oleh Jalal* - 4 May 2019
· Pertambangan sepanjang
sejarahnya adalah sektor yang penuh kontroversi. Sektor yang menghadirkan
banyak sekali masalah bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitar tambang.
· Aspek sosial dengan
berbagai indikator menjadi syarat penting dalam proses pascatambang untuk
meminimalisir dampak buruk, dengan rencana pascatambang sedini mungkin yang
memperhatikan enam isu sosial penting, antara lain pemanfaatan lahan
pascatambang.
· Aspek sosial tersebut
menjadi prasyarat dalam dokumen mutakhir ICMM, Integrated Mine Closure, Good
Practice Guide, 2nd Edition, 2019 sebagai bagian dari pertambangan yang
berkelanjutan. Tetapi umumnya aspek sosial tidak diperhatikan oleh perusahaan menjelang
pascatambang. Bagaimana praktiknya di lapangan?
· Artikel opini ini
merupakan bagian ketiga dari tiga tulisan opini.
Lubang bekas galian tambang
PIT 7D5, milik PT. Gunung Bayan Pratama Coal. Foto: Jatam Kaltim/Mongabay
Indonesia
Ada empat tema besar terkait dengan prosedur dan proses
penutupan tambang, yaitu integrasi dan keberlanjutan; pembinaan hubungan dengan
pemangku kepentingan; penilaian data dasar, risiko, dan dampak; tata kelola dan
negara. Tema pertama itu terkait dengan tujuan dari perusahaan (keberlanjutan
bisnis) dan ekspektasi dari masyarakat (keberlanjutan kehidupan), serta
bagaimana memastikan bahwa tujuan tersebut tercapai.
Sangat dominan dalam pustaka yang ditemukan adalah
nasihat seperti keharusan untuk merancang sejak awal. “Thinking about the end
before you start” adalah nasihat dari S.J. Finucane yang dikutip pada dokumen
tersebut. Hasil dari mengintegrasikan pemikiran keberlanjutan dari awal adalah
peluang untuk peningkatan kinerja sosial sekaligus penurunan biaya.
Terkait erat dengan prosedur pertama, ketika memetakan
apa yang penting dilakukan terkait pembinaan hubungan dengan masyarakat, yang
sangat menonjol adalah tentang pentingnya pembinaan hubungan sejak awal dan
kontinum. Masyarakat harus dibuat sadar sepenuhnya bahwa usia tambang itu
terbatas, sehingga, apabila kehidupan mereka terkait dengan ekonomi
pertambangan, mereka harus menyadari kapan perlunya sudah memiliki sumber
penghidupan yang lain.
Hal ini membutuhkan komunikasi yang transparen dan
efektif, juga kesadaran perusahaan bahwa keputusan tentang apa yang akan
dibangun untuk pascatambang bukanlah keputusan unilateral. “Decisions about the
closure vision do not belong to mining companies alone; they also belong to the
people who will remain in the area after the mine closes,” tegas Baiton dan
Holcombe, dan hal itu membutuhkan kesadaran tentang aksesibilitas bagi dan
inklusi para pemangku kepentingan.
Karena nasihat terpentingnya adalah memulai perencanaan
pascatambang sedini mungkin (mining for closure), maka penilaian tentang
kondisi awal, risiko dan dampak menjadi sangat penting. Kalau alat
seperti social impact assessment dikembangkan dengan optimal, dan
dipergunakan bersama-sama dengan environmental impact assessment,
seharusnya penilaian yang dimaksud sudah termaktub di dalamnya.
Sayangnya, penilaian dampak sosial tampak tidak menonjol
di dalam dokumen-dokumen penilaian dampak yang biasanya diajukan oleh
pertambangan ketika memulai operasinya. Konsekuensinya, perusahaan perlu
membuatnya ketika operasi sudah berjalan. Beberapa literatur menegaskan tentang
perlunya perusahaan untuk membuat studi tentang kerentanan masyarakat serta
membangun skenario tentang kehidupan masyarakat pascatambang, sedini mungkin.
Tentang tata kelola dan negara, pustaka biasanya
menegaskan bahwa perusahaan tambang skala besar memiliki kepatuhan yang lebih
tinggi kepada aturan yang ada. Bahkan, mereka juga memiliki standar penutupan
tambang yang melampaui regulasi pemerintah—walau secara sosial masih memiliki
kelemahan mendasar. Alasannya adalah bahwa regulasi biasanya tidak cukup untuk
mengelola risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Dalam hal ini, yang kerap
disebut mengecewakan dalam pustaka adalah keterlibatan yang sangat rendah atau
artifisial dari pemerintah. Karena penutupan tambang tidak menghasilkan
pendapatan bagi pemerintah—padahal sangat penting bagi masyarakat—pemerintah
biasanya enggan bersungguh-sungguh dalam mengurusnya.
Pertambangan bauksit hanya menyisakan limbah bekas galian
dan pencemaran udara tanpa ada upaya mereklamasi bekas tambangnya. Foto: Andi
Fachrizal/Mongabay Indonesia
Isu Sosial
Penutupan Tambang
Lalu, isu sosial apa saja yang penting diurus dalam
penutupan tambang?
Ada enam, yaitu normalisasi perumahan dan kota,
penyediaan layanan dan infrastruktur, transisi ekonomi, pembinaan hubungan
dengan masyarakat adat terkait pemanfaatan lahan pascatambang, perjanjian
dengan masyarakat pemilik lahan, serta infrastruktur tambang sebagai warisan
budaya.
Banyak pertambangan yang merupakan satu-satunya operasi
dengan teknologi modern di tempat terpencil. Lalu, ketika tambang hendak
berakhir, maka ada dua kemungkinan dari perumahan, atau bahkan kota, yang
tadinya ramai. Pertama, terus dimanfaatkan sebagai pemukiman dan fasilitas
pendukungnya, manakala ada ekonomi yang bisa terus tumbuh pascatambang. Tetapi,
kemungkinan kedua, bakal berubah menjadi ghost town, lantaran tak ada
penduduk yang bersedia tinggal di situ lagi—kecuali masyarakat lokal yang tak
bisa meninggalkan wilayahnya. Pemanfaatan perumahan dan bangunan lain hanya
akan terjadi bila sedari awal dirancang tumbuhnya bentuk-bentuk ekonomi baru di
wilayah tersebut.
Beberapa kelompok masyarakat, terutama yang rentan,
mungkin belum benar-benar bisa mencapai kondisi kesejahteraan dan kemandirian
ketika tambang berhenti beroperasi. Karenanya berbagai layanan dasar (essential
services) masih perlu diberikan, hingga batas waktu tertentu. Demikian juga,
kemungkinan ada infrastruktur tambahan yang masih perlu dibangun dan/atau
diperbaiki agar masyarakat dapat melanjutkan kehidupannya. Namun, tentu saja,
hal yang sangat penting untuk dihindari adalah ketergantungan terus-menerus,
yang mana menunjukkan kegagalan pascatambang.
Untuk memastikan bahwa ketergantungan tidak terjadi,
transisi ekonomi memang sudah harus dirancang sedari awal. Banyak perusahaan
tambang yang menerima masyarakat setempat sebagai tenaga kerja, selain
memberikan peluang bisnis terkait dengan pertambangan yang dilakukan. Namun,
dengan terbatasnya usia pertambangan, maka penyapihan harus dirancang untuk
memastikan masyarakat dapat mandiri pada waktunya. Pilihan-pilihan ekonomi
lokal yang dapat tumbuh pascatambang, termasuk pertanian dan pariwisata, harus
dipetakan terlebih dahulu, lalu transisinya dijalankan melalui program
pengembangan masyarakat, terutama di fase operasi.
Korlap Forum Masyarakat Bela
Wawonii, Mando, membacakan surat pernyataan penolakan tambang di Wawonii, yang
selesai ditanda tangani oleh Wagub Sultra, Lukman Abunawas. Foto: Kamarudin/
Mongabay Indonesia
Berikutnya soal masyarakat adat. Di antara beragam jenis
kelompok rentan, masyarakat adalah salah satu yang paling kerap disengsarakan
sepanjang operasi, misalnya lantaran penggusuran. Perusahaan tambang yang
memiliki pemahaman atas HAM dan social license to operate biasanya
jauh lebih menghormati masyarakat adat, termasuk dengan merundingkan
pemanfaatan pascatambang dari lahan-lahan mereka yang secara temporal
dimanfaatkan oleh perusahaan. Kearifan lokal masyarakat adat sangatlah
bermanfaat untuk mengembalikan kondisi lahan atau mengembangkannya untuk
pemanfaatan yang lain.
Bainton dan Halcombe menemukan terlampau sedikit catatan
dan praktik tentang bagaimana perusahaan dan masyarakat membuat perjanjian
tentang kondisi pascatambang, termasuk soal pemanfaatan lahan. Sudah terlampau
lama pemahaman perusahaan, dan pemerintah, bahwa lahan tambang akan
direklamasi, dan direhabilitasi, dengan sudut pandang lingkungan semata.
Padahal, selain kerap tidak benar-benar ditegakkan, pilihan pemanfaatan lahan
yang lebih baik untuk kehidupan masyarakat mungkin tersedia. Seandainya hendak
dihutankan kembali sekalipun, seharusnya dipertimbangkan beragam tanaman
produktif dalam pola agroforestri.
Terakhir, terdapat beberapa kasus yang menunjukkan bahwa
bila pertambangan dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, masyarakat
mungkin mengembangkan budaya pertambangan. Sehingga, ada kemungkinan masyarakat
ingin melestarikannya sebagai warisan budaya. Pada kasus-kasus yang demikian,
masyarakat ingin menyandingkan tambang tradisional dengan yang modern.
PLTU di dekat pemukiman
warga di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Warga terkena
dampak buruk asap batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia
Menuju Penutupan
Tambang yang Terpadu
Studi literatur yang komprehensif sangat jelas
menunjukkan bahwa perhatian atas aspek sosial penutupan tambang sangatlah
tertinggal dibandingkan aspek lingkungannya. Sebagaimana yang juga dipahami,
wacana dan praktik aspek sosial pertambangan memang tertinggal dibandingkan
aspek teknis serta lingkungan. Namun, perhatian atas aspek sosial itu terus
menguat dalam beberapa dekade terakhir, dan akhirnya aspek sosial dalam
penutupan dan pascatambang juga mendapat perhatian memadai, setidaknya dari
para pakar dan perusahaan tambang yang progresif.
Salah satu bukti bahwa penutupan tambang akhirnya
mengarusutamakan sudut pandang sosial adalah dokumen mutakhir ICMM, Integrated
Mine Closure, Good Practice Guide, 2nd Edition, yang terbit di awal tahun
2019. Visi, prinsip, dan tujuan penutupan tambang sudah sangat jelas komponen
sosialnya. Demikian juga, sangat tegas perspektif sosial dalam bab-bab mengenai
pemanfaatan lahan pascatambang, pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan,
risiko dan peluang, aktivitas, transisi sosial, dan perhitungan biaya. Dapat
dikatakan bahwa dokumen 18 bab tersebut memang mengkokohkan perspektif sosial
atas penutupan tambang; benar-benar jauh melampaui edisi pertama yang terbit 11
tahun sebelumnya.
Di samping 18 bab, dokumen itu juga menyediakan 12 alat (tool)
yang seluruhnya jelas menunjukkan perspektif sosial. Beberapa alat yang sangat
secara tegas merupakan alat untuk mewujudkan tujuan sosial pascatambang adalah
alternatif pemanfaatan (Alat 4), pesan kunci untuk aspek sosial (Alat 5), checlist
aktivitas transisi sosial (Alat 6), penilaian dan manajemen risiko/peluang
(Alat 8), dan investasi sosial untuk penutupan tambang (Alat 11).
Dokumen itu, menyatakan dengan tegas bahwa transisi
sosioekonomi adalah salah satu prinsip yang harus ditegakkan dalam penutupan
tambang, yang dijabarkan sebagai: “…to promote, to the extent practical, a
smooth transition from the socioeconomic conditions that existed during mining
activities to the state that will be present after mining. Where practicable,
the net socioeconomic impact on the affected region should be beneficial.”
Walaupun ada klausa ‘to the extent practical’ dan ‘where
practicable’ pada pernyataan prinsip itu, tentu mengupayakan perwujudan
transisi yang mulus serta dampak bersih sosioekonomi yang positif adalah
keharusan. Apabila mau lebih tegas, tujuan sosial penutupan tambang bisa
dinyatakan untuk memastikan kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan
masyarakat setelah tambang berakhir. Tak ada indikator yang lebih baik lagi
dalam menggambarkan keberlanjutan (manfaat) pertambangan selain kondisi
masyarakat yang ditinggalkan perusahaan.
Masalah di daerah pengerukan
batubara di Samarinda, Kalimantan Timur. Rahmawati, ibunda Raihan, memegang
foto anaknya, korban ke-9 yang tewas di kolam tambang. Hingga Juni 2017, kasus
tak ada kejelasan. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia
Dari Standar dan
Norma Menuju Praktik
Beragam kemajuan yang tampak itu sesungguhnya bukanlah
merupakan norma dan kenyataan yang bisa disaksikan di majoritas perusahaan
tambang. Perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota ICMM bisa dikatakan adalah
perusahaan tambang yang memiliki kinerja sosial yang secara rerata jauh di atas
industri. Namun, itu tidak berarti perusahaan-perusahaan itu tidak memiliki
masalah sosial. Hasil audit atas prinsip-prinsip ICMM terhadap perusahaan
anggotanya selalu menunjukkan kesenjangan—dan di antaranya ada yang benar-benar
lebar.
Perusahaan-perusahaan itu menjadi paling menonjol kinerja
sosial (dan lingkungan)-nya mungkin lantaran dua hal: manajemen reputasi dan
kemampuan sumberdaya. Yang pertama sangat jelas merupakan pendorong yang
penting bagi perusahaan-perusahaan tambang yang skalanya besar, berorientasi
ekspor dan melantai di bursa saham. Mereka yang besar itu sangat tampak di mata
pemangku kepentingannya, dengan dampak positif maupun negatif yang kentara.
Perusahaan tambang yang mengekspor produknya akan berhadap-hadapan dengan
pemangku kepentingan global yang lebih kritis. Demikian juga, perusahaan
tambang yang menjadi perusahaan publik punya berbagai keharusan untuk memenuhi
standar yang lebih tinggi, selain menjadi fokus para analis.
Bergabung dengan organisasi promotor keberlanjutan dalam
sektor tertentu seperti ICMM memiliki keuntungan pengetahuan, bantuan praktik,
maupun asosiasi positif di mata pemangku kepentingannya. Karenanya,
perusahaan-perusahaan tambang yang kondisinya seperti yang disebutkan di atas
itu cenderung untuk bergabung, dengan motivasi besar untuk menjaga reputasinya.
Ini biasanya—namun tidak selalu—bertentangan secara diametrikal dengan
perusahaan sedang/kecil, berorientasi pasar domestik, dan tidak melantai di
bursa. Mereka merasa tak memerlukan manajemen reputasi yang sungguh-sungguh,
lantaran ekspektasi dan tekanan pemangku kepentingan yang rendah.
Penjelasan lainnya adalah bahwa perusahaan-perusahaan
besar, berorientasi ekspor, dan menyandang status perusahaan publik adalah
perusahaan yang memiliki sumberdaya finansial yang cukup besar, sehingga mereka
mampu berinvestasi di peningkatan kinerja sosialnya. Slack-Resources Hypothesis menjelaskan
mekanisme tersebut.
Sementara, kebanyakan perusahaan tambang sesungguhnya
sedang menghadapi situasi ekonomi yang sulit, sehingga merasa tak memiliki
untuk kemewahan menyisihkan sumberdaya finansial untuk mengelola kinerja
sosialnya. Banyak di antara perusahaan-perusahaan itu berdalih dengan situasi
ekonomi untuk menekan biaya pengelolaan sosialnya. Terlebih lagi, ketika mereka
mendekati fase penutupan dan pascatambang.
Dita, seorang anak yang
menderita lumpuh layu, diduga terdampak merkuri dari tambang emas, akhir
Agustus 2015, baru meninggal dunia. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia
Di Indonesia, dalih seperti itu terlalu kerap didengar
dan dimaklumi. Lagi-lagi ini karena sudut pandang yang dipergunakan biasanya
bias kepentingan korporasi. Apakah sesungguhnya masyarakat Indonesia tega
membiarkan perusahaan tambang mengabaikan hak-hak masyarakat sepanjang masa
operasinya hingga pascatambang? Atau sekadar tidak peduli lantaran tidak tahu
kondisi yang sebenarnya?
Film Sexy Killers kini telah membuka mata
puluhan juta orang atas berbagai isu di pertambangan batubara, termasuk kondisi
masyarakat di sekitar tambang. Masyarakat Indonesia berhutang untuk menonton
film dokumenter itu untuk mengedukasi dirinya, mencari pengetahuan lain yang lebih
dalam dan berimbang, lalu mengambil tindakan yang bisa dilakukan. Setidaknya
sebagai konsumen yang melek informasi, kalau belum mau secara langsung menjadi
aktivis yang mengubah praktik pengelolaan sosial dan lingkungan pertambangan di
Indonesia.
Sebetulnya, terdapat perkembangan yang sangat menarik
sejak 2016 dalam kebijakan pertambangan di Indonesia, yaitu munculnya regulasi
tentang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM)—sebuah istilah yang
ganjil, lantaran pengembangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat memiliki
arti yang sama—yang menyaratkan perusahaan pertambangan memiliki rencana induk
pengembangan masyarakat hingga penutupan tambang. Kebijakan ini membuat
perusahaan tambang seperti memiliki rencana penutupan tambang bidang sosial, setelah
selama ini yang menjadi fokus perhatian pada dokumen rencana penutupan hanyalah
aspek lingkungan.
Namun demikian, regulasi tersebut sesungguhnya tidak
cukup kuat. Di samping ada banyak isu sosial yang harus dikelola di luar
pengembangan masyarakat, tujuan sosial dari penutupan tambang tidaklah
dinyatakan secara eksplisit. Karena tidak eksplisit, maka tidak ada jaminan
bahwa perusahaan tambang akan memastikan kesejahteraan dan kemandirian
masyarakat di wilayah dampaknya setelah tambang berhenti beroperasi. Lantaran
Kementerian ESDM menyerahkan keputusan memberi arahan yang lebih detail kepada
pemerintah provinsi, dalam bentuk Cetak Biru PPM Provinsi, maka bagaimana
seeksplisit atau seimplisit apa tujuan tersebut akan tergantung dari setiap
provinsi yang membuatnya.
Kolam-kolam bekas tambang
timah yang menganga di Bangka. Anak-anak tanpa rasa takut bermain di dekat
kolam yang tak ada pagar. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia
Tahun 2019 adalah tahun ketika perusahaan-perusahaan
tambang itu wajib memasukkan dokumen tersebut. Namun, mengingat perkembangan
wacana dan praktik pengelolaan sosial pertambangan sebagaimana yang telah
dipaparkan, agaknya peluang untuk melihat sebuah Rencana Induk PPM yang
memuaskan sangatlah tipis. Apalagi, memaksakan perusahaan membuatnya tahun ini
sesungguhnya tidak tepat waktu secara perencanaan pembangunan.
Di tingkat nasional RPJMN 2020-2024 dan RAN SDGs memang
sudah ada bentuknya. Namun, keduanya perlu diturunkan menjadi RPJMP dan RAD
SDGs, yang belum semua provinsi memilikinya. Kalau kemudian pemerintah provinsi
membuat Cetak Biru PPM, itu sesungguhnya dibuat dengan rencana pembangunan yang
sebentar lagi tidak berlaku.
Agaknya para pemangku kepentingan di Indonesia perlu
kembali mengaji alifbata aspek sosial pertambangan secara serius. Pertambangan
adalah sektor yang menjanjikan peluang pembangunan berkelanjutan yang penting,
namun pada praktiknya itu telah gagal diwujudkan oleh praktik majoritas perusahaan
tambang yang mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Hanya apabila
prinsip-prinsip itu dikuasai secara menyeluruh, diejawantahkan dalam kebijakan
dan regulasi, dan didukung sepenuhnya oleh para pemangku kepentingan saja maka
pertambangan di Indonesia bisa berubah menjadi lebih baik. Hanya dengan
demikian pula masyarakat di sekitar tambang bisa melanjutkan kehidupannya
setelah tambang selesai beroperasi.
***
*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin
School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini
penulis.