Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Jumat, 23 Februari 2018

Press_Release | Darurat Kriminalisasi



“Bebaskan Budi Pego. Pengadilan Tinggi Surabaya Harus Mengubah Putusan Yang Tidak Berdasar Terhadap Budi Pego”



Jumat (23/02/2018) Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat Untuk Daulat Agraria (TeKAD GARUDA) memasukkan memori banding terhadap kasus Heri Budiawan, atau biasa dipanggil Budi Pego warga desa Sumber Agung yang dipidana terkait tuduhan menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme dan marxisme dalam aksi penolakan tambang emas Tumpang Pitu yang dilakukan warga pada 4 April 2017. Pemidanaan Budi Pego ini jelas merupakan bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan warga menolak keberadaan pertambangan emas oleh PT Bumi Suksesindo (PT BSI) dan PT Damai Suksesindo (PT DSI) di Tumpang Pitu, Banyuwangi.

Ancaman kriminalisasi terhadap pejuang Lingkungan Hidup dan Hak Asasi Manusia telah berulangkali terjadi. Dalam kasus Tumpang Pitu saja, menurut investigasi yang berhasil dihimpun di lapangan, kriminalisasi telah memakan korban setidaknya 15 orang dalam 5 kasus yang terkait dengan sikap penolakan warga terhadap kehadiran pertambangan disana. Saat ini, selain Budi Pego, masih ada tiga warga lainnya yang juga telah ditetapkan sebagai tersangka dengan tuduhan penyebaran komunisme.

Diseluruh Jawa Timur pada tahun 2017 kemarin setidaknya telah ada 25 warga yang mengalami kasus kriminalisasi karena aktivitasnya memperjuangkan ruang hidup dan hak-hak mereka. Tingginya angka kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan hidup dan hak asasi manusia ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap para aktivis HAM.

Dalam kasus yang menimpa Budi Pego ini misalnya, nampak jelas bahwa pemidanaan yang dilakukan terhadapnya merupakan usaha pembungkaman dan pengerdilan terhadap perlawanan masyarakat yang menolak aktivitas pertambangan emas Tumpang Pitu yang selama ini dianggap mengancam keselamatan ruang hidup mereka, hal ini bisa ditunjukkan dengan beberapa hal:

Pertama, bukti dan saksi menunjukkan bahwa warga sama sekali tidak pernah membuat spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit dalam aksi mereka. Ketika mengerjakan pembuatan spanduk yang total berjumlah sebelas (11) spanduk, warga meyatakan bahwa pihak kepolisian juga hadir disana, artinya, jika memang warga membuat spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit pada saat itu, tentu pihak kepolisian yang hadir saat pembuatan spanduk langsung bisa menghentikan dan menahan warga saat itu juga. Fakta ini juga terungkap dalam persidangan PN Banyuwangi.

Kedua, keseluruhan sebelas spanduk yang dibuat warga telah dipasang pada titik-titik yang ditentukan mulai dari Pantai Pulau Merah sampai dengan Kantor Kecamatan Pesanggaran. Tidak ada satupun dari spanduk yang dibuat warga tersebut terdapat gambar menyerupai logo palu arit. Spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit yang dituduhkan kepada warga muncul secara tiba-tiba ditengah aksi warga, tanpa disadari oleh warga yang melakukan aksi. Warga menuturkan bahwa saat kejadian, mereka diminta membentangkan spanduk dengan tulisan penolakan terhadap aktivitas tambang PT BSI. oleh orang yang tidak dikenal dan asal spanduk juga tidak berasal dari spanduk yg dibuat oleh peserta aksi. Mereka baru mengetahui keberadaan gambar menyerupai logo palu arit setelah polisi menunjukkan foto-foto spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit tersebut. Warga menyatakan bahwa foto spanduk yang menjadi bukti tersebut bukan bagian dari spanduk yang dibuat bersama-sama oleh warga yang terlibat aksi penolakan tambang emas PT BSI dan DSI di Tumpang Pitu, karena mereka hapal betul seluruh sebelas spanduk yang mereka buat bersama.

Ketiga, keberadaan spanduk dengan gambar menyerupai logo palu arit tidak diketahui lagi keberadaanya. Pihak kepolisian dan JPU dalam persidangan hanya dapat menghadirkan bukti video aksi saja tanpa menghadirkan barang bukti spanduk yg bergambar mirip palu arit, sehingga bukti video tidak cukup dijadikan alat bukti utama yg harus didukung oleh alat bukti lainnya di persidangan. Selain itu dalam persidangan tidak terbukti jika pembuatan spanduk yg bergambar mirip palu arit dibuat di rumah Budi Pego atau berasal dari peserta aksi tolak tambang;

Keempat, tuduhan penyebaran ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme kepada Budi Pego karena dianggap sebagai kordinator/pemimpin aksi tolak tambang yg terdapat spanduk yg bergambar mirip logo palu arit dianggap melakukan perbuatan melawan hukum karena aksi tersebut tidak diberitahukan secara tertulis kepada aparat Kepolisian berdasarkan UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum adalah sebenarnya perbuatan yang tidak ada hubungan/korelasi dg Pasal yg didakwakan yaitu menyebarkan ajaran Komunisme/Marxisme- Leninisme. Karena berdasarkan keterangan saksi-saksi serta alat bukti lainnya tidak terbukti jika Budi Pego merupakan kordinator aksi, Budi Pego tidak jauh beda dengan masyarakat penolak tambang lainnya. Sehingga, menyimpulkan Budi Pego sebagai koordinator aksi adalah suatu asumsi belaka atau ilusi yang tidak berdasar.

Vonis Majelis Hakim terhadap Budi Pego dengan hukuman penjara selama 10 bulan dari tuntunan JPU selama 7 tahun sangat dipaksakan. Bagaimana mungkin pasal yang memuat delik aktif dikenakan kepada perbuatan pasif yang itupun masih dalam dugaan, yakni Budi Pego patut diduga tahu adanya gambar mirip palu arit tersebut dan tidak berusaha menghentikan aksi, padahal menurut fakta persidangan terdapat aparat Kepolisian yg mengawal jalannya aksi patut diduga aparat kepolisian mengetahui adanya spanduk bergambar mirip logo palu arit dan justru tidak melaksanakan kewajiban hukumnya sebagai aparat yaitu mengamankan dan membubarkan aksi tersebut. Sehingga hal ini mengisyaratkan jika terdapat pembiaran serta dugaan kriminalisasi terhadap warga tolak tambang emas Gunung Tumpang Pitu yaitu salah satunya Budi Pego.

Celakanya, dalam pertimbangan hukum Putusan Majelis Hakim PN Banyuwangi yg telah mencampuradukan perbuatan melawan hukum dalam dua Undang-Undang yg berbeda yg tidak ada hubungannya, bagaimana mungkin perbuatan melawan hukum dalam UU Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum dipaksakan menjadi alasan terbuktinya unsur perbuatan melawan hukum pada UU lain, yakni UU nomor 27 tahun 1999 pasal 107a. Ini tentu sangat mengada-ada dan sengaja dipaksakan untuk membungkam perjuangan yang dilakukan oleh masyarakat penolak tambang emas tumpang pitu.

Kriminalisasi warga yang memperjuangkan kelestarian lingkungan dan ruang hidupnya masih menjadi alat yang terus dipakai untuk menekan perjuangan warga. Saat ini dalam kasus pertambangan Tumpang Pitu. Padahal pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup sudah menyatakan bahwa “Setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat dituntut secara pidana maupun digugat secara perdata.” Namun pasal ini seolah tidak berarti dihadapan kerakusan investasi yang mengancam keselamatan lingkungan dan ruang hidup rakyat.

Untuk itu Tim Kerja Advokasi Gerakan Rakyat untuk Kedaulatan Agraria (TeKAD GARUDA), menyatakan:

1.   Mendesak Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jawa Timur yg menyidangkan perkara ini untuk membebaskan Heri Budiawan/Budi Pego;

2.   Mendesak negara dan institusi terkait untuk menghentikan kegiatan pertambangan Tumpang Pitu demi keselamatan ruang hidup warga Banyuwangi khususnya, dan pulau Jawa pada umumnya.

3.   Mengutuk keras segala bentuk kriminalisasi terhadap seluruh gerakan rakyat yang berjuang demi terwujudnya keadilan agraria dan keselamatan ruang hidup, serta menghentikan proses hukum 3 warga Sumberagung lainnya yang ditetapkan sebagai tersangka saat ini selain Budi Pego/Heri Budiawan.

Contact Persons:
Wachid Habibullah, Surabaya Legal Aid Institute (LBH Surabaya) – wachideagle@gmail.com: 087853952524
Wahyu Eka Setyawan, Walhi Jatim : 082145835417

TeKAD GARUDA :
1.      YLBHI
2.      YLBHI-LBH Surabaya
3.      WALHI EKNAS
4.      WALHI JATIM
5.      JATAM
6.      For Banyuwangi
7.      KontraS Surabaya
8.      FNKSDA
9.      LAMRI
10.  Laskar Hijau


Jumat, 16 Februari 2018

Bercermin dari Kasus Kendeng, Sulitnya Warga Peroleh Keadilan Lingkungan

oleh Indra Nugraha [Jakarta] di 16 February 2018



Foto utama:Aksi warga Kendeng didominasi perempuan di depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menuntut kejelasan sikap pemerintah atas tambang-tambang di Pegunungan Kendeng, seperti PT Semen Indonesia, yang mengancam sumber air warga. Foto: Andreas Iswinarto


Yen to Kendheng den kiwakna…Putusan pangwasa teges anti tani Pak Jokowi, ngaten niku? Kang pangwasa kersakna? Lamun ngaten kula namung saget nguwuh…Lmah banyu angin dayanya… Uripa kanggo mbengkasi… 
Bila Kendeng diabaikan…Keputusan penguasa berarti anti petani… Begitulah, Pak Jokowi? Yang dikehendaki para penguasa? Jika memang begitu, kami hanya bisa meminta…Kekuatan tanah, air dan angin.
Begitu lirik lagu ciptaan para perempuan Pegunungan Kendeng yang ingin lingkungan sekitar mereka lestari, aman dari ancaman seperti pertambangan batu gamping untuk bahan baku semen.
Di Pegunungan Kendeng, banyak izin-izin tambang keluar, salah satu kepada PT Semen Indonesia. Warga sudah lakukan penolakan, dari menduduki tapak pabrik, demo ke kantor-kantor pemerintah, parlemen baik di daerah maupun pusat sampai gugatan hukum di pengadilan. Aksi ke depan Istana Negara juga berulang kali, dari membawa lesung sampai semen kaki.
Perjuangan mereka bertahun-tahun itu sebenarnya lumayan berbuah manis. Buah perjuangan itu seperti, presiden meminta di Pegunungan Kendeng dilakukan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), selama proses, semua tambang tak boleh operasi. Izin barupun tak boleh keluar. Warga juga menang gugatan hukum di Mahkamah Agung atas perusahaan semen negara itu. Namun, kabar baik berkali-kali itu seakan tak berdaya, tetap saja tambang jalan.
Walaupun seakan berhadapan dengan tembok batu, warga tak mundur. Mereka terus bersuara. Seperti Senin-Rabu, (12-15/2/18), mereka aksi di Tugu Tani, Jakarta. Senin itu, sembilan perempuan berkebaya dengan kain batik berkumpul di depan Tugu Tani, Menteng.
Caping bulat menempel di kepala mereka. “Tolak Pabrik Semen.” Begitu bunyi tulisan di caping. Tiga lelaki paruh baya ikut mendampingi mereka.
Di depan para petani, sebuah lesung—tempat menumbuk padi—terbuat dari kayu tergeletak. Beberapa saat, lesung diarak para perempuan mengelilingi Tugu Tani. Mereka sambil nembang dalam bahasa Jawa yang mereka ciptakan sendiri.
Aksi itu, kontras dengan lalu lalang kendaraan bermotor yang memadati jalan raya.
Setelah arak-arakan lesung mengelilingi Tugu Tani, alat menumbuk padi itu kembali diletakkan di depan tugu. Para perempuan ini langsung mengambil tongkat kayu. Lesung dipukul menimbulkan paduan suara khas, tembang kembali dinyanyikan.
Lepas aksi di bundaran Tugu Tani, mereka berjalan menuju Istana presiden di Jalan Merdeka.
Sukinah, perempuan Kendeng mengatakan, aksi ini sebagai penanda kalau perhatian dan keberpihakan negara dalam melindungi kaum tani dari ancaman industri ekstraktif seperti pabrik semen, tak mereka rasakan. Alih-alih berpihak kepada petani, negara justru lebih berat kepada para pemodal.
“Ini terbukti dengan banyak lahan-lahan pertanian produktif jadi pertambangan. Aksi dilakukan di Tugu Tani karena itu simbol petani. Kami juga petani dan kami bawa lesung,” katanya.

Solidaritas terhadap perjuangan warga Pegunungan Kendeng datang dari berbagai kalangan. Salah satu dari perajin batik dengan pewarna alam, Tatang E Wibowo. Dia membuat batik bertema aksi petani protes tambang dan pabrik semen di Kendeng. Foto: dari Facebook Tatang E Wibowo/ Mongabay Indonesia


Warga Kendeng meminta, Presiden Joko Widodo setia terhadap mandat melindungi para petani dari ancaman industri ekstraktif.
“Aksi ini kami jalankan juga bagian dari kewajiban petani terus menjaga keseimbangan alam. Agar Pegunungan Kendeng Utara tetap memberikan penghidupan, sumber-sumber mata terjaga.”
Bagi Sukinah, Pegunungan Kendeng merupakan lumbung pangan sejak ada peradaban manusia berladang, bertani, dan mulai mengkonsumsi palagumantung dan palakependem yaitu beras, jagung, ketela,dan lain-lain.
Gunretno, Koordinator Jaringan Masyarakat Peduli Pegungan Kendeng mengatakan, mereka menuntut mandat pPresiden Joko Widodo soal KLHS agar berjalan di lapangan.
Dia mengenang 2 Agustus 2016, saat petani Kendeng diterima di istana, dan memutuskan KLHS di Pegunungan Kendeng meliputi Lamongan, Tuban, Bojonegoro, Rembang, Blora, Grobogan dan Pati.
“Dalam keputusan itu, presiden juga meminta selama proses KLHS, tak boleh ada izin pertambangan baru. Semua proses pertambangan batu kapur dan aktivitas produksi harus dihentikan. KLHS harus terbuka dan melibatkan rakyat secara aktif.”
Sayangnya, mandat pimpinan tertinggi negara ini di lapangan sangat bertentangan.
“Izin baru keluar oleh pemerintah daerah, penambangan batu kapur terus berjalan dan produksi pabrik semen di Rembang juga terus berlangsung hingga kini,” katanya.
Lebih tragis lagi ketika hasil KLHS tahap pertama diumumkan 12 April 2017, pemerintah daerah tak menjalankan rekomendasi. Justru mereka meminta Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) agar kajian lagi di lapangan.
“Dalam proses keterlibatan masyarakat JM-PPK hanya jadi legitimasi temuan-temuan hasil kajian Badan Geologi diolah tanpa ada keterlibatan masyarakat padahal data-data masyarakat sudah diserahkan ke Badan Geologi,” katanya.
Gunretno nilai, Badan Geologi melibatkan masyarakat hanya untuk kepentingan formal. Dia meminta, presiden setia dengan mandatnya, mengumumkan dan menjalankan sejujur-jujurnya hasil KLHS.
“Kajian ini menentukan masa depan kami sebagai petani. Membawa masa depan anak cucu kita semua. Petani juga bagian dari rakyat yang harus dijaga dan diayomi, bukan dikorbankan.”

Bertemu Moeldoko
Pada hari kedua aksi “Gotong Lesung,” Selasa (13/2/18), para petani Kendeng ini diundang bertemu Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP), Moeldoko. Pertemuan berlangsung sejak pukul 10.00-13.00.
Gunretno, usai pertemuan mengatakan, Moeldoko, sebagai kepala KSP baru, lebih mendengarkan paparan dan aspirasi petani. Mereka menyampaikan penolakan pabrik semen karena khawatir dampak lingkungan.
“Intinya, dulur-dulu petani Kendeng ini tak menghendaki lagi pabrik semen. Terus dari Kendeng, tak hanya meliputi Pati. Ada Kerobokan, Blora, sepanjang Kendeng Utara. Kita berharap, di Jawa, tak usah ada pabrik semen lagi. Itu yang kita sampaikan,” katanya.
Dalam pertemuan itu, Moeldoko berharap, warga bisa menerima pabrik semen di Rembang, sementara pabrik semen di lokasi lain bisa dibatalkan. Alasannya, investasi keluar untuk pembangunan pabrik sudah Rp5 triliun.
Menurut Gunretno, dari awal sebelum bangun pabrik, warga sudah tolak. “Jangan dilanjutkan, tak boleh. Tapi kan dipaksakan.”
Kerugian negara Rp5 triliun kalau pabrik batal, sebenarnya sudah kalah telak dari fakta hasil KLHS yang menyebutkan, kalau tambang beroperasi akan rugi banyak.
Hasil perhitungan tim KLHS, setiap tahun sampai 2020, kala CAT Watuputih kena tambang kerugian ekonomi sekitar Rp2,2 triliun per tahun! Bahkan penelitian lanjutan menyebutkan kerugian lebih besar Rp3,2 triliun per tahun. “Negara jauh lebih rugi kalau pabrik semen ini tetap dipaksakan.”
Sukinah menambahkan, Moeldoko belum bisa menjawab tuntutan petani Kendeng.
“Aku berharap banget, Pak Moeldoko terketuk hatinya. Aku berpikiran positif. Semoga saja apa yang diharapkan dulur-dulur ini tercapai.”

Sumber: Mongabay.Co.Id 

Rabu, 14 Februari 2018

Konferensi Pers dan Brokohan 9 Kartini Kendeng


Undangan Meliput (sekaligus undangan Aksi Solidaritas)

Kepada Yth,
*Rekan-rekan Jurnalis dan Redaksi*

Dengan hormat,
Pangkur :

Yen to Kendheng den kiwakna
Putusan pangwasa teges anti tani
Pak Jokowi, ngaten niku?
Kang pangwasa kersakna?
Lamun ngaten kula namung saget nguwuh
Lemah banyu angin dayanya
Uripa kanggo mbengkasi


Maksud dari tembang diatas : 

Bila Kendeng diabaikan
Keputusan penguasa berarti anti petani
Begitulah, Pak Jokowi?
Yang dikehendaki para penguasa?
Jika memang begitu, kami hanya bisa meminta
Kekuatan tanah, air dan angin.

Setelah selama 2 hari sejak Senin 12 - 13 Februari 2018, 9 Kartini Kendeng aksi mengusung lesung depan Istana Merdeka Jakarta. Pada Selasa 13 Februari akhirnya ditemui oleh Kepala Kantor Staf Kepresidenan (KSP) Pak Moeldoko. Dalam pertemuan ini dulur-dulur kendeng menyampaikan beberapa hal kepada Pak Moeldoko dan tim KSP.

Untuk menyampaikan hasil pertemuan tersebut, dan juga sekaligus menutup rangkaian aksi. *Dengan ini kami mengundang rekan-rekan Jurnalis dan Redaksi untuk kembali meliput aksi lanjutan* pada

Rabu,14 Februari 2018
Jam 10.00 WIB - selesai
Di Seberang Istana Merdeka
Dengan agenda : Aksi, Konferensi Pers, dan Brokohan
Besar harapan kami, rekan-rekan bisa datang dan meliput agenda ini, serta berpartisipasi bagi kelestarian lingkungan hidup.
Salam Kendeng, Lestari ! ! ! ! !

Narahubung :
Gunretno : 0813 9128 5242
Ngatiban : 0813 4847 9183

Selasa, 13 Februari 2018

LBH Semarang : Penataan Ruang Jawa Tengah Itu Keberlanjutan atau Pelanggengan Krisis Ekologi ?

13 Februari 2018




SEMARANG – Hingga awal Februari, tercatat telah terjadi sebanyak 275 kejadian bencana di seluruh Indonesia, hal itu sebagaimana disampaikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang dilansir dari berbagai media. Banyaknya cacatan tersebut tidak terkecuali di Jawa Tengah. Diakses dari website Pusat Krisis Kementerian Kesehatan, kejadian bencana di Jawa Tengah hingga Senin (12/2), tercatat sedikitnya 45 Kejadian yang terdiri dari banjir (28 kali), longsor (15 kali) maupun banjir bandang (2 kali).
Diakhir tahun lalu, BNPB juga merilis data dimana dari 2.341 kejadian bencana di Indonesia selama 2017, Jawa Tengah paling banyak menyumbang jumlah yaitu sedikitnya 600 kejadian. Merosotnya kondisi lingkungan hidup di Jawa Tengah menjadi faktor utama yang membuat banyaknya bencana yang terjadi.
Apalagi, mayoritas bencana seperti banjir, tanah longsor ataupun kekeringan tidak sepenuhnya merupakan fenomena alam belaka, namun memiliki relasi dengan aktivitas manusia yang menyebabkan degradasi lingkungan sehingga menyebabkan bencana. Ketika musim penghujan, banjir dan tanah longsor menyerang. Namun ketika musim kemarau tiba, kekeringan pun melanda. Ini menandakan bahwa krisis ekologi yang terjadi di Jawa Tengah sudah semakin parah.
Krisis ekologi tersebut juga ditandai dari berbagai konflik lingkungan yang terjadi di Jawa Tengah, seperti konflik eksploitasi kawasan lindung karst di Rembang, Pati dan Kebumen, konflik pendirian PLTU di Batang, konflik PLTPB Baturraden di Banyumas, berbagai konflik infrastruktur jalan tol, konflik pencemaran lingkungan di Sukoharjo, dan lain sebagainya.
Catatan akhir tahun LBH Semarang mencatat, selama 2017 terdapat sedikitnya 34 kasus lingkungan di Jawa Tengah yang tersebar di 18 Kab/Kota. Jumlah itu terklasifikasi dari Sembilan permasalahan utama dengan empat permasalahan yang dominan yaitu masalah pencemaran (28%), perizinan (19%), infrastruktur (18%) dan alih fungsi kawasan (11 %) dengan total 76 persen.
Tercatat pula, bahwa Pemerintah Kabupaten/Kota bertindak sebagai aktor di 26 Kasus, Perusahaan di 24 Kasus, dan Pemprov di 8 Kasus. Dari berbagai data dan fakta tersebut, menyiratkan bahwa ada yang salah dalam pelaksanaan penataan ruang, lemahnya fungsi pengawasan dan penegakkan hukum, bahkan kuatnya afirmasi pemerintah dalam perusakan lingkungan. Selasa (13/2/ 2018)
Di tahun 2018, dua program legislasi daerah prioritas yaitu revisi Perda rencana tata ruang wilayah (RTRW) provinsi dan Perda Zonasi Wilayah Pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWP3K) provinsi sedang dikebut. Dalam hal penataan ruang dan kondisi objektif yang telah disampaikan, maka sudah seharusnya pemerintah menunjukkan keseriusannya.
Di tengah kondisi krisis ekologi dan besarnya potensi konflik, sudah saatnya kita bisa secara bersama-sama mengatur penataan ruang Jawa Tengah kedepannya. Penataan ruang yang berkelanjutan sudah seharusnya dilaksanakan secara adil, terbuka, transparan, serta melibatkan semua pemangku kewenangan, khususnya masyarakat yang akan menerima secara langsung dampak pengaturan jangka panjang tersebut. Sudah saatnya pemerintah tidak lagi melaksanakan partisipasi dari sisi prosedural saja. Pelibatan secara substansi dan tidak manipulatif menjadi syarat mutlak bagi penentuan arah penataan ruang yang tidak lagi melanggengkan krisis ekologi.
[Nkh]
Sumber: JatengKu 

Pengorganisiran dan Gerakan Menanam

Supinah



TENTANG Pengorganisiran
Pengorganisiran tidak bisa difokuskan hanya pada satu segmen atau bidang. Karena bidang yang satu dengan yang lain saling berkaitan. Seperti halnya mengorganisir buruh, itu tidak cukup hanya mencakup buruhnya saja. Pasalnya, di samping buruh, ada anak buruh, lingkungan buruh dan keluarga buruh. Kita tidak bisa menutup mata terhadap ini semua.
Mari kita ambil contoh kondisi ekonomi dan geografis di daerah Cisaroni, Lembang, yang berbatasan langsung dengan hutan Jaya Giri dan Patahan Lembang. Kondisi alam ini membentuk dunia penduduk asli di situ.
Adapun Desa Cikahuripan di Kec, Lembang, Kab Bandung Barat terbagi menjadi 4 dusun, 10 RW dan 58 RT:


Cisaroni masuk dalam dusun III dengan kepadatan penduduk di atas rata-rata. Hasil pemetaan baru memperlihatkan satu RT yang paling padat penduduknya. RT ini adalah RT 05 yang saya tempati, yang terdiri dari 68 KK dan 55 umpi. Mata pencaharian warga di RT ini adalah 50 persen peternak sapi, 25 persen buruh tani dan 25 persen buruh bangunan. Melihat kondisi ini, kita tidak mungkin mengorganisir hanya satu bagian saja.
Pengorganisiran diawali dengan pembentukan sanggar belajar anak-anak petani. Di sini, terdapat keterbatasan sarana pendidikan dimana cuma ada dua sekolah dasar di satu desa yang begitu luas. Sekolah ini tentu saja tidak bisa mengakomodir semua kebutuhan anak didik. Di sekolah itu, juga ada keterbatasan ruang kelas yang mengakibatkan para murid harus berbagi kelas dengan murid lain. Melihat situasi yang demikian, dibentuklah sanggar belajar anak –anak warga. Semboyan “bermain sambil belajar” merangsang kreativitas anak. Anak-anak ini disamping tidak punya mimpi, mereka juga kurang mendapat informasi. Informasi yang didapat hanya satu arah, yaitu dari “masjid”.
Mengorganisir anak-anak justru tidak mudah karena mereka punya orang tua yang notabene sibuk dengan kegiatan mereka sebagai buruh dan peternak. Rata-rata orang tua menyerahkan sepenuhnya pendidikan anak-anak ke sekolah. Hambatan atas sanggar begitu besar berupa penolakan-penolakan oleh tokoh masyarakat. Alasannya masjid jadi kosong setelah ada sanggar. Berkat pendekatan yang kita lakukan ke warga, sanggar masih bisa berjalan sampai saat ini. Pemberdayaan warga mulai dilakukan. Program ekonomi mandiri disusupkan dengan cara slengean dan rumpi, seperti pembibitan tanaman, catering, pembuatan krupuk nasi dan manisan pepaya. Kita belum memikirkan hasil yang maksimal, karena mereka mau melakukan itu saja sudah merupakan hasil.
Warga kebanyakan menggantungkan hidupnya dari upah buruh tani yang tidak sesuai dengan pengeluaran sehari-hari. Buruh tani laki-laki mendapat upah Rp 30.000-Rp 35.000/4jam, sementara buruh perempuan Rp 20.000-25.000/4jam.
Siang hari waktu digunakan untuk ngarit rumput di gunung buat pakan sapi. Memelihara sapi juga bukan alternatif perekonomian yang memadai. Peternak sapi itu ibarat buruh kasar di pabrik susu. Penghasilan peternak sapi per ekor dihitung per 15 hari. Harga per liter susu di KPSBU adalah Rp. 4.500. Adapun hasil susu per satu ekor sapi per hari adalah 12 liter. Jadi, penghitungannya 12ltr x Rp4500 x 15 = Rp.810.00. Biaya produksinya adalah pakan sapi seharga Rp. 450.000, belum lagi biaya hutan perhutani untuk menanam rumput dan potongan pinjaman koperasi dan waserba yang harganya sama dengan di supermarket.
Total pendapatan peternak sapi /per 15 hari, dengan demikian, adalah Rp 810.000 – 450.000 – biaya lahan – angsuran pinjaman= tak terhitung. Sementara kita belum bisa bergerak lebih, mengingat mereka sudah turun temurun jadi buruh pabrik susu. Sementara yang dihadapi adalah korporasi sangat besar.

Program Penanaman
Lahan pertanian di Lembang sebenarnya sudah ditinggalkan oleh petani aslinya. Karena unsur hara sudah di ambang batas. Perilaku petani yang bergantung pada obat-obatan kimia adalah faktor utama ketandusan tanah, di samping perilaku pabrik obat kimia yang membodohi petani. Dengan berbagai merek, insektisida dan pestisida dibuat untuk mengebalkan hama, supaya petani makin tergantung pada produk kimia. Rekayasa genetika bibit pun dilakukan produsen besar dengan cara dimandulkan supaya petani tidak bisa membuat bibit sendiri.
Cengkeraman tengkulak yang menjerat leher petani pun jadi imbas perekonomian petani sendiri. Bibit, pupuk yang di-drop tengkulak ke petani, membuat petani tidak bisa berkutik tentang harga.
Melihat kondisi yang demikian rupa, saya memulai percobaan fermentasi pupuk kandang. Dimulai sendiri dengan penggunaan pupuk dasar kotoran sapi yang sudah difermentasi, kemudian diaplikasikan dengan kompos dan kotoran ayam. Para petani tidak mau melakukan hal ini karena prosesnya lama sementara mereka ditunggu hasil untuk kebutuhan sehari-hari. Berbagai cara dilakukan untuk memberi penjelasan dan berdiskusi dengan petani yang mau mengubah sistem bertani. Urine kelinci dan kotoran sapi yang dulu selalu dibuang, sedikit demi sedikit mulai dipakai buat pupuk tanaman sayur. Air cucian beras yang biasa dibuang juga sudah mulai dipakai buat pupuk tanaman sebagai mikroba alami. Bergelut di tengah-tengah kesibukan mereka harus dengan kesabaran dan kekebalan yang tinggi. Mereka tidak bodoh cuma tidak paham akan hakekat menanam dan menyuburkan tanah.
Tugasku belum selesai, masih banyak PR yang harus dilakukan untuk menuju ekonomi mandiri warga dan mengentaskan kebodohan generasi selanjutnya.***
Penulis adalah Kepala Divisi Sumberdaya Perempuan Konfederasi Serikat Buruh Nasional (KSN)

Sumber: Indoprogress 

KPK Usut Izin Tambang Perusahaan Setya Novanto dari Marianus Sae

Selasa, 13 Februari 2018 13:05:07 WIB

Bupati Ngada, NTT, Marianus Sae. Foto: Facebook Marianus Sae

Komisi Pemberantasan Korupsi akan mengusut penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Laki Tangguh Indonesia milik Setya Novanto yang dikeluarkan oleh Bupati Ngada, Marianus Sae pada 2010. KPK tengah menelusuri kebijakan nyeleneh Marianus yang kini telah menjadi tersangka karena tertangkap tangan menerima suap. 
"Pasti itu akan jadi tujuan kami untuk menuntaskan kasus suap. Kasus suap yang terjadi kemarin itu jadi pintu masuk kami mencari beberapa kebijakan nyeleneh Marianus Sae," kata Ketua KPK Agus Rahardjo melalui pesan singkat, Selasa, 13 Februari 2018.
Penerbitan izin PT Laki Tangguh Indonesia diduga tidak dilakukan sesuai prosedur. Forum Pemuda Peduli Keadilan dan Perdamaian Nusa Tenggara Timur pernah melaporkan Marianus dan Direktur PT Laki Tangguh Indonesia, Muhammad Ansor ke Bareskrim Polri pada 20 September 2013.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) juga menyatakan hal yang sama. Jatam menduga ada manipulasi dalam penerbitan izin PT Laki Tangguh Indonesia. Jatam menyebut, izin pertambangan itu keluar sebelum proses pengajuan. Luas konsesi lahan milik perusahaan Setya Novanto itu mencapai 28.291 hektare.
"Selain itu, indikasi pelanggaran lainnya adalah permohonan IUP yang tidak logis, kesalahan lokasi pertambangan serta absennya kajian AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan)," kata Koordinator Kampenye Jatam, Melky Nahar dalam keterangan tertulisnya.
Menurut Melky, selain memberi IUP ke perusahan milik Setya Novanto, Marianus juga pernah menerbitkan empat surat izin pertambangan dan perkebunan yang patut dicurigai.

Di antaranya, surat izin lokasi kepada perusahaan perkebunan kemiri Reutealis Trisperma, PT Bumiampo Investama Sejahtera yang merupakan anak perusahaan dari PT Bahtera Hijau Lestari Indonesia, pada 2011. Izin yang dikeluarkan Marianus adalah untuk lahan seluas 30.000 hektare.

Sebelumnya, KPK telah menetapkan Marianus sebagai tersangka penerima suap sejumlah proyek di Kabupaten Ngada senilai Rp 54 miliar. Selain Marianus, Direktur Utama perusahaan PT Sinar 99 Permai Wilhelmus Iwan Ulumbu juga ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap. Total uang yang diterima Marianus adalah Rp 4,1 miliar.

Terkait korupsi yang menjerat Bupati Ngada, ketua KPK Agus Rahardjo mengatakan lembaganya sudah membuat tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan (Korsupgah) KPK di seluruh Indonesia. Diakui Agug, salah satu provinsi yang dianggap potensial untuk didalami perihal penerbitan izin tambang adalah NTT.
"Sudah kalau itu tim Koordinasi dan Supervisi Pencegahan KPK sudah ada. Setiap informasi yang diterima oleh tim di sana kami serap kita tindak dan kita lanjuti," ujarnya. MG
Sumber: Kriminologi.Id 

Kamis, 08 Februari 2018

PBB Sebut Industri Ekstraktif Indonesia Sarat Pelanggaran HAM

Riva Dessthania Suastha, CNN Indonesia | Kamis, 08/02/2018 05:17 WIB


Komisaris Tinggi HAM PBB, Zeid Ra'ad Al Husein menyebutkan praktik industri ekstraktif Indonesia sarat pelanggaran HAM. (Foto: CNN Indonesia/Riva Dessthania Suastha)
Jakarta -- Komisaris Tinggi HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Zeid Ra'ad Al Hussein, menganggap praktik bisnis industri ekstraktif Indonesia seperti perkebunan dan pertambangan sarat akan pelanggaran hak asasi manusia.

Anggapan itu, papar Zeid, didapatnya setelah bertemu berbagai tokoh masyarakat sipil selama dua hari terakhir berada di Indonesia dan laporan keluhan warga yang didapat lembaganya selama ini.

"Aktor masyarakat sipil menyampaikan kepada kami, bahwa dari Sumatera hingga Papua, pertambangan dan penebangan hutan dilakukan perusahaan-perusahaan besar telah menjadi penyebab utama pelanggaran HAM terhadap petani, pekerja, dan masyarakat adat," ucap Zeid dalam jumpa pers di kantor perwakilan PBB untuk Indonesia di Jakarta, Rabu (7/2).

"Karena itu, saya mendesak pemerintah Indonesia dan perusahaan terlibat dalam esktraksi sumber daya alam,perkebunan, dan usaha perikanan skala besar untuk mematuhi UN Guiding Principles on Bussiness and Human Rights supaya memastikan kegiatan bisnis tidak melanggar HAM dan merusak lingkungan," kata Zeid.
Zeid menilai selama ini perusahaan kurang melibatkan masyarakat lokal dalam perundingan perencanaan proyeknya. Hal itu, katanya, menyebabkan kepentingan warga sekitar menjadi disampingkan, bahkan terabaikan.

Sebagai contoh, dia menyoroti hampir 200 pejuang lingkungan dan hak tanah di Indonesia menghadapi tuntutan hingga Agustus 2017 lalu.

Zeid mendorong perusahaan hendaknya menyertakan unsur masyarakat lokal dalam sebuah dialog inklusif dan konsultasi mengenai proyek-proyek mereka. Menurutnya, perencanaan bisnis, terutama yang menyangkut sumber daya alam seharus tidak dilakukan tanpa kesepakatan yang adil, di mana masyarakat terdampak proyek harus diinformasikan dengan baik.

"Secara luas, proyek perusahaan telah disetujui dan dilaksanakan tanpa konsultasi yang berarti dengan unsur masyarakat lokal. Perampasan tanah, kerusakan lingkungan, dan pencemaran sumber daya air telah memicu munculnya masalah kesehatan," kata Zeid.
"Setelah kehilangan sumber daya alam mereka karena ulah perusahaan yang memiliki kekuasaan besar, masyarakat menyampaikan rasa frustasi mereka kepada saya," lanjut salah satu pangeran Jordania itu.

Zeid tak menampik bahwa industri ekstraktif mampu menggenjot pembangunan dan ekonomi suatu negara, termasuk Indonesia. Namun, semua keuntungan tersebut, ujar Zeid, harus bisa dirasakan hingga level masyarakat terendah dan terkecil.

Sebab, menurutnya, jika masyarakat sipil tidak bisa menyuarakan kekhawatiran mereka dan ikut dalam pengambilan keputusan, manfaat pembangunan yang didapat dari keuntungan industri ekstraktif tidak akan memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka.

Zeid berada di Indonesia 5-7 Februari. Selain presiden dan pejabat negara, eks duta besar Jordania untuk PBB itu juga telah menemui sejumlah komisioner Komnas HAM dan beberapa komunitas masyarakat sipil, terutama orang-orang yang mengalami diskriminasi di Indonesia. (rah)

Sumber: CNN Indonesia