Jumat, 23 Februari 2018

Press_Release | Darurat Kriminalisasi



“Bebaskan Budi Pego. Pengadilan Tinggi Surabaya Harus Mengubah Putusan Yang Tidak Berdasar Terhadap Budi Pego”



Jumat (23/02/2018) Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat Untuk Daulat Agraria (TeKAD GARUDA) memasukkan memori banding terhadap kasus Heri Budiawan, atau biasa dipanggil Budi Pego warga desa Sumber Agung yang dipidana terkait tuduhan menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme dan marxisme dalam aksi penolakan tambang emas Tumpang Pitu yang dilakukan warga pada 4 April 2017. Pemidanaan Budi Pego ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan warga menolak keberadaan pertambangan emas oleh PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI) di Tumpang Pitu, Banyuwangi.

Ancaman kriminalisasi terhadap pejuang Lingkungan Hidup dan Hak Asasi Manusia telah berulangkali terjadi. Dalam kasus Tumpang Pitu saja, menurut investigasi yang berhasil dihimpun di lapangan, kriminalisasi telah memakan korban setidaknya 15 orang dalam 5 kasus yang terkait dengan sikap penolakan warga terhadap kehadiran pertambangan disana. Saat ini, selain Budi Pego, masih ada tiga warga lainnya yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan penyebaran komunisme.

Diseluruh Jawa Timur pada tahun 2017 kemarin setidaknya telah ada 25 warga yang mengalami kasus kriminalisasi karena aktivitasnya memperjuangkan ruang hidup dan hak-hak mereka. Tingginya angka kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan hak asasi manusia ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap para aktivis HAM.

Dalam kasus yang menimpa Budi Pego ini misalnya, nampak jelas bahwa pemidanaan yang dilakukan terhadapnya merupakan usaha pembungkaman dan pengerdilan terhadap perlawanan masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan emas Tumpang Pitu yang selama ini dianggap mengancam keselamatan ruang hidup mereka, hal ini bisa ditunjukkan dengan beberapa hal:

Pertama, bukti dan saksi menunjukkan bahwa warga sama sekali tidak pernah membuat spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit dalam aksi mereka. Ketika mengerjakan pembuatan spanduk yang total berjumlah sebelas (11) spanduk, warga meyatakan bahwa pihak kepolisian juga hadir disana, artinya, jika memang warga membuat spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit pada saat itu, tentu pihak kepolisian yang hadir saat pembuatan spanduk langsung bisa menghentikan dan menahan warga saat itu juga. Fakta ini juga terungkap dalam persidangan PN Banyuwangi.

Kedua, keseluruhan sebelas spanduk yang dibuat warga telah dipasang pada titik-titik yang ditentukan mulai dari Pantai Pulau Merah sampai dengan Kantor Kecamatan Pesanggaran. Tidak ada satupun dari spanduk yang dibuat warga tersebut terdapat gambar menyerupai logo palu arit. Spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit yang dituduhkan kepada warga muncul secara tiba-tiba ditengah aksi warga, tanpa disadari oleh warga yang melakukan aksi. Warga menuturkan bahwa saat kejadian, mereka diminta membentangkan spanduk dengan tulisan penolakan terhadap aktivitas tambang PT BSI. oleh orang yang tidak dikenal dan asal spanduk juga tidak berasal dari spanduk yg dibuat oleh peserta aksi. Mereka baru mengetahui keberadaan gambar menyerupai logo palu arit setelah polisi menunjukkan foto-foto spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit tersebut. Warga menyatakan bahwa foto spanduk yang menjadi bukti tersebut bukan bagian dari spanduk yang dibuat bersama-sama oleh warga yang terlibat aksi penolakan tambang emas PT BSI dan DSI di Tumpang Pitu, karena mereka hapal betul seluruh sebelas spanduk yang mereka buat bersama.

Ketiga, keberadaan spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit tidak diketahui lagi keberadaanya. Pihak kepolisian dan JPU dalam persidangan hanya dapat menghadirkan bukti video aksi saja tanpa menghadirkan barang bukti spanduk yg bergambar mirip palu arit, sehingga bukti video tidak cukup dijadikan alat bukti utama yg harus didukung oleh alat bukti lainnya di persidangan. Selain itu dalam persidangan tidak terbukti jika pembuatan spanduk yg bergambar mirip palu arit dibuat di rumah Budi Pego atau berasal dari peserta aksi tolak tambang;

Keempat, tuduhan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme kepada Budi Pego karena dianggap sebagai kordinator/pemimpin aksi tolak tambang yg terdapat spanduk yg bergambar mirip logo palu arit dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena aksi tersebut tidak diberitahukan secara tertulis kepada aparat Kepolisian berdasarkan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah sebenarnya perbuatan yang tidak ada hubungan/korelasi dg Pasal yg didakwakan yaitu menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme. Karena berdasarkan keterangan saksi-saksi serta alat bukti lainnya tidak terbukti jika Budi Pego merupakan kordinator aksi, Budi Pego tidak jauh beda dengan masyarakat penolak tambang lainnya. Sehingga, menyimpulkan Budi Pego sebagai koordinator aksi adalah suatu asumsi belaka atau ilusi yang tidak berdasar.

Vonis Majelis Hakim terhadap Budi Pego dengan hukuman penjara selama 10 bulan dari tuntunan JPU selama 7 tahun sangat dipaksakan. Bagaimana mungkin pasal yang memuat delik aktif dikenakan kepada perbuatan pasif yang itupun masih dalam dugaan, yakni Budi Pego patut diduga tahu adanya gambar mirip palu arit tersebut dan tidak berusaha menghentikan aksi, padahal menurut fakta persidangan terdapat aparat Kepolisian yg mengawal jalannya aksi patut diduga aparat kepolisian mengetahui adanya spanduk bergambar mirip logo palu arit dan justru tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagai aparat yaitu mengamankan dan membubarkan aksi tersebut. Sehingga hal ini mengisyaratkan jika terdapat pembiaran serta dugaan kriminalisasi terhadap warga tolak tambang emas Gunung Tumpang Pitu yaitu salah satunya Budi Pego.

Celakanya, dalam pertimbangan hukum Putusan Majelis Hakim PN Banyuwangi yg telah mencampuradukan perbuatan melawan hukum dalam dua Undang-Undang yg berbeda yg tidak ada hubungannya, bagaimana mungkin perbuatan melawan hukum dalam UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dipaksakan menjadi alasan terbuktinya unsur perbuatan melawan hukum pada UU lain, yakni UU nomor 27 tahun 1999 pasal 107a. Ini tentu sangat mengada-ada dan sengaja dipaksakan untuk membungkam perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat penolak tambang emas tumpang pitu.

Kriminalisasi warga yang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan ruang hidupnya masih menjadi alat yang terus dipakai untuk menekan perjuangan warga. Saat ini dalam kasus pertambangan Tumpang Pitu. Padahal pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Namun pasal ini seolah tidak berarti dihadapan kerakusan investasi yang mengancam keselamatan lingkungan dan ruang hidup rakyat.

Untuk itu Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TeKAD GARUDA), menyatakan:

1.   Mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur yg menyidangkan perkara ini untuk membebaskan Heri Budiawan/Budi Pego;

2.   Mendesak negara dan institusi terkait untuk menghentikan kegiatan pertambangan Tumpang Pitu demi keselamatan ruang hidup warga Banyuwangi khususnya, dan pulau Jawa pada umumnya.

3.   Mengutuk keras segala bentuk kriminalisasi terhadap seluruh gerakan rakyat yang berjuang demi terwujudnya keadilan agraria dan keselamatan ruang hidup, serta menghentikan proses hukum 3 warga Sumberagung lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka saat ini selain Budi Pego/Heri Budiawan.

Contact Persons:
Wachid Habibullah, Surabaya Legal Aid Institute (LBH Surabaya) – wachideagle@gmail.com: 087853952524
Wahyu Eka Setyawan, Walhi Jatim : 082145835417

TeKAD GARUDA :
1.      YLBHI
2.      YLBHI-LBH Surabaya
3.      WALHI EKNAS
4.      WALHI JATIM
5.      JATAM
6.      For Banyuwangi
7.      KontraS Surabaya
8.      FNKSDA
9.      LAMRI
10.  Laskar Hijau


0 komentar:

Posting Komentar