Perpag Aksi Tanam Pohon

Menghijaukan kembali kawasan karst Gombong selatan, tengah diritis menjadi tradisi aksi berkelanjutan yang dimulai dari Desa Sikayu Buayan [Foto: Div.Media-Perpag]

Bentang Karst Kendeng Utara di Pati

Perbukitan Karst selalu identik dengan sumber-sumber air yang bukan hanya menjadi andalan kebutuhan domestik harian, melainkan juga kebutuhan utama sektor pertanian, perikanan dan kebutuhan agraris lainnya

KOSTAJASA

Koperasi Taman Wijaya Rasa membangun komitmen Bersama Hutan Rakyat - Kostajasa; berslogan "Tebang Satu Tanam Lima" [Foto: Div.Media-Perpag]

Ibu Bumi Dilarani

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by Lasantha Bandara - Premiumbloggertemplates.com.

UKPWR

Warga UKPWR (Ujungnegoro, Karanggeneng, Ponowareng, Wonokerso, Roban) tengah melakukan aksi penolakan PLTU Batubara Batang. Aksi dilakukan di perairan Roban (9/1) yang sekaligus merupakan perairan tempat para nelayan setempat mencari ikan [Foto: Uli]

Kamis, 28 Desember 2017

Pemanggilan Joko Prianto : Babak Baru Kriminalisasi Petani Kendeng

Siaran Pers : JM-PPK, YLBHI, LBH SEMARANG, PBHI dan LRC-KJHAM

Pemanggilan Joko Prianto : Babak Baru Kriminalisasi Petani Kendeng


Semarang, 28 Desember 2017

Joko Prianto, seorang petani kendeng langsung mendapatkan Surat Panggilan (nomor S.Pgl/945/XII/2017/Reskrimun) bertanggal (22/12) dari Polda Jawa Tengah terkait perkara yang menimpanya paska ia mengajukan Praperadilan pada tanggal (21/12). Surat panggilan tersebut mengenai pelimpahan tahap II yang akan dilakukan pada tanggal 28 Desember 2017 dari Poda Jawa Tengah ke Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah terhadap perkara Joko Prianto.

Joko Prianto

Laporan polisi oleh Yudi Taqdir Burhan, kuasa Hukum Direksi PT. Semen Indonesia disinyalir merupakan bentuk kriminalisasi terhadap Joko Prianto. Laporan tersebut diajukan setelah keluarnya Putusan Peninjauan Kembali oleh Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016 pada tanggal 5 Oktober 2017 memenangkan perjuangan petani kendeng dalam pelestarian lingkungan.

Berbagai pihak langsung menggalang solidaritas untuk menghentikan upaya kriminalisasi terhadap Joko Prianto. Menurut Ngatiban yang juga seorang petani kendeng , “tindakan pelaporan terhadap Joko Prianto merupakan bentuk kriminalisasi dan alasan keberatan adalah bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) Pasal 66, “Bahwa Setiap Individu maupun kelompok masyarakat yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tidak dapat digugat pidana maupun perdata”.
Selain itu, Ngatiban mengatakan bahwa, “Masyarakat telah berkali-kali melakukan pelaporan kepada Polres Rembang dan Polda Jateng namun pelaporan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti dan dibiarkan hingga sekarang.”
Pelaporan tersebut diantaranya melaporkan kegiatan ilegal PT Semen Indonesia pada 8 Februari 2017 kepada Ditreskimsus Polda Jawa Tengah. Karena paska Putusan Mahkamah Agung Nomor 99 PK/TUN/2016 yang telah berkekuatan hukum tetap, PT. Semen Indonesia ternyata tetap melakukan kegiatan usahanya sehingga dapat diartikan sebagai kegiatan atau usaha ilegal. Dasar laporan tersebut adalah ketentuan pidana pada Pasal 109 Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 
Selanjutnya, Ngatiban menambahkan, “masyarakat juga telah melaporkan tindakan perusakan dan pembakaran aset milik masyarakat penolak pabrik semen di Kabupaten Rembang berupa tenda, mushola beserta segala isinya pada 10 Februari 2017 yang hingga kini belum ditindaklanjuti oleh Polda Jawa Tengah dan Polres Rembang.” 
Juga ada pelaporan mengenai kesaksian palsu di atas sumpah yang dilakukan oleh saksi yang dihadirkan oleh pihak PT SI dan/atau Gubernur Jawa Tengah pada 26 Februari 2015 dan 5 Maret 2015, yang kemudian dibuktikan dan dijadikan dasar memutus oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung No. 99 PK/TUN/2016. Atas adanya fakta kesaksian palsu di muka persidangan tersebut, warga telah melaporkan tindakan kesaksian palsu tersebut di Polda Jawa Tengah, setidak-tidaknya 2 (dua) kali baik sebelum maupun sesudah adanya putusan, yaitu pada 17 Maret 2016 dan 23 Februari 2017, dan belum ditindaklanjuti.
Penasehat Hukum Joko Prianto, Kahar Muamalsyah, S.H berpendapat bahwa pemeriksaan perkara Joko Prianto belum lengkap karena tidak semua pihak terkait diperiksa oleh kepolisian, 
“seharusnya pihak kepolisian memanggil semua warga rembang yang menandatangani surat penolakan yang dituduh pelapor dipalsukan, sehingga berkas perkara sebenarnya belum lengkap dan tidak bisa dilakukan penyerahan ke kejaksaan.”

Narahubung :

Ngatiban (0813 4847 91830)
Kahar (0815 6592 812)
Eti (0838 4231 7409)


Rabu, 27 Desember 2017

Prahara Mega Proyek Pembangunan Bandara Kulon Progo

Dec 27, 2017

(Anatomi, Eskalasi dan Resolusi)

oleh: Sri Bintang Pamungkas dan Anggalih Bayu

Puing rumah warga yang tergusur. Dokumentasi oleh Fildzah Husna Amalina, 7 Desember 2017.

“Hati kami sudah terlanjur terluka oleh pendekatan pemerintah dan pihak investor yang salah sejak awal. Mereka tidak menggunakan cara-cara persuasif. Bahkan kami yang tinggal di selatan jalan Daendles, dari Trisik sampai timur Sungai Serang, diperlakukan seperti layaknya “Gepeng” (gelandangan dan pengemis-pen) yang harus disingkirkan.”
 (Martono, Ketua WTT)[1]

Tulisan ini akan menelisik konflik mega proyek pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) di Kabupaten Kulon Progo, yang dari hari ke hari semakin eksalatif. Resistensi politik rakyat, khususnya rakyat yang tergabung dalam wahana Tri Tunggal (WTT) Paguyuban Petani Lahan Pantai (PPLP), tak bias dihindarkan lagi. Tanpa takaran dialog memadai, kerasnya kebijakan yang bersikukuh merealisasikan proyek, semakin menyulut resistensi politik rakyat. Resistensi rakyat pun bermanifestasi menjadi konflik terbuka hingga berujung kekerasan. Malang tak dapat ditolak, konflik kekerasan pun menjadi penanda proses demokratisasi, dimana rakyat mengambil posisi tawar yang tegas terhadap dominasi para elit penguasa dan pengusaha berikut aktor-aktornya di tingkat basis.
Tulisan ini berupaya memetakan konflik yang telah berlangsung sekitar lima tahun belakangan, upaya pemerintah yang setengah hati dalam penyelesaian konflik dan justru semakin membuat isu ini semakin ekskalatif. Dengan mengacu pada pemetaan konflik Paul Wehr[2], bagian pertama tulisan akan mengilustrasikan konteks situasi yang melatarbelakangi konflik. Berbagai pihak yang terlibat (baik yang langsung dan tidak langsung, serta yang terkait upaya perdamaian) dan isu-isu atau persoalan utama sebagai obyek konflik pun turut terpapar di bagian ini. 
Pada bagian kedua, secara historis tulisan akan mengetengahkan eskalasi konflik itu sampai situasi terkini. 
Pada bagian ketiga, tulisan akan memapar berbagai peluang bagi resolusi konflik. 
Pada bagian keempat, tulisan akan mengakhiri uraian dengen memberikan beberapa catatan kritis, tanpa mengabaikan pembacaan atas peristiwa termutakhir seputar peta politik paska terpilihnya bupati baru di Kabupaten Kulon Progo. selain ditempuh melalui kajian pustaka dan penelusuran pemberitan dari sejumlah media massa, tulisan juga dilengkapi dengan hasil wawancara penulis dengan sejumlah narasumber yang terkait dalam konflik pembangunan Bandara di Kulon Progo.
Prahara yang Berkepanjangan

Awal mula ada rencana pembangunan bandara di Kulon Progo sebenarnya sudah ada isunya ketika pemerintahan bupati periode sebelumnya yaitu pada saat Pak Hasto menjabat sebagai Bupati Kulon Progo. Pada penghujung 2011 mulai muncul isu akan dibangunya bandara baru di Kulon Progo. Pada tahun 2012 isu pembangunan bandara di Kulon Progo semakin santer terdemgar, dan mulai menimbulkan pertentangan di masyarakat (pro dan kontra).
Setidaknya 5 tahun belakangan ini masyarakat Kulon Progo di Kecamatan Temon kabupaten Kulon Progo mengalami pergolakan, karena disebabkan oleh adanya pembangunan bandara baru di Kulon Progo, yang nantinya akan menggantikan bandara lama yaitu Bandara Adisutjipto sebagai bandara komersil. Sedikitnya ada lima desa yang terdampak pemabangunan bandara di Kulon Progo yaitu Desa Palihan, Glagah, Sindutan, Kebonrejo, dan Desa Jangkaran. Dari lima desa itu ada dua desa yang memang terkena dampak paling luas yaitu Desa Palihan dan Glagah.
Berikut ini adalah kronologi terjadinya konflik yang terjadi antara pemerintah dengan masyarakat terdampak pembangunan bandara:







Kronologi Konflik Pembangunan NYIA. Sumber: Riset oleh Penulis.
Pembangunan bandara di Kabupaten Kulon Progo lebih tepatnya di Kecamatan Temon merupakan hasil pengkajian pemilihan tempat sebelumnya, yang kemudian pilihan jatuh di Kulon Progo. Pengkajian tersebut berkaitan dengan kelayakan lokasi penerbangan.Pemerintah berdalih kenapa perlunya pembangunan Bandara Internasional baru di Daerah Istimewa Yogyakarta (PT. Angkaa Pura I 2015), yaitu:
Pertama, Kapasitas terminal Bandara Adisutjipto tidak mampu lagi menampung pesawat yang take off and landing. Adapun daya tampung Bandara Adisutjipto adalah 1,2 s.d 1,5 juta, sedangkan jumlah per 2014 sudah mencapai 6,2 juta penampung. Kapasitas area parkir pesawat (apron) hanya menampung 7+1 (apron baru).
Kedua, transportasi udara yang baru di Yogyakarta memang dirasa perlu. Mengingat Yogyakarta sebagai destinasi para wisatawan baik mancanegara maupun lokal, memerlukan jasa transportasi yang efektif, efisiensi, dan nyaman. Transportasi udara menjadi pilihan para pelancong dalam berpergian antar negara dan antar kota. Selain itu pembangunan bandara baru juga untuk memenuhi kebutuhan jasa penerbangan baik domestik maupun non-dosmetik, mengingat akan kebutuhan konsumen yang setiap tahun mengalami peningkatan.
Ketiga, Bandara Adisutjipto adalah milik Pangkalan TNI AU yang sebenaranya bukan untuk komersil, sehingga tidak jarang ketika TNI AU mengadakan latihan pesawat penerbangan domestik terganggu sehingga adanya delay atau penundaan baik ketika pesawat mau turun maupun terbang.
Akan tetapi pembangunan bandara baru di Kecamatan Temon, Kulon Progo menemui resistensi dari masyaralat khususnya petani, sehingga yang rencananya pembangunan bandara akan dimulai awal tahun 2016 akhirnya belum juga dapat direalisasikan. Hambatan sosial menjadi faktor utama, yaitu adanya masyarakat yang menolak pembangunan bandara di Kulon Progo ini.
Penolakan pembangunan bandara dilakukan oleh mereka yang benar-benar menolak adanya bandara yaitu kelompok Wahana Tri Tunggal (WTT), dan masyarakat yang mendukung (pro) namun dengan mengajukan beberapa persyaratan yang mereka ajukan. Di antara syarat yang harus dipenuhi yaitu masalah ketenagakerjaan, ganti rugi lahan milik masyarakat, kompensasi Pakualaman Ground, dan relokasi gratis. Namun dari tiga syarat yang diajukan oleh masyarakat yang pro bersyarat, ada satu yang belum bisa disepakati dari pihak PT. Angkasa Pura I yaitu mengenai relokasi gratis.
Anatomi Konflik Mega Proyek Bandara Kulon Progo
Berpijak pada paparan panjang di atas, uraian berikut akan mendiskripsikan hasil analisis mengenai berbagai faktor penyebab munculnya konflik. Menurut hemat penulis, setidaknya ada tiga faktor penyebab konflik yang beroperasi dalam mega proyek pembangunan Bandara di Kulon Progo ini.
Pertama, akar konflik yang nampak menyolok adalah persoalan tanah atau agraria. Persoalan status tanah Pakualam Ground itu mencuat setelah munculnya kontroversi penambangan pasir besi di wilayah pesisir Pantai Kulon Progo. Di satu sisi Pakualaman mengklaim bahwa sejumlah tanah di wilayah itu merupakan Pakualam Ground. Di sisi lainnya, warga merasa berhak pula atas tanah pesisir yang telah mereka kelola selama 20 tahun, hingga menjadi lahan pertanian yang subur seperti saat ini. Warga pun menuntut sertifikasi tanah lahan pesisir itu.
Menyoal keberadaan tanah Sultan Ground (SG) maupun Pakualaman Ground (PAG) memang memicu polemik publik yang berkepanjangan hingga saat ini. Terjadi dualism penerapan hukum tanah untuk kasus di DIY: di satu sisi mengacu pada pemberlakuan Rijksblad Kasultanan Yogyakarta №16/1918 dan Rijksblad Pakualaman №18/1918 dan di sisi lainnya mengacu pada pemberlakuan UUPA No 5/1960.[3] Dualisme pelaksanaan hukum itu jelas bertentangan dua asas hukum. Pertama, ketentuan hukum yang lebih tinggi menghapus ketentuan hukum yang lebih rendah (lex superior derrogat legi inferiori). Kedua, hukum yang datangnya lebih dahulu dapat dihapuskan oleh hukum yang paling baru (lex posterior derrogat legi priori).[4] Persoalan agraria di DIY ini semakin terasa kompleks sejak berlangsungnya otonomidaerah, terutama saat mengemukanya kembali polemik RUUK dalam lima tahun terakhir.
Kedua, terkait dengan akar persoalan agraria di atas, persoalan kedua ini adalah soal timpangnya kekuasaan dalam desentralisasi. Kekuasaan yang timpang di tingkat lokal akan berakibat pada dua hal: pertama, pola dan mekanisme perumusan kebijakan publik (baik di tingkat provinsi maupun kabupaten) yang bias pada kepentingan elit penguasa; dan kedua, hasil kebijakan itu praktis akan mendorong optimalisasi penguasaan sumber-sumber ekonomi produktif oleh elit-elit lokal tersebut.
Ketiga, padu padan kedua persoalan di atas, akhirnya mengemuka dan terkuak ketika hadir pihak ketiga, yaitu investor asing yang hendak menginvestasikan modalnya secara langsung dari hulu hinga hilirnya pembangunan. Konflik yang semula berada di dalam sekam, akhirnya mengemuka sebagai konflik terbuka, bahkan telah berujung pada konflik kekarasan. Dalam pusaran persoalan yang saling berkelit berkelindan itulah yang menyebabkan para warga pesisir merasa tidak mendapatkan rasa keadilan. Lahan penghidupan sebagai sumber kesejahteran terancam terenggut dengan cara-cara yang tidak adil dan manusiawi. Dalam konteks inilah, Dom Helder Camara, pernah mengatakan bahwa bekerjanya ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi merupakan sumber utama apa yang disebutnya sebagai spiral kekerasan.[5]
Dari paparan faktor-faktor penyebab konflik yang terkait dengan mega proyek penambangan pasir besi di atas, kita bisa membedakannya kedalam kategori berikut: pertama, persoalan agraria teridentifikasi sebagai akar konflik (yang memiliki kaitan erat dengan sejarah panjang persoalan agraria di DIY); kedua, ketimpangan kekuasaan dalam desentralisasi terkategorikan sebagai pendorong munculnya konflik; dan ketiga, keterlibatan investor asing dalam pembangunan bandara tersebut merupakan pemicu konflik.
Eskalasi Konflik
Pembangunan bandara baru di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta, telah dimulai, ditandai dengan peletakan batu merah pertama oleh Presiden Joko Widodo dalam satu seremoni bertajuk “Babat Alas Nawung Kridha”. Menurut pemerintah, Pembangunan bandara di lahan seluas 587 hektare tersebut harus segera dilaksanakan, sebab perencanaannya sudah tujuh tahun. Dengan berdalih kehadiran bandara tersebut sudah sangat dibutuhkan untuk menggantikan peran Bandara Adisutjipto yang yang kapasitasnya sudah tidak mampu menampung pertumbuhan pergerakan penumpang dan pesawat lantaran keterbatasan lahan. Kapasitas maksimal terminal penumpang di bandara Adisutjipto yang memiliki luas 15 ribu meter persegi tersebut, hanya sekitar 1,2 juta penumpang per tahunnya. Begitupun dengan fasilitas lainnya seperti, apron (area parkir pesawat) yang berkapasitas hanya delapan pesawat, dan landasan pacu (runway) sepanjang 2.250 meter, dinilai sudah tidak mampu lagi untuk menambah pergerakan pesawat dan melayani pesawat berbadan besar. Padahal pada 2016, jumlah pergerakan penumpang di bandara Adisutjipto telah mencapai 7,2 juta penumpang.
Dalam perencanaan, Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo akan dibangun secara bertahap. Pada tahap pertama, terminal penumpang yang akan dibangun yaitu seluas 130.000 meter persegi yang mampu menampung hingga 15 juta penumpang per tahunnya. Dengan landasan pacu sepanjang 3.250 meter dan area parkir pesawat berkapasitas hingga 35 pesawat. Pembangunan tahap I ini ditargetkan selesai pada Maret 2019. Pada tahap II dilakukan pengembangan lanjutan terminal penumpang menjadi 195 ribu meter persegi, yang mampu menampung hingga 20 juta penumpang per tahun. Landasan pacu pun diperpanjang menjadi 3.600 meter dan area parkir pesawat dikembangkan menjadi berkapasitas hingga 45 pesawat, sehingga dapat melayani pesawat berbadan besar, misalnya, Boeing 747–400. Namun, dalam proses pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta tidak terlepas dari perlawanan dan gugatan dari warga setempat yang merasa dirugikan. Sebelumnya masyarakat setempat telah memenangkan gugatan di PTUN, akan tetapi kemudian pihak pemerintah mengajukan kasasi dan memenangkan gugatan. Dengan bermodalkan hal tersebut pemerintah terus berusaha melanjutkan pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta. Pemerintah sendiri menyiapkan tiga skema ganti untung yaitu pembayaran tunai, relokasi dan pemberian tanah PAG ke warga terdampak.
Namun, melihat dari proses pembangunan dan pemilihan lokasi di Kecamatan Temon,Kulonprogo ini. Kami telah menemukan beberapa permasalahan yang dihimpun dari berbagai sumber :

1. Adanya ancaman bencana dan kerusakan lingkungan hidupmenyebabkan wilayah yang dipilih tidak tepat untuk dijadikan lokasi pembangunan Bandara Internasional. Perpres Nomor 28 tahun 2012 tentang RTR Pulau Jawa-Bali menyebutkan; Kabupaten Kulonprogo jadi salah-satu wilayah yang ditetapkan sebagai zona rawa bencana alam geologi (pasal 46 Ayat 9 huruf d). Selain itu, menilik perda Provinsi DIY, sepanjang pantai di Kabupaten Kulonprogo telah ditetapkan sebagai kawasan rawan tsunami (pasal 51 huruf g). Bahkan, Perda Kabupaten Kulonprogo Nomor 1 Tahun 2012 Tentang RTRW Kabupaten Kulonprogopun lebih detail menyatakan bahwa kawasan rawan tsunami salah-satunya meliputi Kecamatan Temon (Pasal 39 ayat 7 huruf a).
Penataan ruang berbasis mitigasi bencana dengan menetapkan suatu kawasan sebagai kawasan lindung geologi. Senyatanya adalah ikhtiar untuk meningkatkan keselamatan dan kenyamanan kehidupan makhluk hidup. Apalagi, secara geografis Indonesia berada di lingkaran rawan bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana dalam Masterplan Pengurangan Resiko Bencana Tsunami (2012). Sebetulnya sudah memetakan kawasan utama yang punya resiko dan probabilitas tsunami tinggi. Kawasan tersebut antara lain kawasan Selat Sunda dan Jawa bagian Selatan. Gempa bumi yang besar yang terjadi di zona penunjaman di Jawa bagian Selatan dikhawatirkan akan memicu tsunami yang dapat menimpa salah-satunya daerah pantai diselatan Provinsi DIY (Kabupaten Kulonprogo). Kemudian, potensi bencana tsunami di Kecamatan Temon diamini oleh Dr. Eko Teguh PAripurno, Ketua Pusat Studi Manajemen Bencana UPN Yogyakarta. Menurutnya, Temon merupakan daerah rawan gempa yang dapat memicu tsunami.
Terlebih blok Jogja termasuk blok yang belum pernah mengalami gempa besar. Karena gempa (2006) lalu bukan dari blok Jogja, tapi patahan Opak. Sehingga, jika berbicara mengenai potensi terjadinya gempa dan tsunami di calon lokasi Bandara Internasional Kulonprogo cukup besar. Bahkan, berdasarkan Peta Bahaya Tsunami Wilayah Kulonprogo yang diterbitkan InaTews bekerjasama dengan DLR, Lapan, LIPI dan Bakosurtanal (2012). Menunjukkan bahwa lokasi tapak bandara rawan bahaya tsunami tinggi seluas 167,2 hektar, rawan bahaya sedang seluas 40,02 hektar dan bahaya rendah seluas 44,3 hektar. Tsunami dapat mencapai ketinggian mencapai 6 meter dan terjangan mencapai 2 Kilometer. Tsunami dapat hadir 33–40 setelah gempa. Beberapa paparan karakter bahaya tsunami tersebut maka kawasan tapak mempunyai indeks ancaman tinggi sampai rendah, dengan rata-rata sedang. Sedangkan, pada tapak terjadi perubahan indeks penduduk terpapar pada saat ini rendah (16 Jiwa/km2, kurang dari 500 Jiwa/km2 dan akan berubah menjadi tinggi (16.468 jiwa/km2, lebih dari 1000 jiwa/km2) pada saat bandara beroperasi.

2. Adanya indikasi kejanggalan dalam proses studi AMDAL dan proses perumusan kebijakan yang menyebabkan munculnya kebijakan yang dapat dikatakan muncul secara sepihak. Rencana studi amdal yang terlambat ini dianggap menjadikan proses pembangunan New Yogyakarta International Airport (NYIA) ini menjadi cacat hukum. Dosen hukum lingkungan Universitas Gadjah Mada, Harry Supriyono menyatakan bahwa Studi Amdal seharusnya dilakukan sebelum penerbitan IPL (Izin Penetapan Lahan) bandara. Harry mengatakan dasar Amdal harus ada sebelum IPL yakni UU Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Dalam aturan itu dijelaskan bahwa studi kelayakan lahan yang berwujud Amdal harus sudah ada sebelum adanya pembebasan lahan. Proses rencana pembangunan bandara di Kulon Progo sudah sampai pembayaran ganti rugi, tapi studi Amdal baru mau dilakukan. Proses yang sudah dilakukan sudah cacat hukum
Direktur Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Halik Sandera, mengungkapkan dalam sebuah proyek pembangunan sudah semestinya ada instrumen pencemaran lingkungan hidup. Termasuk dalam hal pencegahan pencemaran lingkungan akibat dampak pembangunan bandara Kulon Progo. Amdal menjadi bagian keluarnya kelayakan lingkungan. Jika studi kelayakan lingkungan tidak ada, izin pembangunan harusnya tidak bisa dikeluarkan. Sebelumnya, IPL proyek pembangunan NYIA dengan Nomor 68/KEP/2015, telah dikeluarkan Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 2015. Maret 2015, warga Kulon Progo menggugatnya di Pengadilan Tata Usaha Negara. Menang di tingkat gugatan, warga kalah di tingkat kasasi yang disidangkan Mahkamah Agung.

3. Proses kompensasi yang dijanjikan kepada warga terdampak senyatanya justru dapat menimbulkan marginalisasi bagi warga setempat. Masih belum jelasnya mekanisme kompensasi menimbulkan kesimpangsiuran bagi warga terdampak, padahal kesepakatan pembangunan Bandara telah diteken. Adanya upaya relokasi dengan ganti tanah dari PAG (Paku Alaman Ground) dengan sistem magersari dianggap menimbulkan ketidakadilan. Penghageng Kawedanan Kaprajan Kadipaten Paku Alaman KPH Suryo Adi Negoro mengatakan Kadipaten Paku Alaman telah menyiapkan lahan seluas 15 hektare untuk digunakan sebagai tempat relokasi bagi warga yang terkena dampak pembangunan bandara. Warga diperbolehkan menempati tanah tersebut akan tetapi tidak boleh dijual. Adapun tanah yang disiapkan untuk relokasi masih berupa tanah lapang dan ada beberapa bangunan. Nantinya, Pemkab Kulonprogo memiliki kewajiban untuk membangun perumahan sebagai tempat relokasi warga di lahan tersebut. Sejatinya, tanah yang disiapkan untuk tempat relokasi adalah tanah milik kadipaten Paku Alaman yang awalnya direncanakan untuk perumahan. Akantetapi, karena dirasa dibutuhkan oleh warga maka pembangunan tersebut dibatalkan. Penjelasan dari Paku Alaman menyatakan bahwa tanah relokasi bersifat status sewa, model penyewaan 20 tahun dan diperpanjang bertujuan untuk mempermudah pengadministrasian dan inventarisasi dari kadipaten Paku Alaman. Adapun untuk sertifikasi tanah relokasi tersebut diserahkan sepenuhnya kepada PT Angkasa Pura. Adanya model kompensasi dengan relokasi tanpa memberikan hak milik bagi warga terdampak ini justru terkesan memarginalkan warga terdampak dan justru terkesan “mengkomersialkan” dengan menarik sewa tanah bagi warga yang mau tinggaal di tempat relokasi yang telah disediakan. Padahal, lahan yang terdampak pembangunan bandara adalah mayoritas adalah milik warga terdampak. Ancaman yang muncul dari pembangunan ini tidak hanya hilangnya lapangan pekerjaan, namun juga indikasi marginalisasi petani.

Resolusi Konflik

Setelah seluruh elemen dari anatomi konflik dan eskalasinya telah terpapar di atas, tulisan akan mendedahkan beberapa tawaran skenario resolusi terkait mega proyek Pembangunan Bandara di Kulon Progo. Akan terlalu ambisius untuk memapar detil konflik berdurasi 5 tahun lebih hanya dalam secarik kertas kecil ini. Sebelum menawarkan beberapa skenario resolusi konflik, terlebih dulu, penulis akan memberikan beberapa catatan penting sebagai entry point untuk resolusi tersebut. Beberapa catatan penting adalah sebagai berikut:

Pertama, terilustrasikan dalam paparan di atas bahwa mega proyek pembangunan bandara di Kulon Progo merupakan grand design dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Provinsi DIY yang tak bisa diganggu gugat oleh pihak manapun, termasuk masyarakat lokal yang terdampak langsung oleh proyek tersebut. Pemerintah Kabupaten Kulon Progo diposisikan sebagai ujung tombak untuk mengurusi “warga yang berontak” dan “investor yang sudah mengantongi kontrak”. Tak teragukan lagi, lintasan jalur dari bebadan ekskutif itu dari pusat hingga daerah tidak menunjukkan situasi konfliktual yang berarti, setidaknya yang manifes.

Kedua, kevakuman persaingan kekuatan politik di tingkat DPRD rupanya menunjukkan gelagat serupa dengan jejalur lintas eksekutif di atas. “Keanggunan” dan “kekompakan” Nampak hendak lebih ditonjolkan para wakil rakyat, ketimbang berperan sebagai kekuatan oposan eksekutif. Inikah warna yang mungkin hendak ditunjukkan Yogya agar tak terlihat carut-marut di mata Pemerintah Pusat? Tentu akan menjadi perdebatan panjang nantinya

Ketiga, termarginalkanya sebagai “anak bawang”, warga pesisir pantai terombang-ambingkan oleh kekuatan yang sepenuhnya terpolarisasi di satu kubu (pemerintah pusat, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, DPRD DIY, DPRD Kulon Progo, dan tentunya investor). Peta politik nampaknya tidak tengah ingin menunjukkan warnanya yang menarik, lantaran telah terjadi homogenisasi kekuatan politik.

Keempat, peta kekuatan oligarkis telah berhasil membuka peluang lebar-lebar bagi pintu masuknya investor, melalui berbagai “pintu rahasia” yang warga tak akan pernah bisa mengaksesnya. Terloloskannnya Kontrak Karya, lolosnya Kerangka Acuan Andal telah memberikan gambaran jelas tentang absennya pemikiran tentang transparansi, akuntabilitas, dan segenap aspek dalam tata kelola demokratis dan partisipatoris di kalangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Melihat pada berbagai catatan tersebut di atas, berikut ini penulis mencoba menawarkan langkah menuju tercapainya resolusi dalam konflik mega proyek pembangunan Bandara Kulon Progo. Tawaran langkah itu adalah sebagai berikut:

Pertama, bangun dan buka kanal-kanal dialog seluasnya bagi warga, terutama warga yang paling terdampak langsung oleh proyek pembangunan bandara, guna menampung seluruh kekawatiran, kecemasanm, maupun harapan yang mereka miliki. Dalam konteks proyek bandara tersebut, merangkul kembali warga yang terlanjur kecewa, karena terabaikan tentu bukanlah urusan yang mudah untuk dilakukan. Namun tak ada pilihan yang paling strategis bagi pemerintah daerah kecuali untuk menata ulang pola pendekatan maupun pola perumusan kebijakan publik yang selama ini abai pada warga.

Kedua, buka pula ruang-ruang bagi dialog strategis multi-pihak dan stakeholder tentang rencana pengembangan wilayah, peningkatan daya saing ekonomi daerah, maupun upaya membangun system kesejahteraan masyarakat di tingkat lokal. Kendati sangat terlambat, namun pilihan langkah ini bisa disebut sebagai “merebut momentum” untuk tata kelola yang lebih demokratis dan partisipatoris.

Ketiga pemerintah perlu untuk segera merumuskan mekanisme kompensasi yang pasti dan diharapkan benar-benar menguntungkan bagi warga terdampak apabila memang pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta adalah kebutuhan yang mendesak bagi pembangunan nasional.

Keempat, mendorong pemerintah untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan kepada publik tentang rancangan mitigasi bencana dan ancaman kerusakan lingkungan hidup akibat dampak pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta beserta penanganannya. Dengan catatan bahwa pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta merupakan kebutuhan mendesak dalam pembangunan nasional.

Kelima, mendorong pemerintah untuk untuk mensosialisasikan dan mengkomunikasikan kepada publik tentang rancangan pendampingan dan pemberdayaan warga terdampak, pembangunan daerah yang terpadu, meningat dalih dari pembangunan Bandara Internasional Yogyakarta di Kulonprogo adalah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan pembangunan serta peningkatan daya saing menghadapi pasar global.



Catatan Kaki

[1] Transkrip wawancara dengan Martono pada 26 Januari 2017
[2] Pauh Wehr. 2002. Using Conflict Theory. Cambridge University Press, Jul 15, 2002-Political Science. P 219
[3] Hendro Prabowo, Pluralisme Hukum dan Penguasaan Tanah di DIY dalam Mimbar Hukum, hlm. 64. Diunduh dari i-lib.ugm.ac.id/jurnal/download.php?dataId=2940.
[4] Jawahir Thontowi, Kepemimpinan yang Demokratis dan Penguasaan Tanah dalam Heru Nugroho, Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS, hlm.61.
[5] Lambang Triyono, Kata Pengantar dalam Dom Helder Camara, Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar; 2000,hlm.xi-xiii.

Referensi
Buku:

Camara, Dom Helder. 2000.Spiral Kekerasan; Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Endiarto, Agoes Soesilo. 2012. Implikasi Pemindahan Bandara Adi Sutjipto bagi Pemkab Sleman. Yogyakarta: Disampaikan dalam Diskusi Panel Relokasi Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2012 di Fisipol UGM

Heru Nugroho.2005. Interpretasi Kritis Keistimewaan Yogyakarta; Yogyakarta: CCSS

Martono. (2015). Penolakan Paguyuban Wahana Tri Tunggal. Kulonprogo, Yogyakarta.

Pauh Wehr. 2002. Using Conflict Theory. Cambridge University Press, Jul 15, 2002-Political Science

Triyono, Lambang dan Najib Azca (ed). Potret Retak Nusantara: Studi Kasus Konflik di Indonesia; Yogyakarta: CSPS Books, 2004.

Triyono. 2012. Pembangunan New International Airport Yogyakarta di Kabupaten Kulon Progo. Yogyakarta: Disampaikan dalam Diskusi Panel Relokasi Bandara Adi Sutjipto Yogyakarta pada tanggal 5 Juni 2012 di Fisipol UGM

Utsman, S. (2007). Anatomi Konflik dan Solidaritas Masyarakat Petani.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sumber: Medium.Com 

Jumat, 22 Desember 2017

“Masyarakat Gombong Mengusulkan Data Karst Gombong Yang Sesungguhnya Kepada Badan Geologi Kementerian ESDM”

Press Release
“Masyarakat Gombong Mengusulkan Data Karst Gombong Yang Sesungguhnya Kepada Badan Geologi Kementerian ESDM”


Berawal dari keprihatinan masyarakat Gombong atas Kawasan Bentang Alam Karst (KBAK) Gombong yang luasannya berkurang secara signifikan dari 48,94 kilometer persegi (Km2) menjadi 40,89 kilometer persegi (Km2) atas usulan dari Bupati Kebumen melalui Surat Bupati Kebumen Nomor 545/057 R Tanggal 10 Desember 2013 Tentang Usulan Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong Kabupaten Kebumen kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kemudian ditetapkan melalui Keputusan Menteri ESDM Nomor 3043K/40/MEM/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong Selatan. 
Padahal menurut data di lapangan seharusnya luasan yang sesungguhnya adalah masih seluas 48,94 Km2. Melihat hal tersebut Masyarakat Gombong yang tergabung dalam organisasi rakyat Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG) mengajukan keberatan kepada Pemerintah Kabupaten Kebumen dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk kemudian dikaji ulang dan membuat usulan baru kepada Kementerian ESDM; 
Namun ternyata pemerintah Kabupaten Kebumen dan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah sama sekali tidak mau menanggapi bahkan terkesan acuh terhadap keberatan yang disampaikan oleh masyarakat Gombong tersebut.
Oleh karena itu pada hari Rabu, tanggal 20 Desember 2016 Masyarakat Gombong yang tergabung dalam organisasi rakyat Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG) bersama Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA) dan para pakar geologi dari Pusat Studi Menejemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Veteran Yogyakarta (PSMB-UPN Veteran Yk) dan pakar speleologi dari Indonesian Speleological Society (ISS), serta didampingi oleh Kuasa Hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung; mendatangi kantor Badan Geologi Kementerian ESDM untuk menyampaikan data tentang kawasan Karst yang sesungguhnya ada di Gombong, 
Hal tersebut karena masyarakat menduga bahwa data usulan tentang Kawasan Karst yang diajukan oleh Bupati Kebumen terdapat kejanggalan-kejanggalan yang harus dikaji ulang secara bersama-sama.
Adapun dugaan kejanggalan-kejanggalan tersebut didasarkan atas beberapa hal, diantaranya ialah sebagai berikut: 
Pertama, bahwa usulan Bupati Kebumen tersebut tidaklah partisipatif, hal tersebut dapat dilihat bahwasanya masyarakat Gombog yang lokasinya berada persis di sebelah wilayah Kawasan Karst sama sekali tidak dilibatkan dalam proses penelitian dan penyusunan usulan yang kemudian dijadikan dasar oleh Kementerian ESDM dalam menetapkan kawasan Karst di Gombong. Padahal apabila terjadi hal-hal yang berkaitan dengan Kawasan Karst tersebut, masyarakat inilah yang pertama merasakan dampak yang akan ditimbulkantersebut.
Kedua, Usulan Bupati Kebumen tersebut seolah-olah hanya berorientasi pada kepentingan bisnis PT. Semen Gombong, dimana hal tersebut dapat dilihat luasan 8 KM2 yang dihilangkan dari kawasan Karst sebelumnya adalahsebagian besar ditetapkan sebagai Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan telah ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) dari Pemerintah Kabupaten Kebumen untuk PT. Semen Gombong, dan ternyata pada tahun 2016 pun kemudian PT. Semen Gombong telah mengajukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) namun AMDAL tersebut dinyatakan tidak layak. Ketidaklayakan AMDAL tersebut memang karena tidak seharusnya kawasan seluas 8 KM2diperuntukkan menjadi kawasan pertambangan dan sudah seharusnya ditetapkan sebagai kawasan lindung geologi berupa KBAK.
Ketiga, usulan Bupati Kebumen tersebut tidak memperhatikan Peraturan Daerah Kabupaten Kebumen Nomor 23 Tahun 2012 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kebumen Tahun 2011- 2031, padahal di dalam RTRW Kabupaten Kebumen Tahun 2011-2031 juga telah menyatakan bahwa luasan KBAK Gombong seluas 48,94 KM2 namun nyatanya hal tersebut diabaikan begitu saja oleh Bupati Kebumen dalam mengusulkan KBAK kepada kementerian ESDM. Tentu saja hal tersebut menjadi preseden buruk atas jalannya sistem tata pemerintahan di Kabupaten Kebumen yang tidak harmonis dalam sisi peraturan perundang-undangan.
Keempat, Usulan Bupati Kebumen Tersebut mengabaikan aspek keberlangsungan lingkungan hidup dan akan berdampak buruk pada ekonomi sektor pertanian yang sudah dibangun oleh masyarakat Gombong. Hal tersebut karena kawasan seluas 8 KM2 yang dihilangkan dari KBAK Gombong faktanya masih memiliki ciri-ciri; 
pertama, petrografi sebagai kelompok fasies wackestone–packstone, fasies grainstone, fasies rudstone, fasies framestone, yang tersusun oleh fosil foraminifera besar, pecahan koral, foram plangton, bentos, moluska, algae, yang mempunyai porositas sedang dan mengalami pelarutan; 
kedua,memiliki satuan geomorfik perbukitan bergelombang kuat; 
ketiga, terdapat lubang-lubang pelarutan (vuggy) dan daerah goa (adanya sistem lubang / sungai bawah tanah) dan terdapat satuan geomorfik perbukitan bergelombang kuat yang sejatinya adalah perbukitan karst yang eksokarst berkembang dengan baik; 
keempat, terdapat daerah rongga yang jenuh air juga menunjukkan spot-spot daerah batugamping jenuh air dan fracture(garis-garis hitam vertikal) yang dapat menjadi media infiltrasi air tanah; 
kelima, bahwa endokarst berkembang sangat efektifdan didukung banyaknya fractured yang mampu berfungsi sebagai daerah resapan air tanah bagi suplai sistem mata-air karst atau goa berair; 
keenam, menunjukkan adanya zat warna Uranine di Gua Pucung, Gua Candi, dan juga Kali Sirah yang menunjukkan ada koneksi sistem endokarst (lubang pelarutan dan sistem sungai bawah tanah) sehinggajuga berfungsi sebagai “tangkapan air” pada sistem endokarst; 
ketujuh, menunjukkan pola kecenderungan didominasi kation Calsium, Mg dan Carbonat Oksida, hal ini berarti menunjukkan bahwa dominan genesa air tanah sangat dipengaruhi daerah infiltrasi pada daerah berbatugamping, yang Ca dan Mg –nya tinggi; 
kedelapan, kawasan seluas 8 Km2 masih menjadi 1 sistem bentang alam karst Gombong yang sistemnya telah membentuk fenomena eksokarst dan endokarst yang apabila hal tersebut semua tidak dilindungi dengan baik maka kerusakan lingkungan akan terjadi.
Oleh karena itu kemudian masyarakat Gombong yang tergabung dalam Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG) menyampaikan data-data Karst yang sesuai dengan fakta di lapangan kepada Badan Geologi Kementerian ESDM. Atas data-data yang telah diusulkan tersebut maka Masyarakat Gombong meminta kepada Kementerian ESDM untuk:
1. Menerima dan memverifikasi dengan turun ke lapangan secara langsung atas data-data yang telah diusulkan oleh Masyarakat Gombong kepada Badan Geologi Kementerian ESDM;
2. Membandingkan data yang telah diusulkan oleh masyarakat Gombong dengan data yang diusulkan Bupati Kebumen yang menjadi dasar Keputusan Menteri ESDM Nomor 3043K/40/MEM/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong;
3. Menyampaikan hasil perbandingan data tersebut kepada Pemerintah Kabupaten Kebumen dan Masyarakat Kebumen dan Gombong secara khusus;
4. Apabila hasil verifikasi dan perbandingan menunjukkan bahwa data Masyarakat Gombong yang lebih akurat, maka Kementerian ESDM harus segera melakukan revisi Keputusan Menteri ESDM Nomor 3043K/40/MEM/2014 Tentang Penetapan Kawasan Bentang Alam Karst Gombong dan harus mengembalikan luasan KBAK Gombong menjadi 48,94 Km2 sesuai dengan data dilapangan yang sesungguhnya.
5. Meminta kepada Kementerian ESDM dalam melaksanakan proses-proses tersebut di atas berdasarkan pada prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Adapun atas usulan masyarakat Gombong tersebut Badan Geologi Kementerian ESDM yang ditemui oleh masyarakat Gombong pada hari Rabu, tanggal 20 Desember 2017 menyatakan akan melakukan kajian dan verifikasi ke lapangan secara langsung atas data-data yang diusulkan oleh Masyarakat Gombong yang direncanakan sekitar pada bulan Februari 2018 tahun depan. 
Demikian press-release ini kami sampaikan sebagai informasi kepada publik dan bentuk kepedulian atas keberlangsungan lingkungan hidup yang baik.
Salam,
- Persatuan Rakyat Penyelamat Karst Gombong (PERPAG)
- Universitas Indraprasta PGRI (UNINDRA)
- Pusat Studi Menejemen Bencana UPN Veteran Yogyakarta (PSMB-UPN "Veteran" Yogyakarta)
- Indonesian Speleological Society (ISS)
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Semarang
- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung

Kebumen, 22 Desember 2017

Narahubung:
1. Nanang: 0857 4361 5971
2. Epri: 0878 3888 5835

Kamis, 21 Desember 2017

Petani Jateng Mempertanyakan Keberpihakan Ganjar Pranowo

21 Desember 2017   16:03

https://nasional.kompas.com/read/2017/07/04/13402401/disebut.tolak.uang.e-ktp.karena.jumlahya.sedikit.ini.tanggapan.ganjar.pranowo

Secara umum sudah diketahui bahwa mayoritas masyarakat Jawa Tengah adalah petani. Dan sejak dahulu, pertanian merupakan karakteristik utama Jateng. Karena itu, pemerintah Jateng sudah seharusnya memberikan prioritas perhatian pada sektor pertanian dan menunjukkan keberpihakan pada petani.
Namun di bawah kepemimpinan Ganjar Pranowo, elemen masyarakat yang paling banyak dirugikan adalah para petani. Dan ini menjadi rekam jejak kepemimpinan Ganjar Pranowo selama lima tahun terakhir. Hal ini bukan hanya tuduhan, namun sangat kentara, misalnya dalam kasus Kendeng (Pati, Rembang, Kudus), Urut Sewu (Kebumen), PLTU Batang.
Dalam semua kasus tersebut, kaum tani sudah jelas menjadi korban yang pertama kali dirugikan. Mengapa demikian karena lahan pertanian mereka diserobot atau dirusak oleh pembangunan pabrik, serta rusaknya ekosistem yang menjadi pendudukung utama keberhasilan usaha tani.
Karena itu, perlawanan masyarakat Kendeng misalnya bukan perlawanan untuk menyingkirkan pabrik semen, melainkan untuk merebut hajat hidup mereka yang dirampas oleh pendirian pabrik. Para petani menyadari bahwa konvensasi yang diberikan oleh perusahaan atau pemerintah tidak akan dapat mengganti fungsi lahan mereka.
Di sisi lain, para petani memahami bahwa ekosistem lingkungan saling terhubung dengan ekosistem lingkungan yang lain. Misalnya, kerusakan hutan akan berpengaruh pada rusaknya sawah dan permukiman. Rusaknya aliran sungai akan mempengaruhi sawah dan kebutuhan air masyarakat.
Ini lah yang tidak dipahami oleh Ganjar Pranowo sehingga mengabaikan para petani atau lebih tepatnya membiarkan para petani menjadi korban dari kebijakan-kebijakannya. Karena mayoritas masyarakat Jateng adalah petani, Ganjar Pranowo seharusnya beridir di sisi petani. Ini akan menjadi bukti keberpihakannya pada masyarakat Jateng.
Ganjar Pranowo perlu diingatka bahwa ketika dia baik secara sengaja maupun tidak sengaja membiarkan para petani menjadi korban keserakahan pembangunan industri tambang di Jateng, maka sejak saat itu ia telah membelakangi masyarakatnya.

Sumber: Kompasiana 

Rabu, 20 Desember 2017

Statement: “Mengutuk Keras Penembakan oleh Aparat Kepolisian terhadap 2 orang warga desa Tangar di kebun sawit milik PT. Bumi Sawit Kencana (BSK) Wilmar Grup“

20 Desember 2017 | 18:22

Pernyataan Sikap: AGRA KalTeng
“Mengutuk Keras Penembakan oleh Aparat Kepolisian terhadap 2 orang warga desa Tangar di kebun sawit milik PT. Bumi Sawit Kencana (BSK) Wilmar Grup“


Tarik Semua Aparat Kepolisian dari Perusahaan/Perkebunan Kelapa Sawit !
Kembalikan Tanah Warga Yang Dirampas Oleh PT. Bumi Sawit Kencana !
Jalankan Reforma Agraria Sejati !
Salam Demokrasi !
Ekspansi perkebunan skala luas di Kalimantan Tengah menyebabkan maraknya perampasan tanah dan penggusuran ladang/kebun kaum tani dan hutan adat ataupun situs keramat suku bangsa minoritas (Masyarakat Adat). Hingga saat ini, AGRA Kalimantan Tengah mencacat bahwa kasus sengketa tanah antara perusahaan sawit, tambang, HTI sebanyak 273 kasus yang terjadi di berbagai penjuru Kalteng.
Kasus perampasan tanah oleh perusahaan kelapa sawit di Kalimantan Tengah yang berujung pada konflik agraria semakin hari semakin mengkhawatirkan. Bahkan, perusahaan selalu menggunakan aparat bersenjata dalam menghadapi reaksi masyarakat yang memperjuangkan haknya. Sehingga kekerasan, penangkapan hingga penembakan tak bisa lagi dihindari.

Seperti yang terjadi pada hari Senin 18 Desember 2017, penembakan yang dilakukan oleh aparat kepolisian yang sedang melakukan pengamaman di PT. Bumi Sawit Kencana (BSK) terhadap warga yang melakukan klaim atas tanah mereka yang dirampas oleh PT. BSK sejak 2012. Hal ini menambah daftar catatan hitam bagi Kepolisian dalam menangani kasus konflik agraria.
Selama 3 tahun kepemimpinan Jokowi-JK, AGRA Kalteng mencatat telah terjadi 12 kasus sengketa yang berujung kekerasan, penangkapan dan penembakan terhadap warga yang sedang memperjuangkan tanahnya yang telah dirampas oleh perusahaan. Dengan jumlah korban mencapai 104 orang, meliputi : 9 orang mengalami kekerasan, 74 orang ditangkap dan 20 dikriminalisasi, dan 3 orang ditembak (1 meninggal dunia).
Kabupaten Kotawaringin Timur penting untuk diperhatikan, mengingat dari 12 kasus yang memakan korban, 8 diantaranya terjadi di Kabupaten ini. Hal ini tentu berbanding lurus dengan luas perusahaan sawit yang berada di Kotim kurang lebih 469.071 Hektar.
Sumber utama konflik agraria adalah terus dipertahankannya praktek monopoli tanah oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit. Sehingga jalan keluar satu-satunya mengatasi konflik adalah dengan menjalankan Reforma Agraria Sejati. Reforma Agraria Sejati bertujuan menata ulang struktur kepemilikan tanah.
Berdasarkan kejadian dan paparan diatas, Pengurus Wilayah Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Kalimantan Tengah menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Mengutuk penembakan warga desa Tangar yang dilakukan oleh aparat kepolisian di areal kebun PT. BSK (Wilmar Grup);
2. Tarik semua aparat bersenjata (TNI & POLRI) yang melakukan pengaman di perusahaan sawit, tambang dan HTI.
3. Usut tuntas kasus penembakan warga yang terjadi di areal kebun PT. BSK (Wilmar Grup) desa Tangar, kecamatan Kotabesi, kabupaten Kotawaringin Timur;
4. Hentikan perampasan tanah masyarakat dan kembalikan tanah yang dirampas oleh perusahaan sawit.
5. Jalankan Reforma Agraria Sejati sebagai jalan keluar atas konflik agraria.
Demikian pernyataan sikap dan tuntutan ini kami buat untuk ditanggapi dan disebarkan seluas-luas. Kami juga menyerukan kepada seluruh kaum tani dan suku bangsa minoritas untuk bersatu berjuang melawan perampasan tanah yang terjadi di Kalimantan Tengah. Atas perhatiannya, terima kasih.
Hidup Kaum Tani !!!
Jayalah Perjuangan Rakyat !!!

Pimpinan Wilayah
AGRA Kalimantan Tengah
Wayan
Ketua