oleh Indra Nugraha [Jakarta] di 16 February 2018
Foto utama:Aksi warga Kendeng didominasi perempuan di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menuntut kejelasan sikap pemerintah atas tambang-tambang di Pegunungan Kendeng, seperti PT Semen Indonesia, yang mengancam sumber air warga. Foto: Andreas Iswinarto
Yen to Kendheng den kiwakna…Putusan pangwasa teges anti tani Pak Jokowi, ngaten niku? Kang pangwasa kersakna? Lamun ngaten kula namung saget nguwuh…Lmah banyu angin dayanya… Uripa kanggo mbengkasi…
Bila Kendeng diabaikan…Keputusan penguasa berarti anti petani… Begitulah, Pak Jokowi? Yang dikehendaki para penguasa? Jika memang begitu, kami hanya bisa meminta…Kekuatan tanah, air dan angin.
Begitu lirik lagu ciptaan para perempuan Pegunungan Kendeng yang ingin lingkungan sekitar mereka lestari, aman dari ancaman seperti pertambangan batu gamping untuk bahan baku semen.
Di Pegunungan Kendeng, banyak izin-izin tambang keluar, salah satu kepada PT Semen Indonesia. Warga sudah lakukan penolakan, dari menduduki tapak pabrik, demo ke kantor-kantor pemerintah, parlemen baik di daerah maupun pusat sampai gugatan hukum di pengadilan. Aksi ke depan Istana Negara juga berulang kali, dari membawa lesung sampai semen kaki.
Perjuangan mereka bertahun-tahun itu sebenarnya lumayan berbuah manis. Buah perjuangan itu seperti, presiden meminta di Pegunungan Kendeng dilakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), selama proses, semua tambang tak boleh operasi. Izin barupun tak boleh keluar. Warga juga menang gugatan hukum di Mahkamah Agung atas perusahaan semen negara itu. Namun, kabar baik berkali-kali itu seakan tak berdaya, tetap saja tambang jalan.
Walaupun seakan berhadapan dengan tembok batu, warga tak mundur. Mereka terus bersuara. Seperti Senin-Rabu, (12-15/2/18), mereka aksi di Tugu Tani, Jakarta. Senin itu, sembilan perempuan berkebaya dengan kain batik berkumpul di depan Tugu Tani, Menteng.
Caping bulat menempel di kepala mereka. “Tolak Pabrik Semen.” Begitu bunyi tulisan di caping. Tiga lelaki paruh baya ikut mendampingi mereka.
Di depan para petani, sebuah lesung—tempat menumbuk padi—terbuat dari kayu tergeletak. Beberapa saat, lesung diarak para perempuan mengelilingi Tugu Tani. Mereka sambil nembang dalam bahasa Jawa yang mereka ciptakan sendiri.
Aksi itu, kontras dengan lalu lalang kendaraan bermotor yang memadati jalan raya.
Setelah arak-arakan lesung mengelilingi Tugu Tani, alat menumbuk padi itu kembali diletakkan di depan tugu. Para perempuan ini langsung mengambil tongkat kayu. Lesung dipukul menimbulkan paduan suara khas, tembang kembali dinyanyikan.
Lepas aksi di bundaran Tugu Tani, mereka berjalan menuju Istana presiden di Jalan Merdeka.
Sukinah, perempuan Kendeng mengatakan, aksi ini sebagai penanda kalau perhatian dan keberpihakan negara dalam melindungi kaum tani dari ancaman industri ekstraktif seperti pabrik semen, tak mereka rasakan. Alih-alih berpihak kepada petani, negara justru lebih berat kepada para pemodal.
“Ini terbukti dengan banyak lahan-lahan pertanian produktif jadi pertambangan. Aksi dilakukan di Tugu Tani karena itu simbol petani. Kami juga petani dan kami bawa lesung,” katanya.
Warga Kendeng meminta, Presiden Joko Widodo setia terhadap mandat melindungi para petani dari ancaman industri ekstraktif.
“Aksi ini kami jalankan juga bagian dari kewajiban petani terus menjaga keseimbangan alam. Agar Pegunungan Kendeng Utara tetap memberikan penghidupan, sumber-sumber mata terjaga.”
Bagi Sukinah, Pegunungan Kendeng merupakan lumbung pangan sejak ada peradaban manusia berladang, bertani, dan mulai mengkonsumsi palagumantung dan palakependem yaitu beras, jagung, ketela,dan lain-lain.
Gunretno, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegungan Kendeng mengatakan, mereka menuntut mandat pPresiden Joko Widodo soal KLHS agar berjalan di lapangan.
Dia mengenang 2 Agustus 2016, saat petani Kendeng diterima di istana, dan memutuskan KLHS di Pegunungan Kendeng meliputi Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Rembang, Blora, Grobogan dan Pati.
“Dalam keputusan itu, presiden juga meminta selama proses KLHS, tak boleh ada izin pertambangan baru. Semua proses pertambangan batu kapur dan aktivitas produksi harus dihentikan. KLHS harus terbuka dan melibatkan rakyat secara aktif.”
Sayangnya, mandat pimpinan tertinggi negara ini di lapangan sangat bertentangan.
“Izin baru keluar oleh pemerintah daerah, penambangan batu kapur terus berjalan dan produksi pabrik semen di Rembang juga terus berlangsung hingga kini,” katanya.
Lebih tragis lagi ketika hasil KLHS tahap pertama diumumkan 12 April 2017, pemerintah daerah tak menjalankan rekomendasi. Justru mereka meminta Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar kajian lagi di lapangan.
“Dalam proses keterlibatan masyarakat JM-PPK hanya jadi legitimasi temuan-temuan hasil kajian Badan Geologi diolah tanpa ada keterlibatan masyarakat padahal data-data masyarakat sudah diserahkan ke Badan Geologi,” katanya.
Gunretno nilai, Badan Geologi melibatkan masyarakat hanya untuk kepentingan formal. Dia meminta, presiden setia dengan mandatnya, mengumumkan dan menjalankan sejujur-jujurnya hasil KLHS.
“Kajian ini menentukan masa depan kami sebagai petani. Membawa masa depan anak cucu kita semua. Petani juga bagian dari rakyat yang harus dijaga dan diayomi, bukan dikorbankan.”
Bertemu Moeldoko
Pada hari kedua aksi “Gotong Lesung,” Selasa (13/2/18), para petani Kendeng ini diundang bertemu Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko. Pertemuan berlangsung sejak pukul 10.00-13.00.
Gunretno, usai pertemuan mengatakan, Moeldoko, sebagai kepala KSP baru, lebih mendengarkan paparan dan aspirasi petani. Mereka menyampaikan penolakan pabrik semen karena khawatir dampak lingkungan.
“Intinya, dulur-dulu petani Kendeng ini tak menghendaki lagi pabrik semen. Terus dari Kendeng, tak hanya meliputi Pati. Ada Kerobokan, Blora, sepanjang Kendeng Utara. Kita berharap, di Jawa, tak usah ada pabrik semen lagi. Itu yang kita sampaikan,” katanya.
Dalam pertemuan itu, Moeldoko berharap, warga bisa menerima pabrik semen di Rembang, sementara pabrik semen di lokasi lain bisa dibatalkan. Alasannya, investasi keluar untuk pembangunan pabrik sudah Rp5 triliun.
Menurut Gunretno, dari awal sebelum bangun pabrik, warga sudah tolak. “Jangan dilanjutkan, tak boleh. Tapi kan dipaksakan.”
Kerugian negara Rp5 triliun kalau pabrik batal, sebenarnya sudah kalah telak dari fakta hasil KLHS yang menyebutkan, kalau tambang beroperasi akan rugi banyak.
Hasil perhitungan tim KLHS, setiap tahun sampai 2020, kala CAT Watuputih kena tambang kerugian ekonomi sekitar Rp2,2 triliun per tahun! Bahkan penelitian lanjutan menyebutkan kerugian lebih besar Rp3,2 triliun per tahun. “Negara jauh lebih rugi kalau pabrik semen ini tetap dipaksakan.”
Sukinah menambahkan, Moeldoko belum bisa menjawab tuntutan petani Kendeng.
“Aku berharap banget, Pak Moeldoko terketuk hatinya. Aku berpikiran positif. Semoga saja apa yang diharapkan dulur-dulur ini tercapai.”
Sumber: Mongabay.Co.Id
0 komentar:
Posting Komentar