Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Selasa, 28 Mei 2019

KEJAHATAN LINGKUNGAN | Ecocide Jadi Masukan Hukum Indonesia


Oleh ICHWAN SUSANTO - 28 Mei 2019

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Selasa (28/5/2019) sore, di Jakarta, meluncurkan buku Ecocide Memutus Impunitas Korporasi. Tampak narasumber dalam diskusi buku tersebut (dari kiri) Herlambang P Wiratraman (Fakultas Hukum Universitas Airlangga), Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komnas HAM), Yati Andriyanti (Kontras), M Ridha Saleh (penulis buku dan Walhi Institute), dan moderator Yuyun Harmono (Walhi).

JAKARTA, KOMPAS – Ecocide, istilah yang mengacu kerusakan ekologis sangat masif, berskala besar, dan sulit terpulihkan, didorong jadi diskursus dalam penguatan konstruksi hukum nasional. Hal itu dilatarbelakangi berbagai kasus kerusakan dan kejahatan lingkungan oleh korporasi yang tak tersentuh oleh konstruksi hukum nasional saat ini.

Dalam diskusi dan peluncuran buku “Ecocide Memutus Impunitas Korporasi”, Selasa (28/5/2019) di Kantor Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia, Jakarta, ecocide didorong untuk menjadi masukan dalam revisi atau amandemen UU no 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Perumusan teknis terkait elemen-elemen maupun definisi ecocide sendiri secara hukum akan menjadi pekerjaan rumah pakar hukum, pegiat lingkungan, pemerintah maupun penegak hukum.

Peluncuran buku itu menghadirkan Beka Ulung Hapsara (Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia), Yati Andriyanti (Koordinator Kontras), Herlambang P Wiratraman (Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya), M Ridha Saleh (penulis buku dan Walhi Institute), serta moderator Yuyun Harmono (Walhi). Buku serupa pernah ditulis Ridha Saleh pada tahun 2005 dengan judul “Ecocide Politik Kejahatan Lingkungan dan Pelanggaran HAM yang juga diterbitkan Walhi.

Herlambang P Wiratraman sepakat agar ecocide diwadahi dalam hukum nasional di Indonesia. Ia melihat pembicaraan global terkait ecocide menguat serta kondisi Indonesia sudah sangat membutuhkan hukum lebih kuat dan menggiring para perusak lingkungan yang masif.
“Perubahan iklim sudah sangat terlihat di Indonesia hari ini.  Ada problem korporasi kita dalam beberapa kasus yang saya kira studi kasus kebakaran hutan dan lahan atau landclearing atau landgrabing atau oceangrabing terus terjadi. Itu langkah maju sangat urgent karena dampak tidak hanya ekologi tapi juga hak-hak manusia,” katanya.
Ada problem korporasi kita dalam beberapa kasus yang saya kira studi kasus kebakaran hutan dan lahan atau land-clearing atau land-grabing atau ocean-grabing terus terjadi.

Berbagai kerusakan lingkungan yang amat masif serta penyingkiran masyarakat karena terusir dan tercerabut hak-hak asasinya itu tak tersentuh oleh hukum nasional yang ada. Contohnya, kasus Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur yang terjadi pada tahun 2006 hingga kini.

Komisi Nasional HAM pada tahun 2012 menyatakan peristiwa tersebut tidak termasuk pelanggaran HAM berat bila mengacu pada Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Ridha Saleh, penulis buku yang juga Komisioner Komnas HAM, saat memutuskan kasus Lumpur Lapindo saat itu, mengatakan tidak menemukan unsur kesengajaan Lapindo yang menyebabkan semburan lumpur tersebut.

Namun, imbuh Ridha Saleh, Komnas HAM saat itu memasukkan peristiwa Lumpur Lapindo sebagai ecocide. Rekomendasi lebih lanjut, ecocide dimasukkan dalam revisi/amandemen UU 26/2000.

Herlambang mengatakan kejahatan ecocide sedang menguat dalam pembicaraan globa. setidaknya, hal itu menjadi pembahasan dalam UN Human Rights Council serta diterapkan dalam International Crimincal Court (ICC).
“Di PBB sedang godok konvensi bisnis dan ham (legally binding treaty on business and human rights), sekarang baru guidance(the Guiding Principles on Business and human rights/UNGP) dan tidak ketat dipatuhi,” kata dia.
Di Den Haag, jaksa penuntut Mahkamah Pidana Internasional atau ICC mengambil kebijakan dengan mendorong kejahatan ecosida. Meskipun ruang lingkupnya masih sebatas bagian dari kejahatan perang sehingga terbatas cakupannya.

Herlambang P WiratramanPusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya.Difoto 28 Mei 2019 usai diskusi buku Ecocide di Markas Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) di Jakarta.

Masih diperdebatkan

Yati Andriyanti, Koordinator Kontras  mengatakan konsep ecocide terus berkembang dan masih diperdebatkan. Wilayah diskusi seputar perbedaan ecocide dan kejahatan lingkungan, skala kehancuran, hingga pemulihan serta jaminan tidak terulang, menjadi elemen-elemen pembicaraan.

Merujuk pada ecocide yang masuk dalam kejahatan perang dalam ICC, ia mengatakan poin kunci terpenuhinya kejahatan tersebut adalah adanya niatan/intensi, tindakan serangan terhadap penduduk sipil, serangan terhadap obyek sipil, dan serangan terhadap lingkungan yang meluas dalam skala besar dan terus-menerus. Sementara itu proposal Polly Higgins terkait  Rome Statute, menghapus poin kunci “niatan/intensi”.
“Dalam kasus lingkungan, lingkungan dilihat sebagai dampak. Bukan pada kesengajaan atau niat. Proposal Polly (Higgins) bisa dipahami karena kerusakan lingkungan seringkali   merupakan dampak,” kata dia.
Ia pun merekomendasikan agar memasukkan ecocide dalam revisi UU 26/2000. Ia mendorong agar para pakar hukum, pegiat lingkungan, serta Komnas HAM perlu mengklasifikasikan elemen-elemen kejahatan ecocide tersebut agar aplikatif.

Beka Ulung Hapsara, Komisioner Komnas HAM, pun sepakat memasukkan ecocide dalam revisi UU 26/2000. Diskursus terkait ecocide bisa menjadi masukan penting bagi revisi tersebut selain belum terselesaikannya berbagai pelanggaran HAM berat.

Selain itu, langkah itu dinilai penting di tengah fundalisme pasar (dan agama) yang dinilainya sangat menguat.
 “Pasar lebih mempengaruhi kebijakan negara daripada negara itu sendiri. Ini dibuktikan statement presiden sekarang ini. Hampir semua tolok ukur dengan investasi. Damai ukurannya investasi. Selalu seperti itu. Pada titik itulah kita bicara ecocide memutus impunitas korporasi. Tapi pada hulunya lah bagaimana korproasi tak berbuat jahat,” ungkapnya.
Sebagai langkah kampanye, ia menyarankan Walhi maupun Kontras untuk masuk dalam pertemuan internasional di Jenewa (United Nations Human Rights Council). Salah satunya adalah, membuat side event terkait kejahatan lingkungan dan HAM. Hal ini bisa menjadi strategi untuk menarik perhatian global dan pemerintah Indonesia.
 “Indonesia pasti akan kelabakan. Sama kelabakannya kalau (isu) Papua muncul,” ujarnya.

Kantor Kementerian ESDM DISEGEL Rakyat.



Bekukan Seluruh Kantor ESDM untuk Hentikan Perluasan Perusakan dan Pengungsian Sosial – Ekologis


(Jakarta, 28 Mei 2019) Sejumlah organisasi masyarakat sipil yakni Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Greenpeace Indonesia, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Enter Nusantara, Ranita, JPIC OFM Indonesia, dan Walhi Jakarta melakukan aksi segel di pagar utama Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta.

Aksi segel menggunakan perangkat aksi gembok raksasa ini merupakan bagian dari peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) 2019 yang diinspirasi dari salah satu tragedi bencana industri tambang pada 29 Mei 2006, tiga belas tahun lalu. Tiap 29 Mei peristiwa kelam ini diperingati sekaligus dijadikan momentum untuk melakukan kritik atas praktik buruk industri tambang di Indonesia selama ini.

Bencana Semburan Lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur merupakan salah satu situs tragedi pengungsian sosial-ekologis, di mana 640 hektar lahan di sepuluh desa, 10.426 rumah terendam lumpur panas dan memaksa 22.214 warganya mengungsi. Tidak hanya kasus Lapindo, potret warga yang tergusur dan dipaksa mengungsi juga terjadi di industri pertambangan lainnya, di berbagai daerah di Indonesia.
Di Kutai Timur, Kalimantan Timur, terdapat satu desa masyarakat adat Dayak Basap dipaksa pindah, menjauh dari wilayah adatnya yang ditambang oleh Kaltim Prima Coal. Sementara di Pulau Romang, Maluku, 3.954 warganya direncanakan direlokasi ke pulau lain akibat tempat tinggalnya dijadikan konsesi tambang emas PT Gemala Borneo Utama.
Begitu juga 12.000 jiwa terpaksa mengungsi dan 30 orang tewas akibat bencana banjir di lima kabupaten/kota di Provinsi Bengkulu akibat rusaknya kawasan hulu Sungai Bengkulu oleh aktivitas pertambangan batubara.

Potret-potret tersebut adalah bukti-bukti bahwa investasi berbasis komoditas tambang sebagai investasi yang rakus lahan, rakus air, sarat akan pelanggaran hak asasi manusia, serta jauh dari kata keberlanjutan lingkungan. Daya rusak industri pertambangan selama ini telah berhasil menciptakan pengungsi-pengungsi sosial-ekologis, yakni mereka yang ruang hidupnya dirampas dan dirusak, sehingga tak lagi melanjutkan kehidupannya dengan normal seperti semula; mereka yang dipaksa hidup berdampingan dengan krisis; serta mereka yang hidup tanpa adanya jaminan keselamatan akibat prasyarat keselamatan hidupnya tak terpenuhi – dihancurkan oleh industri tambang.

Daya rusak tambang tidak hanya berhenti pada penghancuran sosial – ekologis, namun juga merusak bentang politik Indonesia. Seperti yang disampaikan melalui film documenter Sexy Killers yang ditonton lebih dari 25 juta penonton di kanal youtube dan kemudian viral, demokrasi Indonesia yang sangat bertumpu pada politik elektoral dengan biaya besar, menjadi pintu masuk bagi pemodal politik, terutama pelaku industri berbasis lahan skala luas: pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan properti. Para oligark industri ekstraktif ini yang kemudian menunggangi bentang politik Indonesia melalui momen-momen politik elektoral seperti Pemilihan Kepala Daerah, Pemilihan Legislatif, dan Pemilihan Presiden. Rezim yang dihasilkan oleh proses politik elektoral yang sudah dibajak ini yang kemudian menjadi pangkal persoalan, mulai dari perusakan lingkungan hingga perampasan ruang hidup, lalu memaksa rakyat menjadi pengungsi di tanahnya sendiri.
Wajar saja dalam kasus industri batubara misalnya Pemerintah Indonesia tidak bisa lepas dari kecanduan energi kotor batubara mulai tambang hingga PLTU batubara, karena politik dibajak oleh kepentingan sesaat batu bara, ujar Ahmad Ashov Birry, Jubir Gerakan Bersihkan Indonesia dan sekaligus aktivis Trend Asia ini.

Menurut catatan JATAM, hanya dalam kurun waktu tidak sampai sepuluh tahun (2001-2010) jumlah IUP melambung drastis dari 750 izin menjadi lebih dari 10.000 izin pada tahun 2011 bersamaan dengan Pilkada dan Pemilu dan terkait dengan biaya politiknya, meskipun saat ini jumlahnya disebut berkurang karena ada penertiban dan penataan izin namun luasan keseluruhan konsesi tambang dan ditambah lagi oleh WK Migas ini mencakup 44 persen daratan dan perairan Indonesia.

diantara jumlah itu 3211 adalah izin pertambangan batubara. Pertambangan batu bara menjadi ancaman besar bagi ketahanan pangan Indonesia. Laporan tersebut memperkirakan bahwa 1,7 juta ton beras di Indonesia hilang setiap tahunnya akibat pertambangan batu bara. Bahkan ke depannya, jumlah tersebut akan bertambah hingga 6 juta ton produksi beras yang hilang, karena konsesinya berada dikawasan pertanian padi. Menurut data Jatam, hampir sepersepuluh lahan di Indonesia dialokasikan untuk pertambangan batu bara dan sebanyak 80 persen lahan tersebut sudah ditambang.

Catatan lain dari data base JATAM, 6,3 juta hektar tambang masuk ke dalam kawasan hutan konservasi dan hutan lindung; masih terdapat piutang PNBP sebesar Rp 26,2 triliun dimana 21,8 berupa DHPB/Royalti dari 5 (lima) Perusahaan PKP2B Generasi I dan sisanya Rp 4,3 triliun dari PKP2B, KK dan IUP; dan sebanyak 75% IUP tak membayar jaminan reklamasi dan pasca tambang.

Greenpeace Indonesia mencatat bahwa pemerintah Indonesia dalam beberapa tahun terakhir bahkan telah melanggar komitmennya sendiri dalam tata kelola tambang batu bara dan sektor energi. Sementara di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN 2015-2019) pemerintah menargetkan penurunan target produksi batu bara secara bertahap hingga mencapai 406 juta ton, realisasinya malah naik menjadi sekitar 530 juta ton di tahun 2019. Hal ini berkelindan dengan kebijakan di sektor kelistrikan yang terus melakukan ekspansi PLTU batu bara dan transisi ke energi bersih dan terbarukan yang setengah hati. Hasilnya adalah kerusakan lingkungan, dampak sosial, ekonomi, dan kesehatan dan praktik korupsi yang kian masif seperti yang terjadi pada kasus PLTU Riau 1. Konflik kepentingan dan korupsi politik yang nyata juga terus berlangsung seperti keterlibatan Menko Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan di dalam bisnis pertambangan dan PLTU batu bara melalui grup bisnis Toba Sejahtra.

Pusat Data dan Informasi KIARA mencatat bahwa proyek tambang telah merenggut hak konstitusional masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang terdampak. Pada saat yang sama, masyarakat kehilangan lingkungan pesisir yang sehat dan bersih karena telah hancur oleh aktivitas tambang. Jika dilihat dari perspektif kerawanan, pesisir dan pulau-pulau kecil memiliki tingkat kerawanan yang tinggi, hal ini dapat disebabkan karena persoalan krisis iklim atau akibat pembangunan serta industri yang ekstraktif, yang tidak berwawasan lingkungan. Proyek tambang di pesisir dan pulau-pulau kecil sangat mengancam ekosistem pulau termasuk masyarakat yang tinggal didalamnya.

Susan Herawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyatakan hingga akhir 2018, KIARA mencatat bahwa terdapat 26 titik area pertambangan yang berada di wilayah pesisir Indonesia yang tersebar di 23 provinsi dengan total konsesi sebanyak 1895 Hektar Area (Ha). Lebih dari 35 ribu keluarga nelayan yang terdampak dari proyek tersebut.
“Data kami mencatat bahwa akibat proyek pertambangan pesisir dan pulau-pulau kecil yang sangat masif ini, setidaknya ada 6081 desa pesisir yang kawasan perairannya telah tercemari oleh limbah pertambangan. Jika proyek destruktif ini tidak segera dihentikan, maka akan semakin banyak desa-desa pesisir yang hancur dan menjadi tempat terakhir pembuangan limbah dan ini akan semakin merusak keberlangsungan lingkungan alam Indonesia. Kami mendesak pemerintah untuk membekukan kantor ESDM karena menjadi sumber permasalahan hulu hilir perusakan lingkungan seperti segala bentuk pertambangan yang merusak lingkungan dan alam, untuk berbenah dan tidak melanggengkan izin industri ekstraktif dan beralih untuk menggunakan energi bersih yang adil dan terbarukan” tutup Susan Herawati.
Politik elektoral yang menghabiskan uang rakyat begitu besar ini juga menghancurkan upaya-upaya warga dalam menjaga dan menyelamatkan sumber penghidupannya, mulai dari kampung, lahan-lahan pangan, sumber air, dan hutan. Dapat dipastikan, siapapun rezim pemerintahan yang dihasilkan akan bekerja untuk memenuhi kepentingan para pemodal politiknya. 
Kementerian ESDM merupakan salah satu simpul birokrasi pemerintahan terpenting dalam melanggengkan oligarki ekstraktif di Indonesia. Kantor kementerian inilah yang selama ini berfungsi menyediakan perangkat kebijakan dan perizinan yang diterbitkan baik oleh pemerintah pusat maupun Kepala Daerah untuk memfasilitasi ekspansi industri ekstraktif di Indonesia. Kantor-kantor pengurus publik inilah yang harusnya bertanggung jawab atas segala permasalahan perampasan dan perusakan ruang hidup rakyat oleh industri ekstraktif.

ill: Merdeka

Pada peringatan Hari Anti Tambang (HATAM) tahun ini para aktivis dan warga korban mendesak pembekuan Kantor ESDM baik pusat maupun daerah, sebab fungsi, wewenang dan instrumen perizinan yang diterbitkannya adalah sumber perusakan dan pelayan kepentingan korporasi, baik pelayan perbankan/keuangan maupun industri pertambangan. Selain di Jakarta, HATAM 2019 disuarakan dan dirayakan dengan bentuk yang beragam di 18 titik, yaitu di Dairi (Sumatera Utara), Bengkulu, Sumatera Selatan, Bogor, Jakarta, Karawang, Yogyakarta, Porong, Banyuwangi, Kupang, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Bandung, Maros, Palu serta Maluku Utara.
Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) mengatakan “pembekuan kantor-kantor ESDM ini diperlukan sehingga Indonesia mempunyai satu masa transisi untuk mempertimbangkan kembali arah industrialisasi dan strategi penganggaran pendapatan dan belanja publik, sebagai bentuk tanggung-jawab atas krisis ekologis dan pengungsian sosial di seluruh kepulauan dan perairan Indonesia, yang didorong terutama oleh industri ektraktif”.
“Industrialisasi harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi warga negara/angkatan kerja dan bagi penerapan keadilan sosial, pendapatan negara tidak boleh dibangkitkan dengan mengorbankan syarat-syarat keselamatan warga negara dan alam jangka panjang tambahnya”.
“Pembekuan kantor-kantor ESDM ini harus diikuti dengan penyusunan skenario transisi, mulai dari penyelamatan ekonomi Indonesia dari ketergantungan ekonomi tambang, pemulihan ruang hidup warga, penegakan hukum, maupun peralihan dari energi fosil ke energi bersih –terbarukan- yang adil. Selama pembekuan ini berlangsung, aparat negara harus menjaga dan memastikan bahwa wewenang legislasi/penerbitan izin ESDM berhenti. Pembekuan ini dilakukan untuk menjaga agar objek vital nasional sesungguhnya, yakni seluruh daratan kepulauan dan perairan indonesia, tidak mengalami perusakan lebih lanjut", tutup Merah Johansyah.
Narahubung / Wakil Koalisi Aksi:
·         Merah Johansyah (JATAM) – 081347882228
·         Ahmad Ashov Birry (Trend Asia / BI) – 08111757246
·         Fikerman Saragih (KIARA) – 082365967999
·         Bondan (Greenpeace Indonesia) – 08118188182
·         Irfan (KMPLHK Ranita) - 081212741164 
·         Hasan Sibon (Walhi Jakarta) – 081818196671
·         Azka (Enter Nusantara) – 082118436250
·         JPIC OFM Indonesia (Rian Safio/081297287925)

Sabtu, 18 Mei 2019

Hari Anti Tambang: Bikin Banyak Masalah, Indonesia Mesti Tinggalkan Industri Pertambangan

oleh Della Syahni, Jakarta di 29 May 2017


Memperingati Hari Anti Tambang (Hatam), setiap 29 Mei, sejumlah organisasi masyarakat sipil mendesak Pemerintah Indonesia memulai langkah meninggalkan industri pertambangan sebagai tumpuan ekonomi negara. Dari berbagai sisi, tambang jelas lebih banyak menimbulkan kerugian dibanding keuntungan.

Benny Wijaya dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengatakan,  pertambangan menimbulkan persoalan paling rumit dalam agraria.
 “Semua protes terkait permasalahan agraria selalu dijawab pemerintah ‘untuk kepentingan negara’ seperti protes pangan tergerus tambang,” katanya di Jakarta, dalam diskusi Jatam.
Benny menyoroti, empat hal menyebabkan tambang makin menghancurkan sumber pangan di Indonesia. Pertama, pemerintah masih sangat bergantung industri ekstraktif yang mengeruk kekayaan alam dan membuat lahan pertanian makin sempit.

Kedua, pengelolaan industri ekstraktif oleh korporasi dengan izin negara, merampas hak-hak masyarakat lokal. Ketiga, marak korupsi sektor agraris, mulai pemberian izin hingga penggunaan aparat negara untuk menghadapi rakyat dalam konflik agraria.
“Ironis, dengan semangat desentralisasi yang mestinya memberi daerah kuasa mengontrol sumber daya alam, malah jadi ajang eksploitasi.”
Keempat, pembangunan infrastruktur untuk pertambangan praktis berimbas pada daerah lain di sekitar wilayah tambang. Terjadi perampasan ruang kelola rakyat secara paksa.

Benny mencontohkan, kasus warga Surokonto Wetan, Kendal, jadi korban tukar guling lahan PT. Semen Indonesia di Rembang. “Itu tanah sudah digarap warga. Tanpa tranparansi, tanpa sosialisasi diambil Perhutani untuk tukar guling.”

Dalam setiap kasus yang didampingi KontraS, pertambangan selalu hadir dari sisi yang ditutupi dari warga.
 “Kalaupun ada sosialisasi hanya memberitahu tambang masuk, tanpa masyarakat punya pilihan,” kata Rivanlee, mewakili KontraS.
Dari sisi administratif, UU Mineral dan Batubara, kata Bondan Adriyanu dari Greenpeace, lebih berpihak pada pengusaha dan korporasi. Berbagai dampak pertambangan terutama kontaminasi tanah, erosi, keasaman air, longsor dan debu belum jadi pertimbangan.
“Logam berat misal yang masuk UU hanya besi, mangan. Merkuri tak ada,” ucap Benny.
Dengan begitu, kata Bondan, saat dimintai tanggungjawab seringkali perusahaan tambang berdalih merek a tak menyalahi UU. Belum lagi efisiensi batubara, misal untuk pembangkit listrik hanya 30%. 
 “Sisanya dibakar.”
Alat berat milik penambang emas ilegal sedang mengeruk Sungai Pamong Besar, Sangir, Solok Selatan. Foto: Vinolia

Data Dirjen Kelistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mencatat nyaris semua desa di Jawa, sudah teraliri listrik. Program 35.000 megawatt gagasan Presiden Joko Widodo, sebagian besar dibangun di Jawa.
“Masyarakat belakangan juga sering mengeluhkan listrik mahal. Jadi listrik ini buat siapa? Murahnya di mana?”
Belakangan, dampak PLTU batubara juga makin parah. Di Jakarta, misal, udara makin pengap diduga karena PLTU terdekat, salah satu di Bekasi nyala 24 jam. PLTU dengan klaim teknologi paling bersih sekalipun, seperti PLTU Jepara tetap menyisakan ISPA bagi masyarakat sekitar.
“Jadi, bersihnya di mana?” tanya Bondan.
Masyarakat pesisir juga kerap jadi sasaran aktivitas hilir tambang batubara. Data Kiara 2016, 18 pesisir  di Indonesia telah jadi tambang. Penambangan dan pembangkit listrik di pesisir pantai Indonesia, cenderung menghilangkan ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat pesisir.
“Padahal, penambangan pesisir jelas dilarang,” kata Rosiful Amirudin dari Kiara.
Krimininalisasi warga juga banyak terjadi ketika masyarakat pesisir mempertahankan mata pencaharian mereka.
 “Perlawanan masyarakat Jepara terhadap tambang pasir besi, misal, membuat dua perempuan dikriminalisasi,” katanya.

Lama dan primitif

Tambang batubara di Indonesia termasuk paling lama dan paling primitif. Khalisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, tak hanya soal usia, praktik pertambangan seringkali merampas tanah-tanah rakyat, daya rusak besar, dan akrab dengan polusi dan pencemaran.

Narasi paling buruk dari tambang batubara di Indonesia yakni 27 anak meninggal di lubang-lubang tambang perusahaan di Kalimantan Timur.
“Padahal kewajiban jelas, ada jaminan reklamasi, dana pasca tambang. Perusahaan wajib menutup lubang tambang,” kata Alin, panggilan akrabnya.
Laporan 81 perusahaan ke Dinas Pertambangan Kaltim, hingga Desember 2016, ada 314 lubang bekas tambang batubara. Temuan Dinas Pertambangan dua kali lipat. Hingga Agustus lalu, ada 632 lubang tambang diperoleh dari pemotretan dari udara lewat satelit Landsat.

Bekas tambang terbanyak di Kutai Kartanegara, ada 264 lubang. Di Samarinda, 164 lubang, Kutai Timur 86, Paser 46, Kutai Barat 36, Berau 24, dan Penajam Paser Utara, satu lubang.


Alasan pembangunan sering menjadi argumen pro tambang, kata Alin, berbanding terbalik dengan tujuan pembangunan untuk meningkatkan perekonomian.
“Biaya lingkungan, kesehatan tak pernah dihitung dalam politik anggaran. Argumentasi pertumbuhan ekonomi terbantahkan dengan kerugian dampak tambang.”
Pada sisa masa pemerintahan Jokowi, katanya, mestinya presiden gunakan waktu untuk perbaikan, evaluasi dan melihat alternatif ekonomi selain industri ekstraktif.

Senada dengan Alin, Ki Bagus Hadikusuma dari Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) mengataka,n momen Hatam jadi waktu tepat bagi Presiden membuktikan apa yang disampaikan pada korban lumpur Lapindo dua tahun silam.
“Tepat Hatam dua tahun lalu presiden mengatakan negara harus hadir untuk warga semburan lumpur Lapindo. Kini, sudah 11 tahun lumpur Lapindo, di mana negara?” katanya.

Pertanian warga sangat subur walau di musim kemarau. Mereka tinggal di kaki Pegunungan Kendeng yang berlimpah air. Kawasan ini terancam tambang dan pabrik semen. Foto: Tommy Apriando

Sabtu, 04 Mei 2019

Sexy Killers : Agar Masyarakat Bisa Melanjutkan Hidup Setelah Tambang [3]


oleh Jalal* - 4 May 2019



·              Pertambangan sepanjang sejarahnya adalah sektor yang penuh kontroversi. Sektor yang menghadirkan banyak sekali masalah bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitar tambang.

·              Aspek sosial dengan berbagai indikator menjadi syarat penting dalam proses pascatambang untuk meminimalisir dampak buruk, dengan rencana pascatambang sedini mungkin yang memperhatikan enam isu sosial penting, antara lain pemanfaatan lahan pascatambang.
·              Aspek sosial tersebut menjadi prasyarat dalam dokumen mutakhir ICMM, Integrated Mine Closure, Good Practice Guide, 2nd Edition, 2019 sebagai bagian dari pertambangan yang berkelanjutan. Tetapi umumnya aspek sosial tidak diperhatikan oleh perusahaan menjelang pascatambang. Bagaimana praktiknya di lapangan?
·              Artikel opini ini merupakan bagian ketiga dari tiga tulisan opini.



Lubang bekas galian tambang PIT 7D5, milik PT. Gunung Bayan Pratama Coal. Foto: Jatam Kaltim/Mongabay Indonesia

Ada empat tema besar terkait dengan prosedur dan proses penutupan tambang, yaitu integrasi dan keberlanjutan; pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan; penilaian data dasar, risiko, dan dampak; tata kelola dan negara. Tema pertama itu terkait dengan tujuan dari perusahaan (keberlanjutan bisnis) dan ekspektasi dari masyarakat (keberlanjutan kehidupan), serta bagaimana memastikan bahwa tujuan tersebut tercapai.

Sangat dominan dalam pustaka yang ditemukan adalah nasihat seperti keharusan untuk merancang sejak awal. “Thinking about the end before you start” adalah nasihat dari S.J. Finucane yang dikutip pada dokumen tersebut. Hasil dari mengintegrasikan pemikiran keberlanjutan dari awal adalah peluang untuk peningkatan kinerja sosial sekaligus penurunan biaya.

Terkait erat dengan prosedur pertama, ketika memetakan apa yang penting dilakukan terkait pembinaan hubungan dengan masyarakat, yang sangat menonjol adalah tentang pentingnya pembinaan hubungan sejak awal dan kontinum. Masyarakat harus dibuat sadar sepenuhnya bahwa usia tambang itu terbatas, sehingga, apabila kehidupan mereka terkait dengan ekonomi pertambangan, mereka harus menyadari kapan perlunya sudah memiliki sumber penghidupan yang lain.

Hal ini membutuhkan komunikasi yang transparen dan efektif, juga kesadaran perusahaan bahwa keputusan tentang apa yang akan dibangun untuk pascatambang bukanlah keputusan unilateral. “Decisions about the closure vision do not belong to mining companies alone; they also belong to the people who will remain in the area after the mine closes,” tegas Baiton dan Holcombe, dan hal itu membutuhkan kesadaran tentang aksesibilitas bagi dan inklusi para pemangku kepentingan.

Karena nasihat terpentingnya adalah memulai perencanaan pascatambang sedini mungkin (mining for closure), maka penilaian tentang kondisi awal, risiko dan dampak menjadi sangat penting. Kalau alat seperti social impact assessment dikembangkan dengan optimal, dan dipergunakan bersama-sama dengan environmental impact assessment, seharusnya penilaian yang dimaksud sudah termaktub di dalamnya.

Sayangnya, penilaian dampak sosial tampak tidak menonjol di dalam dokumen-dokumen penilaian dampak yang biasanya diajukan oleh pertambangan ketika memulai operasinya. Konsekuensinya, perusahaan perlu membuatnya ketika operasi sudah berjalan. Beberapa literatur menegaskan tentang perlunya perusahaan untuk membuat studi tentang kerentanan masyarakat serta membangun skenario tentang kehidupan masyarakat pascatambang, sedini mungkin.

Tentang tata kelola dan negara, pustaka biasanya menegaskan bahwa perusahaan tambang skala besar memiliki kepatuhan yang lebih tinggi kepada aturan yang ada. Bahkan, mereka juga memiliki standar penutupan tambang yang melampaui regulasi pemerintah—walau secara sosial masih memiliki kelemahan mendasar. Alasannya adalah bahwa regulasi biasanya tidak cukup untuk mengelola risiko yang dihadapi oleh perusahaan. Dalam hal ini, yang kerap disebut mengecewakan dalam pustaka adalah keterlibatan yang sangat rendah atau artifisial dari pemerintah. Karena penutupan tambang tidak menghasilkan pendapatan bagi pemerintah—padahal sangat penting bagi masyarakat—pemerintah biasanya enggan bersungguh-sungguh dalam mengurusnya.

Pertambangan bauksit hanya menyisakan limbah bekas galian dan pencemaran udara tanpa ada upaya mereklamasi bekas tambangnya. Foto: Andi Fachrizal/Mongabay Indonesia

Isu Sosial Penutupan Tambang

Lalu, isu sosial apa saja yang penting diurus dalam penutupan tambang?
Ada enam, yaitu normalisasi perumahan dan kota, penyediaan layanan dan infrastruktur, transisi ekonomi, pembinaan hubungan dengan masyarakat adat terkait pemanfaatan lahan pascatambang, perjanjian dengan masyarakat pemilik lahan, serta infrastruktur tambang sebagai warisan budaya.

Banyak pertambangan yang merupakan satu-satunya operasi dengan teknologi modern di tempat terpencil. Lalu, ketika tambang hendak berakhir, maka ada dua kemungkinan dari perumahan, atau bahkan kota, yang tadinya ramai. Pertama, terus dimanfaatkan sebagai pemukiman dan fasilitas pendukungnya, manakala ada ekonomi yang bisa terus tumbuh pascatambang. Tetapi, kemungkinan kedua, bakal berubah menjadi ghost town, lantaran tak ada penduduk yang bersedia tinggal di situ lagi—kecuali masyarakat lokal yang tak bisa meninggalkan wilayahnya. Pemanfaatan perumahan dan bangunan lain hanya akan terjadi bila sedari awal dirancang tumbuhnya bentuk-bentuk ekonomi baru di wilayah tersebut.

Beberapa kelompok masyarakat, terutama yang rentan, mungkin belum benar-benar bisa mencapai kondisi kesejahteraan dan kemandirian ketika tambang berhenti beroperasi. Karenanya berbagai layanan dasar (essential services) masih perlu diberikan, hingga batas waktu tertentu. Demikian juga, kemungkinan ada infrastruktur tambahan yang masih perlu dibangun dan/atau diperbaiki agar masyarakat dapat melanjutkan kehidupannya. Namun, tentu saja, hal yang sangat penting untuk dihindari adalah ketergantungan terus-menerus, yang mana menunjukkan kegagalan pascatambang.

Untuk memastikan bahwa ketergantungan tidak terjadi, transisi ekonomi memang sudah harus dirancang sedari awal. Banyak perusahaan tambang yang menerima masyarakat setempat sebagai tenaga kerja, selain memberikan peluang bisnis terkait dengan pertambangan yang dilakukan. Namun, dengan terbatasnya usia pertambangan, maka penyapihan harus dirancang untuk memastikan masyarakat dapat mandiri pada waktunya. Pilihan-pilihan ekonomi lokal yang dapat tumbuh pascatambang, termasuk pertanian dan pariwisata, harus dipetakan terlebih dahulu, lalu transisinya dijalankan melalui program pengembangan masyarakat, terutama di fase operasi.

Korlap Forum Masyarakat Bela Wawonii, Mando, membacakan surat pernyataan penolakan tambang di Wawonii, yang selesai ditanda tangani oleh Wagub Sultra, Lukman Abunawas. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Berikutnya soal masyarakat adat. Di antara beragam jenis kelompok rentan, masyarakat adalah salah satu yang paling kerap disengsarakan sepanjang operasi, misalnya lantaran penggusuran. Perusahaan tambang yang memiliki pemahaman atas HAM dan social license to operate biasanya jauh lebih menghormati masyarakat adat, termasuk dengan merundingkan pemanfaatan pascatambang dari lahan-lahan mereka yang secara temporal dimanfaatkan oleh perusahaan. Kearifan lokal masyarakat adat sangatlah bermanfaat untuk mengembalikan kondisi lahan atau mengembangkannya untuk pemanfaatan yang lain.

Bainton dan Halcombe menemukan terlampau sedikit catatan dan praktik tentang bagaimana perusahaan dan masyarakat membuat perjanjian tentang kondisi pascatambang, termasuk soal pemanfaatan lahan. Sudah terlampau lama pemahaman perusahaan, dan pemerintah, bahwa lahan tambang akan direklamasi, dan direhabilitasi, dengan sudut pandang lingkungan semata. Padahal, selain kerap tidak benar-benar ditegakkan, pilihan pemanfaatan lahan yang lebih baik untuk kehidupan masyarakat mungkin tersedia. Seandainya hendak dihutankan kembali sekalipun, seharusnya dipertimbangkan beragam tanaman produktif dalam pola agroforestri.

Terakhir, terdapat beberapa kasus yang menunjukkan bahwa bila pertambangan dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama, masyarakat mungkin mengembangkan budaya pertambangan. Sehingga, ada kemungkinan masyarakat ingin melestarikannya sebagai warisan budaya. Pada kasus-kasus yang demikian, masyarakat ingin menyandingkan tambang tradisional dengan yang modern.

PLTU di dekat pemukiman warga di Desa Muaramaung, Kecamatan Merapi Barat, Lahat, Sumsel. Warga terkena dampak buruk asap batubara. Foto: Tommy Apriando/ Mongabay Indonesia

Menuju Penutupan Tambang yang Terpadu

Studi literatur yang komprehensif sangat jelas menunjukkan bahwa perhatian atas aspek sosial penutupan tambang sangatlah tertinggal dibandingkan aspek lingkungannya. Sebagaimana yang juga dipahami, wacana dan praktik aspek sosial pertambangan memang tertinggal dibandingkan aspek teknis serta lingkungan. Namun, perhatian atas aspek sosial itu terus menguat dalam beberapa dekade terakhir, dan akhirnya aspek sosial dalam penutupan dan pascatambang juga mendapat perhatian memadai, setidaknya dari para pakar dan perusahaan tambang yang progresif.

Salah satu bukti bahwa penutupan tambang akhirnya mengarusutamakan sudut pandang sosial adalah dokumen mutakhir ICMM, Integrated Mine Closure, Good Practice Guide, 2nd Edition, yang terbit di awal tahun 2019. Visi, prinsip, dan tujuan penutupan tambang sudah sangat jelas komponen sosialnya. Demikian juga, sangat tegas perspektif sosial dalam bab-bab mengenai pemanfaatan lahan pascatambang, pembinaan hubungan dengan pemangku kepentingan, risiko dan peluang, aktivitas, transisi sosial, dan perhitungan biaya. Dapat dikatakan bahwa dokumen 18 bab tersebut memang mengkokohkan perspektif sosial atas penutupan tambang; benar-benar jauh melampaui edisi pertama yang terbit 11 tahun sebelumnya.

Di samping 18 bab, dokumen itu juga menyediakan 12 alat (tool) yang seluruhnya jelas menunjukkan perspektif sosial. Beberapa alat yang sangat secara tegas merupakan alat untuk mewujudkan tujuan sosial pascatambang adalah alternatif pemanfaatan (Alat 4), pesan kunci untuk aspek sosial (Alat 5), checlist aktivitas transisi sosial (Alat 6), penilaian dan manajemen risiko/peluang (Alat 8), dan investasi sosial untuk penutupan tambang (Alat 11).

Dokumen itu, menyatakan dengan tegas bahwa transisi sosioekonomi adalah salah satu prinsip yang harus ditegakkan dalam penutupan tambang, yang dijabarkan sebagai: “…to promote, to the extent practical, a smooth transition from the socioeconomic conditions that existed during mining activities to the state that will be present after mining. Where practicable, the net socioeconomic impact on the affected region should be beneficial.”

Walaupun ada klausa ‘to the extent practical’ dan ‘where practicable’ pada pernyataan prinsip itu, tentu mengupayakan perwujudan transisi yang mulus serta dampak bersih sosioekonomi yang positif adalah keharusan. Apabila mau lebih tegas, tujuan sosial penutupan tambang bisa dinyatakan untuk memastikan kesejahteraan dan keberlanjutan kehidupan masyarakat setelah tambang berakhir. Tak ada indikator yang lebih baik lagi dalam menggambarkan keberlanjutan (manfaat) pertambangan selain kondisi masyarakat yang ditinggalkan perusahaan.

Masalah di daerah pengerukan batubara di Samarinda, Kalimantan Timur. Rahmawati, ibunda Raihan, memegang foto anaknya, korban ke-9 yang tewas di kolam tambang. Hingga Juni 2017, kasus tak ada kejelasan. Foto: Tommy Apriando/Mongabay Indonesia

Dari Standar dan Norma Menuju Praktik

Beragam kemajuan yang tampak itu sesungguhnya bukanlah merupakan norma dan kenyataan yang bisa disaksikan di majoritas perusahaan tambang. Perusahaan-perusahaan yang menjadi anggota ICMM bisa dikatakan adalah perusahaan tambang yang memiliki kinerja sosial yang secara rerata jauh di atas industri. Namun, itu tidak berarti perusahaan-perusahaan itu tidak memiliki masalah sosial. Hasil audit atas prinsip-prinsip ICMM terhadap perusahaan anggotanya selalu menunjukkan kesenjangan—dan di antaranya ada yang benar-benar lebar.

Perusahaan-perusahaan itu menjadi paling menonjol kinerja sosial (dan lingkungan)-nya mungkin lantaran dua hal: manajemen reputasi dan kemampuan sumberdaya. Yang pertama sangat jelas merupakan pendorong yang penting bagi perusahaan-perusahaan tambang yang skalanya besar, berorientasi ekspor dan melantai di bursa saham. Mereka yang besar itu sangat tampak di mata pemangku kepentingannya, dengan dampak positif maupun negatif yang kentara. Perusahaan tambang yang mengekspor produknya akan berhadap-hadapan dengan pemangku kepentingan global yang lebih kritis. Demikian juga, perusahaan tambang yang menjadi perusahaan publik punya berbagai keharusan untuk memenuhi standar yang lebih tinggi, selain menjadi fokus para analis.

Bergabung dengan organisasi promotor keberlanjutan dalam sektor tertentu seperti ICMM memiliki keuntungan pengetahuan, bantuan praktik, maupun asosiasi positif di mata pemangku kepentingannya. Karenanya, perusahaan-perusahaan tambang yang kondisinya seperti yang disebutkan di atas itu cenderung untuk bergabung, dengan motivasi besar untuk menjaga reputasinya. Ini biasanya—namun tidak selalu—bertentangan secara diametrikal dengan perusahaan sedang/kecil, berorientasi pasar domestik, dan tidak melantai di bursa. Mereka merasa tak memerlukan manajemen reputasi yang sungguh-sungguh, lantaran ekspektasi dan tekanan pemangku kepentingan yang rendah.

Penjelasan lainnya adalah bahwa perusahaan-perusahaan besar, berorientasi ekspor, dan menyandang status perusahaan publik adalah perusahaan yang memiliki sumberdaya finansial yang cukup besar, sehingga mereka mampu berinvestasi di peningkatan kinerja sosialnya. Slack-Resources Hypothesis menjelaskan mekanisme tersebut.

Sementara, kebanyakan perusahaan tambang sesungguhnya sedang menghadapi situasi ekonomi yang sulit, sehingga merasa tak memiliki untuk kemewahan menyisihkan sumberdaya finansial untuk mengelola kinerja sosialnya. Banyak di antara perusahaan-perusahaan itu berdalih dengan situasi ekonomi untuk menekan biaya pengelolaan sosialnya. Terlebih lagi, ketika mereka mendekati fase penutupan dan pascatambang.

Dita, seorang anak yang menderita lumpuh layu, diduga terdampak merkuri dari tambang emas, akhir Agustus 2015, baru meninggal dunia. Foto: Eko Rusdianto/Mongabay Indonesia

Di Indonesia, dalih seperti itu terlalu kerap didengar dan dimaklumi. Lagi-lagi ini karena sudut pandang yang dipergunakan biasanya bias kepentingan korporasi. Apakah sesungguhnya masyarakat Indonesia tega membiarkan perusahaan tambang mengabaikan hak-hak masyarakat sepanjang masa operasinya hingga pascatambang? Atau sekadar tidak peduli lantaran tidak tahu kondisi yang sebenarnya?

Film Sexy Killers kini telah membuka mata puluhan juta orang atas berbagai isu di pertambangan batubara, termasuk kondisi masyarakat di sekitar tambang. Masyarakat Indonesia berhutang untuk menonton film dokumenter itu untuk mengedukasi dirinya, mencari pengetahuan lain yang lebih dalam dan berimbang, lalu mengambil tindakan yang bisa dilakukan. Setidaknya sebagai konsumen yang melek informasi, kalau belum mau secara langsung menjadi aktivis yang mengubah praktik pengelolaan sosial dan lingkungan pertambangan di Indonesia.

Sebetulnya, terdapat perkembangan yang sangat menarik sejak 2016 dalam kebijakan pertambangan di Indonesia, yaitu munculnya regulasi tentang pengembangan dan pemberdayaan masyarakat (PPM)—sebuah istilah yang ganjil, lantaran pengembangan masyarakat dan pemberdayaan masyarakat memiliki arti yang sama—yang menyaratkan perusahaan pertambangan memiliki rencana induk pengembangan masyarakat hingga penutupan tambang. Kebijakan ini membuat perusahaan tambang seperti memiliki rencana penutupan tambang bidang sosial, setelah selama ini yang menjadi fokus perhatian pada dokumen rencana penutupan hanyalah aspek lingkungan.

Namun demikian, regulasi tersebut sesungguhnya tidak cukup kuat. Di samping ada banyak isu sosial yang harus dikelola di luar pengembangan masyarakat, tujuan sosial dari penutupan tambang tidaklah dinyatakan secara eksplisit. Karena tidak eksplisit, maka tidak ada jaminan bahwa perusahaan tambang akan memastikan kesejahteraan dan kemandirian masyarakat di wilayah dampaknya setelah tambang berhenti beroperasi. Lantaran Kementerian ESDM menyerahkan keputusan memberi arahan yang lebih detail kepada pemerintah provinsi, dalam bentuk Cetak Biru PPM Provinsi, maka bagaimana seeksplisit atau seimplisit apa tujuan tersebut akan tergantung dari setiap provinsi yang membuatnya.

Kolam-kolam bekas tambang timah yang menganga di Bangka. Anak-anak tanpa rasa takut bermain di dekat kolam yang tak ada pagar. Foto: Lusia Arumingtyas/ Mongabay Indonesia

Tahun 2019 adalah tahun ketika perusahaan-perusahaan tambang itu wajib memasukkan dokumen tersebut. Namun, mengingat perkembangan wacana dan praktik pengelolaan sosial pertambangan sebagaimana yang telah dipaparkan, agaknya peluang untuk melihat sebuah Rencana Induk PPM yang memuaskan sangatlah tipis. Apalagi, memaksakan perusahaan membuatnya tahun ini sesungguhnya tidak tepat waktu secara perencanaan pembangunan.

Di tingkat nasional RPJMN 2020-2024 dan RAN SDGs memang sudah ada bentuknya. Namun, keduanya perlu diturunkan menjadi RPJMP dan RAD SDGs, yang belum semua provinsi memilikinya. Kalau kemudian pemerintah provinsi membuat Cetak Biru PPM, itu sesungguhnya dibuat dengan rencana pembangunan yang sebentar lagi tidak berlaku.

Agaknya para pemangku kepentingan di Indonesia perlu kembali mengaji alifbata aspek sosial pertambangan secara serius. Pertambangan adalah sektor yang menjanjikan peluang pembangunan berkelanjutan yang penting, namun pada praktiknya itu telah gagal diwujudkan oleh praktik majoritas perusahaan tambang yang mengabaikan prinsip-prinsip keberlanjutan. Hanya apabila prinsip-prinsip itu dikuasai secara menyeluruh, diejawantahkan dalam kebijakan dan regulasi, dan didukung sepenuhnya oleh para pemangku kepentingan saja maka pertambangan di Indonesia bisa berubah menjadi lebih baik. Hanya dengan demikian pula masyarakat di sekitar tambang bisa melanjutkan kehidupannya setelah tambang selesai beroperasi.

***
*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis.

Jumat, 03 Mei 2019

Sexy Killers : Masyarakat Sebagai Anak Tiri Pertambangan? [2]


oleh Jalal* - 3 May 2019

  • ·         Pertambangan sepanjang sejarahnya adalah sektor yang penuh kontroversi. Sektor yang menghadirkan banyak sekali masalah bagi lingkungan dan masyarakat yang hidup di sekitar tambang.
  • ·         Wacana tentang pertambangan berkelanjutan semakin komprehensif, mencakup ekonomi, sosial dan lingkungan yang saling memengaruhi dan dampak tiga fungsi seharusnya kepada ketika sebuah pertambangan telah berhenti beroperasi.
  • ·         Sayangnya secara umum aspek sosial dalam pertambangan kinerjanya memang masih rendah bila merujuk pada 6 kriteria Deanna Kemp dan John Owen dalam makalah Social Performance Gaps in the Global Mining Industry.
  • ·         IIED dan WBCSD menyebutkan sangat tampak bahwa kehidupan masyarakat pascatambang belumlah mendapat perhatian yang memadai.
  • ·         Artikel opini ini merupakan bagian kedua dari tiga tulisan opini.

***
“Viewing social performance through a purely social licence lens  provides no incentive for companies to obtain a more detailed,  operationally useful understanding of community needs and issues,  or of ‘out-bound’, company-induced social risk.”  Deanna Kemp dan John Owen
  
Perkembangan Mutakhir Wacana Pertambangan Berkelanjutan

 Setelah publikasi Botin di tahun 2009 itu, perkembangan wacana pertambangan keberlanjutan terus menguat. Di antaranya mewujud dalam prinsip yang dirumuskan oleh International Council on Mining and Metals (ICMM), standar pelaporan berkelanjutan Mining and Metals Sector Disclosure (MMSD) yang dibuat oleh Global Reporting Initiative (GRI), serta upaya untuk menjelaskan keterkaitan sektor pertambangan dengan Sustainable Development Goals (SDGs).

ICMM didirikan pada tahun 2001. Kini beranggotakan 27 perusahaan pertambangan dan metal, organisasi ini menyatakan bahwa tujuannya adalah untuk menciptakan industri pertambangan dan metal yang aman, adil dan berkelanjutan. Laman muka dari website-nya menyatakan komitmen “Only by mining with principles can the mining and metals industry contribute to sustainable development and protect the planet.” ICMM pertama kali membuat Kerangka Pembangunan Berkelanjutan atau ICMM Principles di tahun 2003 sebagai respons atas seluruh isu keberlanjutan yang diidentifikasi pada projek Mining, Metals, and Sustainable Development.

Pada tahun 2015, rumusan ICMM Principles diperbarui menjadi sepuluh prinsip sebagai berikut:
“1. Apply ethical business practices and sound systems of corporate governance and transparency to support sustainable development; 2. Integrate sustainable development in corporate strategy and decision-making processes; 3. Respect human rights and the interests, cultures, customs and values of employees and communities affected by our activities; 4. Implement effective risk-management strategies and systems based on sound science and which account for stakeholder perceptions of risks; 5. Pursue continual improvement in health and safety performance with the ultimate goal of zero harm; 6. Pursue continual improvement in environmental performance issues, such as water stewardship, energy use and climate change; 7. Contribute to the conservation of biodiversity and integrated approaches to landuse planning; 8. Facilitate and support the knowledge-base and systems for responsible design, use, re-use, recycling and disposal of products containing metals and minerals; 9. Pursue continual improvement in social performance and contribute to the social, economic and institutional development of host countries and communities; And, 10. Proactively engage key stakeholders on sustainable development challenges and opportunities in an open and transparent manner. Effectively report and independently verify progress and performance.”

Film dokumenter Sexy Killer yang menceritakan tentang industri batubara dari hulu ke hilir, dan dampaknya terhadap lingkungan, sosial, ekonomi sampai kesehatan masyarakat. Foto : watchdoc

Setiap prinsip tersebut kemudian diuraikan lebih jauh dengan butir-butir ekspektasi tindakan dan kinerja yang perlu dicapai. Prinsip-prinsip yang diajukan ICMM ini jauh lebih komprehensif dibandingkan dengan apa yang diajukan di dalam pustaka sebelum tahun 2010-an. Hal yang sama juga bisa dilihat pada dokumen MMSD yang dikeluarkan GRI untuk laporan keberlanjutan versi keempatnya, atau G4. Di situ dapat dilihat bahwa GRI menginginkan perusahaan pertambangan untuk melaporkan secara komprehensif dalam kategori ekonomi, lingkungan dan sosial, yang jumlah total indikatornya melampaui 100.

Pada masing-masing kategori terdapat aspek-aspek spesifik pertambangan yang harus dilaporkan, di antaranya melalui penekanan tertentu, bahkan ada aspek khusus yang diciptakan. Dalam kategori ekonomi kinerja ekonomi dan kehadiran di pasar menjadi penekanan. Dalam kategori ekonomi, yang ditekankan adalah material, keanekaragaman hayati, emisi, serta limbah cair dan padat. Kategori sosial dibagi ke dalam empat subkategori, yaitu praktik ketenagakerjaan, HAM, Masyarakat, serta Tanggung Jawab atas Produk. Selain menekankan pelaporan pada aspek seperti K3, kebebasan berserikat, dan masyarakat lokal; kategori ini juga membuat aspek-aspek baru, yaitu: tanggap bencana, pertambangan rakyat dan skala kecil, pemukiman kembali, rencana penutupan tambang, dan pengelolaan matarial yang baik.

Cakupan yang sangat komprehensif juga ditunjukkan ketika lembaga-lembaga terkemuka dan para pakar menunjukkan bagaimana tambang bisa merisikokan dan memberi kontribusi terhadap pencapain SDGs. SDGs adalah kesepakatan global tentang bagaimana konsep pembangunan berkelanjutan akan diwujudkan oleh seluruh negara yang menandatanganinya antara tahun 2016-2030. Sebagai formalitas atas keberlanjutan, maka setiap sektor industri, termasuk pertambangan, sangat penting untuk melihat bagaimana dirinya dapat berkontribusi pada pencapaian SDGs di tingkat daerah dan nasional.

Mapping Mining to the Sustainable Development Goals: An Atlas yang dipublikasikan oleh Columbia Center on Sustainable Investment, SDSN, UNDP dan WEF di tahun 2016 serta SDG Industry Matrix: Energy, Natural Resources, & Chemicals yang dibuat oleh UNGC dan KPMG di tahun 2017 adalah dua di antara beberapa publikasi tentang sektor pertambangan dan SDGs yang paling menonjol. Di dalamnya, ke-17 Tujuan SDGs dipetakan menunjukkan apa saja yang telah dan bisa dilakukan oleh perusahaan-perusahaan pertambangan.

PLTU Celukan Bawang, Buleleng, Bali yang menggunakan batubara menyebabkan emisi dan pencemaran udara. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Kinerja Sosial yang Rendah

 Hal yang paling jelas terlihat dari seluruh diskusi tentang pertambangan berkelanjutan adalah bahwa pemahaman atasnya semakin komprehensif. Bukan saja soal ekonomi, sosial dan lingkungan yang diuraikan dengan makin terperinci dan digambarkan sifat hubungannya yang saling memengaruhi, namun juga terkait dengan harus berjalannya ketiga fungsi itu secara baik di masyarakat ketika sebuah pertambangan telah berhenti beroperasi.

Ini menunjukkan bahwa salah satu hal paling penting sebagai penanda apakah pertambangan itu memang berkelanjutan adalah apakah kehidupan di tempat tersebut terus mengalami perbaikan jauh setelah perusahaan tambang meninggalkan lokasi. Kondisi inilah yang seharusnya menjadi aspirasi dan pemandu operasi seluruh perusahaan tambang. Karenanya, perencanaan pascatambang yang dibuat sedini dan sekomprehensif mungkin adalah kunci pertambangan berkelanjutan.

Tetapi, bagaimana aspirasi itu bisa diwujudkan dalam waktu segera apabila ternyata secara umum aspek sosial dalam pertambangan kinerjanya memang masih rendah? Ruang perbaikan yang sangat besar itulah yang ditemukan ketika di tahun 2018 Deanna Kemp dan John Owen mencoba merumuskan apa yang terjadi selama ini dalam pengelolaan sosial pertambangan lewat makalah ringkas Social Performance Gaps in the Global Mining Industry.

Ada enam hal yang menurut Kemp dan Owen yang membuat kinerja sosial, terutama yang terkait dengan masyarakat, menjadi rendah, yaitu “1. There is a focus on risks to mining from the community; rather than on risks to the community from mining; 2. The ‘social licence to operate’ approach limits understanding of social issues; 3. There is an assumption that doing ‘good deeds’ equates to social responsibility, 4. Community relations and public relations are conflated and confused; 5. There is limited understanding of the value of social performance activities; 6. Social performance capacity within companies is at perilously low levels.”

Butir pertama menunjukkan bahwa cara berpikir kebanyakan perusahaan tambang memang masih melihat masyarakat sebagai faktor risiko, sementara mereka gagal melihat dirinyalah yang membawa risiko ke kehidupan masyarakat. Sebagaimana yang diketahui oleh siapapun yang pernah membuat AMDAL dengan benar untuk perusahaan tambang, ada banyak dampak sosial negatif yang timbul karena pertambangan. Namun, setelah AMDAL disahkan, kebanyakan perusahaan kemudian mengalihkan pandangannya, tidak lagi melihat aktivitasnya yang membawa risiko dan dampak, melainkan masyarakatkah yang menjadi risiko terhadap mereka.

Fatria, salah satu perempuan Wowanii, yang berjuang menolak tambang.
Dia meneteskan air mata usai mendengar pernyataan Lukman Abunawas yang akan mencabut 15 IUP di Pulau Wawonii, Konawe Kepulauan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Dukungan masyarakat untuk operasi (social license to operate) adalah hal yang sangat penting bagi perusahaan tambang. Namun, bila itu menjadi satu-satunya tujuan, maka beragam isu sosial lain bisa tak tergarap dengan benar. Salah satu yang paling menonjol adalah bahwa menjelang penutupan operasi, perusahaan tambang makin merasa tidak membutuhkan masyarakat, dan perhatian mereka atas kehidupan masyarakat pascatambang sangat menurun.

Kebanyakan perusahaan tambang menyamakan tindakan karitatif (charity) dengan pengembangan masyarakat (community development), bahkan CSR secara keseluruhan. Padahal, sebagai tanggung jawab perusahaan atas seluruh dampak yang ditimbulkannya, CSR sangatlah luas. Reduksi CSR menjadi sekadar tindakan karitatif sangat menonjol, bahkan di kalangan mereka yang bertitel manajer atau direktur CSR di pertambangan. Demikian juga kekacauan terkait pengertian hubungan dengan masyarakat (community relations) dengan pembinaan hubungan dengan seluruh pemangku kepentingan. Di Indonesia, di mana public relations diterjemahkan dengan humas (hubungan masyarakat), kekacauan itu semakin menjadi-jadi.

Terakhir, walau sudah jauh berkurang dibandingkan satu hingga hingga dua dekade lampau, penghargaan atas apa yang dilakukan oleh mereka yang mengurusi aspek sosial di pertambangan memang masih kurang. Ada banyak perusahaan pertambangan yang memberlakukan para pengelola sosial itu sebagai orang-orang yang menghabiskan uang perusahaan semata.

Di sisi lain, para pengelola itu juga tidak atau belum fasih dalam menjelaskan manfaat pengelolaan sosial terhadap kelancaran operasi dan kinerja keuangan perusahaan tambang secara keseluruhan. Hal ini, sangat boleh jadi, terkait dengan pemahaman yang salah atas CSR. Hingga sekarang, sebagian besar perusahaan melihat CSR sebagai cost center belaka, sehingga menganggapnya sebagai ‘fungsi’ yang tak perlu diurus dengan serius. Akibatnya, sumberdaya yang disediakan biasanya seadanya saja, dan pengembangan kapasitasnya tidak diprioritaskan.
Biasanya, perusahaan tambang tidak berani terlampau mengabaikan masyarakat ketika ada di tahapan konstruksi dan operasi. Mereka tahu bahwa keamanan operasi adalah prasyarat agar mereka bisa bekerja dengan baik. Tetapi, menjelang akhir operasi, kebutuhan perusahaan atas hubungan yang baik dengan masyarakat tiba-tiba menurun.

Apalagi, di perusahaan-perusahaan yang menetapkan sumberdaya finansial untuk pengembangan masyarakat dan pengelolaan sosial lainnya sebagai fungsi dari besaran produksi. Begitu produksi menurun menjelang penutupan, turun pula urusan dengan masyarakat. Hal ini sebetulnya juga terlihat dari literatur tentang pascatambang yang baru-baru ini saja memasukkan pertimbangan sosial secara komprehensif.

Rahmawati memperlihatkan foto anaknya yang meninggal di lubang tambang. Foto: Jatam Kaltim/Mongabay Indonesia

Pascatambang yang (Hampir) Melupakan Masyarakat

Ketika di tahun 2002 IIED dan WBCSD mengeluarkan sebuah dokumen berjudul Mining for the Future dengan salah satu apendiksnya berjudul Mine Closure Working Paper, sangat tampak bahwa kehidupan masyarakat pascatambang belumlah mendapat perhatian yang memadai. Terdapat 7 isu penting yang dibahas pada dokumen tersebut, yaitu manajemen air, infrastruktur pertambangan, pekerjaan tambang bawah tanah, pekerjaan tambang terbuka, limbah bebatuan dan ore, tailing, serta mitigasi sosio-ekonomi. Kondisi masyarakat hanya mendapatkan perhatian selintasan saja.

Menurut dokumen tersebut, ada dua isu penting terkait dengan mitigasi sosio-ekonomi pascatambang, yaitu itu ketenagakerjaan dan masyarakat lokal. Tujuan dari pengelolaan isu ketenagakerjaan disebutkan untuk memastikan mereka mendapatkan pekerjaan baru dan relokasi ke tempat baru dengan lancar. Yang dapat dilakukan untuk tujuan itu adalah memberi bantuan pencarian kerja dan tempat tinggal baru, bantuan keuangan, konseling, serta pelatihan.

Terkait dengan masyarakat lokal, tujuan pengelolaan isunya adalah stabilitas ekonomi, kesehatan yang baik, serta ketersediaan fasilitas pendidikan. Untuk tujuan tersebut, yang dapat dilakukan adalah perencanaan pembangunan wilayah sejak awal, membangun perusahaan-perusahaan lokal yang mandiri, membangun yayasan atau menyediakan dana perwalian untuk menjamin layanan esensial, dan relokasi pendatang.

Berselang tiga tahun, laporan bersama dari UNDP dan UNEP bertajuk Mining for Closure: Policies and Guidelines for Sustainable Mining Practice and Closure of Minesditerbitkan. Para penulisnya menjelaskan bahwa publikasinya bertujuan sebagai “a recipe for stimulating debate and public accountability of mining legacies and operations. Through applying the basic principles and guidelines, not only will mining become environmentally and socially more sustainable, it may also result in more democracy, increased wellbeing and security of those directly and indirectly affected.” Dokumen tersebut, walaupun menyatakan hendak menginklusikan secara eksplisit keberlanjutan ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam rencana penutupan tambang, ternyata tidak cukup memberikan ruang bagi diskusi tentang keberlanjutan sosial.

Pada tahun 2008 muncul buku terkenal Mine Closure Handbook. Tujuan buku tersebut diterbitkan dinyatakan sebagai berikut: “The handbook provides general guidelines for mine closure planning. Decisions on closure strategy should always be ultimately based on a case-specific assessment, taking into consideration the full diversity of characteristics and requirements at each mine site.” Buku tersebut disunting oleh P. M. Heikkenen, P. Noras dan R. Salminen. Hal yang sangat menonjol dari buku tersebut adalah hampir tidak adanya pembahasan tentang aspek manusia di dalam penutupan tambang. Kecuali pembahasan singkat tentang berbagai regulasi terkait, isi buku tersebut adalah tentang aspek teknis penutupan tambang.

Surayah mengaku lebih sering sakit termasuk cucunya setelah PLTU Celukan Bawang beroperasi. Foto : Anton Muhajir/Mongabay Indonesia

Di tahun 2011, Pemerintah Australia mengeluarkan sebuah dokumen bertajuk A Guide to Leading Practice Sustainable Development in Mining. Bab terakhir pada dokumen tersebut adalah tentang rehabilitasi dan penutupan tambang. Masyarakat menjadi salah satu dari sembilan isu yang dibahas, dan pesan kunci terkait masyarakat adalah “Community engagement at the earliest possible time is essential. The goal should be community ownership as the community will inherit the project eventually. Community liaison or advisory groups established specifically for the mining project can help the operation focus its engagement program.” Pesan tersebut tentu saja penting. Namun tidak menjelaskan tujuan yang dari pascatambang untuk masyarakat secara memuaskan.

Mine Closure: Leading Practice Sustainable Development Program for the Mining Industry adalah dokumen yang juga dikeluarkan oleh Pemerintah Australia, mengikuti dokumen terdahulu. Terbit di tahun 2016, menaruh isu masyarakat di bagian akhir bab Sustainable Development and Closure. Isi bagian tersebut adalah seputar bagaimana melakukan pembinaan hubungan dengan masyarakat dalam penutupan tambang dan social license to operate sebagai modal penting dalam penutupan tambang.

Kalau seluruh pustaka tersebut dan yang lain diperhatikan, aspek sosial dari pertambangan tampak sangat menonjol pada fase operasi, sedikit pada fase konstruksi, dan hampir-hampir tidak ada pada fase eksplorasi. Agaknya, hingga baru-baru ini, perhatian terhadap masyarakat di sekitar tambang seperti mengikuti kurva lonceng fase pertambangan: tak ada atau sangat sedikit di awal, naik dengan pesat ketika masuk operasi, kemudian menurun untuk menghilang di fase penutupan dan pascatambang.

Di tahun 2012, Lamb dan Coakes menyimpulkan dalam artikel mereka, Effective Social Planning for Mine Closure, bahwa pada praktiknya “Planning for closure from a social perspective appears to be one of the last considerations in the project cycle: with many companies afraid that engagement with stakeholders in relation to closure planning will raise stakeholder expectations about final land use options that may not be feasible.”

Hal tersebut sesungguhnya sangat mengecewakan, dan membahayakan pertambangan sendiri. Masyarakat yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi kehidupan pascatambang sangat boleh jadi akan melakukan tindakan yang mereka anggap perlu untuk memastikan keberlangsungan hidup mereka. Sudah banyak kasus yang menunjukkan masyarakat yang tahu bahwa mereka masih tergantung pada industri pertambangan—tak soal apakah mereka merupakan penduduk asli atau pendatang—kemudian menyandera perusahaan tambang dengan keharusan untuk menopang hidup mereka setelah perusahaan tidak lagi beroperasi.

Agaknya, kalau industri pertambangan sudah cukup lama mengenal istilah social license to operate—yang oleh Kemp dan Owen dinyatakan tidak memadai sebagai pemandu pengelolaan sosial itu—perlu kesadaran bahwa ada juga semacam social license to leave yang diperlukan perusahaan apabila mereka hendak meninggalkan masyarakat di penghujung masa operasinya.

Bagian berikutnya dari seri tulisan ini akan membahas lebih jauh tentang aspek sosial pascatambang itu, lalu membicarakan bagaimana perwujudannya di Indonesia.

***
*Jalal, Reader on Corporate Governance and Political Ecology Thamrin School of Climate Change and Sustainability. Artikel ini merupakan opini penulis.