Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Selasa, 11 Desember 2018

Kriminalisasi Pejuang Lingkungan Hidup Terus Berlanjut Di Rezim Nawa Cita

Siaran Pers | 11/12/2018


Jakata, Rabu, 11/12/2018 –Organisasi Masyarakat Sipil, NGO, bersama ratusan masyarakat korban keserakahan industri ekstraktif dari Jawa Barat, DKI Jakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur melakukan aksi demostrasi di Mahkamah Agung dan Istana Negara. Aksi yang bertepatan pada peringatan Hari HAM 2018 ini merupakan tanda perlawanan, sekaligus tagih janji masyarakat sipil terhadap tindakan represif, manipulasi perkara (kriminalisasi), gugatan tidak berdasar hukum, pengusiran paksa dan tindakan pelanggaran HAM lainnya kepada komunitas yang berjuang mempertahankan kebebasan, hak atas tanah, kampung, lingkungan hidup yang sehat dan hak dasar lainnya akibat praktik buruk investasi dan kebijakan yang diskriminatif.

Trend di tahun 2018 peningkatan kriminalisasi terhadap Pejuang Lingkungan Hidup dan Hak Asasi Manusia terus meningkat, dalam catatan WALHI dari olah data di 13 propinsi saja tercatat 163 Pejuang Lingkungan dikrimininalisasi. tindakan kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM lainnya tidak terlepas dari tindakan dan kebijakan negara yang masih mengandalkan investasi sebagai pilar utama pembangunan. Janji politik Pemerintahan Jokowi-JK yang secara ekspilisit dituangkan dalam Nawa Cita 4 yang yang menyebutkan adanya jaminan kepastian hukum hak kepemilikan tanah, penyelesaian sengketa tanah dan menentang kriminalisasi, penuntusan kembali hak tanah masyarakat; Perlindungan anak, perempuan dan kelompok masyarakat termarginal, serta penghormatan HAM dan penyelesaian secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM pada masa lalu hanya sekedar janji tanpa implementasi yag jelas. Hal ini terlihat dari janji politik yang sekali tidak mengalami kemajuan yang baik, bahkan cenderung sama dengan apa yang terjadi pada pemerintahan lalu.

Pengabaian terhadap perlindungan para pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM ini bukan sekedar ingkar terhadap komitmen politik 2014 lalu, namun masuk pada pengingkaran hak asasi sebagai hak konstitusional yang telah diturunkan menjadi hak warga negara yang menjadi kewajiban negara untuk memenuhinya. Potret buruk selama 2018 yang memperlihatkan pengabaian negara dalam melakukan pemenuhan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat serta hak rakyat dalam penguasaan atas sumber agrarianya dapat dilihat dari cuplikan beberapa kasus di bawah ini:

a. Heri Budiawan (Budi Pego) dkk vs PT Merdeka Copper Gold, Tbk. Menyelamatkan hutan Banyuwangi dari ancaman tambang emas, namun direspon dengan rekayasa kasus, dimana ketika Budi Pego dkk melakukan unjuk rasa penolakan tambang emas pada 4 April 2017 dituduh membentangkan spanduk dengan gambar menyerupai palu arit. Dari pembentangan spanduk tersebutlah Budi Pego dkk dituduh menyebarkan ajaran komunisme. Menurut warga spanduk itu sama sekali tidak dipersiapakn untuk aksi tersebut. Untuk aksi warga menyiapkan 11 spanduk, yang mana pembuatannya juga diawasi kepolisian. Apabila ada pembuatan gambar tersebut, maka sedari awal kepolisian sudah bisa menghentikan dan melakukan tindakan. Selanjutnya, pada aksi 11 spanduk yang dibuat juga sudah ditentukan. Warga baru mengetahui keberadaan spanduk tersebut setelah Polisi memperlihatkan foto tersebut pasca aksi berlangsung. Pembentangan spanduk juga dilakukan atas permintaan orang yang mereka tidak kenal. Bahkan pada saat persidangan berlangsung, barang bukti spanduk tidak bisa diperlihatkan. Dari rangkaian persitwa ini, jelas bahwa tidak ada unsur kesalahan dan sifat melawan hukum yang dilakukan Budi Pego dkk yang dapat dijadikan dasar pertanggungjawaban pidana. Sayangnya, rangkaian peristiwa ini tetap dianggap kejahatan dan mengakibatkan pada tanggal 23 Januari 2018, Budi Pego divonis oleh PN Banyuwangi dengan pidana hukuman penjara selama 10 bulan dengan dasar Pasal 107a KUHP. Dalam proses banding, Hakim PT Surabaya, Jawa Timur pada 14 Maret 2018 menguatkan putusan PN Banyuwangi. Perlawasan hingga tingkat kasasi ke Mahkamah Agung yang dilakukan mereka malah berbuah pahit, dimana pada tanggal 16 Oktober 2018, Para Hakim Agung di MA enjatuhkan pidana penjara yang lebih berat selama 4 tahun. Potret inilah yan memperlihatkan, kriminalisasi yang melibatkan Heri Budiawan dan warga yang lain terkait tuduhan menyebarkan ajaran komunisme menunjukkan rekayasa hukum guna membungkam perlawanan terhadap penolakan tambang emas yang dilakukan warga Banyuwangi. Selain kasus Budi Pego dkk, di Surabaya juga warga yang sedang mempertahankan waduk yang dilestarikan secara turun temurun dikriminalisasi atas laporan PT Ciputra Surya, Tbk. b. Nelayan Pulau Pari vs PT Bumi Pari Asri, merupakan potret naiknya kriminalisasi oleh Industri Pariwisata, seperti yang diketahui bahwa nelayan pulai pari telah berkali-kali kehilangan lapangan pekerjaan. Dahulu pulau pari kaya akan hasil lautnya masih terdapat aktivitas budidaya rumput laut dan mencari ikan. Seiring waktu, laut tercemat budidaya rumput laut mati, hasil tangkapan menurun. Kemudian masyarakat beralih dengan mengelola pariwisata sebagai mata pencaharian. Namun, kembali mereka mendapat ancaman dari perusahaan yang akan merampas bukan hanya laut, tetapi juga rumah dan tanah mereka. c. Nelayan di Kalimantan Utara terancam lapangan pekerjaannya karena wilayah tangkap mereka diduduki oleh ponton-ponton batu bara yang melakukan aktivitas bongkar muat serta menyebabkan pencemaran laut akibat air lindi. d. Masyarakat pesisir dan pulau kecil di pulau Bangka kembali mendapat ancaman setelah Kementerian ESDM tengah mengusahakan pengaktifan kembali tambang bijih besi PT Mikgro Metal Perdana di Pulau Bangka, Sulawesi Utara. Hal ini diketahui dari surat undangan rapat dari Kementerian ESDM dengan nomor surat 6557 Und/06/SJN.H/2018 (surat terlampir) yang mengundang kementerian dan lembaga Negara terkait untuk membahas permohonan pengaktifan kembali tambang PT MMP di Pulau Bangka pada Rabu, 5 Desember 2018. Padahal sebelumnya pada 23 Maret 2017 kementerian ESDM telah mencabut dan membatalkan IUP PT MMP tersebut melalui Kepmen ESDM No. 1361/K/30/MEM/2017 yang mengacu pada putusan Mahkamah Agung No. 255 K/TUN/2016 e. Buruh Tani Desa Mekarsari, Indramayu vs PLTU Indramayu 2 (Proyek Strategis Nasional). Tiga orang buruh tani Indramayu yang melakukan demonstrasi terkait dengan penolakan pembangunan proyek PLTU pada 14 Desember 2017 dengan cara memasang spanduk ketidaksepakatan. Spanduk penolakan dibentangkan berdampingan dengan bendera merah putih. Selanjutnya, warga membiarkan spanduk bersama bendera merah putih berada di lokasi, namun esoknya posisi bendera merah putih yan sebelum berada dalam posisi tepat malah berubah dalam kondisi terbalik. Dari rangkaian rekayasa tersebut, warga ditetapkan jadi tersangka, bahkan sempat tidak didamping advokat dalam proses pemeriksaaan di kepolisian. Tiga orang warga pun akhirnya dipaksa diminta pertanggungjawaban atas perbuatan yang tidak dilakukannya dengan ketetnuan pidana pada Undang-Undang Tentang Lambang Negara. Saat ini, warga masih ditahan dan menjalani proses persidangan di PN Indramayu. Selain kasus kriminalisasi ini, selama 2018 juga terjadi intimidasi dan ancaman yang dilakukan oknum preman bayaran dan oknum aparat kepolisian terhadap warga Dusun Jampang Tengah yang menolak pertambangan karst untuk kebutuhan bahan baku pabrik semen SCG (Siam Cement Group) di Sukabumi. Bahkan dalam aktivitas perlawanan dan perjuangan penolakan terhadap keberadaan pabrik semen yang mencemari udara, warga sering kali disusupi oleh oknum kepolisian. f. Penembakan Poroduka di NTT. Pada April 2018, Poroduka bersama masyarakat lainnya yang mempertahakan wilayah pesisir Pantai Marosi, Kabupaten Sumba Barat, Provinsi NTT dari pengukuran lahan oleh BPN untuk kepentingan investasi pariwisata ditembak polisi hingga menghebuskan nafas terakhir tidak lama setelah itu; g. Theodorus Tekwan Ajat dan Masyarakat Adat Lung Isun, Kabupaten Mahakam Ulu, Kaltim vs PT. Kemakmuran Berkah Timber pemegang izin HPH. Kriminalisasi dimulai ketika Tekwan dkk pada 20 Mei 2014 berupaya menghentikan aktivitas penebangan kayu alam yang mereka percayai mempunyai nilai penting bagi lingkungan dan keberlangsungan adat mereka. Mereka menyita satu chainsaw, dan dua kunci alat berat untuk menghentikan aktivitas perusahaan. Lembaga adat mengirim surat protes kepada perusahaan dan bersurat kepada Dewan Adat Dayak Kabupaten Mahakam Ulu meminta pendampingan penyelesaian masalah.Namun, upaya menyelamatkan hutan malah direspon dengan penggunaan upaya paksa, penetapan tersangka dan penahanan Tekwan dari 30 Agutus 2014 hingga 15 Desember 2014 di Polres Kubar. Pasca masa tahanan habis, Tekwan mengalami trauma dan tidak diberi kepastian terhadap kasusnya. Status tersangka yang disandangnya memang tidak menghentikan perlawasan menyelamatkan hutan dan adat Dayak, namun kondisi ini menjadi beban bagi ia dan keluarganya. Parahnya lagi, kesepakatan penghentian konflik dan penyelesaian kasus Tekwan dan penyiapan Hutan Adat tidak direspon dengan baik oleh KBT, dimana upaya dorongan Hutan Adat hendak dibelokkan dengan skema kemitraan. Hal ini kian dipeparah dengan dukungan secara diam-diam yang dilakukan oleh oknum KLHK. Selain kasus ini, dipenghujung Maret 2018, Balikpapapn, Kalimantan Timur juga diwarnai tumpahan minyak Pertaminan yang mengancam keberlanjutan ekosistem dan hak generasi depan atas keanekaragaman hayati yang berada di teluk Balikpapan. h. Petani Pangandaran vs PT. Startrust. Pada tanggal 10 September 2018, Slamet Suryono dan Yayat Hidayat dianiaya oleh 30 orang yang tidak dikenal. Penganiayaan ini merupakan buntut perlawanan para petani yang mempertahankan lahan mereka dari tindakan penggusuran PT. Startrust. i. Petani Cianjur vs PT. Pasir Luhur. Koko Solihin dan Koswara, dua orang petani Cianjur mengalami tindakan kriminalisasi dengan tuduhan menyerobot lahan dan merusak tanaman milik PT. Pasir Luhur. Padahal, Koko Solihin dan Koswara saat itu menggarap di atas lahan mereka sendiri. j. Korindo, Perampasan Tanah dan Bank. Bank BNI adalah salah satu bank nasional terbesar di Indonesia, dan salah satu dari delapan bank yang didaulat menjadi penggerak awal dari keuangan berkelanjutan di Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Namun disisi lain, BNI terlibat dalam pemberian pembiayaan kepada perusahaan-perusahaan di sektor kelapa sawit yang terlibat konflik sosial dan kerusakan lingkungan. Dalam laporan terbaru, ‘Malapetaka’, pada akhir tahun 2017 BNI menyalurkan total pinjaman mencapai 190 juta USD kepada Korindo Group. Korindo group terlibat dalam penyalahgunaan pajak, perusakan lingkungan, dan memasok kayu yang tidak berkelanjutan dan kemungkinan besar ilegal untuk konstruksi beberapa lokasi penyelenggaraan Olimpiade Tokyo 2020. Di Indonesia, Ekspansi Korindo ke dalam hutan-hutan pedalaman Indonesia melibatkan pembukaan hutan primer, pembakaran, perampasan lahan, dan tindakan kekerasan dan penangkapan masyarakat setempat secara sewenang-wenang, tulis laporan tersebut. Anak perusahaan Korindo Group, PT GMM, di Maluku Utara secara paksa merampas lahan masyarakat tanpa persetujuan warga, menggunakan api untuk secara ilegal membuka lahan, menanam kelapa sawit tanpa kelengkapan izin, dan mengkriminalisasi masyarakat yang menentang operasi perusahaan, termasuk penahanan sewenang-wenang dan kekerasan (https://www.tuk.or.id/malapetaka-korindo-perampasan-tanah-bank/) 
Selain potret kasus di atas terdapat banyak cerita lain, Kasus Secara statistik, terdapat kecenderungan peningkatan perkara yang menyudutkan pejuang lingkungan hidup, termasuk ahli yang digugat oleh korporasi pembakar hutan dan lahan serta penyelenggara negara yang sudah terbukti korupsi di sektor sumber daya alam.

Kondisi yang sama juga terjadi di sektor agraria. Pelanggaran dan perampasan hak atas tanah masyarakat terus terjadi secara masif. Di banyak tempat, konflik agraria seringkali diikuti kriminalisasi, penganiayaan bahkan pembunuhan terhadap masyarakat dan petani yang mempertahankan tanah mereka.

Sepanjang 2017, KPA mencatat sebanyak 592 pejuang agraria dan petani (520 laki-laki dan 72 perempuan) menjadi korban akibat tindakan refresif pemerintah di wilayah-wilayah konflik agraria. Mereka dikriminalisasi, dianiaya, ditembak bahkan tewas.

Sementara itu, penyelesaian konflik dan pengakuan kembali hak-hak atas tanah masyarakat yang selama ini dirampas perusahaan swasta dan negara juga tak kunjung menemui titik terang. Padahal, tanah sebagai sumber pokok kehidupan rakyat Indonesia merupakan hak asasi yang seharusnya dijunjung tinggi dan dihormati oleh Negara. Saat ini, ada 144.808 Kepala Keluarga (KK) di 444 lokasi yang tersebar di 20 provinsi.
Menunggu itikad baik Negara untuk segera mengakui dan mengembalikan tanah-tanah mereka yang selama ini dirampas untuk kepentingan bisnis dan investasi (Data Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA) Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA).

Selain menuntut Presiden atas pengabaiannya terhadap pemenuhan dan perlindungan pejuang lingkungan hidup dan pembela HAM, ratusan warga yang bergerak ke Jakarta menuju Mahkamah Agung menuntut keadilan dari lembaga peradilan tertinggi dan keseluruhan lingkup peradilan yang berada di bawahnya untuk bersuara benar dan mematahkan rekayasa kasus yang di bawa oknum Kepolisian, Oknum Kejaksaan serta pelaku investasi yang merusak dan merampas secara rakus hak atas tanah dan lingkungan hidup yang sehat warga. Upaya-upaya penyelewengan hukum yang dilakukan guna meredam perlawasan warga seharusnya dipatahkan oleh Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya, karena Hakim yang konon mewakili suara Tuhan harus bersuara adil dan memihak kepada mereka yang bersuara benar.

Bersama ini masyarakat yang bersuara untuk memastikan pemenuhan kewajiban negara dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia, khususnya untuk pemulihan hak korban rekayasa kasus, kriminalisasi dan peradilan sessat menuntut:
Presiden selaku Kepala Negara secara aktif bertanggung jawab melakukan:

Memberikan perlindungan dan pemulihan hak Budi Pego, Petani Indramayu, dan setiap korban rekayasa kasus, kriminalisasi dan peradilan sesat melalui abolisi dan amnesti; Memastikan Menteri LHK, Kapolri dan Jaksa Agung segera berkordinasi menerbitkan aturan pelaksanan Pasal 66 UU Nomor 32/2009 PPLH untuk memastikan efektifitas jaminan perlindungan pejuang lingkungan hidup; Memastikan pemenuhan hak atas lingkungan hidup dengan mewujudkan implementasi kebijakan Reforma Agraria Sejati; Menghentikan keseluruhan tindakan dan kebijakan Negara melegalkan praktik perampasan tanah dan pengabaikan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat melalui kegiatan investasi dan Proyek Strategis Nasional Mahkamah Agung melakukan revisi guna memastikan penguatan aturan pelaksana Anti SLAPP dan memastikan seluruh Pengadilan memamtuhi pedoman penaganan perkara tersebut; Hentikan pelibatan aparat keaamanan dan tindakan refresif yang diikuti praktek-praktek kriminalisasi di wilayah-wilayah konflik agrariaPresiden selaku kepala Negara segera memastikan penyelesaian konflik agraria dan pengakuan kembali hak-hak atas tanah masyarakat melalui reforma agraria berjalan dengan cepat dan benar.
Segenap bangsa Indonesia untuk bersolidaritas untuk mereka yang berjuang untuk hak asasi manusia dan hak atas lingkungan hidup baik dan sehat.
____________

Eksekutif Nasional WALHI , WALHI Jakarta, WALHI Jawa Barat, WALHI Jawa Tengah , WALHI Jawa Timur, Tuk Indonesia, Konsorsium Pembarua Agraria, Solidaritas Perempuan, Jaringan Advokasi Tambang, ELSAM, Bina Desa, KNTI, KONTRAS , PUSAKA, MARPALA, MAPALA PETANG, KM UNPAK, LAPAN DIKSI, KPA ARKADIA UIN JKT, KELAS, GM-I UIN JKT

Sumber: Elsam.Or.Id 

Senin, 10 Desember 2018

Angin Berlalu di KBAK Gombong Selatan...


AUDIENSI: Audiensi Pemkab dengan Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (Perpag) digelar di ruang rapat Kantor Sekretariat Daerah Kabupaten Kebumen, Senin (10/12) bertepatan dengan peringatan Hari HAM Internasional. [Foto: Agus Feriyanto]

Bertepatan dengan Hari HAM Internasional (10/12) puluhan massa Perpag (Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong) kembali mendesak Pemkab Kebumen dengan mendatangi dan meminta kejelasan sikap pemerintah berkaitan dengan tuntutan pengembalian KBAK (Kawasan Bentang Alam Karst) Gombong selatan.

Sebagaimana kesepakatan yang dihasilkan dari audiensi saat aksi massa (25/10) sebelumnya, di KBAK Gombong Selatan akan dilakukan penelitian ulang dengan melibatkan masyarakat guna memperoleh fakta-fakta lapangan bagi kajian ulang KBAK.

Perpag menilai telah terjadi manipulasi dalam revisi KBAK sebelumnya yang menyebabkan hilangnya 8,05 kilometer persegi, dari luasan KBAK 48,94 kilometer persegi yang telah ditetapkan menjadi kawasan lindung Eco-Karst menjadi 40,89 kilometer persegi. Perubahan melalui KepMen ESDM ini dinilai “cacat hukum” dalam proses sejak mengajukan usulan perubahan yang diinisiasi Pemkab Kebumen.

Dugaan manipulasi KBAK ini berulangkali dinyatakan Ketua Perpag, H. Samtilar dan diamini jajaran pengurus lainnya. Tak kurang para pegiat kelestarian lingkungan lainnya, termasuk kalangan akademisi yang melakukan sokongan dengan berbagai penelitian lapangan juga melihat ekses dari perubahan KBAK yang bakal mengancam ekologi karst.

Hasil pengamatan lapangan Perpag dan banyak pihak lainnya meyakini bahwa perubahan KBAK ini berkaitan dengan kepentingan korporasi tambang atas areal yang sudah dibeli pihak pt Semen Gombong, anak perusahan Medco Energy yang sebelumnya telah mengantongi IUP (Ijin Usaha Pertambangan). Namun gagal operasional karena terbentur batalnya Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) dalam sidang Amdal oleh tim penguji.   
“Kami Perpag istiqomah menuntut pengembalian KBAK Gombong selatan sesuai penetapan awalnya”, tegas H Samtilar seusai audiensi dengan Pemkab di kantor Setda (10/12) Kebumen.  
 K-1: Profil Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong Selatan dengan formasi dominan batuan karst jenis terumbu (K-1) yang terancam eksploitasi industri semen [Foto: Perpag]


Perpag Desak Pemkab Bersikap Tegas

Dalam jumpa pers yang digelar pasca audiensi di Kantor Setda Kebumen, kepada KebumenNews Perpag mengemukakan berbagai keganjilan sikap pemerintah dalam merespons tuntutan pengembalian KBAK yang dilansir Perpag.  

Pada Kamis (8/11/2018) lalu, agenda yang disepakati yakni kunjungan tim dari Bappeda, Kantor LH serta beberapa anggota Komisi A DPRD, yang ditunggu masyarakat dan mestinya datang langsung ke Desa Sikayu saat itu malah mlipir diam-diam ke Desa Banyumudal. Insiden ini sempat memicu emosi warga Desa Sikayu dan Nagaraji yang akhirnya ramai-ramai menjemput paksa tim Pemkab. 
“Mengingat insiden itu, ada maksud dan motivasi apa di baliknya?”, tutur Lapiyo dalam jumpa pers. “Kenapa lalu ada kesan sembunyi-sembunyi untuk agenda yang sebelumnya telah disepakati?”, sambung Wakil Ketua Perpag ini.
Sikap pemerintah yang seperti ini, menurut Perpag, memang pantas dipertanyakan untuk tidak dinilai sebagai plin-plan. Tak kurang dalam jumpa pers ini, wakil perempuan dan elemen pemuda menangkap kesan yang menunjukkan adanya ketidakterbukaan tim dalam merespons tuntutan masyarakat melalui Perpag.

Meskipun berakibat agenda kunjungan tim jadi tak maksimal, dari hasil kunjungan tim ke lapangan beberapa bulan lalu, Pemkab Kebumen menyisakan janji akan mengusulkan ke Pemprov jawa Tengah guna dilakukan penelitian dan kaji ulang mengenai KBAK Gombong selatan.
“Ada tandon cekungan air, sungai bawah tanah dan banyak ponor-ponor di kawasan (KBAK Gombong_Red) itu”, kembali H Samtilar mengingatkan.
Pasca kunjungan tim (28/11/2018) oleh Pemkab Kebumen dibuat surat usulan melalui surat Setda Nomor 070/2858. Namun secara materiil isinya tak mencerminkan tuntutan masyarakat. Perpag menilai sebagai sebuah keganjilan terutama pada substansi “Permohonan Penelitian Di Luar Kawasan Karst” dalam surat Sekda Kebumen ke Pemerintah Provinsi Jawa Tengah ini.

Ironisnya, tembusan surat yang diterima Perpag tak disertakan lampiran yang menjelaskan wilayah mana saja yang diusulkan bakal dijadikan obyek riset lapangan lanjutan bagi upaya kaji ulang KBAK Gombong selatan.

Keresahan kembali merebak dan muncul kecurigaan meluas yang kemudian mendorong Perpag untuk kembali mendesak Pemkab Kebumen menyampaikan klarifikasinya dalam audiensi Senin (10/12).

Hadir dalam audiensi itu penjabat Sekretaris Daerah yang baru, Ahmad Ujang Sugiono. Kepala Bappeda, KLH, dan jajaran Sekretariat Daerah seperti Kabag Hukum, Kabag Pemerintahan. 
“Tetapi, lagi-lagi, kami tak yakin Pemkab benar-benar tegas untuk memenuhi tuntutan masyarakat”, kesan Lapiyo.
Namun begitu, Lapiyo menegaskan bahwa Perpag tak pernah akan surut dalam perjuangan ini.

Skeptisme atas sikap Pemkab juga dikemukakan wakil elemen perempuan Perpag, Siti Hanifah, menanggapi hasil audiensi dengan Sekda Kebumen dan jajarannya (10/12) pagi itu.
“Hasil audiensi hari ini memang merupakan angin segar buat kami. Tapi masih merupakan angin lalu saja...”, seloroh cerdas Siti Hanifah.    

Jumat, 07 Desember 2018

Amdal Ditolak, Gombong Batal Miliki Pabrik Semen

Jumat, 7 Desember 2018  15:31 WIB
Foto: Okezone
KEBUMEN - Realisasi pendirian pabrik semen di Desa Nogoraji Kecamatan Buayan Kebumen saat ini sudah tertutup peluangnya setelah analisis mengenai dampak lingkungan (amdal)nya ditolak oleh tim penilai dokumen. Bahkan, pasca penolakan tersebut pihak investor hingga kini tak berusaha mengajukan dokumen amdal yang baru. 
"Perlu diluruskan bahwa bukan status Geopark Nasional yang kini disandang oleh kawasan Karst Gombong Selatan yang menutup peluang pendirian pabrik semen, melainkan penolakan terhadap dokumen amdalnyalah yang menjadi  dasar hukum bahwa di lokasi itu tak bisa didirikan pabrik semen," ujar Kepala Badan Perencanaan Penelitian dan Pengembangan Daerah Kebumen, Djoenedi Fatoerachman MSi, di ruang kerjanya, Jum'at (07/12/2018).
Menurut Djoenedi, pernyataannya tersebut merupakan jawaban atas berulangkalinya protes dengan unjuk rasa maupun audiensi oleh Perpag (Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong) ke Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kebumen, dalam dua bulan terakhir ini. 
Dalam protes-protes tersebut Perpag menduga adanya upaya untuk melanjutkan rencana pendirian pabrik semen tersebut. Selain itu, Perpag juga menilai Pemkab Kebumen tak punya komitmen untuk menolak pabrik semen tersebut. 
"Padahal dengan adanya penolakan terhadap dokumen amdal tersebut maka Pemkab Kebumen menganggap persoalan terhadap pro kontra pendirian pabrik semen oleh PT Semen Gombong tersebut telah selesai dan bahwasanya pabrik  semen tak bisa didirikan. Kami pun punya komitmen yang sama dengan Perpag bahwasanya Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong Selatan harus dilestarikan," ujar Djoenedi.
Hingga Jum'at (07/12/2018) protes Perpag terhadap rencana pendirian pabrik semen di Nogoraji menurut Djoenedi belum berakhir. Karena, Perpag meminta beraudiensi lagi dengan Pemkab Kebumen pada Senin (10/12/2018). (Dwi)
Sumber: KR Jogja 

Selasa, 27 November 2018

Aktivis Penolak Tambang Disebut Dibungkam dengan Pasal PKI

CNN Indonesia | Selasa, 27/11/2018 09:04 WIB

Ilustrasi spanduk penolakan terhadap tambang. (Agust Supriadi)
Jakarta, CNN Indonesia -- Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut putusan Mahkamah Agung yang memperberat hukuman aktivis penolak tambang yang dituding menyebarkan ajaran komunisme sebagai pembungkaman terhadap aktivis atau SLAPP (Strategic Lawsuits Against Public Participation). Ada sejumlah kelemahan dalam putusan itu, salah satunya adalah pemeriksaan bukti rekaman video yang tak sesuai prosedur.

Sebelumnya, aktivis lingkungan Heri Budiawan alias Budi Pego menolak aktivitas tambang PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI). Karena dituding membiarkan bendera yang identik dengan PKI di salah satu aksi demonya, Budi dipidanakan. Di tingkat Pengadilan Negeri Banyuwangi dan Pengadilan Tinggi Jawa Timur, Budi dijatuhi pidana penjara sepuluh bulan. Namun, putusan Kasasi MA memperberatnya menjadi empat tahun penjara.


"Peristiwa yang dialami Heri Budiawan dapat dikatakan sebagai bentuk dari SLAPP, karena menggunakan instrumen hukum pidana untuk membungkam aktivitas dalam penolakan tambang emas," ujar Direktur Eksekutif ICJR Anggara melalui siaran persnya, Senin (27/11).
Sementara, Pasal 66 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH) melindungi para pembela HAM dan aktivis lingkungan. "Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata," demikian bunyi pasal itu.

Dikutip dari situs Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), kasus Budi Pego ini bermula dari kegiatan industri pertambangan di Bukit Tumpang Pitu, Banyuwangi, yang dilakukan oleh PT. Bumi Suksesindo (PT. BSI) dan PT. Damai Suksesindo (PT. DSI) dari sejak tahun 2012.


Foto: CNNIndonesia/Asfahan Yahsyi
Akibatnya, terjadi bencana lumpur pada 2016, kerusakan pantai dan karang di Pantai Pulau Merah, petani dan nelayan mengalami penurunan pendapatan, dan anjloknya pariwisata. 

Warga Sumberagung, Banyuwangi, dan sekitarnya, kemudian memasang spanduk "tolak tambang" di sepanjang pantai Pulau Merah, Sumberagung, hingga kantor Kecamatan Pesanggaran, 4 April 2017. Satu hari pascaaksi, muncul pernyataan dari aparat, di dalam spanduk penolakan warga terdapat logo yang diduga mirip palu arit. Padahal, dari keterangan warga tak satupun spanduk dengan logo semacam itu.

Empat orang kemudian ditetapkan sebagai tersangka dengan pasal 107 huruf a, UU Nomor 27 tahun 1999 Tentang Perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana yang Berkaitan Dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. Pasal itu menyebut soal penyebaran dan pengembangan komunisme, marxisme, leninisme, yang lekat dengan PKI.

Salah satu tersangka, yakni Budi Pego, Budi Pego, divonis 10 bulan penjara di PN Banyuwangi, 23 Januari 2018. PT Jatim kemudian menguatkan putusan itu, dan diperberat oleh MA menjadi empat tahun penjara.

Anggara menyebut ada sejumlah kelemahan dalam putusan tersebut. Pertama, tidak tepatnya definisi penyebaran ajaran dalam putusan. Menurut dia, Budi Pego tak melakukan , jika memang melakukan pemasangan spanduk yang ada logo palu arit itu.

"ICJR memandang jika frasa 'menyebarkan' dalam rumusan delik Pasal 107a KUHP tersebut adalah terkait dengan sebuah upaya atau tindakan yang sifatnya dilakukan melalui propaganda yang dinyatakan secara terus-menerus dan berulang dengan kesadaran penuh untuk menanamkan pengaruh dari ajaran Komunisme/Marxisme-leninisme," urainya.

Situasi lokasi penambangan ilegal emas yang telah ditinggalkan para penambang di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Pulau Buru, Maluku, 2011.
Situasi lokasi penambangan ilegal emas yang telah ditinggalkan para penambang di kawasan Gunung Botak, Kabupaten Pulau Buru, Maluku, 2011. (ANTARA FOTO/Jimmy Ayal)
Kedua, bukti elektronik yang dihadirkan dalam persidangan berupa video aksi demonstrasi penolakan tambang emas PT. BSI tidak dilakukan berdasarkan tahapan dan prosedur pemeriksaan bukti elektronik (digital evidence) yang semestinya.

Padahal, kata Anggara, bukti video harus melalui tahap konfirmasi atau dikuatkan dengan keterangan ahli digital forensik terkait keaslian informasi, keutuhan video. Pemeriksaan itu sendiri harusnya dilakukan dengan empat tahapan digital forensic, yakni pengumpulan, pemeliharaan, analisis, dan presentasi.

"Bukti perekaman lambang palu arit dalam bentuk video yang dihadirkan di persidangan pada dasarnya tidak dilakukan oleh otoritas yang berwenang dan tidak layak menjadi alat bukti yang sah di pengadilan," ucapnya.

Ketiga, kata Anggara, MA memiliki kecenderungan untuk melampaui kewenangannya. Seharusnya, lanjut dia, MA tidak memiliki kewenangan untuk melihat kembali bukti-bukti yang sudah diperiksa dalam tahap judex factie atau pemeriksaan fakta. Padahal, kewenangan MA adalah judex juris atau pemeriksaan berkas.
"Atas dasar catatan diatas, ICJR mendorong agar Budi Pego untuk mengajukan Peninjauan Kembali (PK), sebagai langkah untuk dapat memperoleh keadilan," tandas Anggara. (sur)

Sumber: CNN Indonesia 

Selasa, 20 November 2018

Yateno dan Gunretno



Saya banyak belajar kearifan dari keduanya.. Herlambang P. Wiratraman
Foto: Wawan Dwi/Jawa Pos Radar Jember
RadarJember

Mengenal mas Yateno, Ketua Organisasi Petani Wongsorejo Banyuwangi (OPWB) yang baru saja pula terpilih sebagai Ketua Umum Paguyuban Petani Jawa Timur (Papanjati). Bicara apa adanya, selalu kritis, kerap meledak-ledak bila ada ketidakadilan persis di depan mukanya.
Ia pernah 'diculik' di stasiun Banyuwangi, saat hendak naik kereta ke Surabaya ketika membawa bukti-bukti soal penembakan di awal tahun 2000. Beruntung ada Cak Munir (alm) yang bekerja keras memaksa Polres mengakui penahanannya, sehingga ia pun berhasil dikeluarkan.

Sepertinya, sejak peristiwa itu, mas Yateno tak lagi mengenal kata takut, sakit, karena hidupnya berikut keluarganya sudah berpuluh-puluh tahun teraniaya. Empat kali ganti Bupati, yang diterima hanya penindasan!

Mbah Musinem, bapaknya, pernah bercerita penderitaan yang dialami semasa hidupnya untuk membesarkan anak-anaknya. Hampir 20 tahun mengenalnya, ia tak berubah, tetap teguh pendirian memperjuangkan hak-hak warga kampung untuk tetap bisa bertani, sekolah dan menikmati kesejahteraan sosialnya.

Kisahnya, bisa disimak dari video berikut: "Prahara Tanah Bongkoran" 


Tak jauh beda. Kang Gunretno. Namanya mungkin lebih dikenal, karena selama ini memimpin perlawanan melalui JMPPK (Jaringan Masyarakat Peduli Pegunungan Kendeng). Dengan bahasa Jawa, ia menuturkan segala bentuk perjuangan, melalui kearifan-kearifan sosial-lokal sebagai Sedulur Sikep. Aksi cor semen, revitalisasi kebudayaan gunung, ritual sosial dipertahankan, sebagai basis keyakinan warga untuk tetap bertahan menghadapi tambang-tambang yang merusak Pegunungan Karst Kendeng.

Di berbagai kesempatan, termasuk dalam kuliah kelas lalu, syahdu melantunkan tembang Ibu Bumi. “Ibu bumi wis maringi, ibu bumi dilarani, ibu bumi kang ngadili”.

Gunretno, pula Gunarti, Gunarto, saudara-saudaranya memang punya kultur perlawanan panjang nan menyejarah. Mereka, meyakini bentuk perlawanan terhadap sebuah otoritas yang menindas dapat dilakukan tanpa kekerasan.
Mengutip profilnya di Kompas, "Seperti digambarkan orang-orang di sekelilingnya, Gunretno tak pernah bisa tinggal diam tiap kali terjadi ketidakberesan. Padahal, sering kali apa yang diperjuangkannya justru bukan demi kepentingan Komunitas Sedulur Sikep." 


Baik mas Yateno dan kang Gunretno, telah sama-sama saling berkunjung. Mereka kembali dipertemukan melalui agenda Kuliah Bersama Rakyat (KBR) II, di FH Unair (14/11/2018) dan di FH UNEJ (15/11/2018). Bagi saya, keduanya merupakan manusia-manusia dengan jiwa petarung, pemikir, dan sekaligus pencerah bagi kehidupan sosial di sekitarnya. Mereka, menempatkan hukum dan Negara Hukum secara terhormat, bukan seperti lawan-lawannya yang kerap memanipulasi hukum, mempermainkan warganya, dan menghancurkan kelestarian lingkungan.

Saya yakin, kasus serupa banyak terjadi di negeri ini, seiring dengan masifnya eksploitasi sumberdaya alam dan korupsi, yang disertai kekerasan, penyingkiran dan pemenjaraan.

Menyimak kuliah mereka di kelas kemarin, sekalipun menyampaikannya dengan kebahagiaan, namun sejatinya cerita-cerita yang mengalir dari tuturnya seakan menyayat hati, menangis haru, yang sekaligus 'menampar' kita semua. Kampus-kampus kita memerlukan ajaran-ajaran dari lokal demikian, untuk meneguhkan keberpihakan kaum intelektual yang berkemampuan mengabdikan diri untuk warga bangsanya. Mereka telah berbuat untuk kemanusiaan dan ekologi, sementara kita belum banyak.

Ad honorem, Mas Yat dan Kang Gun!

Dukuh Dempok Wuluhan, 20 Nov 2018.

Senin, 19 November 2018

RTRW Jateng hilangkan 878 Ribu Hektare Lahan Pertanian


November 19, 2018

Ilustrasi lahan pertanian, pixabay.com 

Serat.id – Perubahan peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Dan Wilayah (RTRW)  provinsi Jawa Tengah justru semakin mempersempit lahan pertanian. Terbukti hasil revisi RTRW Jateng tahun ini justru menghilangkan 878.239 hektare.
“Perubahan tersebut dapat dilihat perbandingannya dalam Pasal 73 dan 74 Perda lama yang menyebutkan luas lahan pertanian berjumlah 990.652 hektare untuk lahan basah, dan 955.587 hektar untuk lahan kering,” kata anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB), DPRD Jateng, Benny Karnadi, kepada serat.id, senin 19, november 2018.
Menurut dia, pengurangan itu menunjukkan luas total lahan pertanian di Jateng awalnya 1.946.239 hektare berkurang menjadi  1.025.000 hektare, sesuai pada pasal 74A yang menyebut luasan lahan pertanian kering dan basah.
“Artinya, selisih luasan lahan pertanian seluas 878.239 hektare telah hilang dari substansi Perda baru,” ujar Benny menjelaskan.
Ia mengaku DPRD Jateng telah menyampaikan kepada Gubernur rincian perubahan Perda itu, termasuk selisih dalam KLHS revisi RTRW Jateng yang  menyebutkan rencana alih fungsi lahan seluas 314.512,03 hektare  dari lahan pertanian, kebun, dan ladang yang akan beralih fungsi seluas  214.385,45 hektare.
“Sedangkan ada sekitar 663.853,55 hektare merupakan cek kosong lahan yang tidak jelas peruntukannya, dan siap untuk dipergunakan oleh kabupaten dan kota di Jawa Tengah,”  katanya.
Selain itu dalam perda RTRW yang direvisi menyebutkan turunan industrialisasi berupa penambahan produksi energi listrik yang direncanakan dalam RTRW perubahan Jawa Tengah. Hal itu tercantum dalam Pasal 27, meliputi pembangunan PLTA di 51 waduk. Alokasi pembangunan PLTU Batubara di 10 Kabupaten dan Kota, alokasi PLTPB di 10 Kabupaten dan Kota, maupun alokasi pembangunan PLTS di dua wilayah unggulan.

Koordinator aliansi masyarakat sipil untuk penataan ruang Jawa Tengah, Ivan Wagner, menyatakan adanya pengurangan lahan pertanian dalam Perda RTRW menunjukan ada kepentingan industri yang diakomodir.

Menurut dia, dari awalnya 990 ribu hektare lahan basah dan 955 ribu hektare lahan kering  dengan total 1,94 juta hektare.  Namun dan pasal 74A justru menyatakan lahan pertanian lahan basah dan kering hanya seluas 1.025.000 hektare.

Ia menilai pasal itu jelas upaya penghancuran  dan membuat krisis pangan di Jateng semakin parah, padahal data sudah menunjukkan Jateng defisit penyediaan bahan pangan hingga 10,27 juta ton per tahun.
“Jadi yang menjadi hama bagi petani itu bukan hanya tikus atau wereng, namun RTRW ini hama yg utama bagi petani,” kata Ivan.
Ia minta agar Mendagri dan kementerian tata ruang meninjau ulang Raperda RTRW Jateng  itu. (*) M. SHOFI TAMAM

Sumber: Serat.Id 

Darurat: Puluhan Polisi Diturunkan, Gunung Talang Kembali Memanas


Puluhan Polisi Diturunkan, Gunung Talang Kembali Memanas
November 18, 2018

Ribuan massa kembali turun kejalan menghadang pergerakan PT. Hitay Daya Energi. (Img/W/Red)

Solok, SUMBAR – Ribuan massa kembali turun kejalan menghadang pergerakan PT. Hitay Daya Energi yang akan melakukan eksplorasi energi panas bumi di Gunung Talang, Kab. Solok, Sumatera Barat, pada Sabtu, (17/11).

Massa yang mengatasnamakan diri mereka sebagai masyarakat salingka Gunung Talang ini, berkumpul untuk menghadang kedatangan pihak perusahaan. Jumat, (16/11), sore, dua truk kendaraan milik kepolisian lengkap dengan puluhan personil terpantau oleh masyarakat berada di kantor Walinagari (Desa) Batu Bajanjang, Kec. Lembang Jaya, Kab. Solok, Sumatera Barat.

Masyarakat menduga kedatangan personil kepolisian ini untuk membekingi pihak perusahaan saat akan dilaksanakannya mediasi antara pihak pro dan kontra akan proyek Geothermal ini. Hal ini disampaikan beberapa masyarakat kepada eranusantara.com, Sabtu, siang dilokasi.
“Kami siap siaga, polisi ini datang untuk membeking perusahaan yang akan melakukan mediasi bersama masyarakat. Pihak pro dan kontra rencananya akan melakukan mediasi terkait Geothermal ini,” ungkap mereka.

Eranusantara.com – Massa yang mengatasnamakan diri mereka sebagai masyarakat salingka Gunung Talang. (Img/W/Red)

Hal senada disampaikan oleh direktur LBH Padang melalui wadirnya, Indira Suryani, kepada eranusantara.com, melalui telpon selularnya Sabtu, sore.
“Kedatangan kepolisian sudah terpantau sejak Senin, lalu. Intel mereka yang berkeliaran sudah tercium oleh masyarakat. Puncaknya, Jumat, sore, dua truk milik Polda Sumbar berada di Batu Bajanjang. Kemudian Sabtu, (17/11), pagi, ada tambahan dua truk shabara beserta personilnya mendatangi lokasi. Hal ini tentu menimbulkan kekhawatiran bagi sebagian besar masyarakat yang masih traoma atas tindakan anarkis pihak kepolisian beberapa waktu lalu,” ungkap Indira.
Atas kejadian ini, LBH Padang mengecam keras tindakan yang dilakukan pihak Kepolisian ini. Menurutnya, polisi yang seharusnya memberi rasa aman terhadap masyarakat, malah melakukan hal sebaliknya, sementara mereka digaji oleh uang rakyat.
“Polisi seharusnya bertugas untuk memberikan rasa aman kepada masyarakat, bukan malah sebaliknya. Keberadaan mereka di Batu Bajanjang saat ini, menimbulkan rasa was-was bagi masyarakat. Kami sangat menyayangkan, padahal mereka digaji dari hasil pajak rakyat,” tuturnya.
Indira juga mengatakan, LBH juga sudah menyurati Polda Sumbar untuk menanyakan beberapa hal atas kedatangan kepolisian ke Batu Bajanjang, termasuk sumber dana yang digunakan saat mengirim puluhan personilnya ke Batu Bajanjang.
“Tadi siang LBH sudah mengirimkan surat ke Polda Sumbar untuk meminta klarifisi. Pertama kami meminta apa dasar hukum yang digunakan untuk menurunkan pasukannya ke Batu Bajanjang. Kemudian kami manayakan, dari mata anggaran mana mereka mengambilkan anggarannya. Tak hanya itu, kami juga meminta laporan keuangan Polda Sumbar serta menanyakan personil dari kesatuan mana yang diturunkan ke Batu Bajanjang ini,” tegasnya.
Sumber: EraNusantara 

URGENT:
Seruan Solidaritas Gunung Talang
oleh: @selamatkan_talang


Saat ini kondisi Gunung Talang kembali mencekam dikarenakan datangnya 2 mobil dari anggota kepolisian korps brimob ke lokasi pembangunan projek geotermal yang ditenggarai akan membekingi PT. Hitay Daya Energi memaksa melakukan eksplorasi geotermal di lahan pertanian masyarakat.
ã…¤
Pada 16 Oktober 2018, Komnas HAM telah melakukan mediasi atas pengaduan masyarakat namun tidak terdapat titik temu apapun dengan perusahaan dan kementrian ESDM. Saat itu, pengadu meminta kementrian ESDM untuk membuktikan surat persetujuan masyarakat atas lahan pertanian masyarakat seluas 27.000 Ha yang telah ditetapkan sebagai izin panas bumi. Selain itu, pihak ESDM tidak mampu memberikan kajian ataupun laporan evaluasi terhadap geotermal yang bermasalah dibeberapa wilayah lainnya sehingga masyarakat akan tetap mempertahankan lahan pertaniannya dari pembangunan geotermal yg berpotensi merusak tanah dan lingkungan di Gunung Talang.
ã…¤
Mari bersama-sama membantu masyarakat salingka gunung talang untuk mempertahankan tanah dan lingkungannya dari pembangunan geotermal dengan mengirimkan sms untuk mendesak kepolisian untuk berhenti membekingi perusahaan yang rentan akan menimbulkan kekerasan terhadap masyarakat sebagaimana yang terjadi pada Maret 2018 di Gunung Talang, dengan sms di bawah ini:
ã…¤
Yth. Bapak Presiden RI Bapak Kapolri Bapak Kapolda
ã…¤
Hentikan segala intimidasi dan ancaman kekerasan terhadap masyarakat salingka gunung talang Kabupaten Solok Provinsi Sumatera Barat dalam proyek geotermal Gunung Talang-Bukit Kili. Tarik mundur semua aparat yg berada di lokasi dan hentikan pembekingan terhadap PT Hitay Daya Energi.
ã…¤
Silahkan dikirim ke nomor dibawah ini:
Presiden: 08122600960
Kapolri : 082299911987
Kapolda: 0811148586
Kapolres: 081321609999
ã…¤
#SelamatkanTalang
#SaveGunungTalang
#TalangMelawan #Indonesia
#IndonesiaDaruratAgraria

Kita Perlu Kota Ramah Manusia, Bukan Ramah Modal


Oposisi Dungu
Catatan Pengantar: HarWib

Salah satu watak dasar kapitalisme mutakhir: investasi modal bisa malang melintang menembus batas-batas negara dan mengabaikan identitas nasional si pemilik saham.

Seperti air, kapital dalam segala wujud investasinya, akan mengalir ke lokasi di mana kran hambatan investasi dibuka, dan mengalir ke sektor yg paling menguntungkan bagi kelanjutan akumulasi kapital.

Indonesia kini sedang menghadapi tekanan terhadap neraca pembayarannya karena sulitnya pembentukan modal, membengkaknya impor, dan kewajiban pembayaran cicilan utang dan bunganya. Itu faktor utama yg membuat nilai tukar rupiah terhadap dolar AS merosot dalam tahun ini.

Kebijakan Jokowi membuka kran hambatan investasi hanyalah mengikuti imperatif logika kapitalisme global mutakhir. Tapi para penentangnya menganggap kepemilikan saham melekat pada identitas kebangsaan si pemilik, dan nggak pernah mempersoalkan kontradiksi pokok dalam kapitalisme: eksploitasi buruh dan sumberdaya alam serta konsentrasi kekayaan pada segelintir orang dan hambatan mobilitas tenaga kerja antar negara.

Pantes aja demokrasi nggak maju-maju, oposisi modalnya cuma sentiman kekolotan agama dan nasionalisme usang abad lampau..
___

Kita Perlu Kota Ramah Manusia, Bukan Ramah Modal: Wawancara Dengan Maryanto


Sebelum berangkat ke Nigeria, Maryanto sempat saya temui untuk membincangkan perkembangan riset serta berbagi pandangan seputar tema yang sedang dibahas dalam Equator edisi ini, yakni seni dan politik. Maryanto merupakan salah satu seniman yang mengikuti program residensi selama dua minggu di Nigeria, bersama dengan seorang seniman lainnya, Anggun Priambodo.
Pada kesempatan ini, Maryanto menceritakan proses risetnya seputar politik minyak dengan studi kasus pertambangan minyak di Bojonegoro. Riset yang dilakukan bersama tim ini merupakan salah satu prosesnya dalam mempersiapkan karya yang akan ditampilkan dalam BJXIII. Selain membicarakan persoalan politik minyak, Maryanto juga menyampaikan pandangan reflektifnya seputar peran seniman di tengah persoalan sosial.

Bisa diceritakan arah riset tentang politik minyak yang sedang dilakukan?

Aku ingin mengurai kompleksitas persoalan dalam pengelolaan minyak di Indonesia, dengan mengambil studi kasus di Bojonegoro. Membicarakan pertambangan tidak bisa dilepaskan dari permasalahan privatisasi, regulasi hingga persoalan distribusi Sumber Daya Alam di masyarakat.
Salah satu keresahan yang menjadi latar belakang dalam riset ini ialah sejauh mana minyak yang berasal dari perut bumi ini hasilnya bisa didistribusikan dan dirasakan oleh masyarakat. Dari situlah aku mencari tau sistem pengelolaan minyak. Awalnya kita percaya sistem pertambangan dikelola oleh negara, namun negarapun menyerahkan pengelolaan dilakukan oleh korporasi besar. Aku tidak yakin keuntungannya dirasakan oleh masyarakat. Meski kita hidup di atas tanah yang kaya, aku yakin kita tidak bisa menikmati kekayaan tersebut. kompleksitas persoalan itulah yang coba diurai dalam penelitian ini.

Apa saja unsur-unsur yang membuatnya jadi kompleks?

Persoalan privatisasi, pembangunan infrastruktur yang tidak tepat sasaran hingga perubahan sosial dalam masyarakat. Membicarakan pengelolaan tentu kita tidak bisa mengabaikan persoalan privatisasi. Dalam konteks privatisasi, masyarakat berada pada posisi paling rendah, karena persoalan ketrampilan. Semisal Exxon menambang di suatu tempat di tengah masyarakat, karena skill masyarakat yang terbatas, maka pekerja terampil tidak diserap dari masyarakat. Ketika ditanya tentang infrastruktur, banyak yang mengeluh pembangunannya tidak tepat sasaran, karena pembangunan banyak dikelola oleh broker atau LSM yang tidak paham kebutuhan masyarakat. Bahkan menurut cerita Pak Kades, perubahan sosial masyarakat setelah pertambangan masuk tidak terlalu menyenangkan pada tataran pola konsumsi dan mental.
Perubahan dari masyarakat agraris menjadi pertambangan membuat konsumsi masyarakat semakin meningkat. Banyaknya warga yang kaya mendadak meningkatkan pola konsumsi gadget, motor bahkan prostitusi. Yang jadi masalah di sini ialah bahwa pembangunan yang terjadi bukanlah pembangunan manusia, tetapi hanya pembangunan fisik.
Memang jalanan menjadi lebih halus, warga tidak kesulitan mencari air, tetapi pembangunan manusianya menjadi luput dari perhatian.

Bagaimana persoalan ini dibahas dengan menyandingkan persoalan yang ada di Nigeria?

Harus dicari persamaan dan perbedaannya. Bagaimanapun juga persoalan dan keresahannya tetap sama, yakni soal bagaimana potensi minyak dikelola dan diatur dan bagaimana masyarakat menikmati hasil buminya. Itu saja pertanyaan gampangnya. Lalu di Nigeria kita cari tau bagaimana posisi masyarakat menghadapi potensi alamnya.

Bagaimana awal warga memulai penambangan? Bagaimana sistem penambangan minyak rumah tangga beroperasi dan apa saja masalahnya?

Berdasar cerita warga, penambangan dimulai dengan proses ritual. Untuk memulai pengeboran, diperlukan sekitar 900 juta rupiah. Oleh karena itu mereka mengundang investor. Investor tersebut kemudian mengambil keuntungan bagi hasil. Proses pengelolaan yang dilakukan warga hanya sampai sebatas minyak mentah. Warga tidak boleh langsung menjual hasil jadi, tetapi beberapa tetap menjualnya secara sembunyi-sembunyi. Meski di masyarakat juga sudah berkembang wacana bahwa hasil olahan warga tidak bagus untuk mesin.

Soal proses ritual, warga menjalankan ritual khusus untuk sumur, karena dianggap sebagai sumber rejeki. Kenaikan ekonomi warga di sekitar situs penambangan memang sangat drastis. Investasi awal yang memerlukan 900 juta rupiah itu akan balik modal dengan cepat. Walaupun sebenarnya minyak yang mengalir akan cepat berhenti. Beberapa sumur bahkan sudah berhenti mengalirkan minyak.

Yang jadi masalah ialah; warga memang banyak mendapatkan keuntungan ekonomi, akan tetapi percekcokan rumah tangga semakin tinggi. Tingkat pendidikan juga rendah. Pemahaman mereka tentang lingkungan itu aji mumpung.

Sejak kapan banyak mengeksplorasi persoalan SDA dan bagaimana awalnya?

Aku sebenarnya selalu tertarik dengan tema-tema lingkungan. Karyaku sebelumnya kan tentang lingkungan urban, seperti yang kubahas dalam Rawalelatu, itu tentang perubahan dari rawa ke wilayah urban dan industri. Kehidupan warga di pinggiran kota sudah menjadi pemandanganku sejak kecil. Aku ingat bagaimana listrik baru masuk ke kampungku pada tahun 1985. Kemudian ada pabrik tekstil. Yang tadinya kampung lalu berubah menjadi apartemen. Logika awalnya sih mau membicarakan bagaimana kampung berubah menjadi apartemen. Yang jadi soal ialah karena pembangunan hanya berpusat pada pembangunan ekonomi, bukan pembangunan masyarakat dan manusianya. Hanya pendapatan negara yang menjadi perhatian. Arah pembangunan kota juga harus direncanakan dengan melibatkan masyarakat.

Kita bisa membandingkan apa yang terjadi di kota ini dengan pola hidup komunitas, semisal komunitas Ciptagelar. Mereka mengelola semua kebutuhan komunitasnya secara bersama-sama. Dari urusan dasar manusia, yakni kebutuhan untuk makan hingga pendidikan dan kesenian. Sementara masyarakat industri yang ada saat ini barangkali bisa mencukupi kebutuhan dasarnya, tetapi kebutuhan dalam pengembangan diri tidak bisa mereka penuhi. Seperti yang bisa kita lihat dari masyarakat yang bekerja di pertambangan itu. Tidak ada kesempatan untuk mengartikulasikan diri, sementara arah pembangunan kota tidak berorientasi pada manusia dan nilai humanistis. Kita perlu kota yang ramah manusia, bukan ramah modal.

Pergeseran eksplorasi tema dari urban ke agraris, bisa diceritakan?
Ketika membicarakan Rawalelatu dalam konteks perubahan sosial, pasti ada yang rusak, ada menjadi korban. Perubahan dari agraris ke industri, pasti ada sawah yang dirusak dan pohon-pohon hutan yang ditebang. Pada saat itu, sewaktu masih banyak drawing, aku penasaran untuk mencari tau seluk-beluk industri kertas. Aku penasaran dengan proses produksi kertas, lalu aku menemukan kasus kerusakan alam yang dilakukan oleh APP (Asia Pulp and Paper). Sebagai perusahaan terbesar se Asia Tenggara, perusahaan ini menghancurkan hutan namun berdalih punya standar perkebunan. Untuk mendapat standar ramah lingkungan pun mereka memesannya dari lembaga sertifikasi, namun lembaga tersebut justru menemukan lebih banyak kerusakan.

Pada dasarnya, ketertarikan ini bermula karena aku banyak menggunakan media kertas untuk drawing. Lama-lama aku jadi lebih tertarik untuk mengetahui kasus pengrusakannya. Yang lebih pelik lagi ketika membicarakan kerusakan yang diakibatkan Freeport di Papua. Aku juga banyak berbincang dengan teman yang sudah melakukan penelitian terkait dengan kerusakan yang diakibatkan Freeport. Dari sisi sejarah, berdirinya Freeport juga berpengaruh terhadap regulasi dan keberadaan industri pertambangan.

Mengapa setelah Rawalelatu tidak menggunakan tokoh karakter? Bagaimana karakter dalam Rawalelatu dikembangkan?

Pengembangan tokoh karakter berdasar riset dan observasi yang dilakukan dari lingkungan tempat aku tinggal, dari orang-orang terdekatku. Fokus observasi terutama difokuskan pada pola-pola berpikirnya. Karakter keledai misalnya, kugambarkan sebagai karakter yang berasal dari desa, kemudian pindah ke Rawalelatu, bekerja sebagai pegawai negeri, konservatif dan mengutamakan kemapanan. Namun secara umum, karakterisasi dilakukan dalam konteks kritik dan otokritik dalam membicarakan perubahan sosial. Setelah Rawalelatu, aku lebih banyak mengeksplorasi landscape yang menyandingkan ironi, lebih sejarah, arsip dan potret.

Secara umum bisa dikatakan tema-tema yang dibicarakan selalu berkaitan dengan politik?

Iya. Politik, lingkungan, poskolonial, orba. Jika harus ditarik benang merahnya, maka setiap tema yang dibahas selalu terkait dengan perubahan industri. Dalam Space of Exception, aku berbicara bahwa ada satu bagian dari diriku yang belum tersentuh dan aku sangat menikmati bagian itu. Ada semacam ruang yang sangat damai, ruang baru. Di dalam ruang pameran, aku buat tenda biru yang bisa diakses pengunjung untuk menulis atapun merefleksikan ruang ideal mereka. Ada lampu kecil, ada tempat untuk duduk dan menulis tentang kedamaianmu. Ada juga yang tidur.

Apa yang dimaksud dengan ruang damai itu?

Bagiku ruang tidak hanya bisa dimaknai secara fisik, tetapi juga mental. Di dalam suatu rumah misalnya, terdapat ruang sembahyang yang disakralkan, ruang kerja atau bahkan ruang tamu, yang pembagiannya tidak semata secara fisik, namun psikis.

Ketika membicarakan tema-tema yang terkait dengan orde baru, bagaimana kamu melihat penggunaannya dalam berkesenian sampai hari ini?

Menuruntuku tergantung sudut pandangnya. Yang menarik ialah bahwa sejarah itu akan selalu tergantung pada keberpihakan. Berbicara tentang Suharto, sebenarnya masih banyak yang berpihak pada Suharto. Namun membicarakan Orde Baru yang berlangsung sangat lama tidak serta merta bisa dilupakan. Dilihat dari sisi eksploitasi industri, Orde Baru merupakan momen yang sangat signifikan dalam membuat kerusakan lingkungan. Eksploitasi alam yang berlangsung masif sampai hari ini itu merupakan akibat dari Orde Baru. Orde Barulah yang membuat pondasi buruk.

Seperti fenomena “piye kabare, isih penak jamanku..”

Ya, itu salah satu kegagalan pendidikan kita. Kita dididik untuk kritis yang arahnya selalu berpikir negatif. Menuruntuku kita perlu berhenti membaca berita buruk yang disodorkan oleh media. Kita butuh orang yang bisa lebih melihat harapan dan sisi positif. Ketika melihat kondisi buruk hari ini lalu ingin kembali ke masa Orde Baru, itu bagiku salah.Warisan Orde Baru dalam membuka industrialisasi besar-besaran dan membuka ruang eksploitasi tetap harus dipersalahkan.

Bagaimana posisi seniman dalam mengambil perannya di masyarakat?

Posisi seniman harus ditanggapi sebagai posisi yang paling unik sebenarnya. Bukan paling aman. Karena kita bukan praktisi yang bisa ngasih solusi. Kalau solusipun sifatnya artistik, yang biasanya aneh-aneh dan nyeleneh. Nah, kebebasan inilah yang harusnya dimanfaatkan oleh seniman untuk berkarya. Walaupun karya itu tidak menciptakan perubahan sosial secara langsung, setidaknya bisa menggambarkan atau menginspirasi. Menarik lagi ketika membicarakan keberpihakan.
Membicarakan keberpihakan bagiku tidak semata memilih satu dari dua pilihan, tapi harus ada pilihan ketiga. Posisi seniman tuharus seperti itu.

Ketika membicarakan kerusakan alam, peran seniman saat ini banyak banget. Bahkan seniman dadakan pun banyak yang tiba-tiba ngomongin politik. Artinya ini bukan hanya peran seniman, tapi media kreatif. Karena perubahan yang dibicarakan tidak semata perubahan fisik, tapi kan perubahan mental, pola pikir. Kita seniman tidak bisa membuat satu sistem atau satu struktur, tapi melihat sesuatu dari kaca mata khusus yang mungkin tidak terlalu banyak dipikirkan oleh orang kebanyakan. Di situlah sisi politis seorang seniman. Bukan hanya peran seniman sih, tapi peran suatu kreatifitas, yang tidak perlu terbelenggu oleh peran seniman, tapi siapa aja, dan tidak hanya akses galeri.

Wawancara oleh: Lisistrata Lusandiana (Tim Riset BJXIII Hacking Conflict)
 Sumber: BiennaleJogja