Jateng untuk segera menjalankan rekomendasi KLHS. Kendeng harus lestari, tidak diizinkan untuk penambangan," ujar salah seorang aktivis JMPPK, Jumadi di Kantor Gubernur Jateng, Semarang, Jawa Tengah, Senin (11/3).
Saat ini, kata Jumadi, banyak perusahaan yang telah mendapatkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemerintah Provinsi Jawa Tengah di kawasan Kendeng. Dengan adanya rekomendasi KLHS, lanjutnya, mau tak mau izin tersebut harus dicabut. 
"Ya, mau enggak mau, yang sudah keluar izinnya harus dicabut. Yang ada di kawasan Kendeng, izin tambang harus digugurkan", tambah Jumadi.
Jumadi menyebutkan beberapa poin rekomendasi KLHS yang dimaksud. Salah satunya menyebut soal tidak diizinkannya kegiatan pertambangan hadir di wilayah Pegunungan Kendeng. Kegiatan pertambangan dianggap tidak mampu memberikan nilai ekonomis berkelanjutan.

Selain itu, Cekungan Air Tanah (CAT) Watuputih yang ada di Kabupaten Rembang telah ditetapkan sebagai bentang alam karst sebagai kawasan lindung geologi. 

"Keberadaan pabrik semen milik PT Semen Indonesia harus segera dibongkar meski kegiatan produksi yang dilaksanakan menggunakan material bahan baku dari Tuban," kata Jumadi. (dmr/asr)
Sumber: CNN Indonesia 

Rilis Pers | “Surat Super Soko Semar (SUPERSEMAR) “ KLHS PERINTAH PRESIDEN, HARUS DIJALANKAN !!!


Pers Rilis
Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng (JM-PPK)

“Surat Super Soko Semar (SUPERSEMAR) “
KLHS PERINTAH PRESIDEN, HARUS DIJALANKAN !!!



Semarang, 11 Maret 2019

Pangkur :

Ngelikke kanthi tan samar
Dhawuhe Presiden kita Jokowi
Mring jengandinka Gubernur
Kang kapurih nindakna
KLHS ingkang wus rampung kasusun
Mrih lestarining lingkungan
Sumber pangan tumrap sami

Kami masyarakat yang tinggal sekitar kawasan bentang alam karst Pegunungan Kendeng,
dimana dalam batas administratif Provinsi Jawa Tengah meliputi Kabupaten Pati, Kabupaten Rembang, Kabupaten Grobogan, dan Kabupaten Blora.

Bahwa berdasarkan fungsi dan kawasannya, Pegunungan Kendeng adalah satu kesatuan tidak terpisahkan oleh batas-batas administratif.
Apabila terdapat suatu kondisi kegentingan berupa ancaman yang nyata
terhadap fungsi dan kawasan lingkungan Pegunungan Kendeng di satu atau beberapa tempat, hal tersebut akan turut pula berdampak terhadap sistem fungsi dan kawasan Pegunungan Kendeng dalam satu kesatuan.

SUPERSEMAR tanggal 11 Maret 2019 ini berarti “Surat Super Soko Semar“ kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jawa Tengah.

SUPERSEMAR ini berbeda dengan SUPERSEMAR era tahun 1966 yang kejelasannya sampai saat ini masih misterius. SUPERSEMAR yang kami maksud adalah surat pengingat kepada Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk segera mengimplementasikan hasil rekomendasi Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Kendeng yang jelas-jelas telah diinstruksikan oleh Presiden Joko Widodo pada tanggal 2 Agustus 2016 yang lalu. Presiden Republik Indonesia telah memerintahkan agar dilaksanakannya Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS), sebagaimana diatur dalam :
a. PANCASILA, sila ke – 5,
b. Pasal 33 ayat 3 dan 4 Undang Undang Dasar 1945,
c. Pasal 1 UU nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juncto Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

Bahwa secara bertahap, KLHS Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan telah diselesaikan, yaitu tahap I pada Bulan April 2017, dan tahap II pada Desember 2017 oleh tim yang dibentuk oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, dan tim penguji dan penjaminan kualitas, pendokumentasian, dan validasi yang dibentuk oleh Kantor Staf Kepresidenan KSP).
Bahwa pada hasilnya, KLHS Pegunungan Kendeng yang Berkelanjutan tersebut memberikan rekomendasi penyempurnaan Kebijakan Rencana Program (KRP) (terlampir).
Butir-butir kesepakatan saat JM-PPK bertemu dengan Presiden Joko Widodo yaitu :

1. Perlu segera dibuat analisa Daya Dukung dan Daya Tampung Pegunungan Kendeng melalui KLHS.

2. Pelaksanaan KLHS akan dikoordinasi oleh KSP (Kepala Staff Presiden) mengingat masalah Kendeng bersifat lintas kementerian dan lintas daerah.

3. Dalam pelaksanaan KLHS, Kementerian LHK sebagai Ketua Panitia Pengarah

4. Selama proses KLHS yang akan dilakukan selama 1 tahun, semua izin dihentikan.

5. Pemerintah menjamin proses dialog/rembug multipihak yang sehat selama proses KLHS berlangsung.

KLHS yang diperintahkan Presiden berdasarkan dasar Negara Republik Indonesia harus DIPATUHI dan DILAKSANAKAN. karena ini menyangkut nasib masa depan anak cucu bangsa ini. Dulur-dulur JM-PPK sampai saat ini masih berkomitmen memperjuangkan kelestarian SUMBER DAYA ALAM yang terus menerus dirusak. Persoalan Konflik SDA di negeri ini jangan dibiarkan begitu saja.

Kehadiran sosok Semar sebagai Sang PAMOMONG para raja JAWA yang dihormati. Karena selalu memberikan nasihat-nasihat bijaksana. Agar mau mendengarkan suara dari RAKYAT KECIL yang dipimpinnya supaya rakyat makmur dan sejahtera. Maka sangat penting sosok SEMAR hadir untuk mengingatkan kepada GUBERNUR selaku PEMIMPIN Jawa Tengah benar-benar melaksanakan perintah yang jelas-jelas untuk melindungi lingkungan dan tidak mengeluarkan izin-izin pertambangan lagi dengan mengacu sesuai hasil KLHS.

Adapun hasil KLHS Tahap Pertama dan Tahap Kedua yang telah diselesaikan sebagai berikut :

a. Rekomendasi Tahap Pertama

Memutuskan CAT Watuputih Kabupaten Rembang memenuhi kriteria untuk ditetapkan sebagai Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) sebagai kawasan Lindung Geologi. Selain itu penambangan batu gamping di Kawasan CAT Watuputih diperkirakan akan menimbulkan biaya/kerugian ekonomi yang tinggi setidaknya sebesar 3,2 trilyun per tahun dari jasa lingkungan.

KLHS tahap I telah merekomendasikan agar CAT Watuputih Kabupaten Rembang dan sekitarnya ditetapkan sebagai kawasan lindung dan dilakukan proses penetapan KBAK; melakukan revisi terhadap KRP RTRWK Rembang, RTRWP Jateng hingga RTRWN.

b. Rekomendasi Tahap Kedua

Penyempurnaan KRP, dimana hasil kajian menunjukkan bahwa ekosistem Pegunungan Kendeng kini telah berada pada titik kritis yang dapat mengancam keberlanjutannya. Hasil kajian juga menunjukkan bahwa kebijakan, dan langkah-langkah yang ditempuh Pemerintah maupun Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten, ternyata tidak cukup efektif untuk mengendalikan atau mengatasi daya dukung lingkungan yang terus merosot. Oleh karena itu dipandang penting untuk segera diambil langkah-langkah darurat, konkrit, terencana dengan baik, dan sistematis untuk mencegah lebih jauh kemerosotan ekosistem Pegunungan Kendeng.

Rekomendasi Secara Umum :

• Mengubah kebijakan yang terkandung dalam RTR Nasional yang semula menetapkan wilayah Juwana, Jepara, Kudus, Pati, Rembang dan Blora di Jawa Tengah, sebagai Kawasan Andalan Wanarakuti dengan sektor unggulan antara lain pertambangan; menjadi Kawasan Andalan Wanarakuti dengan orientasi pada sektor unggulan budidaya dan konservasi.

• Mengubah orientasi kebijakan untuk kawasan Pegunungan Kendeng Utara di Kabupaten Grobogan, Blora, Rembang, Pati dan Kudus; yang semula diarahkan sebagai kawasan peruntukan pertambangan (sebagaimana dimuat dalam RTRW Provinsi Jawa Tengah Pasal 80); ini tidak sesuai dengan daya dukung dan daya tampung lingkungan di Peg. Kendeng. Adanya kegiatan pertambangan tidak menjadikan ekonomi yang berkelanjutan, akan lebih berekonomis Kawasan Kendeng peruntukannya ditekankan pada sektor Pertanian lestari dan pariwisata agar tetap berkelanjutan sampai anak cucu mendatang.

• SKPD tidak lagi dapat memutuskan kebijakan serta program dan kegiatannya sendiri-sendiri, walaupun sudah seusai dengan tugas pokok dan fungsinya, tetapi perlu memperhatikan dampaknya bagi capaian SKPD lainnya. Kini Bappenas dan Kementerian/Lembaga lainnya tengah menyusun Peraturan Presiden yang dapat menjadi acuan mekanisme integrasi ketiga target pembangunan. (pertumbuhan ekonomi, pengendalian kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup, maupun pencegahan bertambahnya penduduk miskin).

• Segera mengintegrasikan hasil KLHS Pegunungan Kendeng Tahap I dan II ke dalam KRP RTRW.

• Mengontrol dan/atau melakukan moratorium pemberian izin, penegakan hukum untuk usaha ekstraksi sumber daya alam yang bersifat ilegal (misal penambangan ilegal batu gamping, pengambilan air tanah dalam secara ilegal, atau eksploitasi sumber mata air secara ilegal).

• Direkomendasikan perlunya dibentuk tim khusus yang selain bergerak untuk memantau dan mengawasi pengendalian ruang, juga bergerak untuk mengatasi bisnis ilegal di bidang pertambangan dan kehutanan.
Tim khusus ini melakukan tindakan hukum (litigasi) dan/atau non-litigasi, dengan menggunakan pendekatan multi-doors. Program dan kegiatan ini hendaknya dimasukkan ke dalam RPJMD masing-masing provinsi dan kabupaten.

• Direkomendasikan adanya sistem yang dapat mengelola informasi perizinan (misalnya sistem online), termasuk membuka sistem ini bagi masyarakat luas (publik) sesuai dengan UU No 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik.

• Mengingat bahwa memperbaiki dan memulihkan ekosistem Pegunungan Kendeng pada dasarnya bukan hanya merupakan masalah teknis; maka faktor-faktor sosio-kultural seperti nilai-nilai sosial, norma, tradisi, faktor struktur sosial, dan bahkan pengetahuan lokal merupakan faktor penting yang harus diperhatikan dan menjadi pedoman, serta orientasi untuk rehabilitasi lingkungan Pegunungan Kendeng.

Salam Kendeng Lestari !!!
Narahubung JM-PPK
Jumadi : 08122889926